Tuesday, March 27, 2007

Hitung-Hitung Investasi ORI

Medan Bisnis, 26 Maret 2007
Pemerintah menjadwalkan akan menerbitkan Obligasi Negara Ritel (ORI) untuk yang kedua kalinya. Karena itu ORI yang akan diterbitkan saat ini bernama ORI-2. tidak jauh berbeda dengan ORI yang diterbitkan sebelumnya. Hanya saja, kupon atau bunga lebih kecil dibandingkan dengan ORI-1. Hal tersebut dikarenakan adanya tren penurunan suku bunga Rupiah.

Selain untuk diversifikasi sumber pembiayaan pemerintah, penerbitan ORI juga bertujuan untuk memperluas basis investor. Khususnya investor dari kalangan ritel. Jadi masyarakat yang mempunyai modal diatas 5 juta mempunyai kesempatan mendapatkan bunga sebesar 9.28% (belum dipotong pajak). Bunga tersebut lebih besar apabila dibandingkan dengan bunga deposito saat ini yang berkisar diantara 6 hingga 8% pertahun.

Jika dibandingkan dengan SBI, ORI-2 juga lebih menarik. Karena SBI saat ini mengacu pada BI Rate sebesar 9%. Selain itu, kalau mau berinvestasi di SBI juga harus mempunyai modal minimal Rp.100 juta, dan harus melalui proses lelang. Jadi ORI tetap lebih menguntungkan dari sisi teknisnya.

Persyaratan lainnya juga tidak begitu rumit, selain membuka rekening kustodi dan tabungan, calon investor juga mampu menunjukan bahwa dia adalah benar merupakan asli penduduk Indonesia dengan melampirkan KTP atau SIM. Bagi calon investor yang belum memiliki rekening kustodian, beberapa Bank telah menyiapkan kemudahan untuk membuka rekening tersebut.

Berinvestasi di ORI hampir tidak memiliki resiko, karena pembayarannya dijamin pemerintah. Namun, di pasar skunder harga Obligasi bisa saja turun sehingga menimbulkan capital loss. Resiko tersebut sering juga disebut dengan market risk (resiko pasar).

Akan tetapi, dengan kecenderungan penurunan suku bunga saat ini, bisa diperkirakan kemungkinan terjadinya capital loss semakin kecil. Karena, pemicu utama turunnya harga Obligasi biasanya karena ada tren kenaikan suku bunga. Bagi mereka yang menginginkan produk investasi tanpa resiko tinggi, maka ORI merupakan pilihan yang tepat.

Selain menawarkan bunga yang lebih tinggi dari deposito. ORI juga menawarkan keuntungan harga Obligasi di pasar skunder. Jadi, seorang investor yang telah membeli ORI di pasar perdana, berpotensi mendapatkan keuntungan dari kenaikan harga obligasi di pasar skunder atau capital gain.

Bagaimana itu terjadi?. Data menteri keuangan saat ini menyebutkan bahwa terjadi kenaikan permintaan terhadap ORI yang mencapai lebih dari Rp. 6 Trilyun. Apabila keadaan ini berlangsung hingga ke pasar skunder, maka akan terjadi kenaikan permintaan ORI (oversubscribe), dan sudah dapat dipastikan harga ORI mengalami kenaikan per-unitnya. Nah, selisih yang lebih besar antara harga di pasar skunder dengan harga di pasar perdana itu yang disebut dengan capital gain.

Namun, investor harus tetap jeli dalam memilih agen penjual. Karena setiap agen penjual (perbankan atau perusahaan sekuritas) memberikan biaya administrasi yang berbeda. Pilih agen penjual yang menawarkan biaya administrasi yang rendah.

Hitung seluruh pengeluaran yang diakibatkan dari transaksi ORI, mulai dari pajak hingga biaya administrasi. Pastikan keuntungan bersih yang anda dapatkan lebih besar dari produk investasi lain seperti deposito. Dan lebih baik lagi kalau investasi di ORI bunganya (netto) lebih besar dari laju inflasi, karena investasi yang menguntungkan adalah investasi yang memberikan imbal hasil lebih tinggi dari laju inflasi.

Menarikkah Bunga Deposito?

Medan Bisnis, 26 Maret 2007
Hingga saat ini, Bank memiliki kecenderungan untuk menyimpan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI) di Bank Indonesia, walaupun tidak menutup kemungkinan bagi masyarakat baik perorangan maupun perusahaan untuk memiliki SBI. Umumnya, hal tersebut dilakukan karena suku bunga SBI memberikan imbal hasil atau yield tinggi dan tanpa resiko gagal bayar.

SBI merupakan instrumen surat berharga yang paling besar pasarnya, karena besarnya tidak dibatasi oleh permintaan maupun kelebihan likuiditas dari perbankan. Akan tetapi, SBI lebih dikaitkan dengan target moneter pemerintah.

Nah, apa jadinya kalau BI rate yang menjadi suku bunga acuan mulai merangkak turun. Tentunya perbankan juga akan mengikuti hal yang sama dan berpotensi memberikan bunga yang lebih rendah dari bunga SBI.

Pada waktu pemerintah menaikan harga BBM yang rata-rata sebesar 126% akhir 2005 lalu, suku bunga SBI sempat bertengger di level 12.75%. Sementara suku bunga deposito perbankan rata-rata berkisar antara 9% hingga 11% pertahun.

Sementara itu, laju inflasi pada saat harga BBM dinaikan diatas angka 17% year on year (2005). Kalau kita hitung angka inflasi sebesar itu tentunya lebih tinggi dari bunga deposito yang hanya berkisar 9% hingga 11% pertahun tersebut.

Kenaikan harga barang yang rata-rata naik sebesar 17% ternyata tidak diikuti oleh kenaikan bunga deposito yang signifikan. Apalagi buat anda yang mengandalkan gaji, apakah kenaikan gaji tersebut sudah naik sebesar laju inflasi?, kalau belum, berarti ada kemrosotan baik daya beli maupun pendapatan real anda pribadi. Hal tersebut selalu menjadi barometer kemana arah angka kemiskinan negeri ini nantinya.

Pada saat ini, BI rate berada di level 9.25%. suku bunga deposito berada dalam kisaran 5 hingga 7%. Ada penurunan, karena BI (Bank Indonesia) melakukan pemotongan BI rate secara gradual dalam setiap rapat dewan gubernur BI di awal bulan.

Memang terjadi penurunan inflasi yang signifikan dari awal tahun (januari) 2006 hingga ke awal tahun 2007, yakni hanya sebesar 6.6% (skala nasional). Tapi perlu diingat, ada kenaikan harga beras yang mencapai 20% selama bulan februari kemarin, yang mengancam meningkatnya laju inflasi pada tahun ini.

Setiap daerah pasti memiliki kontribusi inflasi yang berbeda terhadap laju inflasi secara nasional (skala nasional). Misalkan ada daerah yang tidak mengalami kenaikan bahan makanan (misal:beras) yang tinggi, karena di daerahnya surplus beras. Sehingga kenaikan harga beras yang signifikan tidak begitu berpengaruh terhadap laju inflasi didaerah tersebut.

Beruntung kalau anda tinggal didaerah tersebut. Tapi apa jadinya kalau anda tinggal ditempat dimana semua bahan makanan dikirmkan dari luar daerah tempat anda tinggal. Harga bahan makanan tersebut tentunya berpotensi mengalami fluktuasi harga yang signifikan.

Kaitannya dengan bunga deposito, bagi anda yang suka menyimpan uang dalam deposito, pertimbangkan untuk tetap mengawasi perubahan harga disekitar anda. Jangan-jangan anda yang saat ini terbuai dengan bunga yang tinggi dari deposito, justru mengalami kerugian.

Akan tetapi, kalau anda tertarik untuk investasi di SBI bisa juga. Karena BI juga memberikan kesempatan bagi perorangan untuk ikut dalam lelang SBI. Minimal uang yang harus anda miliki sebesar Rp.100 Juta dan selebihnya kelipatan Rp.50 Juta.

Nah, dalam lelang SBI tersebut siapa saja yang akan menang?, Bagi mereka yang menawarkan suku bunga paling rendah (acuan BI rate) serta nominal yang tinggi maka dialah yang berpotensi menang dalam lelang SBI. Kalau anda menang?, maka anda akan menikmati imbal hasil yang lebih tinggi dari bunga deposito.

Tuesday, March 13, 2007

Penurunan BI Rate Belum Signfikan

Medan Bisnis, 12 Maret 2007
Bank Indonesia (BI) kembali menurunkan suku bunga acuan atau BI Rate sebesar 25 basis poin menjadi 9% pada saat ini. Penurunan tersebut diambil seiring dengan membaiknya laju tekanan inflasi pada bulan Februari yang hanya sebesar 0.6%.

Laju inflasi tersebut lebih kecil dari ekspektasi analis kebanyakan yang memperkirakan akan terjadi lonjakan inflasi diatas 1% selama bulan Februari. Namun, diperkirakan penurunan tersebut tidak akan berdampak signifikan bagi bergeraknya sektor riil, karena masih terdapat masalah struktural penghambat tumbuhnya sektor riil.

Dengan penurunan BI rate maka akan terjadi penurunan pada bunga SBI, yang juga akan berimbas pada penurunan bunga deposito perbankan. Hal tersebut diperkirakan akan memberikan dampak negatif bagi pengumpulan dana pihak ke-3 perbankan.

Banyak investor akan mencari bentuk investasi lain selain menanamkannya dalam bentuk deposito. Beberapa alternatif memang ditawarkan oleh pemerintah seperti Obligasi Negara Ritel atau ORI. Atau bagi mereka yang mempunyai dana lebih bisa berinvestasi dalam Sertifikat Bank Indonesia (SBI), yang nota bene mempunyai imbal hasil yang lebih tinggi dari deposito.

Penurunan suku bunga biasanya diikuti dengan berbaliknya sejumlah dana ke bentuk investasi lain yang lebih menguntungkan. Kalau imbal hasil dari investasi yang ditawarkan oleh negara lain lebih mumpuni, maka berpotensi membuat mata uang negeri asal dana tersebut melemah.

Jadi perlu dilakukan sebuah terobosan agar dana tersebut tetap berada di dalam negeri dan tidak parkir di negara lain. Penerbitan ORI merupakan salah satu upaya tersebut. Tapi belum ada jaminan pasar finansial kita akan tetap bergerak di jalur hijau.

Negara lain yang saat ini memberikan suku bunga yang lebih kecil dari BI Rate, memang kalah menarik dibandingkan dengan Indonesia untuk berinvestasi. Namun, investasi yang hanya mengandalkan suku bunga semata, hanya akan membuat investor menyimpan dananya dalam jangka pendek.

Begitu ada penurunan suku bunga, maka kekhawatiran ada arus balik modal bermunculan. Kalau memacu sektor riil, maka pemerintah dituntut untuk memperbaiki masalah struktural hingga memberikan insentif-insentif lainnya seperti keringanan pajak.

Selain itu, negeri ini belum lepas dari sejumlah faktor resiko yang sangat diperhitungkan dalam menentukan investasi. Walaupun saat ini pemerintahan dapat diasumsikan dalam keadaan stabil, namun belum ada jaminan menjelang pemilu nanti kondisi akan tetap sama, namun kita semua pasti tidak mengharapkan ada hal negatif yang terjadi.

Kalaupun sejauh ini sejumlah indikator ekonomi di pasar finansial menunjukan perubahan yang positif, namun belum ada jaminan akan berdampak positif bagi perbaikan sektor riil.

Butuh waktu memang, karena permasalahan pengangguran, kemiskinan, perburuhan dan masalah fundamental ekonomi bangsa ini bukan hanya ditentukan dalam rapat dewan gubernur BI yang menentukan arah suku bunga. Akumulasi kebijakan serta implementasi positif dari semua stake holder lah yang akan menentukan perbaikan ekonomi bangsa ini. Jadi bukan hanya masalah suku bunga.

Monday, March 05, 2007

Rupiah Kembali Bergejolak

Medan Bisnis, 05 Maret 2007
Pada pertengahan perdagangan minggu kemarin, Rupiah kembali melemah hingga mendekati level 9200. Melemahnya Rupiah lebih dikarenakan sentimen negatif eksternal, dimana terjadi aksi jual besar-besaran di lantai bursa global.

Melemahnya indeks bursa Dow Jones yang sempat melemah hingga 400 poin menjadi akar masalah dari melemahnya Rupiah. Pernyataan gubernur bank sentral Amerika yang menyatakan bahwa akan terjadi pelemahan pada laju perekonomian Amerika menjadi pemicu memburuknya kinerja pasar finansial di Asia.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bahkan sempat melemah hingga 91 poin pada sesi pembukaan perdagangan hari rabu (28/02) minggu kemarin. Melemahnya IHSG turut dibarengi dengan melemahnya sejumlah indeks bursa di Asia.

Akan tetapi, kinerja mata uang Yen Jepang tetap menunjukan tren penguatan yang signifikan terhadap US Dolar. Sayangnya, penguatan Yen Jepang tersebut tidak memberikan kontribusi positif bagi pergerakan mata uang Asia lainnya termasuk Rupiah.

Selain dikarenakan likuidasi dari transaksi carry trade, menguatnya mata uang Yen Jepang juga didorong oleh langkah repatriasi, dimana perusahaan-perusahaan Jepang menarik dananya dari luar negeri menjelang berakhirnya tahun fiskal.

Sejauh ini, tren penguatan Yen Jepang masih terus berlanjut. Belum ada yang bisa memastikan kapan likuidasi carry trade akan berakhir. Namun, ditengah memburuknya data perekonomian Amerika saat ini, tidak menutup kemungkinan bagi mata uang Yen Jepang untuk terus melanjutkan tren penguatan terhadap US Dolar.

Sementara itu, Rupiah juga tidak menunjukan performa yang baik seiring dengan membaiknya kinerja mata uang Yen Jepang. Padahal, Rupiah mempunyai sentimen positif yang seharusnya mampu mengangkat nilai tukar Rupiah ke level yang lebih baik lagi.

Tidak lain, sentimen positif tersebut adalah dirilisnya data inflasi bulan Februari yang hanya sebesar 0.62%. Angka tersebut lebih kecil dari ekspektasi pasar sebelumnya, yang memperkirakan akan terjadi kenaikan inflasi diatas 1% pada bulan Februari.

Namun, tidak sepenuhnya data inflasi tersebut akan menjadi support bagi penguatan Rupiah. Rendahnya laju tekanan inflasi akan memunculkan spekulasi bahwa Bank Indonesia (BI) akan kembali memotong besaran suku bunga dalam rapat dewan gubernur (RDG) BI pada tanggal 6 Maret mendatang.

Tentunya, penurunan suku bunga tersebut akan membuat perbedaan suku bunga atau interest rate differential antara Rupiah dan Dolar Amerika semakin mengecil. Namun, terkadang kekhawatiran tersebut tidak terbukti, seperti yang terjadi pada pemotongan BI rate pada bulan-bulan sebelumnya.

Dalam keadaan seperti ini, pelaku pasar sebaiknya melakukan evaluasi jangka menengah ke jangka panjang guna menghindari gejolak fluktuasi mata uang yang signifikan. Karena, dalam jangka pendek fokus pasar akan terpecah pada beberapa isu yang memang sulit untuk diketahui kemana muaranya.

Diantaranya adalah isu invasi terhadap Iran yang dilakukan oleh Amerika Serikat. Isu tersebut sempat membuat US Dolar melemah, namun melemahnya US Dolar tersebut hanya bersifat sementara.

Guna menghindari efek negatif dari isu yang berkembang, sebaiknya pelaku pasar lebih mengamati faktor fundamental ekonomi dari setiap negara. Untuk nilai tukar Rupiah, walaupun sempat terpuruk hingga mendekati level 9200, namun, keadaan tersebut diperkirakan tidak akan berlangsung lama. Kenapa?, setidak-tidaknya pemerintah saat ini mempunyai cadangan devisa yang cukup signifikan, yang suatu saat dapat digunakan untuk meredam gejolak niali tukar Rupiah yang bergerak liar.