Thursday, December 27, 2007

Kembali Menguatnya US Dolar

Medan Bisnis, 17 Desember 2007
Setelah terpuruk dalam waktu yang cukup lama diakibatkan oleh krisis subprime mortgage AS, US Dolar kembali menguat terhadap hamper semua mata uang dunia dalam perdagangan minggu kemarin. Pemicunya adalah tingginya inflasi serta dirilisnya beberapa data ekonomi yang menunjukan tingginya consumer spending sehingga membantah ekspektasi akan pemotongan suku bunga Bank Sentral Amerika kedepan.

Pada hari selasa minggu kemarin, Bank Sentral AS kembali menurunkan suku bunga sebesar 25 basis poin menjadi 4.25% pada saat ini. Keputusan tersebut membuat sejumlah pelaku pasar kecewa karena tidak sesuai dengan ekspektasi pasar sebelumnya.

Inflasi tetap menjadi fokus pasar selanjutnya, dimana ada kekhawatiran bahwa inflasi di Amerika akan kembali naik dan berpotensi menggiring harga minyak dunia ke level harga yang lebih tinggi lagi. Kekhawatiran tersebut juga telah membawa indeks Wall Street terpuruk setelah sebelumnya menunjukan kinerja yang cukup baik seiring dengan euphoria penurunan suku bunga The FED.

Namun, penguatan US Dolar tersebut akan ditentukan kelanjutannya oleh beberapa data penting yang akan dirilis minggu ini, menjelang perayaan natal. Beberapa data diantaranya yaitu, GDP (Gross Domestic Product), Personal Spending dan Core PCE. Data tersebut akan menjadi acuan apakah inflasi dapat dipertahankan dan akan tetap menjadi penopang bagi penguatan US Dolar nantinya.

Dan apabila inflasi terus bergerak naik maka sudah dapat diperkirakan bahwa kebijakan uang ketat atau biasa disebut dengan tight monetery policy akan tetap dipertahankan. Sehingga, akan memperkecil ruang pertumbuhan ekonomi AS serta akan berdampak pada meningkatnya kredit macet.

Sejauh ini, IMF (international monetery fund) memperkirakan bahwa laju pertumbuhan ekonomi dunia pada tahun 2008 akan melambat yang diakibatkan oleh krisis kredit di pasar keuangan. Memburuknya kinerja ekonomi Amerika paska kenaikan harga minyak dunia oktober silam diperkirakan akan memberikan kontraksi pada melemahnya perekonomian Negara mitra dagang Amerika.

China dan India akan menjadi Negara yang menyumbangkan pertumbuhan ekonomi global yang paling besar. Namun, langkah China yang akan menaikan suku bunganya berpotensi memperkecil laju pertumbuhan global. China yang merealisasikan angka pertumbuhan diatas 11% membuat Negara tersebut perlu melakukan kebijakan uang ketat guna meredam inflasi.

Kembali ke euforia penguatan US Dolar, Rupiah diperkirakan akan tertekan dalam sesi perdagangan menjelang tahun baru 2008. Hal tersebut dikarenakan tingginya permintaan US Dolar oleh korporasi guna memenuhi kewajiban di akhir tahun.

Selain itu melemahnya US Dolar pada sesi perdagangan sebelumnya juga tidak membuat mata uang Rupiah menguat. Faktor eksternal seperti momentum naiknya harga minyak dunia serta ekspektasi penurunan suku bunga The FED juga tidak berpengaruh besar bagi pergerakan Rupiah.

Hal tersebut dikarenakan aksi beli US Dolar yang cukup signifikan baik untuk memenuhi kebutuhan impor minyak maupun kebutuhan rutin menjelang tahun baru. Sehingga dalam beberapa minggu kedepan Rupiah tidak akan beranjak jauh dari level pada saat ini dengan tetap memiliki peluang untuk terus melemah terhadap US Dolar.

Sunday, December 02, 2007

PENTINGNYA PERTUMBUHAN EKONOMI YANG SELARAS DENGAN ALAM

Medan Bisnis, 3 Desember 2007
Dunia kembali dirisaukan oleh isu pemanasan global yang ditandai dengan perubahan iklim bumi yang semakin panas, serta mengancam kelangsungan hidup semua mahkluk yang berada di Bumi. Kalau saja suhu bumi merangkak naik secara konsisten, maka sudah tidak ada gunanya lagi bagi kita untuk terus berkonsentrasi pada pemenuhan kebutuhan duniawi. Karena, pada dasarnya kita tengah menuju pada pemusnahan alam yang disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi itu sendiri.

Selama ini, sebuah negara akan dinilai sukses apabila negara tersebut mampu menyediakan lapangan kerja, menurunkan kemiskinan serta meningkatkan taraf hidup manusia seperti di negara belahan Eropa dan Amerika Serikat. Namun, untuk menciptakan itu semua sebuah negara harus menciptakan iklim investasi yang baik, dan mampu mempercepat laju pertumbuhan ekonomi.

Kalau laju pertumbuhan ekonomi sebuah negara sudah mampu memberikan gambaran hidup ideal seperti yang diharapkan, maka kemakmuran yang diharapkan akan terwujud disamping akan menjadi barometer terhadap negara lain untuk melakukan hal yang sama.
Indonesia juga menganut hal yang sama dalam proses pembangunan selama ini. Jadi, kita semua yang berdomisili di Indonesia juga turut bertanggung jawab terhadap perubahan iklim global yang semakin panas (global warming).

Menurut salah satu karya tulis dari Fakultas Geografi – UGM Yogyakarta menyatakan bahwa, Global warming merupakan fenomena terhadap peningkatan temperatur global dari tahun ke tahun karena terjadinya efek rumah kaca (greenhouse effect) yang disebabkan oleh meningkatnya emisi gas-gas seperti karbondioksida (CO2), metana (CH4), dinitrooksida (N2O) dan CFC sehingga energi matahari terperangkap dalam atmosfer bumi.

Salah satu penyebab terjadinya global warming yang paling mudah kita temui adalah asap knalpot dari kendaraan bermotor serta asap yang dihasilkan dari industri, dan masih banyak lagi yang lainnya. Semakin tinggi kemampuan daya beli (purchasing power) sebuah masyarakat, maka semakin besar potensi masyarakat tersebut dalam memberikan sumbangsih terhadap perubahan iklim global.

Oleh karena itu, negara-negara industri maju seperti Eropa, AS, Jepang, maupun Australia dituding banyak kalangan sebagai negara yang paling bertanggung jawab terhadap perubahan iklim (global warming) yang terjadi pada saat ini. Namun, masih ada negara baru seperti China dan India yang menjadi fokus dunia pada saat ini.

Kedua negara tersebut pada saat ini telah menjadi negara yang berkembang cukup pesat. China rata-rata merealisasikan pertumbuhan ekonomi diatas 10%, sementara India merealisasikan pertumbuhan rata-rata sebesar 9% setiap tahunnya. Pergerakan mata uang kedua negara tersebut juga terus merayap naik terhadap banyak mata uang dunia.

China, India dan Amerika merupakan negara yang menghasilkan polusi terbesar di dunia pada saat ini. Oleh sebab itu cukup beralasan kiranya ketiga negara tersebut menentang kebijakan pengurangan wajib gas rumah kaca yang diinginkan banyak negara Eropa dan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa).

Karena pengurangan wajib gas rumah kaca akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi di negara masing-masing akan melambat. Sementara, percepatan pembangunan serta pengurangan kemiskinan menjadi sangat penting bagi semua negara di belahan dunia ini.
Sejauh ini, belum ada kesepakatan maupun solusi yang dapat mengurangi efek gas rumah kaca. Setiap negara masih mengedepankan pentingnya pertumbuhan bagi kelangsungan masyarakatnya. Pemanasan global bukanlah sebab namun merupakan akibat pemakaian model pembangunan ekonomi yang dianut banyak negera selama ini.

Sehingga sangat penting dibutuhkan sebuah model pembangunan yang berperspektif lingkungan, atau kita justru punah dengan keteledoran kita sendiri dalam menilai sebuah kesejahteraan tanpa memperdulikan lingkungan yang kian tidak bersahabat. Untuk itu, janganlah terlalu risau dengan kenaikan harga minyak belakangan ini, karena kenaikan tersebut juga membawa berkah pelajaran akan pentingnya menggunakan sumber daya alam secara lebih efisien.

Pengalihan Resiko Mata Uang

Medan Bisnis, 26 November 2007
elemahya mata uang US Dolar belakangan ini telah membawa sejumlah pelaku pasar khawatir akan terus berlanjuntnya pelemahan US Dolar dalam jangka panjang. Hal tersebut membuat sejumlah negara arab akan mengganti cadangan devisanya yang semula dalam US Dolar ke dalam sejumlah mata uang termasuk Euro.

Dalam catatan terakhir US Dolar telah melemah terhadap Euro sebanyak 6% seiring dengan pemotongan suku bunga The FED, dan kembali mencatatkan rekor terendah selama 2 tahun terakhir terhadap mata uang Yen Jepang. Aksi carry trade diperkirakan menjadi alasan utama melemahnya mata uang US Dolar terhadap sejumlah mata uang dengan suku bunga yang lebih tinggi.

Pelaku pasar kembali melakukan likuidasi terhadap aset-aset carry trade, hal tersebut membuat permintaan terhadap mata uang Yen Jepang meningkat cukup signifikan. Fundamental ekonomi Amerika yang dinilai rapuh menciptakan ekspektasi akan kembali memburuknya kinerja perekonomian AS dalam waktu yang cukup lama.

Pengalihan resiko (risk aversion) yang terjadi di pasar saat ini diciptakan oleh gejolak fluktuasi harga minyak dunia yang dibarengi dengan memburuknya kinerja perekonomian raksasa dunia Amerika yang terus dihadapkan kepada ketidak pastian.

Banyak Bank Sentral di beberapa negara di belahan dunia yang mengkhawatirkan pergerakan mata uang US Dolar. Hal tersebut sangat berpengaruh karena hampir semua negara di dunia masih menggunakan US Dolar sebagai mata uang utama dalam cadangan terbesar devisa mereka. Hal tersebut juga turut memicu kebijakan sejumlah Bank Sentral yang akan beralih ke mata uang dunia lainnya (diversifikasi). Isu tersebut telah mencuat dan akan memberikan tekanan signifikan bagi pergerakan US$.

Diantara banyak pilihan mata uang, Euro merupakan mata uang yang paling banyak diminati oleh pelaku pasar. Hal tersebut membuat Euro menguat terhadap US$ dan masih akan bergerak naik mendekati 1.5 Euro/US$. Pejabat Bank Sentral Eropa Jean C. Treachet menyatakan bahwa penguatan Euro merupakan pilihan pasar yang percaya terhadap mata uang tersebut.

Nah, bagaimana dengan Rupiah?. Dalam beberapa hari perdagangan terakhir rupiah menunjukan tren penguatan walaupun masih cukup lamban. Pelemahan US Dolar sepertinya tidak serta merta akan diikuti oleh penguatan mata uang Rupiah.

Permintaan US Dolar yang cukup tinggi oleh pemerintah menjelang akhir bulan selalu berimbas negatif terhadap pergerakan Rupiah. Banyak kebutuhan strategis pemerintah di setiap akhir bulan dalam mata uang US Dolar yang selalu memberikan tekanan terhadap Rupiah.
Indonesia yang merupakan negara bukan sepenuhnya pengekspor minyak lagi tentunya membutuhkan banyak dana dalam US$ untuk memenuhi kebutuhan impor minyak dalam negeri. Apabila US Dolar terus menguat dan harga minyak kian tinggi seperti yang terjadi dalam beberapa minggu terakhir, sudah pasti akan menambah beban pemerintah dan akan memperburuk APBN.

Perlukah risk aversion dalam pengelolaan cadangan devisa negara kita?, atau mungkinkah kita menggunakan mata uang dalam transaksi minyak dunia kita?. Pemerintah sejatinya harus bisa mempertimbangkan semua aspek terkait gejolak keuangan global akhir-akhir ini.

Ada pepatah yang mengatakan bahwa jangan tempatkan semua telur dalam satu keranjang. Maka hendaknya pemerintah juga bisa bertindak arif dengan tidak menyimpan cadangan devisanya dalam satu mata uang saja. Karena, fundamental negara dimana mata uang tersebut diterbitkan akan sangat berpengaruh terhadap mata uangnya.

Sunday, November 18, 2007

Ancaman Inflasi Dunia

Medan Bisnis, 19 November 2007
Kenaikan harga minyak dunia telah membawa harga sejumlah kebutuhan pokok manusia kembali terancam naik. Ancaman tersebut terjadi dihampir seluruh belahan dunia dimana akan berdampak pada melambatnya laju pertumbuhan ekonomi dunia serta memperburuk jumlah angka kemiskinan dan pengangguran.

Negara yang tergabung dalam kelompok G-20 diperkirakan akan membahas permasalahan harga minyak dunia yang telah menjadi ancaman serius bagi terus meningkatnya tekanan inflasi. Kenaikan harga minyak telah memaksa sejumlah Bank Sentral di dunia akan menahan suku bunganya untuk menghindari meningkatnya laju tekanan inflasi, termasuk Indonesia.

Kebijakan tersebut tentunya akan membawa dampak negatif yang lebih luas bagi Indonesia sebagai negara berkembang yang justru membutuhkan akselerasi dalam pertumbuhan ekonomi guna mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran. Sementara itu, China masih menjadi negara dengan tingkat inflasi tertinggi di dunia.

Ancaman inflasi yang semakin serius juga akan kian meningkat intensitasnya tatkala Amerika benar-benar menyerang Iran terkait dengan dugaan AS terhadap pembangkit reaktor nuklir Iran. Bahkan, banyak analis yang memperkirakan harga minyak dunia akan menyentuh level $200/barel apabila hal tersebut benar-benar terealisasi.

Kenaikan harga minyak dunia telah membawa biaya transportasi melambung tinggi dan membuat harga sejumlah komoditas seperti Gandum dan CPO (crude palm oil) naik secara sigfnifikan. Bahkan, produsen mie instant terbesar dunia PT. Indofood Sukses Makmur akan kembali menaikan harga mie untuk ketiga kalinya dalam enam bulan guna menutupi pembengkakan biaya yang disebabkan oleh kenaikan harga gandum.

Selain itu, kenaikan harga minyak dunia telah membawa sejumlah indeks bursa kembali turun. Hal tersebut juga berdampak bagi melemahnya nilai tukar rupiah yang kembali diperdagangkan melemah di level 9300-an. Melemahnya nilai tukar akan menambah beban pemerintah serta berpotensi membawa inflasi naik ke level yang lebih tinggi lagi, karena akan menambah biaya produk yang berbasis impor.

Beberapa masalah yang sangat mendasar dan mempengaruhi pergerakan harga minyak dunia saat ini adalah ketegangan politik, perubahan iklim, krisis ekonomi di negara besar, kebutuhan minyak yang tinggi maupun tren pelemahan nilai tukar US Dolar. Dari sekian banyak alasan tersebut ketegangan politik serta resesi ekonomi (suprime mortgage AS) memberikan kontribusi paling besar bagi kenaikan harga minyak.

Selain itu, produksi minyak di sejumlah negara penghasil minyak juga belum mampu menjadi penahan terhadap volatilitas harga minyak dunia yang bergerak sangat liar belakangan ini. Hal tersebut dikarenakan produksi minyak belum mampu memenuhi kebutuhan minyak dunia yang terus meningkat secara signifikan.

Indonesia yang merupakan negara yang juga mengimpor minyak guna memenuhi kebutuhan minyak dalam negerinya tidak dapat mengelak bahkan terancam terpuruk. Hal tersebut dikarenakan asumsi harga minyak di APBN yang jauh lebih rendah dari harga di pasar global saat ini. Defisit APBN pun kian bertambah seiring dengan melonjaknya harga minyak dunia. Namun, rasa nyaman di masyarakat muncul setelah pemerintah menekankan bahwa tidak akan terjadi kenaikan harga minyak dunia hingga tahun 2009 mendatang.

Akankah kita nyaman dengan pernyataan tersebut? Bisa Ya maupun Tidak. Karena pemerintah tentunya mempunyai alasan yang melandasi pernyataan tersebut. Bisa saja karena alasan finansial sampai ke alasan politis yang terkadang sulit diterima akal sehat.

Kalau Inflasi telah menjadi virus disejumlah negara di belahan dunia dan sulit untuk disembuhkan, maka keadaan tersebut sejatinya akan mempengaruhi kinerja ekonomi dalam negeri. Apabila negara tujuan ekspor Indonesia menjadi lamban pertumbuhan ekonominya karena kenaikan harga minyak, maka demikian pula akan terjadi perlambatan ekonomi Indonesia khususnya di bidang ekspor.

Demikian pula dengan impor, kenaikan harga minyak dunia juga akan turut mengurangi Impor Indonesia karena akan menambah laju tekanan Inflasi. Kalau sudah begini maka kenaikan harga minyak akan membuat sejumlah industri akan menurun kinerjanya atau bahkan bangkrut. Hal tersebut tentunya akan berkorelasi terhadap pemutusan hubungan kerja (PHK) yang akan menambah jumlah pengangguran dan angka kemiskinan.

Peluang US Dolar Melemah Terbuka Lebar

Medan Bisnis, 12 November 2007
Setelah sempat tertekan menyusul keputusan Bank Sentral Amerika yang memotong besaran suku bunga sebesar 25 basis poin menjadi 4.5% pada saat ini, US Dolar diperkirakan masih akan mengalami tekanan pada perdagangan ke depan seiring dengan tingginya harga minyak dunia yang turut diiringi dengan meningkatnya konsumsi minyak menjelang musim dingin tahun ini, serta pernyataan negara-negara eropa yang lebih confidence terhadap penguatan mata uang Euro seiring dengan tingginya harga minyak dunia saat ini.

Selain memutuskan pemotongan suku bunga 25 basis poin pada perdagangan kamis minggu kemarin, Bank Sentral Amerika juga memberikan sinyal pemotongan suku bunga lagi pada pertemuan FOMC (Federal Open Market Committee) awal Desember mendatang. Bahkan pasar berspekulasi bahwa akan terjadi pemotongan suku bunga sebesar 50 basis poin. Apabila pasar terus berkosentrasi pada hal tersebut, sudah tentunya US Dolar tidak akan menarik dan akan terus mengalami tekanan jual US$.

Dari sisi politis, pernyataan pemerintah Amerika yang akan terus menekankan akan tetap memberikan sanksi terhadap Iran. Pernyataan tersebut tentunya tidak akan memberikan kontribusi positif terhadap pasar finansial Amerika, dan mengabaikan buruknya kondisi perekonomian AS yang belum mampu menuntaskan krisis subprime-mortgage Amerika.

Beralih ke data Non Farm Payrolls (NFP) Amerika yang dirilis menguat pada jum'at minggu kemarin, data tersebut dirilis membaik - terjadi kenaikan jumlah tenaga kerja baru sebanyak 160.000 jiwa - dari bulan sebelumnya sebesar 110.000 jiwa. Namun, hal tersebut tidak menolong US Dolar dan belum akan merubah ekspektasi pasar yang secara keseluruhan masih meragukan perekonomian Amerika.

Sementara itu, Bank Sentral Inggris (BoE) dan Eropa (ECB) kembali mempertahankan besaran suku bunganya masing-masing di level 5.75% (BoE) dan 4% (ECB). Keputusan tersebut tentunya berdampak pada melemahnya mata uang US Dolar terhadap mata uang Euro dan GBP.

Namun, data terbaru yang dirilis pemerintah AS kamis malam kemarin menyebutkan bahwa defisit neraca perdagangan Amerika (trade balance) kembali turun hingga ke level terendah dalam 2 tahun terakhir. Defisit neraca perdagangan AS selama bulan September sebesar $56.5 Milyar dari bulan Agustus sebesar $56.8 Milyar atau turun sebesar 0.6%.

Membaiknya defisit tersebut dikarenakan terjadi penurunan suku bunga US Dolar yang diiringi dengan melemahnya mata uang US Dolar sebesar 8% terhadap sejumlah mata uang utama dunia lainnya. Melemahnya US Dolar akan membuat kinerja ekspor Amerika meningkat sehingga mampu mengurangi ketergantungan impor dari negara mitra dagang AS khususnya China.

Akan tetapi, data tersebut bukan jaminan bahwa US Dolar akan kembali menguat dalam beberapa waktu ke depan. Tren kenaikan harga minyak dunia yang turut diiringi dengan meningkatnya konsumsi serta tren pergerakan suku bunga negara eropa yang cenderung stabil akan memberi tekanan terhadap mata uang US Dolar.

Terlebih lagi apabila tren penurunan suku bunga The FED berlanjut. Maka hal tersebut akan memicu pertumbuhan ekonomi Amerika serta akan membuat kebutuhan akan minyak AS yang lebih besar lagi.

Dalam Negeri
Kembali ke dalam negeri, Badan Pusat Statistik kembali mengumumkan besaran inflasi selama bulan Oktober sebesar 0.79% minggu kemarin. Tingginya inflasi pada saat ini seiring dengan perayaan keagamaan membuat pasar ragu apakah akan terjadi penurunan suku bunga lagi dalam RDG (Rapat Dewan Gubernur) BI pada minggu ini.

Di tengah ketidak pastian ekonomi global saat ini, sangatlah tepat kiranya apabila BI menunda menurunkan suku bunga hingga akhir tahun. Hal tersebut cukup beralasan seiring dengan masih adanya perayaan keagamaan serta ketidakpastian mengenai gejolak harga minyak dunia yang diperkirakan masih akan terus mengalami kenaikan.

Kenaikan harga minyak dunia tentunya akan menambah defisit APBN karena hingga saat ini masih dipatok lebih rendah dari harga minyak sebenarnya. Bahkan kebijakan yang tidak populis (menaikan harga minyak domestik) kerap muncul ditengah menghangatnya suhu politik menjelang Pemilu tahun 2009.

Meskipun BI kerap menyatakan akan melihat tren pergerakan bunga The FED, namun hal tersebut tentunya tidak akan menjadi acuan mutlak untuk menentukan pergerakan BI rate. Interest rate differential antara BI rate dan The FED sudah melebar. Namun, beberapa faktor fundamental seperti tingginya inflasi dan harga minyak berpotensi memudarkan harapan akan terjadi penurunan suku bunga lagi.

Apabila dikaitkan dengan tujuan politis, pemerintah saat ini sepertinya akan memilih untuk tetap tidak menaikan harga minyak dalam negeri, karena akan memperburuk kinerja pemerintah di mata rakyat dan akan mempengaruhi proses pencalonannya pada pemilu yang akan datang.

Sunday, November 04, 2007

NFP membaik, FED Menunjukan Sikap

Medan Bisnis, 8 Oktober 2007
Pasar menyambut baik dirilisnya data NFP (Non Farm Payrolls) yang dirilis pemerintah AS hari Jumat kemarin dengan kembali memburu asset dalam US Dolar. Maklum data ketenagakerjaan tersebut direvisi lebih baik 10% (pertumbuhan 110.000 tenaga kerja baru) dari ekspektasi pasar sebelumnya sebesar 100.000 tenaga kerja baru. Sinyalemen pemotongan suku bunga oleh Bank Sentral AS pun berguguran.

Meski demikian tren pertumbuhan tenaga kerja di Amerika tidaklah menunjukan tren kenaikan. Selama tiga bulan terakhir rata-rata pertumbuhan tenaga kerja merealisasikan angka sebesar 96.000 jiwa, atau turun sebesar 25% dari rata-rata pertumbuhan tenaga kerja 3 bulan sebelumnya sebesar 126.000 jiwa.

US Dolar pun kembali menguat terhadap sejumlah rivalnya. Terutama terhadap mata uang Euro dan Yen Jepang. Data bloomberg menyebutkan bahwa US Dolar menguat sebesar 1.8% terhadap Yen Jepang diposisi 116.97, dan menguat sebesar 0.9% terhadap mata uang Euro di level 1.4136/US Dolar setelah sempat terpuruk di level 1.4283/US Dolar.

Selain itu, US Dolar juga menguat terhadap mata uang Poundsterling Inggris dalam sepekan ini. Keputusan Bank of Englad yang tetap mempertahankan besaran suku bunganya dikisaran level 5.75%. Keputusan BoE tersebut tidak berpengaruh banyak terhadap mata uang GBP, dimana pasar diperkirakan sudah mengantisipasi sebelumnya. Memburuknya kinerja ekonomi di sektor perumahan masih menjadi kekhawatiran pelaku pasar untuk terus mengkoleksi asset dalam mata uang GBP.

Namun, US Dolar kembali melemah terhadap mata uang Aussie (Australian Dolar). Namun, menguatanya AUD lebih dikarenakan sejumlah faktor teknikal, dan hanya sedikit terdorong oleh keputusan Bank Sentral Australia (RBA) yang masih tetap mempertahankan besaran suku bunganya dikisaran level 6.5%.

Meski demikian, penguatan US Dolar diperkirakan tidak akan bertahan lama, karena secara keseluruhan data perekonomian AS masih menunjukan tren negatif. Data Non Farm Payrolls AS menyisakan bahwa unemployment rate masih menunjukan tren kenaikan dan saat ini berada dikisaran level 4.7%. Hal tersebut mengindikasikan bahwa "krisis" yang dikhawatirkan seperti sekarang ini hanyalah masalah waktu. Walalupun tetap tercipta pertumbuhan peluang kerja di Amerika, namun pertumbuhan tersebut belum dapat mengimbangi laju pertumbuhan para pencari kerja baru.

Harga Minyak Dunia
Sementara itu, harga minyak dunia kembali turun seiring dengan pengumuman pemeritah Amerika mengenai data ketenaga kerjaan yang direvisi membaik. Hal tersebut berdampak pada pudarnya ekspektasi bahwa The FED akan kembali memotong suku bunganya sekali lagi dalam tahun ini. Sebelumnya harga minyak dunia mengalami lonjakan hingga di atas $80/barel setelah Bank Sentral Amerika memotong besaran suku bunganya sebesar 50 basis poin.

Hal tersebut mendukung asumsi yang menyebutkan bahwa roda perekononomian Amerika akan kembali tumbuh dan berimbas pada meningkatnya konsumsi bahan bakar guna menggerakan perekonomian Amerika, sehingga mempengaruhi peningkatan permintaan terhadap minyak dunia. Selain itu, harga komoditas dunia diperdagangkan dalam mata uang US Dolar, sehingga pelemahan pada mata uang akan berdampak sebaliknya terhadap harga komoditas.

Walaupun sejauh ini harga minyak dunia masih mengalami tren kenaikan, namun laju penguatan harga minyak tersebut diperkirakan tidak akan mengalami laju kenaikan yang ekstreem seiring dengan keputusan OPEC (Organization of Petrolium Exporting Countries) yang akan menambah jumlah output sebanyak 500.000 barel perhari guna mengantisipasi meningkantnya laju permintaan minyak dunia. OPEC saat ini men-supply 40% terhadap kebutuhan minyak Global.

Wednesday, October 03, 2007

Event Penting Penggerak Pasar

Medan Bisnis, 01 Oktober 2007
Dalam minggu ini, banyak sekali event (data ekonomi) penting yang mampu menjadi motor utama penggerak pasar. Sejumlah Bank Sentral seperti RBA (Reserve Bank of Australia), BoE (Bank Of England) dan ECB (Europe Central Bank) dijadwalkan akan mengumumkan besaran suku bunganya. Selain itu ada data Non-Farm Payrolls Amerika yang akan dirilis pemerintah AS pada akhir minggu ini.

Dari sekian banyak even penting tersebut, belum bisa dipastikan manakah even yang akan menjadi penolong bagi US Dolar untuk kembali menguat terhadap semua rivalnya. Tren pelemahan US Dolar diperkirakan masih akan menjadi tema dalam perdagangan beberapa hari ke depan dalam minggu ini.

Bank Sentral Amerika yang telah menurunkan suku bunganya diperkirakan tidak akan mempengaruhi Bank Sentral Inggris dan Eropa yang justru masih berkonsentrasi pada masalah tingginya inflasi. Dari dua Bank Sentral tersebut tentunya bisa diperkirakan tidak akan terjadi penurunan suku bunga. Meski demikian sempat beredar rumor dikalangan pelaku pasar bahwa akan terjadi pemotongan suku bunga oleh Bank Sentral Inggris.

Nah, US Dolar tentunya akan sangat bergantung pada data Non-Farm Payrolls (NFP) yang akan memberikan andil besar bagi pergerakan US Dollar nantinya. Walaupun sempat di revisi turun, namun, belum bisa ada yang memastikan apakah data tersebut nantinya akan direvisi lebih baik.

Selain NFP, pada tanggal 01 Oktober mendatang, pemerintah Amerika juga akan merilis ISM (Institute for Supply Management) Manufacturing. Data tersebut merupakan indeks sektor manufaktur, dimana angka 50 akan menjadi indikator bahwa secara keseluruhan ekonomi di sektor manufaktur Amerika mengalami kenaikan (expanding). Sementara, angka di bawah 50 akan memberikan gambaran sebaliknya. Data tersebut masih menunjukan performa yang baik (diatas 50 sejak bulan Februari lalu).

Sementara itu, RBA atau Bank Sentral Australia diragukan apakah akan memotong besaran suku bunganya yang saat ini masih bertengger di level 6.5%. Meski demikian banyak pelaku pasar yang berasumsi bahwa RBA akan mengikuti langkah The FED. Mata uang AUD (Australian Dolar) diperkirakan akan bergerak dalam range yang sempit menjelang pemutusan suku bunga oleh RBA pada hari selasa besok.

Kembali ke Indonesia, BI diperkirakan akan kembali menurunkan BI rate sebesar 25 basis poin menjadi 8% dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI minggu depan. Hal tersebut sangat dimungkinkan karena sangat diuntungkan oleh penguatan Rupiah dan IHSG yang cukup tajam akhir-akhir ini.

Pelemahan US Dolar yang turut diiringi sinyal akan tetap diturunkannya The FED Fund Rate (suku bunga $) di tahun ini memberikan peluang yang cukup besar bagi Bank Indonesia untuk kembali menurunkan BI rate. Akan tetapi, keputusan BI tersebut nantinya akan melihat besaran inflasi selama bulan September yang akan dirilis oleh Biro Pusat Statistik (BPS) pada tanggal 01 Oktober mendatang.

Meski demikian ada beberapa faktor yang dapat dapat menopang keputusan BI dalam menurunkan suku bunga. Diantara yakni : tingginya cadangan devisa (51,4 Milyar US Dolar / 31 Agustus 2007), tren penurnan suku bunga global, penguatan nila tukar rupiah dan IHSG serta relatif terkendalinya Inflasi walaupun sempat terjadi kenaikan terhadap harga sejumlah bahan makanan.

Sehingga, dengan membaiknya indikator ekonomi tersebut dapat mereduksi kemungkinan-kemungkinan negatif yang dapat ditimbulkan oleh penurunan BI rate nantinya, termasuk depresiasi terhadap nilai tukar rupiah, maupun terhadap permintaan akan surat utang Negara.

Ekuilibrium Pasar Finansial

Medan Bisnis, 24 September 2007
Diluar ekspektasi, The FED (Bank Sentral Amerika) mengeluarkan kebijakan yang tergolong berani dengan menurunkan besaran suku bunga US Dolar sebesar 50 basis poin menjadi 4.75% pada saat ini. Kebijakan tersebut telah membawa US Dolar melemah terhadap hampir semua mata uang Global, terlebih terhadap mata uang Euro, yang untuk pertama kalinya menembus level psikologis 1.40/US Dolar.

Kebijakan tersebut diambil guna menghindari resesi ekonomi AS yang disebabkan oleh kredit macet yang besar di sektor properti Amerika. Gejolak pasar finansial pada saat ini tentunya akan sangat berfluktuasi secara tajam. Namun, dengan kebijakan The FED tersebut bisa diperkirakan bahwa pergerakan pasar finansial saat ini jelas tidak akan menguntungkan US Dolar walaupun ada sentimen positif dari kenaikan Indeks Bursa Dow Jones.

Penurunan bunga The FED Fund Rate merupakan implikasi dari ketidakseimbangan ekonomi Amerika, sehingga dibutuhkan penurunan suku bunga agar terjadi kesimbangan baru yang mampu menghindari negeri paman sam tersebut dari resesi ekonomi.

Apabila Amerika saat ini tengah melakukan penyesuaian terhadap besaran suku bunganya, maka momen tersebut sejatinya akan diikuti oleh negara lain untuk menyesuaikan kondisi perekonomian negara masing-masing untuk dapat membentuk keseimbangan yang baru. Di Indonesia, penurunan bunga The FED telah membawa IHSG menembus level psikologis 2.300 dan turut diiringi dengan penguatan Rupiah dikisaran level 9.100 dari sebelumnya bertengger di kisaran level 9.400/US Dolar.

Dan apabila penguatan Rupiah secara tajam tidak diikuti dengan langkah pemerintah untuk melakukan intervensi, maka akan melukai kinerja ekspor negeri ini. Pemerintah benar-benar dituntut untuk berpikir secara matang dalam memanfaatkan momentum seperti sekarang ini. Penurunan suku bunga pada waktu yang tepat serta dengan besaran yang tepat pula akan menentukan keseimbangan pasar keuangan domestik.

Terlebih, pada saat ini, penurunan suku bunga federal fund turut dibarengi dengan melonjaknya harga minyak mentah dunia yang telah menembus level $81/Barel. Sejarah menyebutkan bahwa kenaikan harga minyak dunia selalu diiringi dengan tekanan terhadap pergerakan mata uang Rupiah. Sehingga kenaikan harga minyak tersebut menjadi faktor penting dalam pengambilan keputusan penurunan BI Rate nantinya.

Lain lagi dengan realita kenaikan harga sembako akhir-akhir ini. Aksi beli konsumen di bulan Ramadhan ini telah memberikan dampak psikologis bagi kenaikan harga sejumlah barang. Hal ini tentunya akan memicu tingginya inflasi selama bulan Ramadhan ini. Sejauh ini, pemerintah telah mengumumkan bahwa persediaan bahan makanan akan tetap mencukupi hingga lebaran nanti. Jadi, bisa diambil kesimpulan, konsumer habit (aksi beli sembako besar-besaran) menjadi faktor utama tingginya harga bahan makanan pada saat ini.

Ada pengamat yang berpendapat penurunan suku bunga hendaknya dilakukan apabila laju inflasi berada di bawah 1%. Namun, tingginya laju inflasi yang sifatnya hanya terjadi pada saat-saat tertentu haruslah mengacu pada target inflasi pemerintah secara menyeluruh (pertahun). Selama laju inflasi masih berada dalam koridor seperti yang ditargetkan sebelumnya, serta sangat diuntungkan oleh kebijakan suku bunga negara lain seperti sekarang ini, maka tepat kiranya momen penurunan BI Rate.

Akan tetapi ekonomi bukanlah seputar hal mengenai suku bunga saja. Kita tidak mungkin secara terus menerus berkutat pada perbedaan BI Rate dengan The FED maupun negara lain hanya sebagai alasan guna menarik minat investor asing untuk meng-endapkan dananya dinegeri ini.

Permasalahan lain seperti pergerakan sektor riil, rendahnya penyerapan APBD, neraca berjalan, inflasi serta masalah struktural negeri ini merupakan hal yang patut diperhatikan daripada hanya mengeluarkan sebuah kebijakan moneter. Jangan pernah hanya mengandalkan suku bunga dalam menciptakan sebuah ekuilibrium yang baru.

Thursday, September 20, 2007

Tekanan Pemotongan Suku Bunga The FED Semakin Kuat

Medan Bisnis, 17 September 2007
Lengkap sudah alasan yang mengharuskan The FED untuk kembali memangkas suku bunganya. Pasar merespon kondisi perekonomian Amerika belakangan ini dengan kepanikan yang akhirnya berbuntut pada lukuidasi asset-asset dalam US$ secara besar-besaran. Dan kepanikan diperkirakan akan bertambah besar apabila The FED bersikeras untuk tetap mempertahankan suku bunganya.

Pernyataan-pernyataan optimis dari pejabat Bank Sentral AS sebelumnya mungkin sudah tidak begitu dihiraukan lagi oleh pasar pada saat ini, karena pernyataan optimis pejabat Bank Sentral AS tidak didukung oleh data-data perekonomian yang justru tidak berkorelasi dengan statement sebelumnya.

Data ketenagakerjaan yang merealisasikan penurunan menjadi pukulan keras bagi kinerja mata uang US$ yang terpuruk dalam level terendah selama 15 tahun terakhir terhadap mata uang utama dunia. Penurunan tersebut menjadi kekhawatiran pasar akan terjadinya resesi serta tekanan bagi Bank Sentral AS untuk menurunkan suku bunganya.

Lebih parahnya lagi, data penyusutan tenaga kerja sebanyak 4.000 jiwa selama bulan Agustus juga diikuti oleh revisi penyusutan selama bulan Juni dan Juli dari angka aktual sebelumnya. Pada saat ini, The FED benar-benar tidak diuntungkan dari sisi manapun untuk setiap kebijakan yang akan diambil.

Daya tarik Dollar sebagai Safe Heaven terkikis setelah kembali mencatatkan pelemahan terhadap sejumlah mata uang utama dunia seperti Euro. Hal tersebut dikarenakan bertolak belakangnya pernyataan serta kebijakan yang akan diambil oleh Gubernur Bank Sentral AS (Ben Bernanke) dengan Gubernur Bank Sentral Eropa (Jean C. Trichet).

Kalau sebelumnya Bernanke menyatakan akan kemungkinan akan dipangkasnya suku bunga The FED. Trichet justru berkosentrasi pada permasalahan tingginya laju inflasi yang notabene akan memberikan ekspektasi kenaikan suku bunga Euro. Dan Euro diperkirakan akan terus menguat apabila kedua Gubernur Bank Sentral tersebut tetap bersikukuh pada pernyataannya.

Sejauh ini, ekspektasi yang berkembang menyebutkan bahwa kemungkinan Bank Sentral AS hanya akan memotong suku bunganya sebesar 25 basis poin pada tanggal 18 September mendatang. Hal tersebut sangat dimungkinkan karena The FED diperkirakan akan bermain aman atau “hanya sekedar menutup luka”.

Namun, berapa pun besarnya suku bunga yang akan dipotong, hal tersebut tetap berdampak negatif bagi US Dolar karena tetap berimplikasi pada mengecilnya selisih bunga US$ terhadap mata uang lainnya.

Sementara itu, Rupiah yang belakangan ini tidak beranjak dari level 9.400-an diperkirakan akan terus tertahan dibawah level 9.500 hingga ada sentimen baru di pasar. Ekspektasi pasar masih seputar BI rate yang diperkirakan akan kembali diturunkan seiring dengan rencana penurunan suku bunga oleh Bank Sentral Amerika.

Pernyataan Gubernur Bank Sentral Indonesia sebelumnya yang akan lebih fokus terhadap perkembangan bunga Bank Sentral Amerika, membuat pasar menilai bahwa penurunan suku bunga The FED nantinya tidak akan begitu menguntungkan bagi Rupiah karena juga akan diikuti oleh penurunan BI rate.

Ekonomi AS Rapuh, Peluang BI Rate Turun Semakin Besar

Medan Bisnis, 10 September 2007
Hari jum’at kemarin merupakan hari jum’at pertama dalam bulan ini, dimana banyak pengamat yang menanti laporan data NFP (Non-Farm Payroll) Amerika, yang akan menjadi penentu arah kemanakah Bank Sentral Amerika (The FED) akan membawa negaranya dari krisis gagal bayar serta mortgage sector crisis.

Data Non-Farm Payrolls adalah data yang menunjukan jumlah tenaga kerja baru dari sektor non pertanian, baik yang bekerja full time maupun part time serta mendapat upah resmi. Data tersebut sangat berguna sebagai indikator laju pertumbuhan ekonomi AS, yang nantinya akan menentukan tingkat konsumsi warga Negara AS yang berkorelasi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Amerika. Data tersebut juga digunakan para trader dalam mengambil keputusan transaksi di pasar keuangan.

Sebelumnya dalam laporan Fed’s Beige Book sejumlah 12 pejabat bank sentral di 12 distrik Negara Amerika Serikat menyatakan bahwa terjadi perlambatan di sektor perumahan, namun tetap meng-klaim bahwa secara keseluruhan sektor keuangan belum berada dalam taraf yang mengkhawatirkan.

Namun data NFP yang dirilis pemerintah Amerika jum’at kemarin menunjukan bahwa telah terjadi permasalahan serius, dimana terjadi penurunan jumlah tenaga kerja sebanyak 4.000 jiwa (selama bulan agustus), jauh dari ekspektasi sebelumnya terjadi kenaikan sebesar 110.000 jiwa. Data tersebut membuat US Dolar terpuruk terhadap sejumlah hard currency lainnya. Data tersebut sekaligus menunjukan penurunan pertama sejak 4 tahun terakhir.

Implikasinya jelas, The Fed diperkirakan akan menurunkan suku bunganya (The Fed Fund Rate) dikisaran level 5%. Hal tersebut juga pernah diungkapkan oleh Gubernur Bank Sentral AS serta Presiden George W. Bush. Namun, langkah yang tidak populer tersebut justru diambil pada saat mata uang US Dolar mendapat tekanan serius di pasar global seperti yang terjadi pada saat ini.

Bagaikan 2 sisi mata pisau, The Fed dihadapkan pada dua pilihan yang sama-sama mempunyai dampak negatif terhadap perekonomian AS. Namun, melambatnya sektor perumahan Amerika sepertinya menjadi perhatian serius, sehingga pemerintah Amerika lebih memilih untuk memangkas suku bunganya.

Demi meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi Amerika, mungkin hal tersebut yang menjadi alasan utama negeri paman sam mengambil keputusannya. Akan tetapi, dengan diturunkannya The Fed Fund Rate maka akan membuat perbedaan suku bunga Amerika dengan Negara lain akan mengecil. Hal tersebut tentunya akan memicu likuidasi asset dalam US Dolar secara besar-besaran, yang nantinya akan berimbas pada melemahnya mata uang US$.

Kalau sudah melemah, maka laju tekanan inflasi yang disebabkan oleh arus masuk barang dari luar akan semakin meningkat. Terlebih Amerika selalu mengeluhkan arus impor barang yang melimpah dari luar terutama dari China. Kalau inflasi sudah meningkat maka apa daya, suku bunga yang lebih tinggi sangat dibutuhkan. Bisa saja terjadi deflasi, namun dengan pertimbangan terjadi penurunan daya beli masyarakat Amerika.

Bagi Indonesia, khususnya BI hal tersebut merupakan momen penting bagi Bank Sentral untuk kembali menurunkan BI Rate. Seperti yang pernah diekspektasikan sebelumnya, bahwa BI masih menunggu The Fed dalam mengambil keputusan. Kalau nantinya The Fed benar-benar menurunkan suku bunganya pada tanggal 18 September mendatang, bukan tidak mungkin BI akan menurunkan BI Rate di awal bulan Oktober mendatang. Dan bukan hal yang mustahil kalau besaran penurunan BI Rate akan sama dengan penurunan The Fed Fund Rate.

Namun, BI diharapakan lebih berhati-hati dalam menurunkan suku bunga. Selain dikarenakan terjadi pelemahan pada mata uang Rupiah, Penurunan suku bunga harus juga melihat pergerakan suku bunga dinegara lainnya, serta laju tekanan inflasi selama bulan ramadhan ini. Sejauh ini, telah terjadi kenaikan disejumlah bahan makanan pokok akibat meningkatnya permintaan menjelang perayaan keagamaan. Selamat menunaikan Ibadah Puasa.

The FED dan Ramadhan akan Menjadi Acuan BI

Medan Bisnis, 3 September 2007
Pada awal bulan September ini pemerintah dijadwalkan akan kembali merilis data inflasi selama bulan Agustus. Pemerintah berkeyakinan bahwa inflasi masih akan bergerak sesuai koridor yang ditetapkan pemerintah sebelumnya, yakni 6-6.5% selama tahun 2007 ini.

Keyakinan stabilnya laju inflasi selama bulan Agustus tersebut mencuat walaupun sempat terjadi kenaikan harga minyak goreng maupun tarif jalan tol yang turut diiringi oleh kelangkaan minyak tanah di beberapa daerah di Indonesia. Terlebih BPS memperkirakan bahwa laju inflasi selama bulan Agustus akan lebih rendah dari laju inflasi bulan July sebesar 0.72%.

Berita baik, memang demikian. Dengan melambatnya laju inflasi maka akan memberikan ruang bagi Bank Indonesia untuk menurunkan suku bunga acuan (BI Rate) yang saat ini masih berada di level 8.25%. Dengan diturunkannya BI Rate diharapkan akan meningkatkan konsumsi yang berbuntut pada meningkatnya Produk Domestik Bruto (PDB), dan tentunya masih banyak dampak positif lainnya.

Namun, Benarkah BI akan menurunkan BI rate?. Beberapa data yang perlu dicermati adalah perkembangan dari nilai tukar mata uang maupun faktor global lainnya seperti keputusan Bank Sentral Amerika, yang diperkirakan akan turut menjadi acuan BI dalam menentukan BI rate.

Nilai tukar Rupiah yang kembali diperdagangkan melemah dikisaran level 9400 saat ini, diperkirakan akan menahan BI untuk menurunkan BI rate. Padahal Rupiah sempat stabil dikisaran harga 9100. Pelemahan tersebut dipicu oleh memburuknya kinerja indeks bursa global yang turut menyeret sejumlah mata uang dunia.

Rupiah pun sempat mendekati ambang batas nilai tukar yang ditetapkan pemerintah yakni 9500. Anjuran untuk melakukan intervensi pun bermunculan apabila Rupiah menyentuh level psikologis 9500. Hasilnya cukup efektif himbauan tersebut secara psikologis mampu menahan laju penguatan Rupiah lebih jauh.

Sehingga BI tidak mempunyai alasan yang kuat untuk kembali menurunkan BI Rate disaat nilai tukar Rupiah masih terpuruk terhadap US Dolar seperti saat ini. Karena penurunan BI Rate hanya akan membuat para pemodal memindahkan modalnya ke Negara lain yang memberikan imbal hasil yang lebih baik.

Terkait faktor Global, keputusan Bank Sentral Amerka atau The FED Fund Rate dalam menentukan suku bunganya akan berdampak signifikan terhadap kebijakan moneter negeri ini. Maklumlah, The FED masih menjadi acuan arah suku bunga global.

Pada saat ini, perekonomian Amerika masih dihadapkan pada krisis di sektor kredit. Meski demikian Gubernur Bank Sentral Amerika Ben Bernanke maupun Presiden Amerika George W. Bush memberikan sinyal akan kemungkinan penurunan suku bunga US Dolar, yang saat ini berada di level 5.25%.

Dalam pernyataannya Bernanke mengatakan akan melakukan tindakan untuk menyelematkan perekonomian Amerika walaupun dengan menurunkan suku bunga sekalipun dalam bulan September ini. Keputusan tersebut tentunya akan berdampak pada melemahnya mata uang US Dolar serta meningkatnya laju tekanan inflasi akibat terdepresiasinya mata uang US Dolar.

Meski demikian, dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI minggu ini, BI diperkirakan akan tetap mempertahankan suku bunganya dalam level (interest rate differential) yang paling aman. Karena keputusan Bank Sentral Amerika (The FED) pada tanggal 18 september mendatang masih akan menjadi pertimbangan BI dalam menentukan suku bunga pada awal bulan Oktober.

Namun bukan tidak mungkin BI akan tetap mempertahankan BI rate. Laju tekanan inflasi diperkirakan akan mengalami puncaknya pada saat perayaan keagamaan (Ramadhan dan Idul Fitri). Meningkatnya konsumsi masyarakat akan memberikan penekanan pada harga sejumlah barang dan bahan makanan dan turut berpotensi membuat Rupiah melemah.

Tanpa adanya kebijakan di sektor pangan, dimana harga bahan makanan pokok bergerak dalam volatilitas yang tajam serta memburuknya kinerja Rupiah seperti yang terjadi pada saat ini, bukan tidak mungkin penurunan suku bunga hanyalah sebuah impian, layaknya seseorang yang mengharapkan berkah di bulan Ramadahan, namun tidak melakukan secuil amal ibadah.

Tuesday, June 19, 2007

Rupiah Under Pressure

Medan Bisnis, 18 Juni 2007
Selama sesi perdagangan minggu kemarin, Rupiah diperdagangkan dalam fluktuasi yang sangat lebar dan sempat menyentuh level terendah dikisaran harga 9110. Namun laju pelemahan Rupiah sepertinya terhenti dan selanjutnya bergerak terbatas dalam range 8900 hingga 9100. Diturunkannya BI rate sebesar 25 basis poin dinilai menjadi salah satu pemicu utama melemahnya Rupiah terhadap US Dolar.

Padahal di Amerika, The FED masih menyatakan bahwa tingginya laju tekanan inflasi masih menjadi isu penting, sehingga menimbulkan ekspektasi bahwa bunga The FED masih akan bertahan dan dimungkinkan akan kembali dinaikan. Pernyataan hawkish yang dilontarkan beberapa pejabat federal reserve tersebut sempat membuat US Dolar menguat terhadap hampir semua mata uang hard currency lainnya. Meski demikian, aktifitas perdagangan terpantau minim dengan sebagian besar mata uang bergerak dalam kisaran yang sempit.

Sementara itu, BI masih memberikan sinyal bahwa suku bunga masih akan diturunkan lagi hingga ke level 8% sampai akhir tahun ini. Pernyataan tersebut tentunya sangat bertolak belakang dengan langkah sejumlah Bank Sentral termasuk Amerika yang justru diekspektasikan akan menaikan suku bunga acuannya.

Sejauh ini, transaksi model carry trade masih menjadi faktor penggerak utama pasar. Namun minat investor terhadap Rupiah tentunya akan berkurang seiring dengan tren penurunan suku bunga Rupiah. Akan tetapi hal tersebut tidak membuat BI merasa khawatir dengan melemahnya Rupiah belakangan ini, karena masih somewhere around 9000 dan menurut BI melemahnya Rupiah juga dikarenakan faktor Global. Over confidence mungkin itu yang dirasakan BI saat ini.

Sangat berbeda dengan Selandia Baru, Bank sentral selandia baru atau RBNZ melakukan intervensi dengan membuat mata uang Dolar selandia melemah terhadap mata uang yang memberikan yield lebih rendah, terutama terhadap Yen Jepang dan Franc Swiss. Kebijakan tersebut diambil 4 hari setelah RBNZ menaikan suku bunga menjadi 8% (merupakan suku bunga tertinggi diantara Negara maju lainnya). RBNZ meyakini bahwa penguatan mata uang Dolar Selandia Baru tidak terlepas dari aksi carry trade pelaku pasar.

Kebijakan tersebut menegaskan bahwa RBNZ sangat keberatan dengan terlalu menguatnya mata uang Dolar Selandia Baru. Bukan tidak mungkin langkah serupa juga akan diikuti oleh Negara lainnya yang mengkhawatirkan dampak negatif dari transaksi carry trade.

Tekanan terhadap mata uang Asia, khususnya Rupiah diperkirakan masih akan terus berlanjut seiring dengan dirilisnya beberapa data perekonomian AS, yang akhir-akhir ini menunjukkan perkembangan-perkembangan yang melebihi ekspektasi. Data-data tersebut membuat pasar berkesimpulan bahwa inflasi masih menjadi masalah utama dan mungkin akan memaksa The Fed mengambil sikap yang bertendensi terhadap kenaikan suku bunga atau hawkish.

Kalau ekspektasi pasar menyebutkan hal seperti itu, maka bisa diperkirakan bahwa ruang penguatan Rupiah akan semakin kecil tentunya, seiring dengan adanya tren kenaikan suku bunga global serta adanya tren penurunan suku bunga di dalam negeri.

Monday, June 11, 2007

Faktor Global atau Penurunan BI Rate

Medan Bisnis, 11 Juni 2007
Rupiah kembali melemah hingga menembus level 8900, setelah dalam beberapa perdagangan minggu lalu sempat menguat kekisaran level 8700-an. Menurut versi Bank Indonesia, melemahnya nilai tukar rupiah dikarenakan oleh faktor global seperti melemahnya sejumlah mata uang Asia serta technical correction terhadap indeks bursa global.

Pemerintah juga meyakinkan pasar bahwa keadaan tersebut hanya akan bersifat sementara. Namun, sayangnya kita tidak pernah tahu ukuran yang tepat untuk menjelaskan kata sementara tersebut, setiap orang pasti akan mempunyai sudut pandang yang berbeda, sementara bisa diartikan beberapa hari, minggu, bulan atau bahkan selama tahun 2007 ini.

Berbeda dari beberapa fakta yang terjadi, penurunan BI rate sebesar 25 basis poin dari sebelumnya sebesar 8.75% menjadi 8.5% diyakini sebagai salah satu pemicu melemahnya nilai tukar Rupiah ke level 8900-an. Sejauh ini, asumsi pemerintah bahwa suku bunga riil (selisih antara BI rate dan Inflasi) sebesar 1.5% hingga 2% cukup memberikan kenyamanan akan tidak terjadinya pembalikan modal atau reversal.

Selain itu, cadangan devisa yang cukup tinggi serta membaiknya fundamental eknomi Indonesia seperti yang diberitakan media seolah-olah meyakinkan kita bahwa ekonomi sudah berjalan pada jalur yang benar atau on the right track.

Meski demikian, belum ada yang mampu memperkirakan kapan dana-dana panas yang selama ini menjadi kambing hitam penguatan rupiah dan IHSG tidak akan keluar dari negeri ini. Dana-dana jangka pendek tersebut tentunya tidak akan melihat secara jauh keadaan ekonomi bangsa ini. Yang dia (hot money) tahu adalah bagaimana untuk berkembang biak dengan memanfaatkan produk-produk investasi yang menawarkan imbal hasil yang tinggi dan aman.

Sehingga cukup beralasan, Rupiah kembali melemah ketika BI rate kembali diturunkan, sementara beberapa Negara (misal Eropa) justru kembali menaikan suku bunga. Antisipasi yang sangat relevan untuk dilakukan adalah menanti kebijakan dari Bank Indonesia. Selaku penguasa moneter negeri ini, BI memiliki kewenangan untuk menstabilkan Rupiah dengan salah satu caranya adalah melakukan intervensi pasar.

Namun, apakah pembalikan modal yang terjadi akan menyeret bangsa ini ke dalam jurang krisis?, hanya waktu yang bisa menjawabnya. Pemerintah maupun pihak terkait tentunya diharapkan mampu mengkonversi dana-dana jangka pendek tersebut menjadi FDI (foreign direct investment), dengan memformulasikan kerangka pertumbuhan yang berkorelasi dengan pertumbuhan di sektor riil.

Tentunya tidak mudah dan membutuhkan waktu yang lama. Namun, instabilitas yang selalu terjadi di pasar finansial seharusnya mampu diekspektasikan guna menghindari negeri ini masuk ke jurang krisis yang berkepanjangan.

Kalau saat ini Rupiah melemah, IHSG terkoreksi, maka yang dibutuhkan adalah stabilisasi pasar jangka pendek. Namun kalau itu terjadi berulang-ulang maka kita harus me-review fundamental ekonomi bangsa ini, apakah benar-benar berjalan pada jalur yang benar. Seharusnya tidak menjadi kekhawatiran seandainya fundamental ekonomi negeri ini kuat menopang segala macam bentuk volatilitas pasar finansial.

Tuesday, June 05, 2007

Kekhawatiran yang Mendorong Penguatan Valuta

Medan Bisnis, 03 Juni 2007
Pemerintah China kembali mengeluarkan kebijakan di sektor keuangan dengan menaikan pajak atas perdagangan saham menjadi 0.3% dari sebelumnya sebesar 0.1%. Kebijakan tersebut memicu melemahnya sejumlah indeks bursa di Asia bahkan di dunia. Kebijakan pemerintah China tersebut dilandaskan atas kekhawatiran akan adanya pembalikan modal seiring dengan penguatan pasar ekuitas di China belakangan ini.

Namun, kebijakan pemerintah China tersebut membuat mata uang Yen Jepang kembali menguat. Bahkan mata uang Euro harus mengalami koreksi yang paling dalam setelah mencatatkan rekor tertinggi dalam sejarah terhadap mata uang Yen Jepang. Pengumuman aturan baru oleh pemerintah China tersebut telah memicu kekhawatiran akan resiko yang ditimbulkan dari transaksi carry trade dengan cara meminjam mata uang Yen Jepang.

Tidak hanya itu, imbas dari kebijakan tersebut juga dirasakan pada fokus pasar yang mulai tertuju pada performa pasar saham dunia. Korelasi positif pun terlihat dalam beberapa minggu perdagangan terakhir, dimana ketika pasar saham mengalami koreksi, maka hal serupa juga terjadi pada pergerakan sejumlah mata uang.

Perubahan trenpun diperkirakan akan terjadi. Dimana pada saat sebelumnya Yen Jepang akan melemah apabila terjadi penguatan di pasar saham, maka pada saat ini perubahan porsi dalam transaksi carry trade akan sangat menguntungkan mata uang Yen Jepang, karena ada tren pelemahan pasar saham dunia.

Namun, beberapa data penting dari Amerika seperti Gross Domestic Product (GDP) dan data Non-Farm Payrolls akan berpeluang besar menahan laju penguatan mata uang secara signifikan. Beberapa angka aktual positif serta FOMC (Federal Open Market Committee) minutes juga berpotensi membuat mata uang US Dolar menguat.

Sejauh ini pernyataan hawkish dari pejabat Federal Reserve memberikan gambaran bahwa kemungkinan akan diturunkannya bunga The FED semakin kecil. Bahkan ekspektasi akan kembali dinaikkannya bunga The FED masih bermunculan. Hal tersebut diperkuat dengan pernyataan dimana Bank Sentral Amerika tetap mengkhawatirkan akan tingginya laju inflasi di Amerika.

Kemungkinan tersebut diperkuat dengan adanya kemungkinan kenaikan suku bunga di beberapa Bank Sentral seperti ECB (Zona Euro), BoE (Inggris), dan BoC (kanada) yang diperkirakan masih akan menaikan suku bunga sekali lagi dalam tahun ini.

Sementara itu, mata uang Rupiah juga mengikuti langkah yang sama terhadap pergerakan IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan). Melemahnya bursa saham di China juga menjadi alasan utama melemahnya IHSG serta mata uang Rupiah. Namun, hal tersebut dinilai sebagai gejolak keuangan Global, yang diperkirakan tidak akan berlangsung dalam waktu yang lama. Karena memang kebijakan menaikan pajak atas perdagangan saham akan memicu pelemahan indeks bursa dalam beberapa minggu kedepan.

Volatilitas Pasar Finansial

Medan Bisnis, 28 Mei 2007
Kekhawatiran akan kembali melemahnya mata uang Rupiah, setelah menguat secara konsisten kembali terbukti. Rupiah yang sempat menguat hingga ke level 8650 kembali terkoreksi hingga di atas level 8800 dalam kurun waktu tak lebih dari 2 hari perdagangan. Namun, pelemahan tersebut dinilai masih berada dalam batas yang belum mengkhawatirkan, karena masih “somewhere around 9000”, begitu Gubernur Bank Indonesia menyatakan sikapnya.

Hal yang dapat menjadi alasan melemahnya Rupiah disinyalir terkait dengan melemahnya Indeks Bursa Jakarta (IHSG). Melemahnya IHSG tersebut diperkirakan juga dipengaruhi oleh memburuknya kinerja indeks bursa Dow Jones (Amerika). Bahkan indeks Dow Jones sempat diperdagangkan dalam volatilitas yang tinggi, yakni ditutup melemah 14 poin meskipun selama sesi perdagangan sempat menguat hingga 70 poin.

Pelaku pasar pun sangat berhati-hati untuk melakukan transaksi carry trade, karena pergerakan indeks bursa Dow Jones sangat berpengaruh besar bagi perdagangan carry trade. Hal ini membuat data Durable Goods Orders/DGO (pemesanan barang tahan lama) serta data New Home Sales (data penjualan rumah baru) Amerika menjadi fokus utama pelaku pasar.

Meski demikian, tren keterpurukan US Dolar sepertinya belum saja berakhir. Sentimen di sektor properti Amerika yang tidak merealisasikan angka aktual yang positif membuat data-data lainnya seperti perumahan juga akan mengikuti hal yang sama. Namun, melemahnya US Dolar akan berkorelasi positif terhadap permintaan barang-barang di sektor transportasi seperti komponen pesawat, walaupun terjadi tekanan terhadap permintaan barang lainnya seperti furniture maupun elektronik.

Seiring dengan memburuknya sejumlah data perekonomian Amerika tersebut, diperkirakan tidak akan berpengaruh signifikan terhadap keputusan Bank Sentral Amerika atau The FED yang diperkirakan masih tetap mempertahankan suku bunganya. Hal tersebut menjadi salah satu penopang dari terpuruknya mata uang US Dolar lebih jauh.

Selain itu, pertemuan antara pemerintah Amerika dan China di Washington, yang membahas mengenai defisit neraca perdagangan Amerika, diperkirakan tidak akan berpengaruh signifikan terhadap pergerakan US Dolar. Sejauh ini, pemerintah AS tetap menuding bahwa pemerintah China melakukan kecurangan dengan membiarkan mata uang Yuan melemah terhadap US Dolar, yang membuat pasar Amerika kebanjiran produk dari China.

Hal lain yang layak dicermati adalah tren kenaikan indeks bursa dunia yang masih menunjukan potensi akan tetap menguat. Selama indeks bursa dunia menunjukan penguatan maka potensi penguatan US Dolar juga semakin terbuka. Namun, ketika pasar menilai bahwa indeks bursa sudah mulai menunjukan adanya sinyal berbalik arah, maka US Dolar dapat kembali terpukul oleh transaksi carry trade.

Terhadap mata uang lainnya, US Dolar justru relatif stabil terhadap mata uang Yen Jepang. Meskipun mata uang Yen sering digunakan sebagai mata uang yang paling aktif dalam transaksi carry trade, namun ekspektasi kemungkinan Bank Sentral Jepang (BoJ) akan kembali menaikan suku bunganya membuat mata uang Yen tertahan dari keterpurukan yang lebih dalam.

Demikian halnya terhadap Euro, mata uang US Dolar juga tidak bergerak dalam fluktuasi yang lebar. Walau demikian data-data perekonomian zona Euro diperkirakan akan kembali mengalami rebound, sehingga berpotensi membawa Euro kembali menguat terhadap US Dolar. Nah, terhadap mata uang Poundsterling (GBP), US Dolar diperkirakan akan bergerak dalam range perdagangan yang cukup lebar, Hal tersebut dikarenakan sentimen dari pernyataan hawkish para pejabat Bank Sentral Inggris (BoE).

Untuk mata uang Rupiah, walaupun masih menunjukan tren penguatan, namun potensi berbalik arah mata uang Rupiah masih terbuka lebar. Rupiah masih sangat rentan terhadap sentimen-sentimen dari luar. Selain itu, gejala anomali terhadap mata uang Rupiah diperkirakan akan sering terjadi, yang nantinya akan membuat bingung pelaku pasar.

Saturday, May 19, 2007

Refleksi Fundamental Ekonomi

Medan Bisnis, 21 Mei 2007
Kekhawatiran akan terjadinya krisis ekonomi yang diperkirakan dapat terulang di tahun 2008 nanti, membuat presiden SBY meminta agar dana-dana yang mengalir ke Indonesia dapat dikontrol dengan baik. Tujuannya adalah agar dana-dana tersebut dapat mengendap di negeri ini tanpa mengalami pembalikan modal (reversal) yang signifikan, yang berpotensi membawa negeri ini mengalami krisis keuangan seperti yang terjadi di tahun 1997.

Namun pernyataan pesimis akan terjadinya krisis moneter dapat di tepis dengan fakta-fakta yang telah terealisasi belakangan ini, misalnya laju inflasi yang terkendali, cadangan devisa yang meningkat, membaiknya kinerja ekspor, laju pertumbuhan ekonomi yang membaik, nilai tukar Rupiah yang stabil, maupun beberapa alasan lainnya.

Namun, benarkah kita patut bersandar dari fakta-fakta tersebut? Tidak tentunya. Yang pasti kita harus belajar dari pengalaman pahit tahun 1997. Penguatan nilai tukar Rupiah pada saat ini misalnya, yang hampir mirip dengan yang terjadi sebelum krisis, banyak ditopang oleh dana-dana jangka pendek yang umumnya direfleksikan dengan terjadinya penguatan yang signifikan pada mata uang dan indeks bursa.

Semua data ekonomi yang disajikan pada saat ini, lebih merefleksikan adanya ketahanan disisi ekonomi makro, yang notabene memberikan argumen kepastian akan terhindarnya Indonesia ke dalam krisis keuangan. Padahal membaiknya kinerja disisi ekonomi makro tidak dapat menunjukan pola hubungan yang searah terhadap pertumbuhan ekonomi di sektor riil.

Rupiah yang stabil bahkan memiliki kecenderungan menguat pada saat ini, yang turut serta diiringi dengan menguatnya indeks bursa Jakarta, namun tetap saja memberikan kekhawatiran besar akan kembali terjungkalnya pasar finansial di Indonesia. Bahkan, beberapa manajer investasi seolah-olah tak henti-hentinya mengeluhkan semakin mahalnya harga saham saat ini.

Bahkan, saham lapis kedua (bukan saham unggulan) turut melambung tinggi, sehingga semakin kecil saja ruang bagi penguatan harga saham selanjutnya. Secara psikologis komentar dari manajer investasi tersebut memberikan atau bahkan memicu pasar untuk kembali mempertimbangkan atas kepemilikian sahamnya, sehingga mengkondisikan investor untuk melepas saham-sahamnya.

Monkey did, monkey do, ungkapan tersebut selalu muncul ketika seorang pelaku pasar mengikuti jejak pelaku pasar lain yang notabene memiliki dana yang lebih besar. Apabila hal tersebut terjadi, bukan tidak mungkin, mereka yang mempunyai dana besar akan melarikan dananya ke luar dan akan memicu pelaku pasar lain untuk mengikutinya.

Kalau itu terjadi, maka perekonomian yang secara teoritis sudah berada dalam kerangka pertumbuhan yang baik sekalipun, tidak akan ada gunanya lagi. Karena, tindakan spekulasi dalam porsi dana yang cukup signifikan untuk ukuran sebuah Negara, akan mampu memporak-porandakan institusi keuangan besar, bahkan sebuah Negara sekalipun.

Kembali ke permasalahan fundamental ekonomi bangsa kita. Walaupun sejauh ini pemerintahan SBY telah berkoordinasi untuk membentuk ketahanan ekonomi yang lebih stabil, seperti melakukan perjanjian BSA (Bilateral Swap Arrangement) dan berkoordinasi dengan Negara Asia untuk menciptakan sebuah cadangan devisa bersama. Itu semua bukanlah jaminan 100%.

Pengalaman pahit di tahun 1997 harusnya menjadi tolak ukur bagaimana kebijakan di bidang perekonomian seharusnya di buat. Kebijakan sejatinya dibuat dengan mempertimbangkan bentuk kesalahan yang sekecil apapun, karena dampak dari kesalahan tersebut akan ditanggung bangsa ini mungkin dalam waktu yang cukup lama, dengan penderitaan yang seharusnya tidak dapat ditoleransi.

Wacana krisis yang menimbulkan pesimisme di masyarakat seharusnya juga tidak di publikasikan secara vulgar. Tidaklah berlebihan kalau kita menyimpulkan kutipan pernyataan penulis buku terkenal Stephen Covey, dimana kalau kita memikirkan sesuatu hal maka secara tidak langsung tubuh kita akan bergerak ke hal tersebut. Jadi walaupun kita hanya berekspektasi atau berwacana akan tidak terjadinya krisis moneter, maka secara tidak langsung kita justru digiring ke arah tersebut

Kemana Arah Rupiah?

Medan Bisnis, 14 Mei 2007
Rupiah kembali menguat tajam hingga mendekati level 8700. Tren penguatan Rupiah sendiri dimulai sejak akhir tahun 2005, dimana pada saat itu terjadi reshuffle kabinet pertama yang dilakukan oleh pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono. Sejumlah spekulasi yang berkembang saat itu menyebutkan bahwa penguatan Rupiah tidak terlepas dari digantinya Menteri Perekonomian Abu Rizal Bakrie menjadi Boediono.

Terlepas dari semua itu, faktor pendukung penguatan Rupiah paling rasional pada saat itu adalah kebijakan disisi moneter yang menaikan BI rate ke level 12.75%. Capital inflows dari luar negeri pun berdatangan hingga membawa Rupiah menguat ke level 8800 sebelum akhirnya terkoreksi hingga ke level 9400.

Kalau kita bandingkan dengan kondisi Rupiah pada saat ini, yang tidak jauh berbeda dengan kondisi setahun sebelumnya. Penguatan Rupiah sendiri turut diiringi dengan reshuffle yang dilakukan pemerintah SBY. Tapi itu hanyalah kebetulan saja, karena penguatan Rupiah sendiri merupakan bentuk antisipasi membaiknya laju inflasi selama bulan april yang justru merealisasikan deflasi sebesar 0.16%.

Secara psikologis, hal tersebut menunjukan bahwa fundamental ekonomi indonesia sudah berjalan sesuai dengan track yang benar, sehingga memicu penurunan BI Rate sebesar 25 basis poin menjadi 8.75% saat ini.

Akan tetapi, dengan status Indonesia sebagai nagara yang masih di katakan sebagai emerging market tentunya hal tersebut belum cukup untuk memberikan rasa aman. Kenapa? Karena penguatan Rupiah lebih didominasi oleh dana-dana jangka pendek yang masuk melalui pasar finansial, dan belum merefleksikan dari pertumbuhan ekonomi sesungguhnya yakni sektor riil.

Terlebih, penguatan Rupiah juga ditopang oleh komentar yang secara psikologis memberikan arah kemana Rupiah nantinya. Pernyataan Pejabat BI Miranda S. Goeltom yang menyatakan confidence apabila Rupiah nantinya menguat ke level 8500 menjadi pemicu penguatan Rupiah belakangan ini.

Nah, Kemana Rupiah nantinya?. Mungkinkah ke level 8500. Hanya waktu yang bisa menjawab. Namun, belajar dari pengalaman, bahwa penguatan Rupiah yang terlalu tajam juga akan membawa Rupiah kembali terdepresiasi.

Walaupun saat ini Rupiah diekspektasikan akan terus mengalami penguatan, namun perlu diwaspadai bahwa momen pelemahan Rupiah akan semakin besar tentunya. Apalagi penguatan Rupiah lebih didominasi oleh dana jangka pendek, sehingga sangat rentan terhadap gejolak pasar seperti penurunan suku bunga.

Biasanya yang dilakukan BI apabila Rupiah melemah adalah melakukan intervensi pasar dengan menjual US Dolar. Tapi apakah hal tersebut akan selalu efektif meredam gejolak pasar?. Nah, bagaimana jadinya kalau BI justru kehabisan US Dolar sehingga tidak ada lagi yang banyak diperbuat. Mungkinkah pemerintah mengabaikan sektor riil dengan menaikan kembali BI Rate?.

Tentunya masih banyak pertanyaan lain yang bermunculan. Namun, sejauh ini pemerintah telah melakukan trobosan seperti berkoordinasi dengan negara dikawasan regional Asia, untuk menciptakan ketahan ekonomi seperti dengan melakukan perjanjian Bilateral Swap Arrangement atau BSA. Tujuan dari dibentuknya perjanjian tersebut tidak lain untuk menghindari negara kawasan regional mengalami krisis moneter seperti yang terjadi di era tahun 1997-an.

Efektifkah perjanjian tersebut?, belum terbukti tentunya. Walaupun kondisinya saat ini negara di Asia hampir mirip dengan kondisi 10 tahun silam (mengutip pernyataan Menkeu), namun kehadiran BSA setidaknya memberikan sedikit rasa aman bagi pasar finansial Indonesia.

Kembali ke tema awal, kemanakah Rupiah nantinya?. Tren penguatan akan tetap mendominasi penguatan Rupiah tentunya. Kalau BI mengatakan bahwa Rupiah masih dalam batas aman apabila bergerak menguat ke level 8500, maka kita bisa mengatakan hal yang sama, karena yang melontarkan pernyataan tersebut adalah mereka yang berkompeten dalam menjaga stabilitas keuangan negeri ini.

Namun, bukan berarti Rupiah akan bergerak mulus menguat ke level tersebut. Rupiah masih akan berfluktuasi sebelum mencapai level tersebut atau malah bergerak sebaliknya. Menurut pengamatan yang telah dilakukan, Rupiah masih akan berfluktuasi lebar dikisaran level 8700 hingga 8950 dalam minggu ini.

Tuesday, May 08, 2007

Menanti BI Rate Turun

Medan Bisnis, 7 Mei 2007
Setelah sempat stabil dikisaran level 9100 dalam waktu yang cukup lama, momentum terjadinya deflasi membuat Rupiah saat ini semakin mahal terhadap US Dolar. Tidak lebih dari 4 hari setelah diumumkannya deflasi selama bulan April, Rupiah langsung bergerak menguat dan menembus level psikologis 9000.

Rupiah saat ini berada dalam kisaran level 8970, dan diperkirakan masih berpotensi akan terus menguat. Selain dikarenakan deflasi, penguatan Rupiah juga dipicu oleh penyerapan likuiditas Rupiah yang cukup signifikan melalui instrumen Sertifikat Bank Indonesia atau SBI. Konsekuensinya pemerintah mempunyai kewajiban untuk pembayaran hutang yang semakin besar tentunya.

Dengan terjadinya deflasi, BI diharapkan akan menurunkan BI rate dalam RDG (Rapat Dewan Gubernur) BI minggu ini. Hal tersebut menjadi sangat diperlukan mengingat pertumbuhan sektor riil yang dinilai masih lamban sementara dana yang tersimpan di Bank Indonesia cukup signifikan.

Apabila dana yang tersimpan di BI (Bank Indonesia) tersebut hanya disimpan tanpa diikuti dengan penyalurannya ke sektor-sektor strategis, maka beban pembayaran hutang pemerintah akan menjadi senjata bagi terjadinya krisis ekonomi, seperti yang dilontarkan beberapa pengamat belakangan ini.

Salah satu cara untuk mempercepat pertumbuhan sektor riil adalah dengan menurunkan suku bunga acuan (BI rate) yang selalu digunakan sebagai acuan oleh perbankan dalam menetapkan suku bunganya. Kalau saat ini, BI rate berada di level 9%, maka suku bunga pinjaman perbankan masih berada dikisaran 13 sampai 15%.

Pasar menilai, suku bunga 13 sampai 15% masih terlalu tinggi. Sejauh ini, walaupun terjadi permintaan kredit yang meningkat, namun peningkatan tersebut didominasi oleh pertumbuhan kredit yang sifatnya konsumsi. Sementara kredit yang tersalurkan di sektor manufaktur masih relatif kecil. Padahal sektor tersebut memberikan andil yang cukup besar bagi penyerapan tenaga kerja.

Disini terlihat bahwa dengan diturunkannya BI rate akan memicu dunia perbankan memacu penyaluran kredit. Dengan begitu, porsi perbankan yang menempatkan dananya di Sertifikat Bank Indonesia akan semakin berkurang. Mengingat perbankan merupakan korporasi yang memberikan kontribusi paling besar atas meningkatnya beban utang pemerintah.

Terlepas dari penyaluran kredit, penurunan BI rate juga mempunyai dampak negatif yang cukup signifikan terhadap Rupiah. Penurunan BI rate dapat menjadi mimpi buruk bagi Rupiah, karena berpotensi terdepresiasi (melemah).

Namun, apabila pemerintah berpendapat bahwa fundamental ekonomi Indonesia sudah berjalan pada jalan yang benar (on the right track), maka semestinya hal-hal negatif yang akan terjadi seiring dengan penurunan BI rate dapat diminimalisir.

Mungkin pemerintah saat ini masih menunggu keputusan negeri paman sam (Amerika) untuk menurunkan The Fed Fund Rate atau suku bunga The FED yang masih berada di level 5.25%. Dengan diturunkannya suku bunga US Dolar tersebut, maka tercipta ruang bagi Bank Indonesia untuk menurunkan BI rate.

Menunggu, bukanlah sesuatu hal yang dinanti masyarakat, yang kian terjepit ditengah mahalnya biaya hidup serta diiringi dengan menciutnya mata pencaharian. Bukankah mempercepat penurunan BI rate akan mempersempit peluang meningkatnya jumlah angka kemiskinan, pengangguran bahkan kriminalitas.

Kalau saat ini Rupiah sudah menguat jauh, cadangan devisa meningkat tajam, terjadi peningkatan pertumbuhan ekspor yang signifikan, inflasi cukup terkendali, pergerakan US Dolar yang tidak menjadi ancaman serius, maka apalagi yang harus ditunggu.

Deflasi dan Reshufle Bayangi Rupiah dan IHSG

Medan Bisnis, 30 April 2007
Pada bulan Februari silam kita dikejutkan dengan melambungnya harga beras yang membuat beberapa pengamat memperkirakan akan terjadi lonjakan inflasi yang cukup signifikan. Namun, melonjaknya harga beras yang diiringi dengan banjir besar di Jakarta tidak menjadikan inflasi selama bulan tersebut naik tajam. Bahkan, inflasi yang diperkirakan akan berada diatas 1% tidak terbukti.

Berbeda dengan saat ini, Biro Pusat Statistik (BPS) memperkirakan tidak akan terjadi laju inflasi selama bulan April. Bahkan diperkirakan akan terjadi sebaliknya, yakni deflasi. Deflasi bisa terjadi karena memang ada tren penurunan harga barang, namun dapat juga diakibatkan oleh melemahnya daya beli masyarakat.

Terkait dengan deflasi, tentunya ekspektasi tersebut akan berdampak positif bagi IHSG dan kadang mempunyai sisi negatif bagi pergerakan nilai tukar Rupiah, yang pada bulan kemarin Rupiah mendapat support dengan tidak diturunkannya BI rate.

Ekspektasi deflasi saat ini akan memberikan dampak psikologis bagi pelaku pasar. Tentunya bakal ada penurunan BI rate pada awal bulan Mei mendatang. Penurunan BI rate akan memberikan dampak positif bagi sektor riil, dan berpotensi mengangkat IHSG.

Namun, penurunan BI rate juga berpotensi membuat Rupiah akan melemah, karena penurunan BI rate akan membuat investor memilih negara yang lebih aman serta memberikan imbal hasil yang mumpuni seperti Amerika. Lagi-lagi itu hanya ekspektasi, kenyataannya kadang terbalik, penurunan BI rate justru diikuti dengan menguatnya IHSG dan Rupiah secara bersama-sama.

Kalaupun Rupiah menguat, namun harus diperhatikan sampai dimana penguatan Rupiah nantinya. Kalau BI berkehendak untuk menahan laju penguatan Rupiah maka bisa diperkirakan Rupiah akan stagnan dikisaran level 9030 hingga 9120. Kalau tidak ditahan, bisa saja Rupiah akan menguat secara signifikan menembus level 9000. Terlebih nilai tukar Dolar Amerika saat ini kian melemah terhadap mata uang dunia.

Nah, kalau IHSG tentunya tetap akan mendapat support dari tren penurunan BI rate. IHSG bahkan telah menembus level psikologis 2000, dan diperkirakan akan terus naik hingga akhir tahun ini. Akan tetapi, tetap diwaspadi aksi profit taking yang berpotensi membawa IHSG kembali ke bawah. Tapi dengan fundamental makro ekonomi Indonesia yang masih kuat saat ini tentunya tetap menumbuhkan keyakinan akan terus membaiknya kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).

Reshufle
Kalau kita merujuk ke politik dalam negeri saat ini, bisa diperkirakan isu reshufle tidak akan berpengaruh signifikan terhadap Rupiah dan IHSG. Karena pada dasarnya investor akan lebih melihat pada kondisi riil ekonomi bangsa ini, daripada melihat profil terhadap seorang menteri.

Memang pada saat Boediono ditunjuk sebagai menteri ekonomi, Rupiah langsung menunjukan penguatan signifikan dari level 11.000-an/US Dolar hingga ke level 9000-an/USDolar. Namun pada saat itu terjadi kenaikan BI rate yang cukup signifikan hingga ke level 12.75%. Aliran dana yang masuk kenegeri ini pun cukup signifikan, dan hampir semua dana yang masuk merupakan aliran dana jangka pendek.

Jadi kalaupun nantinya Presiden SBY kembali mengganti sejumlah menteri yang dinilai kurang kompeten, maka yang perlu dicermati adalah kebijakan dari menteri tersebut. Namun, kalau seandainya nanti menteri yang diganti tidak terkait secara langsung dengan sektor finansial, maka kita bisa memprediksikan kemana arah pasar finansial negeri ini.

Rupiah Bergerak Tanpa Sentimen

Medan Bisnis, 23 April 2007
Rupiah nyaris tidak beranjak jauh di kisaran level 9100, walaupun mempunyai kecenderungan menguat. Namun, sejauh ini penguatan Rupiah tidak signfikan dan diperkirakan akan bertahan diatas level 9050 dalam beberapa hari ke depan.

Belum adanya sentimen yang mampu menggerakan pasar seperti spekulasi mengenai arah suku bunga membuat Rupiah hanya bergerak dalam kisaran yang sangat sempit. Keadaan tersebut tentunya juga didukung oleh sejumlah faktor teknikal, dimana Rupiah sudah mendekati level support 9050.

Selain itu, IHSG yang sempat menguat secara signifikan juga diperkirakan akan bergerak sangat terbatas, dengan tetap memiliki kecenderungan menguat. Hal tersebut sangat didukung oleh kebijakan pemerintah yang diperkirakan masih akan menurunkan suku bunga walaupun tidak signifikan seperti tahun lalu.

Namun, tingginya laju inflasi di China akan berdampak buruk pada bursa di negara tersebut dan akan memberikan dampak negatif bagi lantai bursa Asia khususnya Jakarta. Permintah China diperkirakan akan terus melakukan kebijakan pengetatan moneter, guna meredam tingginya laju inflasi di negara tersebut, yang hingga saat ini masih merealisasikan inflasi 2 digit.

Sementara dari dalam negeri, walaupun diyakini BI masih akan menurunkan BI rate, namun masih simpang-siur tepatnya kapan BI akan menurunkan suku bunga. Walaupun laju inflasi masih terkendali, namun saat ini belum jaminan hal tersebut akan membuat BI menurunkan bunga Rupiah.

Sangat berbeda dari tahun lalu, dimana setiap diumumkan besarnya laju inflasi, maka dengan melakukan penilaian terhadap besarnya laju inflasi, BI pun mengambil langkah untuk menurunkan BI rate. Dan sejauh hal tersebut dilakukan, nilai tukar Rupiah juga tidak menunjukan adanya fluktuasi yang tajam.

Jadi walaupun nantinya laju inflasi selama bulan April merealisasikan angka aktual yang cukup kecil, namun BI masih akan sulit untuk menurunkan BI rate, dikarenakan masih relatif tingginya bunga US Dolar dan adanya tren kenaikan suku bunga di zona Euro.

Selama perdagangan minggu kemarin, sentimen pasar hanya tertuju pada seputar pernyataan yang dilontarkan pejabat Bank Sentral AS serta konferensi yang dilakukan menteri keuangan AS Henry Paulson di China. Seiring dengan minimnya data perekonomian yang dirilis membuat sejumlah mata uang dunia bergerak terbatas termasuk Rupiah.

Tema yang akan menjadi penggerak pasar nantinya masih akan terfokus pada melemahnya mata uang US Dolar. Meskipun ada beberapa data yang akan dirilis dari Amerika, namun data tersebut diperkirakan tidak akan berbuat banyak bagi US Dolar, dikarenakan pasar lebih tertuju pada faktor-faktor negatif US Dolar.
Ditengah minimnya sentimen seperti sekarang ini, pasar hanya mengandalkan faktor teknikal maupun carry trade. Tarik ulur dari kedua faktor tersebut berpotensi membuat pasar valuta akan sangat berfluktuasi.

Namun, bagi Rupiah hal tersebut tidaklah berpengaruh banyak. Walaupun sebenarnya faktor carry trade mampu membuat Rupiah bergerak sangat fluktuatif, akan tetapi hanya sedikit pelaku pasar yang memasukan mata uang Rupiah dalam daftar mata uang yang masuk dalam daftar transaksi carry trade.

Tuesday, April 17, 2007

Sektor Riil Jalan di Tempat

Medan Bisnis, 16 April 2007
Wacana seperti itu sepertinya bukan merupakan hal yang awam bagi semua orang. Sejak diberlakukannya pengetatan likuiditas oleh Bank Indonesia, sektor riil tidak mengalami perubahan signifikan ke jalur positif. Tujuan utama diberlakukannya kebijakan tersebut oleh Bank Indonesia adalah untuk mengamankan nilai tukar Rupiah, serta meredam laju inflasi yang diakibatkan oleh terdepresiasinya nilai tukar Rupiah.

Cukup beralasan memang, namun bagi beberapa analis ekonomi yang masih mengkhawatirkan adanya peningkatan jumlah kemiskinan, sangat menyayangkan kebijakan tersebut. Kebijakan tersebut dinilai tidak pro-pertumbuhan, dan hanya menguntungkan investor yang dinilai sebagai spekulan di pasar keuangan.

Saat ini, BI kembali mendapat kritikan dari banyak pengamat karena tidak menurunkan suku bunga acuan atau BI rate yang masih bertengger di level 9%. Padahal momentum penurunan BI rate sudah tepat, dikarenakan terjadi laju inflasi yang sangat rendah selama bulan Maret serta terkendalinya fluktuasi nilai tukar Rupiah.

Namun, kenapa BI tidak menurunkan BI rate?, ada beberapa alasan yang paling utama tentunya. Perbedaan suku bunga antara Rupiah (9%) dan US Dolar (5.25%) yang kian menyempit, adanya tren kenaikan suku bunga di sejumlah negara ekonomi besar, serta melambatnya laju pertumbuhan negara tujuan ekspor utama Indonesia seperti Jepang.

Perbedaan suku bunga memang kerap menjadi penentu arah kemana modal investor itu akan ditanamkan. Sejauh ini, Indonesia masih menjadi lahan subur bagi para investor karena masih memberikan imbal hasil yang cukup tinggi dibandingkan negara lain.

Sementara itu, ekspektasi bakal terjadinya tren kenaikan suku bunga di zona Euro juga menjadi pertimbangan BI tentunya. Hal tersebut dapat terlihat dari penguatan mata uang Euro terhadap US Dolar maupun Yen Jepang. Apalagi saat ini suku bunga Euro dinilai masih relatif rendah apabila dibandingkan dengan bunga US Dolar (The FED Fund Rate).

Diantara sejumlah negara maju, Jepang merupakan negara dengan suku bunga paling rendah. Dan karena itulah, mata uang Yen kerap menjadi mata uang yang paling rawan terkena aksi spekulasi. Bahkan, saat ini Euro menguat keposisi tertinggi dalam sejarah terhadap Yen Jepang. Dan mungkin BI tidak mau hal tersebut terjadi pada Rupiah.

Selain itu, laju pertumbuhan ekonomi Jepang yang dinilai masih sangat lambat juga turut mempengaruhi ekspor Indonesia ke negara tersebut. Hingga saat ini, Jepang merupakan negara tujuan ekspor utama Indonesia, sehingga melambatnya pertumbuhan negara tersebut akan berpengaruh pada laju pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

Dari kesemuanya itu pasti ada muaranya. Bukankah Indonesia seharusnya tidak perlu takut kalau BI rate kembali diturunkan atau bahkan lebih rendah dari bunga US Dolar. Masih banyak negara yang memberikan imbal hasil lebih rendah dari Amerika, namun tidak terjadi gejolak pasar finansial di negara tersebut.
Nah, Country Risk masih menjadi permasalahan utama negeri ini. Country Risk yang dimaksud disini adalah kemungkinan resiko yang terjadi apabila investor menanamkan modalnya di Indonesia. Baik dikarenakan karena terjadi gejolak politik, ekonomi biaya tinggi, maupun terkait dengan permasalahan fundamental negeri ini seperti masalah struktural birokrasi.

Jadi, sektor riil tidak hanya ditentukan dari keputusan BI dalam menentukan arah suku bunga. Terlebih dari itu, kestabilan politik serta kemauan politik (political will) para pengambil keputusan yang pro-pertumbuhan dan pro-penuntasan kemiskinan juga memberikan kontribusi yang cukup signifikan.

Sehingga sinergi positif antara keduanyalah (BI dan Pemerintah) yang akan menentukan apakah sektor riil itu dikatakan sudah berada di jalur hijau, atau masih jalan ditempat seperti yang terjadi saat ini.

Akankah Rupiah Terkoreksi?

Medan Bisnis, 09 April 2007
Dalam sesi perdagaangan beberapa bulan terakhir, Rupiah masih relatif stabil dikisaran level 9050 hingga 9250. Membaiknya indikator ekonomi makro menjadi penopang membaiknya kinerja Rupiah. Namun sampai kapan keadaan tersebut akan bertahan?.

Beberapa data seperti inflasi serta meningkatnya volume ekspor sepertinya akan menjadi data-data yang kerap mewarnai pergerakan Rupiah. Sementara disisi lain, seperti memburuknya kinerja mata uang US Dolar juga akan memberikan dampak positif bagi pergerakan mata uang Rupiah.

Sejauh ini, sejumlah mata uang utama dunia menguat terhadap US Dolar. Namun, keadaan tersebut tidak berpengaruh pada pergerakan Rupiah yang masih stabil dikisaran level 9100. Akan tetapi, secara keseluruhan Rupiah masih menunjukan tren penguatan. Hanya saja penguatan Rupiah dinilai sangat lambat dibandingkan dengan penguatan sejumlah mata uang Asia lainnya.

Padahal banyak analis yang mengatakan bahwa Rupiah seharusnya sudah menguat di bawah level 9000, mengingat banyaknya momentum yang mendukung penguatan Rupiah.

Di tahun 2006 yang lalu, pemerintah khususnya Bank Indonesia pernah memprediksikan pergerakan Rupiah akan berada dalam range 9000 hingga 9500. Level tersebut dinilai level yang tidak akan merugikan eksportir maupun importir. Dan pada saat realisasinya, Rupiah bergerak diatas level 9000 dan dibawah level 9500.

Dan beberapa minggu yang lalu, pemerintah memperkirakan bahwa range pergerakan Rupiah nantinya akan berada di dalam kisaran harga 9000 hingga 9300. hal tersebut tentunya dapat menjadi gambaran bagaimana Rupiah nantinya akan berfluktuasi, kalau kita bersandarkan pada asumsi pemerintah tersebut.

Namun, perlu diwaspadai, bahwa saat ini masih terjadi tren penurunan BI rate. Belum ada yang tahu sampai diberapa nantinya bunga Rupiah akan turun. Apabila keadaan ini terus berlangsung hingga mendekati bunga bank sentral Amerika atau The FED, maka ada kemungkinan pembalikan modal ke luar negeri. Namun, hal tersebut tentunya tidak berkorelasi seratus persen (100%).

Satu hal yang mungkin bisa menjadi acuan, bahwa pemerintah masih akan tetap menjaga adanya interest rate diferential (perbedaan suku bunga) antara BI rate dengan The FED, dan tentunya membuat Rupiah lebih menarik dibandingkan dengan US Dolar dimata para investor.

Selain itu, seperti yang kita ketahui sekarang, cadangan devisa kembali mencatatkan rekor tertinggi dalam sejarah. Hal tersebut memberikan gambaran cukup jelas bahwa pemerintah mempunyai kekuatan untuk menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah.

Untuk saat ini, belum ada alasan yang kuat bahwa Rupiah akan melemah dan menembus batas atas (level 9300) seperti yang telah di asumsikan pemerintah saat ini. Membaiknya kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang juga sempat mencatat rekor tertinggi dalam sejarah, akan membuat pasar finansial dalam negeri berada di jalur hijau.

Tuesday, March 27, 2007

Hitung-Hitung Investasi ORI

Medan Bisnis, 26 Maret 2007
Pemerintah menjadwalkan akan menerbitkan Obligasi Negara Ritel (ORI) untuk yang kedua kalinya. Karena itu ORI yang akan diterbitkan saat ini bernama ORI-2. tidak jauh berbeda dengan ORI yang diterbitkan sebelumnya. Hanya saja, kupon atau bunga lebih kecil dibandingkan dengan ORI-1. Hal tersebut dikarenakan adanya tren penurunan suku bunga Rupiah.

Selain untuk diversifikasi sumber pembiayaan pemerintah, penerbitan ORI juga bertujuan untuk memperluas basis investor. Khususnya investor dari kalangan ritel. Jadi masyarakat yang mempunyai modal diatas 5 juta mempunyai kesempatan mendapatkan bunga sebesar 9.28% (belum dipotong pajak). Bunga tersebut lebih besar apabila dibandingkan dengan bunga deposito saat ini yang berkisar diantara 6 hingga 8% pertahun.

Jika dibandingkan dengan SBI, ORI-2 juga lebih menarik. Karena SBI saat ini mengacu pada BI Rate sebesar 9%. Selain itu, kalau mau berinvestasi di SBI juga harus mempunyai modal minimal Rp.100 juta, dan harus melalui proses lelang. Jadi ORI tetap lebih menguntungkan dari sisi teknisnya.

Persyaratan lainnya juga tidak begitu rumit, selain membuka rekening kustodi dan tabungan, calon investor juga mampu menunjukan bahwa dia adalah benar merupakan asli penduduk Indonesia dengan melampirkan KTP atau SIM. Bagi calon investor yang belum memiliki rekening kustodian, beberapa Bank telah menyiapkan kemudahan untuk membuka rekening tersebut.

Berinvestasi di ORI hampir tidak memiliki resiko, karena pembayarannya dijamin pemerintah. Namun, di pasar skunder harga Obligasi bisa saja turun sehingga menimbulkan capital loss. Resiko tersebut sering juga disebut dengan market risk (resiko pasar).

Akan tetapi, dengan kecenderungan penurunan suku bunga saat ini, bisa diperkirakan kemungkinan terjadinya capital loss semakin kecil. Karena, pemicu utama turunnya harga Obligasi biasanya karena ada tren kenaikan suku bunga. Bagi mereka yang menginginkan produk investasi tanpa resiko tinggi, maka ORI merupakan pilihan yang tepat.

Selain menawarkan bunga yang lebih tinggi dari deposito. ORI juga menawarkan keuntungan harga Obligasi di pasar skunder. Jadi, seorang investor yang telah membeli ORI di pasar perdana, berpotensi mendapatkan keuntungan dari kenaikan harga obligasi di pasar skunder atau capital gain.

Bagaimana itu terjadi?. Data menteri keuangan saat ini menyebutkan bahwa terjadi kenaikan permintaan terhadap ORI yang mencapai lebih dari Rp. 6 Trilyun. Apabila keadaan ini berlangsung hingga ke pasar skunder, maka akan terjadi kenaikan permintaan ORI (oversubscribe), dan sudah dapat dipastikan harga ORI mengalami kenaikan per-unitnya. Nah, selisih yang lebih besar antara harga di pasar skunder dengan harga di pasar perdana itu yang disebut dengan capital gain.

Namun, investor harus tetap jeli dalam memilih agen penjual. Karena setiap agen penjual (perbankan atau perusahaan sekuritas) memberikan biaya administrasi yang berbeda. Pilih agen penjual yang menawarkan biaya administrasi yang rendah.

Hitung seluruh pengeluaran yang diakibatkan dari transaksi ORI, mulai dari pajak hingga biaya administrasi. Pastikan keuntungan bersih yang anda dapatkan lebih besar dari produk investasi lain seperti deposito. Dan lebih baik lagi kalau investasi di ORI bunganya (netto) lebih besar dari laju inflasi, karena investasi yang menguntungkan adalah investasi yang memberikan imbal hasil lebih tinggi dari laju inflasi.

Menarikkah Bunga Deposito?

Medan Bisnis, 26 Maret 2007
Hingga saat ini, Bank memiliki kecenderungan untuk menyimpan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI) di Bank Indonesia, walaupun tidak menutup kemungkinan bagi masyarakat baik perorangan maupun perusahaan untuk memiliki SBI. Umumnya, hal tersebut dilakukan karena suku bunga SBI memberikan imbal hasil atau yield tinggi dan tanpa resiko gagal bayar.

SBI merupakan instrumen surat berharga yang paling besar pasarnya, karena besarnya tidak dibatasi oleh permintaan maupun kelebihan likuiditas dari perbankan. Akan tetapi, SBI lebih dikaitkan dengan target moneter pemerintah.

Nah, apa jadinya kalau BI rate yang menjadi suku bunga acuan mulai merangkak turun. Tentunya perbankan juga akan mengikuti hal yang sama dan berpotensi memberikan bunga yang lebih rendah dari bunga SBI.

Pada waktu pemerintah menaikan harga BBM yang rata-rata sebesar 126% akhir 2005 lalu, suku bunga SBI sempat bertengger di level 12.75%. Sementara suku bunga deposito perbankan rata-rata berkisar antara 9% hingga 11% pertahun.

Sementara itu, laju inflasi pada saat harga BBM dinaikan diatas angka 17% year on year (2005). Kalau kita hitung angka inflasi sebesar itu tentunya lebih tinggi dari bunga deposito yang hanya berkisar 9% hingga 11% pertahun tersebut.

Kenaikan harga barang yang rata-rata naik sebesar 17% ternyata tidak diikuti oleh kenaikan bunga deposito yang signifikan. Apalagi buat anda yang mengandalkan gaji, apakah kenaikan gaji tersebut sudah naik sebesar laju inflasi?, kalau belum, berarti ada kemrosotan baik daya beli maupun pendapatan real anda pribadi. Hal tersebut selalu menjadi barometer kemana arah angka kemiskinan negeri ini nantinya.

Pada saat ini, BI rate berada di level 9.25%. suku bunga deposito berada dalam kisaran 5 hingga 7%. Ada penurunan, karena BI (Bank Indonesia) melakukan pemotongan BI rate secara gradual dalam setiap rapat dewan gubernur BI di awal bulan.

Memang terjadi penurunan inflasi yang signifikan dari awal tahun (januari) 2006 hingga ke awal tahun 2007, yakni hanya sebesar 6.6% (skala nasional). Tapi perlu diingat, ada kenaikan harga beras yang mencapai 20% selama bulan februari kemarin, yang mengancam meningkatnya laju inflasi pada tahun ini.

Setiap daerah pasti memiliki kontribusi inflasi yang berbeda terhadap laju inflasi secara nasional (skala nasional). Misalkan ada daerah yang tidak mengalami kenaikan bahan makanan (misal:beras) yang tinggi, karena di daerahnya surplus beras. Sehingga kenaikan harga beras yang signifikan tidak begitu berpengaruh terhadap laju inflasi didaerah tersebut.

Beruntung kalau anda tinggal didaerah tersebut. Tapi apa jadinya kalau anda tinggal ditempat dimana semua bahan makanan dikirmkan dari luar daerah tempat anda tinggal. Harga bahan makanan tersebut tentunya berpotensi mengalami fluktuasi harga yang signifikan.

Kaitannya dengan bunga deposito, bagi anda yang suka menyimpan uang dalam deposito, pertimbangkan untuk tetap mengawasi perubahan harga disekitar anda. Jangan-jangan anda yang saat ini terbuai dengan bunga yang tinggi dari deposito, justru mengalami kerugian.

Akan tetapi, kalau anda tertarik untuk investasi di SBI bisa juga. Karena BI juga memberikan kesempatan bagi perorangan untuk ikut dalam lelang SBI. Minimal uang yang harus anda miliki sebesar Rp.100 Juta dan selebihnya kelipatan Rp.50 Juta.

Nah, dalam lelang SBI tersebut siapa saja yang akan menang?, Bagi mereka yang menawarkan suku bunga paling rendah (acuan BI rate) serta nominal yang tinggi maka dialah yang berpotensi menang dalam lelang SBI. Kalau anda menang?, maka anda akan menikmati imbal hasil yang lebih tinggi dari bunga deposito.

Tuesday, March 13, 2007

Penurunan BI Rate Belum Signfikan

Medan Bisnis, 12 Maret 2007
Bank Indonesia (BI) kembali menurunkan suku bunga acuan atau BI Rate sebesar 25 basis poin menjadi 9% pada saat ini. Penurunan tersebut diambil seiring dengan membaiknya laju tekanan inflasi pada bulan Februari yang hanya sebesar 0.6%.

Laju inflasi tersebut lebih kecil dari ekspektasi analis kebanyakan yang memperkirakan akan terjadi lonjakan inflasi diatas 1% selama bulan Februari. Namun, diperkirakan penurunan tersebut tidak akan berdampak signifikan bagi bergeraknya sektor riil, karena masih terdapat masalah struktural penghambat tumbuhnya sektor riil.

Dengan penurunan BI rate maka akan terjadi penurunan pada bunga SBI, yang juga akan berimbas pada penurunan bunga deposito perbankan. Hal tersebut diperkirakan akan memberikan dampak negatif bagi pengumpulan dana pihak ke-3 perbankan.

Banyak investor akan mencari bentuk investasi lain selain menanamkannya dalam bentuk deposito. Beberapa alternatif memang ditawarkan oleh pemerintah seperti Obligasi Negara Ritel atau ORI. Atau bagi mereka yang mempunyai dana lebih bisa berinvestasi dalam Sertifikat Bank Indonesia (SBI), yang nota bene mempunyai imbal hasil yang lebih tinggi dari deposito.

Penurunan suku bunga biasanya diikuti dengan berbaliknya sejumlah dana ke bentuk investasi lain yang lebih menguntungkan. Kalau imbal hasil dari investasi yang ditawarkan oleh negara lain lebih mumpuni, maka berpotensi membuat mata uang negeri asal dana tersebut melemah.

Jadi perlu dilakukan sebuah terobosan agar dana tersebut tetap berada di dalam negeri dan tidak parkir di negara lain. Penerbitan ORI merupakan salah satu upaya tersebut. Tapi belum ada jaminan pasar finansial kita akan tetap bergerak di jalur hijau.

Negara lain yang saat ini memberikan suku bunga yang lebih kecil dari BI Rate, memang kalah menarik dibandingkan dengan Indonesia untuk berinvestasi. Namun, investasi yang hanya mengandalkan suku bunga semata, hanya akan membuat investor menyimpan dananya dalam jangka pendek.

Begitu ada penurunan suku bunga, maka kekhawatiran ada arus balik modal bermunculan. Kalau memacu sektor riil, maka pemerintah dituntut untuk memperbaiki masalah struktural hingga memberikan insentif-insentif lainnya seperti keringanan pajak.

Selain itu, negeri ini belum lepas dari sejumlah faktor resiko yang sangat diperhitungkan dalam menentukan investasi. Walaupun saat ini pemerintahan dapat diasumsikan dalam keadaan stabil, namun belum ada jaminan menjelang pemilu nanti kondisi akan tetap sama, namun kita semua pasti tidak mengharapkan ada hal negatif yang terjadi.

Kalaupun sejauh ini sejumlah indikator ekonomi di pasar finansial menunjukan perubahan yang positif, namun belum ada jaminan akan berdampak positif bagi perbaikan sektor riil.

Butuh waktu memang, karena permasalahan pengangguran, kemiskinan, perburuhan dan masalah fundamental ekonomi bangsa ini bukan hanya ditentukan dalam rapat dewan gubernur BI yang menentukan arah suku bunga. Akumulasi kebijakan serta implementasi positif dari semua stake holder lah yang akan menentukan perbaikan ekonomi bangsa ini. Jadi bukan hanya masalah suku bunga.

Monday, March 05, 2007

Rupiah Kembali Bergejolak

Medan Bisnis, 05 Maret 2007
Pada pertengahan perdagangan minggu kemarin, Rupiah kembali melemah hingga mendekati level 9200. Melemahnya Rupiah lebih dikarenakan sentimen negatif eksternal, dimana terjadi aksi jual besar-besaran di lantai bursa global.

Melemahnya indeks bursa Dow Jones yang sempat melemah hingga 400 poin menjadi akar masalah dari melemahnya Rupiah. Pernyataan gubernur bank sentral Amerika yang menyatakan bahwa akan terjadi pelemahan pada laju perekonomian Amerika menjadi pemicu memburuknya kinerja pasar finansial di Asia.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bahkan sempat melemah hingga 91 poin pada sesi pembukaan perdagangan hari rabu (28/02) minggu kemarin. Melemahnya IHSG turut dibarengi dengan melemahnya sejumlah indeks bursa di Asia.

Akan tetapi, kinerja mata uang Yen Jepang tetap menunjukan tren penguatan yang signifikan terhadap US Dolar. Sayangnya, penguatan Yen Jepang tersebut tidak memberikan kontribusi positif bagi pergerakan mata uang Asia lainnya termasuk Rupiah.

Selain dikarenakan likuidasi dari transaksi carry trade, menguatnya mata uang Yen Jepang juga didorong oleh langkah repatriasi, dimana perusahaan-perusahaan Jepang menarik dananya dari luar negeri menjelang berakhirnya tahun fiskal.

Sejauh ini, tren penguatan Yen Jepang masih terus berlanjut. Belum ada yang bisa memastikan kapan likuidasi carry trade akan berakhir. Namun, ditengah memburuknya data perekonomian Amerika saat ini, tidak menutup kemungkinan bagi mata uang Yen Jepang untuk terus melanjutkan tren penguatan terhadap US Dolar.

Sementara itu, Rupiah juga tidak menunjukan performa yang baik seiring dengan membaiknya kinerja mata uang Yen Jepang. Padahal, Rupiah mempunyai sentimen positif yang seharusnya mampu mengangkat nilai tukar Rupiah ke level yang lebih baik lagi.

Tidak lain, sentimen positif tersebut adalah dirilisnya data inflasi bulan Februari yang hanya sebesar 0.62%. Angka tersebut lebih kecil dari ekspektasi pasar sebelumnya, yang memperkirakan akan terjadi kenaikan inflasi diatas 1% pada bulan Februari.

Namun, tidak sepenuhnya data inflasi tersebut akan menjadi support bagi penguatan Rupiah. Rendahnya laju tekanan inflasi akan memunculkan spekulasi bahwa Bank Indonesia (BI) akan kembali memotong besaran suku bunga dalam rapat dewan gubernur (RDG) BI pada tanggal 6 Maret mendatang.

Tentunya, penurunan suku bunga tersebut akan membuat perbedaan suku bunga atau interest rate differential antara Rupiah dan Dolar Amerika semakin mengecil. Namun, terkadang kekhawatiran tersebut tidak terbukti, seperti yang terjadi pada pemotongan BI rate pada bulan-bulan sebelumnya.

Dalam keadaan seperti ini, pelaku pasar sebaiknya melakukan evaluasi jangka menengah ke jangka panjang guna menghindari gejolak fluktuasi mata uang yang signifikan. Karena, dalam jangka pendek fokus pasar akan terpecah pada beberapa isu yang memang sulit untuk diketahui kemana muaranya.

Diantaranya adalah isu invasi terhadap Iran yang dilakukan oleh Amerika Serikat. Isu tersebut sempat membuat US Dolar melemah, namun melemahnya US Dolar tersebut hanya bersifat sementara.

Guna menghindari efek negatif dari isu yang berkembang, sebaiknya pelaku pasar lebih mengamati faktor fundamental ekonomi dari setiap negara. Untuk nilai tukar Rupiah, walaupun sempat terpuruk hingga mendekati level 9200, namun, keadaan tersebut diperkirakan tidak akan berlangsung lama. Kenapa?, setidak-tidaknya pemerintah saat ini mempunyai cadangan devisa yang cukup signifikan, yang suatu saat dapat digunakan untuk meredam gejolak niali tukar Rupiah yang bergerak liar.

Tuesday, February 27, 2007

Kenaikan Suku Bunga BOJ Tidak Direspon Pasar

Medan Bisnis, 26 Februari 2007
Walaupun pasar sudah menduga bahwa tidak akan terjadi penurunan suku bunga dalam rapat dewan gubernur Bank of Japan (BOJ) yang berakhir rabu kemarin. Namun, mata uang Yen Jepang tetap berada dibawah tekanan walaupun mendapat support dari kenaikan suku bunga BOJ.

Mata uang Yen belum lepas dari statusnya sebagai mata uang yang banyak digunakan untuk transaksi carry trade. Jadi, walaupun suku bunga BOJ dinaikan sebesar 25 basis poin menjadi 0.5%, pasar menilai mata uang Yen Jepang tetap potensial menjadi mata uang yang layak dipinjam lalu dikonversi dan disimpan dalam bentuk mata uang lain, yang memberikan suku bunga lebih tinggi.

Padahal sebelumnya, Yen Jepang sempat menguat terhadap US Dolar sebelum digelarnya rapat dewan gubernur BOJ tersebut. Namun, penguatan tersebut hanya sementara, selain dikarenakan aksi profit taking, melemahnya Yen Jepang juga dikarenakan membaiknya ekspektasi data perekonomian di Amerika.

Lihat saja data consumer price index (CPI) Amerika yang merealisasikan angka lebih baik dari perkiraan sebelumnya. Ini menunjukan bahwa kekhawatiran bahwa bank sentral Amerika atau The FED akan menurunkan suku bunga selama tahun 2007 ini tidak akan terjadi. Meski demikian itu hanyalah perkiraan yang spekulatif.

Alasan dinaikkannya suku bunga BOJ sendiri telah diperkirakan pasar sebelumnya. Meningkatnya laju pertumbuhan ekonomi di Jepang selama kuartal ke empat tahun 2006 menjadi pendorong utama keputusan BOJ menaikan suku bunganya.

Berbeda terhadap mata uang Poundsterling dan Euro. US Dolar justru bergerak mixed dengan kecenderungan melemah terhadap kedua mata uang tersebut. Terhadap Poundsterling US Dolar melemah terdorong oleh pasar yang lebih bersikap hawkish (arah suku bunga yang cenderung naik).

Namun, mata uang Poundsterling diperkirakan akan bergerak dengan fluktuasi yang tajam seiring dengan sejumlah data perekonomian Inggris yang kerap merealisasikan angka yang beragam. Terkadang sejumlah data perekonomian Inggris merealisasikan angka positif, namun, turut dibarengi dengan realisasi negatif di sejumlah data perekonomian lainnya.

Demikian halnya terhadap Euro. Sikap hawkish sejumlah pejabat bank sentral eropa atau ECB sempat membuat Euro menguat terhadap US Dolar. Namun, sikap tersebut memudar setelah sejumlah data perekonomian di zona Euro merealisasikan angka yang tidak lebih baik dari data perekonomian Amerika.

Hal tersebut berujung pada melemahnya mata uang Euro. Namun terhadap Yen Jepang Euro masih membukukan penguatan, yang diperkirakan masih di topang oleh transaksi yang lebih mengedepankan faktor selisih suku bunga (carry trade).

Kedepan, pelemahan US Dolar masih berpotensi sangat lebar. Terlebih kebijakan politik luar negeri Amerika yang hingga saat ini diperkirakan masih akan lebih ofensif dalam menyelesaikan masalah nuklir Iran.

Kebijakan tersebut sempat membuat mata uang US Dolar melemah, sesaat setelah beredar isu bahwa Amerika akan menyerang Iran lewat serangan udara. Kebijakan politik luar negeri Amerika tentunya akan berimplikasi pada sektor keuangan Amerika sendiri.

Walaupun terjadi pergerakan suku bunga di Asia yang stagnan, atau bahkan menurun. Namun, laju pertumbuhan di Asia yang diperkirakan masih akan tetap tumbuh secara signifikan, akan menjadi fundamental bagi pergerakan mata uang di Asia yang masih berpeluang besar untuk tetap menguat.