Wednesday, December 20, 2006

Negosiasi Mata Uang Yuan Cina

Medan Bisnis, 19 Desember 2006
Pada tahun 1998, Pemerintah Cina mematok nilai tukar Yuan di harga 8.28 per Dolar AS. Hal tersebut dikarenakan meroketnya laju pertumbuhan ekonomi China serta adanya tekanan dari negara Eropa dan Amerika

Namun laju pertumbuhan yang tinggi tersebut tidak dapat diimbangi dengan nilai tukar Yuan. Keadaaan tersebut memaksa Yuan kembali menguat sebanyak 5.5% di level 7.83 per US Dolar saat ini.

Pada pertengahan Bulan Desember ini, Gubernur Bank Sentral AS Ben Bernanke beserta Menteri Keuangan Amerika Henry Paulson kembali melakukan kunjungan kenegaraan ke Cina. Tujuan kunjungan tersebut tidak lain adalah untuk meminta Cina memberlakukan kebijakan mata uang yang lebih fleksibel.

Maksudnya, Cina diminta untuk membiarkan mata uang Yuan kembali menguat. Hal tersebut dipicu oleh membengkaknya defisit neraca perdagangan AS yang tak kunjung menunjukan penurunan signifikan. Terlebih lagi apabila harga minyak dunia kembali naik, maka defisit neraca perdagangan AS pun kembali membengkak.

Hingga saat ini, Cina merupakan negara penyumbang defisit terbesar Amerika yang selanjutnya diikuti oleh Jepang, Kanada dan Jerman. Maklum saja, apabila Amerika kembali menekan Cina untuk membiarkan mata uang Yuan menguat.

Dengan menguatnya mata uang Yuan, maka biaya impor negara Cina akan semakin kecil, namun, akan membuat produk ekspor Cina mengalami penurunan daya saing. Saat ini, ekspor Amerika ke China sebesar 4.6%, lebih kecil dari impor Amerika sebesar 14.5%.

Dengan begitu, Revaluasi mata uang Yuan diharapkan nantinya mampu mengurangi impor Amerika, sehingga mengurangi peredaran produk dari Cina di pasaran Amerika. Amerika dan sejumlah negara Eropa lainnya menuduh Cina telah melakukan kecurangan dengan tetap mempertahankan mata uang Yuan melemah.

Akan tetapi sejumlah hasil penelitian menunjukan bahwa tanpa Cina, Amerika juga akan tetap mengalami defisit neraca perdagangan dengan sejumlah negara mitra dagang Amerika lainnya. Namun, sebuah studi yang lain menunjukan angka defisit neraca perdagangan AS akan turun signifikan tanpa memperhitungkan defisit yang ditimbulkan dari Cina.

Mata uang Yuan Cina atau biasa disebut dengan renminbi masih berpotensi menguat signifikan terhadap US Dolar, walaupun seandainya Cina membiarkan pergerakan mata uangnya berdasarkan mekanisme pasar. Bahkan, sejumlah kalangan optimis Yuan akan menguat hingga diatas 15% dalam kurun waktu 2 tahun mendatang.

Namun, apakah benar dengan melemahnya mata uang Yuan, maka defisit neraca perdagangan AS akan berkurang. Sebuah studi yang dilakukan oleh The Cato Institute’s Center for Trade Policy Studies, menyimpulkan bahwa melemah/menguat nilai tukar mata uang suatu negara tidak akan berdampak langsung terhadap defisit/surplus neraca perdagangan negara tersebut.

Misalnya Kanada, yang mata uangnya sudah terapresiasi sebesar 23% sejak tahun 2002 hingga 2005. Namun, bagaimana dengan defisit neraca perdagangan Amerika terhadap Kanada?, Defisit Amerika kembali membengkak hingga 58% dari $48 Milyar menjadi $76 Milyar.

Jadi, kebijakan Amerika yang menekan Cina adalah sangat beresiko. Kalau sekiranya Amerika ingin membicarakan defisit neraca perdagangan, ada baiknya orang-orang Amerika dianjurkan untuk lebih banyak menabung daripada berbelanja atau konsumsi.

Harga Emas Dunia Kembali Turun

Medan Bisnis, 18 Desember 2006
Menguatnya mata uang US Dolar membuat sejumlah manager hedge fund mengalihkan investasinya dari emas ke US Dolar. Hal tersebut berdampak pada melemahnya harga emas dunia. Padahal harga emas dunia sempat menyentuh level tertinggi di harga $649.50/troy ounce (01 Desember 2006). Level tersebut merupakan level tertinggi dari perdagangan 6 minggu sebelumnya.

Harga emas telah jatuh secara gradual seiring dengan aksi ambil untung para pemegang emas menjelang perayaan Natal dan Tahun Baru. Aksi jual emas diperkirakan akan berlangsung hingga awal bulan Januari 2007 mendatang.

Sejumlah faktor lain, seperti naiknya harga minyak dunia di level $62/barel saat ini, diperkirakan tidak akan berpengaruh banyak pada harga emas. Hal ini dikarenakan perdagangan emas yang relatif sepi menjelang akhir tahun.

Pasar biasanya mengantisipasi kenaikan harga minyak dunia dengan melakukan aksi beli emas untuk menghindari laju tekanan inflasi. Namun, dengan relatif sepinya pasar saat ini, harga emas diperkirakan akan bergerak stabil dengan kecenderung melemah.

Kalaupun harga emas nantinya turun signifikan, namun diperkirakan tidak akan jatuh hingga dibawah $610/troy ounce. Sejumlah analis memperkirakan aksi ambil untung saat ini tidak akan berlangsung lama seiring dengan semakin tingginya harga minyak dunia saat ini. Peluang naiknya harga emas masih terbuka lebar.

Harga Minyak Dunia
Sementara itu, harga minyak dunia mulai merangkak naik seiring dengan langkah negara anggota OPEC (Organisation of Petrolium Exporting Countries) yang akan kembali menurunkan produksinya mulai bulan Februari mendatang.

Melonjaknya harga minyak dunia saat ini juga tidak terlepas dari meningkatnya permintaan minyak di Amerika seiring dengan musim dingin di negara tersebut. Meski demikian permintaan tersebut nantinya hanya akan bersifat sementara, karena meningkatnya kebutuhan akan minyak lebih bersifat musiman.

Namun, bukan berarti ada jaminan bahwa harga minyak dunia akan kembali turun. Sejauh ini, sentimen yang datang lebih dikarenakan adanya penurunan produksi serta meningkatnya permintaan di sejumlah negara dengan pertumbuhan ekonomi yang pesat seperti China dan India.

Kenaikan harga minyak nantinya juga akan membuat sejumlah mata uang terutama US Dolar kembali melemah. Selain itu, dengan semakin pesatnya laju pertumbuhan suatu negara akan membuat sejumlah harga komoditas logam kembali naik. Seiring dengan meningkatnya kebutuhan akan logam.

Sehingga, kemungkinan di tahun 2007 adalah bahwa naiknya harga minyak dunia akan diiringi dengan naiknya harga barang komoditas dari logam seperti emas dan platina. Bahkan, sejumlah analis memperkirakan harga emas berpotensi menembus level $650/troy ounce tahun depan. Hal tersebut nantinya akan berpengaruh bagi kenaikan harga emas di dalam negeri.

Monday, December 11, 2006

Ekonomi AS Memburuk, US Dolar Terpuruk

Medan Bisnis, 11 Desember 2006
Bank Sentral AS atau yang biasa disebut The FED masih optimis mengenai prospek perekonomian Amerika kedepan, meskipun tanda-tanda melemahnya sektor perumahan di AS semakin jelas.

Sektor perumahan yang merupakan andalan negeri Paman Sam tersebut merupakan indikator utama ekonomi yang sangat berpengaruh bagi pergerakan US Dolar maupun data-data perekonomian Amerika lainnya.

US Dolar sendiri terpantau melemah terhadap mata uang Euro bersamaan dengan liburnya market Amerika yang merayakan Thanks Giving Day (24/11). Meskipun pada saat itu tidak ada data perekonomian AS yang dirilis, namun pergerakan pasar sangat berfluktuasi dan membawa Euro menguat hingga ke level 1.31 terhadap US Dolar untuk pertama kalinya sejak April 2005.

Melemahnya US Dollar tidak terlepas dari akumulasi serangkaian perkembangan negatif dalam beberapa pekan sebelumnya. Selain itu, isu diversifikasi cadangan devisa bank-bank sentral turut memberikan kontribusi negatif bagi pergerakan US Dolar.

Bahkan, Wakil Gubernur Bank Sentral China (PboC) Wu Xiaoling dalam sebuah artikelnya menyatakan bahwa sejumlah negara di Asia berpotensi mendapatkan kerugian dari terdepresiasinya mata uang US Dolar, mengingat porsi US Dolar dalam cadangan devisa sangat mendominasi.

Kembali ke fundamental ekonomi AS, 5 dari 10 data yang menyusun indeks sektor manufaktur ISM (Institute for Supply Management) Amerika mencatatkan penurunan. Indeks yang menunjukan kondisi sektor manufaktur nasional AS tersebut untuk bulan November mengalami penurunan hingga dibawah angka 50 sejak April 2003.

Terkait dengan hal tersebut US Dolar kembali tumbang, bahkan spekulasi yang berkembang menyebutkan bahwa Bank Sentral AS akan memotong suku bunganya (The FED Fund Rate) pada awal tahun 2007 mendatang.

Berbeda dengan ISM di sektor manufaktur, ISM di sektor jasa Amerika yang semula diprediksi turun ternyata mengalami kenaikan. US Dolar sempat terkoreksi akibat spekulasi yang berkembang sebelumnya. Indeks sektor jasa ISM selama bulan November naik menjadi 58.9 dari bulan sebelumnya sebesar 57.1. padahal spekulasi yang berkembang sebelumnya menyebutkan bahwa ISM Services akan turun dikisaran angka 55.5.

Mengingat sektor jasa menguasi lebih kurang 70% perekonomian Amerika, menguatnya data tersebut berhasil menahan laju pelemahan US Dolar serta kembali menumbuhkan ekspektasi bahwa Bank Sentral AS tidak akan memotong suku bunganya di tahun 2007 mendatang.

Terkait dengan hal itu, Euro melemah terhadap US Dolar hingga dikisaran harga 1.3286/US Dolar (05/12). Namun solidnya data perekonomian di Zona Euro khususnya PMI sektor jasa serta Retail Sales yang naik diluar perkiraan sebelumnya, turut menahan laju pelemahan mata uang Euro. Terhadap Poundsterling, US Dolar kembali menguat 0.3% di level 1.9730 dari level pembukaan.

Terhadap Yen, US Dolar juga menguat sekitar 0.5%. namun, US Dolar sempat terpuruk sebelumnya di level 114.40 seiring dengan pernyataan yang dilontarkan Atsushi Mizuno anggota dewan Bank Sentral Jepang (BoJ) yang mengatakan salah apabila BoJ diasumsikan akan menaikan suku bunga hingga semua data perekonomian menunjukan peningkatan.

Terlepas dari semua itu, US Dolar saat ini kembali menguat terhadap mata uang dunia pada perdagangan akhir minggu kemarin (08/12). Terhadap Euro, US Dolar diperdagangkan di level 1.3196, atau menguat 0.6% dari penutupan perdagangan sehari sebelumnya di level 1.3290.

Terhadap GBP, US Dolar menguat 0.5% di level 1.9540 dari penutupan perdagangan sehari sebelumnya di level 1.9641. Terhadap Yen Jepang US Dolar menguat di level 116.29 dari penutupan perdagangan sehari sebelumnya di level 115.19.

Apa gerangan yang membuat US Dolar kembali menguat terhadap rivalnya. Tak lain adalah membaiknya data Non-Farm Payrolls AS yang menunjukan adanya peningkatan. Non-Farm Payrolls adalah data yang menunjukan jumlah tenaga kerja baru di luar sektor pertanian baik yang bekerja Full-Time maupun Part-Time.

Data yang dirilis akhir minggu kemarin, menunjukan bahwa perekonomian Amerika masih berada di “jalur hijau” meskipun indikator ekonomi lainnya di sektor perumahan dan manufaktur mengalami penurunan.

Selama bulan November jumlah tenaga kerja baru yang terserap sebanyak 132.000 jiwa dari rata-rata bulan sebelumnya yang berkisar 79.000 jiwa. Sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja adalah Retail, Restoran serta Perusahaan penyedia jasa kesehatan.

Terkait dengan data tersebut, Spekulasi mengenai penurunan suku bunga US Dolar mulai berguguran. Selain itu, asumsi yang menyebutkan bahwa perekonomian AS mendekati masa resesi juga mulai hilang.
Sejauh ini laju Inflasi di AS belum berada dalam taraf yang mengkhawatirkan. Namun, dengan melemahnya sejumlah data perekonomian AS, diperkirakan Gross Domestic Product (GDP) untuk kuartal 4 2006 berpotensi mencatatkan angka realisasi yang lebih kecil dari kuartal ke 3 yang sebesar 2.2%.

Monday, December 04, 2006

Konsolidasi Pasar Menjelang Rapat Dewan Gubernur BI

Medan Bisnis, 04 Desember 2006
Setelah sempat terkoreksi tajam (37 poin) pada perdagangan hari selasa, IHSG akhirnya kembali menguat pada sesi perdagangan akhir minggu kemarin. Penguatan IHSG terdorong oleh menguatnya indeks bursa regional yang turut diiringi dengan ekspektasi penurunan suku bunga Rupiah.

Selain itu, pelemahan IHSG pada saat itu hanya bersifat teknikal, dimana pelaku pasar merealisasikan keuntungan dengan memamfaatkan penguatan IHSG sebelumnya. Namun, kejatuhan IHSG tersebut malah menyulut keyakinan bahwa IHSG masih akan kembali naik lagi. Aksi beli saham unggulan pun kembali meriah.

Bagaimana dengan Rupiah?, Rupiah sendiri masih relatif stabil kendati memiliki kecenderungan melemah selama sesi perdagangan minggu kemarin. Melemahnya mata uang US Dollar di pasar Global tidak membuat mata uang Rupiah bergerak menguat.

Hal tersebut dapat dimaklumi, karena sebagian pelaku pasar khususnya investor asing kembali mengkonversi Rupiah yang dimiliki dalam SBI (Sertifikat Bank Indonesia) maupun bentuk investasi lain ke mata uang US Dollar. Ekspektasi melemahnya laju tekanan inflasi serta spekulasi penurunan BI Rate diperkirakan menjadi pemicunya.

Akan tetapi, memburuknya kinerja Rupiah selama minggu kemarin tidak terlepas dari permintaan US Dollar oleh korporasi menjelang akhir bulan. Apalagi kalau jumlah permintaan tersebut dikaitkan dengan perayaan keagamaan selama bulan Desember dan menjelang tahun baru, tentunya kebutuhan akan US Dollar juga relatif lebih banyak.

Pergerakan Rupiah dan IHSG kedepan akan sangat bergantung pada keputusan BI dalam menentukan BI rate. Dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada tanggal 07 Desember mendatang, BI diperkirakan akan kembali memotong BI Rate seiring dengan melemahnya laju tekanan inflasi.

Selama bulan November laju inflasi hanya sebesar 0.34%, turun dari bulan sebelumnya sebesar 0.86%. Data tersebut memberikan gambaran yang cukup jelas mengenai arah pergerakan suku bunga nantinya.

Sejauh ini, ekspektasi penurunan suku bunga telah memberikan tekanan terhadap pergerakan Rupiah, namun disisi lain, ekspektasi penurunan suku bunga telah membawa IHSG kembali naik secara signifikan.

Pasar sepertinya sudah mulai mengantisipasi penurunan BI rate sesuai dengan kepentingannya masing-masing. Apabila keadaan ini dibiarkan maka Rupiah berpotensi untuk kembali terkoreksi secara tajam. Tentunya Bank Indonesia menjadi tumpuan harapan agar laju pelemahan Rupiah terhenti.

Dengan beberapa asumsi pasar yang spekulatif, sangat mungkin Rupiah diperdagangkan dalam range yang cukup lebar. Walaupun US Dollar masih menunjukan tren pelemahan terhadap mata uang dunia, namun hal tersebut tidak menjadi jaminan Rupiah akan menguat terhadap US Dollar.

Sejauh ini, suku bunga diperkirakan akan kembali dipotong sebesar 50 basis poin. Namun, dengan mulai bergejolaknya nilai tukar Rupiah saat ini, tidak menutup kemungkinan BI akan memperkecil penurunan suku bunga, sebesar 25 basis poin.