Tuesday, February 27, 2007

Kenaikan Suku Bunga BOJ Tidak Direspon Pasar

Medan Bisnis, 26 Februari 2007
Walaupun pasar sudah menduga bahwa tidak akan terjadi penurunan suku bunga dalam rapat dewan gubernur Bank of Japan (BOJ) yang berakhir rabu kemarin. Namun, mata uang Yen Jepang tetap berada dibawah tekanan walaupun mendapat support dari kenaikan suku bunga BOJ.

Mata uang Yen belum lepas dari statusnya sebagai mata uang yang banyak digunakan untuk transaksi carry trade. Jadi, walaupun suku bunga BOJ dinaikan sebesar 25 basis poin menjadi 0.5%, pasar menilai mata uang Yen Jepang tetap potensial menjadi mata uang yang layak dipinjam lalu dikonversi dan disimpan dalam bentuk mata uang lain, yang memberikan suku bunga lebih tinggi.

Padahal sebelumnya, Yen Jepang sempat menguat terhadap US Dolar sebelum digelarnya rapat dewan gubernur BOJ tersebut. Namun, penguatan tersebut hanya sementara, selain dikarenakan aksi profit taking, melemahnya Yen Jepang juga dikarenakan membaiknya ekspektasi data perekonomian di Amerika.

Lihat saja data consumer price index (CPI) Amerika yang merealisasikan angka lebih baik dari perkiraan sebelumnya. Ini menunjukan bahwa kekhawatiran bahwa bank sentral Amerika atau The FED akan menurunkan suku bunga selama tahun 2007 ini tidak akan terjadi. Meski demikian itu hanyalah perkiraan yang spekulatif.

Alasan dinaikkannya suku bunga BOJ sendiri telah diperkirakan pasar sebelumnya. Meningkatnya laju pertumbuhan ekonomi di Jepang selama kuartal ke empat tahun 2006 menjadi pendorong utama keputusan BOJ menaikan suku bunganya.

Berbeda terhadap mata uang Poundsterling dan Euro. US Dolar justru bergerak mixed dengan kecenderungan melemah terhadap kedua mata uang tersebut. Terhadap Poundsterling US Dolar melemah terdorong oleh pasar yang lebih bersikap hawkish (arah suku bunga yang cenderung naik).

Namun, mata uang Poundsterling diperkirakan akan bergerak dengan fluktuasi yang tajam seiring dengan sejumlah data perekonomian Inggris yang kerap merealisasikan angka yang beragam. Terkadang sejumlah data perekonomian Inggris merealisasikan angka positif, namun, turut dibarengi dengan realisasi negatif di sejumlah data perekonomian lainnya.

Demikian halnya terhadap Euro. Sikap hawkish sejumlah pejabat bank sentral eropa atau ECB sempat membuat Euro menguat terhadap US Dolar. Namun, sikap tersebut memudar setelah sejumlah data perekonomian di zona Euro merealisasikan angka yang tidak lebih baik dari data perekonomian Amerika.

Hal tersebut berujung pada melemahnya mata uang Euro. Namun terhadap Yen Jepang Euro masih membukukan penguatan, yang diperkirakan masih di topang oleh transaksi yang lebih mengedepankan faktor selisih suku bunga (carry trade).

Kedepan, pelemahan US Dolar masih berpotensi sangat lebar. Terlebih kebijakan politik luar negeri Amerika yang hingga saat ini diperkirakan masih akan lebih ofensif dalam menyelesaikan masalah nuklir Iran.

Kebijakan tersebut sempat membuat mata uang US Dolar melemah, sesaat setelah beredar isu bahwa Amerika akan menyerang Iran lewat serangan udara. Kebijakan politik luar negeri Amerika tentunya akan berimplikasi pada sektor keuangan Amerika sendiri.

Walaupun terjadi pergerakan suku bunga di Asia yang stagnan, atau bahkan menurun. Namun, laju pertumbuhan di Asia yang diperkirakan masih akan tetap tumbuh secara signifikan, akan menjadi fundamental bagi pergerakan mata uang di Asia yang masih berpeluang besar untuk tetap menguat.

Tuesday, February 20, 2007

Beras Petani dan Petani Beras

Medan Bisnis, 19 Februari 2007
Setelah banjir melanda Ibu Kota, kini Indonesia kembali dihebohkan dengan kenaikan harga beras yang cukup signifikan. Permasalahan beras sepertinya menjadi permasalahan klasik. Dari permasalahan agraria, produksi, distribusi maupun harga.

Kenaikan harga beras akhir-akhir ini memang menjadi perhatian serius pemerintah. Karena kenaikan beras berpotensi menjadi pemicu tingginya laju inflasi. Secara makro memang demikian, namun, bukankah seharusnya kenaikan harga beras juga memberikan rezeki tambahan bagi petani yang menanam padi. Namun, sejauh ini, kenaikan harga beras juga tidak membuat harga gabah dilevel petani turut naik, seiring dengan kenaikan beras itu sendiri.

Padahal secara ekonomis, pertanian merupakan salah satu fundamental ekonomi bangsa kita yang mampu bertahan ditengah krisis moneter tahun 1997. Kenaikan harga beras saat ini merupakan akumulasi dari kekhawatiran akan berkurangnya stok beras pemerintah yang diakibatkan bencana alam, sehingga menjadikan proses distribusi serta produksi kembali terhambat.

Selain itu, mata rantai distribusi beras yang terlalu panjang juga menjadi lahan tersendiri bagi spekulan untuk meraup keuntungan. Apalagi proses distribusi beras tidak didukung oleh infrastruktur yang memadai, sehingga potensi kenaikan beras jauh lebih tinggi bagi daerah yang sulit dijangkau.

Impor merupakan jalan satu-satunya yang mampu menahan laju kenaikan harga beras. Namun, siapa yang menjamin bahwa beras impor tersebut tidak bocor ke pasar. Sejatinya beras impor hanya digunakan untuk pengamanan stok yang diperuntukan untuk operasi pasar.

Sebenarnya pemerintah juga mempunyai jurus lain untuk menahan kenaikan harga beras. Yakni dengan melakukan pembelian beras dalam negeri. Namun, ketidaksesuaian harga masih menjadi kendala utama. Misalkan, pemerintah menetapkan bahwa harga pembelian di dalam negeri sebesar Rp.3.500/kg. Namun, harga dipasar terkadang diatas harga tersebut, sehingga memudarkan kemauan politik pemerintah untuk membeli beras dalam negeri.

Selain dapat mengurangi cadangan devisa, impor juga membuat beras dalam negeri tidak bersaing. Jadi sudah semestinya, impor beras hanya dilakukan apabila kondisi perberasan dalam negeri benar-benar dalam situasi kritis atau bahkan gawat darurat.

Solusi
Sejauh ini, kesejahteraan petani beras tidak kunjung meningkat walaupun terjadi kenaikan harga beras yang cukup signifikan. Kesejahteraan petani memang sangat dilematis. Kenaikan harga BBM yang naik rata-rata sebesar 126% di akhir tahun 2005, tidak dibarengi dengan kenaikan serupa terhadap harga pembelian gabah. Sehingga kesejahteraan petani tetap merosot.

Kalaupun harga gabah dinaikan, maka harga beras tentunya turut melambung. Inflasi yang merupakan salah satu indikator ekonomi makro juga akan kembali naik. Faktanya pertanian selalu menjadi data terkait dengan perubahan ekonomi makro. Sehingga, memberikan tekanan terhadap pergerakan harga beras menjadi semacam keharusan yang dilakukan guna tetap mempertahankan indikator ekonomi negara kita tetap mengkilap. Dalam hal ini, petani tetap menjadi korban.

Untuk itu, pemerintah dituntut untuk melakukan terobosan guna mengontrol pergerakan harga beras dan menigkatkan kesejahteraan petani. Pemerintah harus menunjukan komitmen yang kuat terhadap kepentingan petani, seperti menjaga stabilitas harga pupuk, mengoptimalkan produksi pangan lokal, reorganisasi tani, menjamin harga yang berelasi langsung terhadap ongkos produksi maupun subsidi yang lebih besar bagi sektor pertanian.

Tentunya keinginan tersebut juga membutuhkan modal yang sangat besar serta porsi yang lebih besar lagi dalam APBN. Atau, pemerintah dapat melakukan alternatif penyelesaian masalah lain yakni diversifikasi pangan.

Bukankah tidak semua wilayah di Indonesia dapat menghasilkan beras. Masyarakat Indonesia yang beragam mempunyai ragam konsumsi makanan pokok yang berbeda pula. Pemerintah dapat membiarkan masyarakat mengkonsumsi bahan makanan pokok selain beras, sesuai dengan kemampuan daerah masing-masing dalam menghasilkan produk makanan pokok pilihannya. Dengan begitu pemerintah tidak dipusingkan dengan kenaikan harga beras, yang hampir setiap tahun menjadi polemik.

Di Indonesia, banyak petani yang menggarap lahan kurang dari 0.3 Hektar. Dengan lahan yang sempit itu sulit untuk mencapai produktifitas tinggi serta memperoleh penghasilan yang layak. Apalagi, hampir semua petani di Indonesia merupakan net consumer, dan menghabiskan 50% penghasilannya untuk membeli bahan pangan.

Ini sebuah ironi, dan menunjukan bahwa petani beras sekalipun masih kesulitan untuk memenuhi kebutuhan beras petani itu sendiri. Kedaulatan pangan di negeri ini masih jauh dari harapan. Sampai kapan?, tentu seluruh masyarakat Indonesia berharap ini hanyalah badai yang pasti akan berlalu.

US Dolar Terpuruk di Asia

Medan Bisnis, 19 Februari 2007
Dalam sesi perdagangan minggu lalu, mata uang asia khususnya Yen Jepang melemah terhadap US Dolar. Bahkan, spekulasi yang menyebutkan sebelumnya bahwa Yen Jepang akan menjadi tema dalam pertemuan negara yang tergabung dalam G-7 tidak terbukti.

US Dolar pun diperdagangkan dalam rentang perdagangan yang sempit dengan kecenderungan menguat terhadap mata uang utama dunia. Fokus pasar sebelumnya yang tertuju pada testimony Gubernur Bank Sentral Amerika Ben Bernanke, juga sempat mengangkat US Dolar ke level yang lebih tinggi lagi terhadap rivalnya.

Pada saat Bernanke mengadakan pertemuan dengan komisi perbankan senat Amerika, bernanke sempat mendapat pujian dari anggota senat karena mampu mempertahankan perekonomian Amerika dalam jalur yang benar.

Namun, dalam pertemuan tersebut Bernanke menyatakan bahwa laju tekanan inflasi sudah mulai berkurang dan sektor perumahan tetap menjadi permasalahan dalam perekonomian Amerika. Hal tersebut mendapat respon negatif dari psar yang memicu aksi jual US Dolar sehingga berbuntut pada pelemahan mata uang US Dolar (Greenback).

Mata uang di Asia khusunya Yen Jepang juga menguat signifikan terhadap US Dolar. Mata uang lainnya seperti Dolar Singapura juga mengalami penguatan tajam. Bahkan, pemerintah Singapura sempat melakukan intervensi guna menahan laju penguatan Dolar Singapura.

Tidak hanya sampai disitu, mata uang Yen Jepang masih melanjutkan penguatan setelah data pertumbuhan ekonomi Amerika untuk kuartal keempat naik cukup signifikan. Selama kuartal keempat tahun 2006 pertumbuhan ekonomi jepang merealisasikan kenaikan sebesar 1.2%, sehingga mengangkat angka pertumbuhan tahun dari semula sebesar 0.3% menjadi 4.9%.

Sejauh ini, Bank of Japan (BOJ) sangat berfokus pada data consumer spending serta inflasi, guna mengambil keputusan suku bunga BOJ. Meningkatnya laju pertumbuhan ekonomi di Jepang mengindikasikan bahwa ada kemungkinan akan dinaikkannya suku bunga BOJ dalam minggu ini.

Penguatan Yen Jepang telah mendorong sejumlah mata uang Asia lainnya menguat termasuk nilai tukar Rupiah. Walaupun laju penguatan Rupiah relatif terbatas, namun Rupiah diperkirakan akan tetap melanjutkan tren penguatan.

Rupiah mampu menembus level psikologis 9000, apabila pemerintah tidak melakukan intervensi terhadap pergerakan Rupiah dipasar. Namun, disisi lain BI juga mempunyai kepentingan untuk tetap menjaga Rupiah agar tidak berfluktuasi dalam rentang perdagangan yang lebar.

Walaupun masih diragukan apakah BI akan kembali menurunkan suku bunga dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI mendatang. Namun, sejumlah indikator lain seperti meningkatnya cadangan devisa serta pasar finansial regional asia yang diperkirakan masih tetap tumbuh akan memberikan kontribusi positif bagi pasar finansial dalam negeri.

Dalam jangka pendek Rupiah diperkirakan akan bergerak dalam kisaran yang sempit antara 8980 hingga 9070, dengan kecenderungan menguat. Pergerakan Rupiah sendiri diperkirakan akan lebih banyak memamfaatkan sentimen dalam negeri, kendati sejumlah factor eksternal berpotensi memberikan dorong bagi penguatan Rupiah ke level yang lebih tinggi lagi.

Monday, February 12, 2007

Suku Bunga Abaikan Inflasi

Medan Bisnis, 12 Februari 2007
Bank Indonesia kembali menurunkan suku bunga acuan atau BI rate sebesar 25 basis poin menjadi 9.25%. Keputusan tersebut diambil dan mengabaikan tingginya ancaman inflasi selama bulan Februari ini yang diakibatkan oleh banjir.

Namun, sebagian pelaku pasar menilai BI konsisten terhadap keputusannya dan sesuai dengan skema semula yakni inflation targeting. Padahal, pasar sebelumnya sempat mengkhawatirkan BI tidak akan kembali menurunkan suku bunga seiring dengan bencana alam yang melanda negeri ini.

Namun, walaupun suku bunga diturunkan, indeks harga saham gabungan atau IHSG tidak menunjukan kinerja yang positif. Indeks justru sempat melemah kurang dari 1%, dimana diyakini dipicu dan sangat erat kaitannya dengan banjir di Ibu Kota.

Banyak saham yang kembali turun harganya, hanya beberapa saham yang mengalami kenaikan, misalnya saham-saham yang mewakili produk-produk makanan. Penurunan harga saham tersebut dinilai wajar, karena dengan kondisi memprihatinkan saat ini, seharusnya potensi melemahnya IHSG lebih besar lagi.

Akan tetapi, sejauh ini Rupiah masih relatif stabil terhadap US Dolar. Derasnya capital inflows yang masuk kenegeri ini membuat Rupiah nyaman walaupun perbedaaan suku bunga Rupiah dan US Dolar kembali mengecil.

Kita lihat saja penerbitan obligasi pemerintah yang didenominasi oleh mata uang US Dolar. Banyak investor yang ingin menanamkan duitnya dalam instrumen tersebut. Bahkan, kabar menyebutkan bahwa penerbitan obligasi yang menyerap likuiditas sebesar $1.5 Milyar kelebihan penawaran atau oversubscride.

Kepercayaan investor asing kembali pulih setelah lembaga pemeringkat Fitch Rating dan Moody’s kembali menaikan peringkat utang Indonesia dari stabil menjadi positif. Hal ini kabar baik tentunya, dan sekaligus menjadi barometer fundamental ekonomi Indonesia kedepan nantinya.

Dengan penyerapan likuiditas tersebut, pemerintah berhasil menambah cadangan devisa sehingga mempunyai ruang untuk mengendalikan nilai tukar Rupiah. Hal inilah yang menjadi pemicu utama menguatnya Rupiah belakangan ini. Padahal secara keseluruhan pergerakan Rupiah dibayangi oleh sentimen negatif dalam negeri.

Kembali ke masalah suku bunga. Kebijakan BI yang dinilai sangat berani tersebut tentunya menyisakan banyak pertanyaan. Ditengah ancama kenaikan harga bahan makanan pokok di jakarta yang naik rata-rata sebesar 20%, serta langkah Bank sentral Amerika yang tetap mempertahankan suku bunga di level 5.25%, tentunya membuat ruang gerak penurunan suku bunga semakin kecil.

Ada skenario yang mungkin bisa memberikan gambaran kenapa BI mengambil langkah tersebut. Walaupun inflasi diperkirakan naik selama bulan Februari ini, namun data inflasi tersebut baru akan dirilis bulan Maret mendatang.

Jadi, walaupun pasar paham bahwa inflasi akan kembali naik, namun berapa besar kenaikan tersebut tentunya masih sekedar wacana. Ada yang memprediksikan bahwa inflasi selama bulan Februari akan naik diatas 1% walaupun tetap ada yang yakin bahwa laju inflasi masih cukup terkendali.

Nah, ditengah spekulasi tersebut, tentunya ada kesempatan untuk menurunkan suku bunga yang mengacu pada inflasi bulan Januari sebesar 1.04%. Selain itu, Pemerintah tentunya juga sangat mengkhawatirkan besaran inflasi selama bulan Februari yang berpotensi merealisasikan angka yang lebih buruk dari perkiraan.

Sehingga dampak psikologis yang harus diterima juga akan semakin besar nantinya. Bayangkan apabila BI harus menurunkan suku bunga ketika data inflasi selama bulan Februari baru aja dirilis. Tentunya pasar berpotensi bergejolak. Jadi kesempatan itu ada pada saat ini, namun kedepan BI tentunya akan semakin sulit untuk menurunkan suku bunga karena harus mempertimbangkan tingginya inflasi.

Nah kalau sudah begini, dalam hitungan yang sangat optimis sekalipun inflasi akhir tahun di level 7% tentunya akan sulit untuk tercapai, karena harus mempertimbangkan banyak hal. Kecuali, BI melakukan kebijakan yang sangat radikal serta mengabaikan besaran inflasi.

Tuesday, February 06, 2007

Stabilitas Rawan Koreksi

Medan Bisnis, 05 Januari 2007
Kita kembali melihat Rupiah dan IHSG stabil dan membentuk tren positif. Spekulasi yang berkembang pun menyebutkan bahwa pengaruh dibubarkannya CGI (Consultative Group on Indonesia) yang paling memberikan andil besar bagi stabilnya pasar finansial di Indonesia. Mungkin memang demikian, namun masih banyak hal lain yang dapat menjadi pemicu stabilnya pasar finansial kita baru-baru ini.

Tekanan jual Rupiah kian hari semakin berkurang. Sejumlah investor kembali memasukan modalnya dalam sejumlah investasi berbentuk Obligasi, SBI, SUN dan Saham. Pasarpun kebanjiran likuiditas Rupiah. Bahkan suku bunga overnight di pasar interbank negatif.

Namun tetap tidak ada garansi bahwa uang yang masuk tersebut akan bertahan dalam waktu yang lama. Penguatan Rupiah belakangan ini memunculkan kekhawatiran baru bahwa akan ada arus balik atau koreksi secara teknikal.

Terlebih, psikologi pasar yang menyebutkan bahwa nilai tukar Rupiah sudah menemui titik terkuatnya sehingga rawan untuk kembali berbalik arah.

Kalau sudah begini, mungkin kita harus me-review beberapa indikator ekonomi yang baru-baru ini masih belum memberikan harapan akan terciptanya stabilitas yang tahan lama. Misalnya inflasi, pada bulan Januari inflasi masih merealisasikan angka yang dinilai masih cukup tinggi.

Walalupun angka inflasi bulan Januari 2007 sebesar 1.04%, lebih kecil dari bulan Desember 2006 sebesar 1.21%, namun tetap saja angka inflasi sebesar 1.04% selama awal tahun tersebut dinilai diatas angka normal dan cukup mengkhawatirkan.

Kenapa?, karena di bulan Januari nyaris tidak ada perayaan keagamaan maupun perayaan hari besar lain yang biasanya akan memicu naiknya konsumsi masyarakat. Yang ada hanya kenaikan harga beras yang lebih dikarenakan faktor spekulasi yang selalu terkait dengan ketersediaan stok beras dalam negeri maupun hal tak terduga lain seperti bencana alam yang terkait dengan musim panen.

Lain lagi halnya dengan kenaikan gaji PNS di tahun 2007 ini. Dalam skala pasar yang kecil kenaikan gaji PNS selalu menjadi tolak ukur kenaikan harga barang. Padahal kalau dihitung-hitung kontribusi kenaikan gaji PNS terhadap inflasi tidaklah sebesar yang diasumsikan pasar sebelumnya.

Nah, sekarang apalagi?, faktor non ekonomi lagi-lagi akan menjadi pemicu utama melonjaknya inflasi selama bulan Februari. Semua orang tahu kalau saat ini, Jakarta yang merupakan Ibukota negara kita lagi terendam banjir. Bahkan, ada media yang menyatakan bahwa Indonesia saat ini lagi terapung.

Implikasinya jelas, distribusi BBM dan bahan pokok maupun banyak hal lain yang terkait dengan berputarnya roda perekonomian negeri ini akan terganggu. Terus, inflasi juga akan kembali meningkat tentunya. Terlebih, 80% uang beredar di negeri ini hanya berputar-putar di Jakarta. Kedepan, dengan mudah kita sudah bisa memperkirakan kemana arah suku bunga nantinya. Kalau sudah begitu, tentunya kita juga bisa memperkirakan pergerakan Rupiah nantinya.

Jadi, untuk membuat roda perekonomian negeri ini berjalan lancar, manusia tidak hanya dituntut untuk mampu mengelola aspek-aspek yang lebih bersifat ekonomis. Memperbaiki sinergi hubungan antara manusia dan alam juga sangat berpengaruh bagi kelangsungan hidup bangsa ini. Sekali lagi, walaupun terkadang faktor non-ekonomi (alam) bisa diabaikan, namun, kehadirannya juga mampu merubah pandangan pembuat kebijakan yang terkadang sudah berbicara jauh kedepan mengenai roda ekonomi bangsa ini.