Monday, October 02, 2006

Optmisme diantara angka Pertumbuhan, Pengangguran dan Kemiskinan

Medan Bisnis, 02 Oktober 2006
Pada tanggal 11 september yang lalu, pemerintah telah menyepakati empat asumsi dasar RAPBN 2007. Diantara ke 4 asumsi tersebut (Pertumbuhan Ekonomi, Inflasi, Kurs Rupiah serta SBI 3 bulan), hanya pertumbuhan ekonomi yang dinilai tidak realistis dan sempat menjadi perdebatan serius antara Pemerintah dengan anggota Komisi XI DPR RI.

Laju pertumbuhan ekonomi diasumsikan akan tumbuh sebesar 6.3% pada tahun 2007, padahal rata-rata realisasi pertumbuhan pada tahun 2000 – 2005 hanya sebesar 4.7%.

Terjadi lonjakan angka yang cukup signifikan antara realisasi laju pertumbuhan ekonomi selama periode 2000-2005 dengan asumsi laju pertumbuhan di tahun 2007. Namun, Gubernur BI menyatakan laju pertumbuhan ekonomi sebesar 6.3% merupakan batas atas dari target pertumbuhan pemerintah.

Jadi pertumbuhan ekonomi masih berpeluang untuk tumbuh moderat atau mungkin (dengan asumsi yang paling pesimis) tidak banyak berubah dari pertumbuhan di tahun sebelumnya.

Berdasarkan asumsi pemerintah sebelumnya bahwa setiap 1% pertumbuhan akan menciptakan lapangan kerja sebanyak 459.000 orang. Dengan laju pertumbuhan angkatan kerja sebanyak 2 juta orang/tahun, maka, dengan asumsi laju pertumbuhan sebesar 6.3% pada tahun 2007 akan menyerap tenaga kerja sebanyak 2,9 Juta orang.

Tentunya angka tersebut merupakan angka fantastis yang mampu mengurangi jumlah pengangguran secara signifikan. Namun, fakta tidak selalu sama dengan ekspektasi. Selama periode tahun 2000 – 2005, setiap 1% pertumbuhan hanya menciptakan lapangan kerja sebanyak 213.000 orang. Bahkan selama tahun 2006 ini, 1% pertumbuhan hanya menciptakan lapangan kerja sebanyak ± 50.000 orang.

Mengapa demikian?, Pengamat menilai telah terjadi disorientasi investasi dari semula dalam bentuk investasi langsung (FDI) ke bentuk investasi dalam surat berharga yang notabene dapat bersifat jangka pendek.

Insentif kebijakan ekonomi pemerintah dengan memberlakukan kebijakan uang ketat (suku bunga tinggi) diperkirakan menjadi akar masalah penghambat investasi. Hal tersebut diperparah dengan permasalahan struktural yang belum berkesudahan.

Cukup sampai disitu?, belum. Permasalahan lain seperti peringkat investasi indonesia yang hanya menduduki peringkat 50 (setelah direvisi dari peringkat 69 sebelumnya) dari 125 negara versi WEF (World Economic Forum), menunjukan kalau indonesia bukan merupakan negara tujuan investasi yang paling disukai. Kita masih tertinggal jauh dengan Singapura yang ditempatkan ditempat paling atas dalam soal tujuan investasi.

Sejauh ini, optimisme pemerintah muncul dengan akan digulirkannya sejumlah kebijakan terkait konsolidasi fiskal, termasuk diantaranya meningkatkan pendapatan pemerintah yang bersumber dari pajak dan non pajak. Pemerintah bertekad akan melakukan reformasi administrasi di tubuh Dirjen Pajak dan Bea Cukai.

Bahkan baru-baru ini Pemerintah menargetkan penerimaan pajak sebesar ± Rp. 800 trilyun pada tahun 2007. Angka tersebut lebih besar dari asumsi RAPBN 2007 yang ditargetkan sebesar Rp. 505,9 trilyun.

Selain itu, trend defisit APBN yang cenderung menurun turut menjadi landasan keyakinan akan membaiknya kondisi perekonomian kedepan. Namun, perlu diingat defisit anggaran memiliki kecenderungan membengkak apabila terjadi bencana alam seperti yang terjadi belum lama ini.

Tanpa dibarengi dengan rencana kenaikan tarif Dasar Listrik (TDL), laju inflasi diasumsikan akan tumbuh sebesar 6.5% pada tahun 2007. Selama tahun 2006 ini, laju tekanan inflasi menunjukan adanya pelemahan dan bergerak cukup terkendali, yakni 3.9% hingga agustus 2006 (data BPS). Meskipun pada bulan september dan oktober diyakini akan terjadi lonjakan laju inflasi yang cukup signifikan, namun inflasi akan berada dikisaran angka 8% hingga akhir tahun ini.

Waspadai faktor Global
Sejumlah indikator finansial dalam negeri sedikit memberikan harapan akan terciptanya pertumbuhan ekonomi seperti yang telah diasumsikan dalam RAPBN 2007. Namun, sejumlah faktor global seperti harga minyak dunia serta trend kenaikan suku bunga global turut menjadi faktor penting dalam merumuskan kerangka kebijakan ekonomi ke depan.

Pemerintah cukup optimis dengan mengasumsikan harga minyak dunia di level $65/barel. Dibandingkan dengan kondisi sekarang, asumsi tersebut cukup beralasan mengingat harga minyak dunia saat ini berada dikisaran level $60/barel. Tapi, peluang harga minyak untuk kembali naik masih terbuka lebar.

Melemahnya harga minyak saat ini diperkirakan terkait dengan membaiknya kondisi geopolitik serta melambatnya laju pertumbuhan ekonomi di beberapa negara seperti AS, Jepang, China dan kawasan Eropa.

China kembali menaikan suku bunga Yuan untuk meredam laju pertumbuhan ekonomi yang ekstrim. Negara di kawasan Eropa menaikan suku bunga guna menahan laju inflasi yang terus mengalami kenaikan. Suku bunga US Dolar masih relatif tinggi yang diiringi juga dengan melambatnya laju pertumbuhan ekonomi AS. Sementara Jepang diperkirakan akan kembali menaikan suku bunga Yen tahun depan.

Bagaimana dengan Indonesia?, tentunya perlambatan pertumbuhan di sejumlah negara tersebut juga akan mempengaruhi kinerja perekonomian dalam negeri, khususnya kinerja ekspor. Melambatnya laju pertumbuhan ekonomi seperti di AS, tentunya akan menyebabkan kontraksi di negara lain.

Alhasil, dengan alasan untuk menarik minat investasi di negeri ini, maka asumsi pertumbuhan masih dapat di ”rasional” kan. Dengan harapan tidak terjadi hal-hal negatif diluar perkiraan sebelumnya.

Namun, apakah dapat me”rasional”kan peningkatan angka kemiskinan yang dibarengi dengan menciutnya jumlah lapangan kerja, sementara sejumlah indikator finansial menunjukan perubahan dalam trend yang positif?, Distorsi tentunya.