Saturday, May 19, 2007

Refleksi Fundamental Ekonomi

Medan Bisnis, 21 Mei 2007
Kekhawatiran akan terjadinya krisis ekonomi yang diperkirakan dapat terulang di tahun 2008 nanti, membuat presiden SBY meminta agar dana-dana yang mengalir ke Indonesia dapat dikontrol dengan baik. Tujuannya adalah agar dana-dana tersebut dapat mengendap di negeri ini tanpa mengalami pembalikan modal (reversal) yang signifikan, yang berpotensi membawa negeri ini mengalami krisis keuangan seperti yang terjadi di tahun 1997.

Namun pernyataan pesimis akan terjadinya krisis moneter dapat di tepis dengan fakta-fakta yang telah terealisasi belakangan ini, misalnya laju inflasi yang terkendali, cadangan devisa yang meningkat, membaiknya kinerja ekspor, laju pertumbuhan ekonomi yang membaik, nilai tukar Rupiah yang stabil, maupun beberapa alasan lainnya.

Namun, benarkah kita patut bersandar dari fakta-fakta tersebut? Tidak tentunya. Yang pasti kita harus belajar dari pengalaman pahit tahun 1997. Penguatan nilai tukar Rupiah pada saat ini misalnya, yang hampir mirip dengan yang terjadi sebelum krisis, banyak ditopang oleh dana-dana jangka pendek yang umumnya direfleksikan dengan terjadinya penguatan yang signifikan pada mata uang dan indeks bursa.

Semua data ekonomi yang disajikan pada saat ini, lebih merefleksikan adanya ketahanan disisi ekonomi makro, yang notabene memberikan argumen kepastian akan terhindarnya Indonesia ke dalam krisis keuangan. Padahal membaiknya kinerja disisi ekonomi makro tidak dapat menunjukan pola hubungan yang searah terhadap pertumbuhan ekonomi di sektor riil.

Rupiah yang stabil bahkan memiliki kecenderungan menguat pada saat ini, yang turut serta diiringi dengan menguatnya indeks bursa Jakarta, namun tetap saja memberikan kekhawatiran besar akan kembali terjungkalnya pasar finansial di Indonesia. Bahkan, beberapa manajer investasi seolah-olah tak henti-hentinya mengeluhkan semakin mahalnya harga saham saat ini.

Bahkan, saham lapis kedua (bukan saham unggulan) turut melambung tinggi, sehingga semakin kecil saja ruang bagi penguatan harga saham selanjutnya. Secara psikologis komentar dari manajer investasi tersebut memberikan atau bahkan memicu pasar untuk kembali mempertimbangkan atas kepemilikian sahamnya, sehingga mengkondisikan investor untuk melepas saham-sahamnya.

Monkey did, monkey do, ungkapan tersebut selalu muncul ketika seorang pelaku pasar mengikuti jejak pelaku pasar lain yang notabene memiliki dana yang lebih besar. Apabila hal tersebut terjadi, bukan tidak mungkin, mereka yang mempunyai dana besar akan melarikan dananya ke luar dan akan memicu pelaku pasar lain untuk mengikutinya.

Kalau itu terjadi, maka perekonomian yang secara teoritis sudah berada dalam kerangka pertumbuhan yang baik sekalipun, tidak akan ada gunanya lagi. Karena, tindakan spekulasi dalam porsi dana yang cukup signifikan untuk ukuran sebuah Negara, akan mampu memporak-porandakan institusi keuangan besar, bahkan sebuah Negara sekalipun.

Kembali ke permasalahan fundamental ekonomi bangsa kita. Walaupun sejauh ini pemerintahan SBY telah berkoordinasi untuk membentuk ketahanan ekonomi yang lebih stabil, seperti melakukan perjanjian BSA (Bilateral Swap Arrangement) dan berkoordinasi dengan Negara Asia untuk menciptakan sebuah cadangan devisa bersama. Itu semua bukanlah jaminan 100%.

Pengalaman pahit di tahun 1997 harusnya menjadi tolak ukur bagaimana kebijakan di bidang perekonomian seharusnya di buat. Kebijakan sejatinya dibuat dengan mempertimbangkan bentuk kesalahan yang sekecil apapun, karena dampak dari kesalahan tersebut akan ditanggung bangsa ini mungkin dalam waktu yang cukup lama, dengan penderitaan yang seharusnya tidak dapat ditoleransi.

Wacana krisis yang menimbulkan pesimisme di masyarakat seharusnya juga tidak di publikasikan secara vulgar. Tidaklah berlebihan kalau kita menyimpulkan kutipan pernyataan penulis buku terkenal Stephen Covey, dimana kalau kita memikirkan sesuatu hal maka secara tidak langsung tubuh kita akan bergerak ke hal tersebut. Jadi walaupun kita hanya berekspektasi atau berwacana akan tidak terjadinya krisis moneter, maka secara tidak langsung kita justru digiring ke arah tersebut

Kemana Arah Rupiah?

Medan Bisnis, 14 Mei 2007
Rupiah kembali menguat tajam hingga mendekati level 8700. Tren penguatan Rupiah sendiri dimulai sejak akhir tahun 2005, dimana pada saat itu terjadi reshuffle kabinet pertama yang dilakukan oleh pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono. Sejumlah spekulasi yang berkembang saat itu menyebutkan bahwa penguatan Rupiah tidak terlepas dari digantinya Menteri Perekonomian Abu Rizal Bakrie menjadi Boediono.

Terlepas dari semua itu, faktor pendukung penguatan Rupiah paling rasional pada saat itu adalah kebijakan disisi moneter yang menaikan BI rate ke level 12.75%. Capital inflows dari luar negeri pun berdatangan hingga membawa Rupiah menguat ke level 8800 sebelum akhirnya terkoreksi hingga ke level 9400.

Kalau kita bandingkan dengan kondisi Rupiah pada saat ini, yang tidak jauh berbeda dengan kondisi setahun sebelumnya. Penguatan Rupiah sendiri turut diiringi dengan reshuffle yang dilakukan pemerintah SBY. Tapi itu hanyalah kebetulan saja, karena penguatan Rupiah sendiri merupakan bentuk antisipasi membaiknya laju inflasi selama bulan april yang justru merealisasikan deflasi sebesar 0.16%.

Secara psikologis, hal tersebut menunjukan bahwa fundamental ekonomi indonesia sudah berjalan sesuai dengan track yang benar, sehingga memicu penurunan BI Rate sebesar 25 basis poin menjadi 8.75% saat ini.

Akan tetapi, dengan status Indonesia sebagai nagara yang masih di katakan sebagai emerging market tentunya hal tersebut belum cukup untuk memberikan rasa aman. Kenapa? Karena penguatan Rupiah lebih didominasi oleh dana-dana jangka pendek yang masuk melalui pasar finansial, dan belum merefleksikan dari pertumbuhan ekonomi sesungguhnya yakni sektor riil.

Terlebih, penguatan Rupiah juga ditopang oleh komentar yang secara psikologis memberikan arah kemana Rupiah nantinya. Pernyataan Pejabat BI Miranda S. Goeltom yang menyatakan confidence apabila Rupiah nantinya menguat ke level 8500 menjadi pemicu penguatan Rupiah belakangan ini.

Nah, Kemana Rupiah nantinya?. Mungkinkah ke level 8500. Hanya waktu yang bisa menjawab. Namun, belajar dari pengalaman, bahwa penguatan Rupiah yang terlalu tajam juga akan membawa Rupiah kembali terdepresiasi.

Walaupun saat ini Rupiah diekspektasikan akan terus mengalami penguatan, namun perlu diwaspadai bahwa momen pelemahan Rupiah akan semakin besar tentunya. Apalagi penguatan Rupiah lebih didominasi oleh dana jangka pendek, sehingga sangat rentan terhadap gejolak pasar seperti penurunan suku bunga.

Biasanya yang dilakukan BI apabila Rupiah melemah adalah melakukan intervensi pasar dengan menjual US Dolar. Tapi apakah hal tersebut akan selalu efektif meredam gejolak pasar?. Nah, bagaimana jadinya kalau BI justru kehabisan US Dolar sehingga tidak ada lagi yang banyak diperbuat. Mungkinkah pemerintah mengabaikan sektor riil dengan menaikan kembali BI Rate?.

Tentunya masih banyak pertanyaan lain yang bermunculan. Namun, sejauh ini pemerintah telah melakukan trobosan seperti berkoordinasi dengan negara dikawasan regional Asia, untuk menciptakan ketahan ekonomi seperti dengan melakukan perjanjian Bilateral Swap Arrangement atau BSA. Tujuan dari dibentuknya perjanjian tersebut tidak lain untuk menghindari negara kawasan regional mengalami krisis moneter seperti yang terjadi di era tahun 1997-an.

Efektifkah perjanjian tersebut?, belum terbukti tentunya. Walaupun kondisinya saat ini negara di Asia hampir mirip dengan kondisi 10 tahun silam (mengutip pernyataan Menkeu), namun kehadiran BSA setidaknya memberikan sedikit rasa aman bagi pasar finansial Indonesia.

Kembali ke tema awal, kemanakah Rupiah nantinya?. Tren penguatan akan tetap mendominasi penguatan Rupiah tentunya. Kalau BI mengatakan bahwa Rupiah masih dalam batas aman apabila bergerak menguat ke level 8500, maka kita bisa mengatakan hal yang sama, karena yang melontarkan pernyataan tersebut adalah mereka yang berkompeten dalam menjaga stabilitas keuangan negeri ini.

Namun, bukan berarti Rupiah akan bergerak mulus menguat ke level tersebut. Rupiah masih akan berfluktuasi sebelum mencapai level tersebut atau malah bergerak sebaliknya. Menurut pengamatan yang telah dilakukan, Rupiah masih akan berfluktuasi lebar dikisaran level 8700 hingga 8950 dalam minggu ini.

Tuesday, May 08, 2007

Menanti BI Rate Turun

Medan Bisnis, 7 Mei 2007
Setelah sempat stabil dikisaran level 9100 dalam waktu yang cukup lama, momentum terjadinya deflasi membuat Rupiah saat ini semakin mahal terhadap US Dolar. Tidak lebih dari 4 hari setelah diumumkannya deflasi selama bulan April, Rupiah langsung bergerak menguat dan menembus level psikologis 9000.

Rupiah saat ini berada dalam kisaran level 8970, dan diperkirakan masih berpotensi akan terus menguat. Selain dikarenakan deflasi, penguatan Rupiah juga dipicu oleh penyerapan likuiditas Rupiah yang cukup signifikan melalui instrumen Sertifikat Bank Indonesia atau SBI. Konsekuensinya pemerintah mempunyai kewajiban untuk pembayaran hutang yang semakin besar tentunya.

Dengan terjadinya deflasi, BI diharapkan akan menurunkan BI rate dalam RDG (Rapat Dewan Gubernur) BI minggu ini. Hal tersebut menjadi sangat diperlukan mengingat pertumbuhan sektor riil yang dinilai masih lamban sementara dana yang tersimpan di Bank Indonesia cukup signifikan.

Apabila dana yang tersimpan di BI (Bank Indonesia) tersebut hanya disimpan tanpa diikuti dengan penyalurannya ke sektor-sektor strategis, maka beban pembayaran hutang pemerintah akan menjadi senjata bagi terjadinya krisis ekonomi, seperti yang dilontarkan beberapa pengamat belakangan ini.

Salah satu cara untuk mempercepat pertumbuhan sektor riil adalah dengan menurunkan suku bunga acuan (BI rate) yang selalu digunakan sebagai acuan oleh perbankan dalam menetapkan suku bunganya. Kalau saat ini, BI rate berada di level 9%, maka suku bunga pinjaman perbankan masih berada dikisaran 13 sampai 15%.

Pasar menilai, suku bunga 13 sampai 15% masih terlalu tinggi. Sejauh ini, walaupun terjadi permintaan kredit yang meningkat, namun peningkatan tersebut didominasi oleh pertumbuhan kredit yang sifatnya konsumsi. Sementara kredit yang tersalurkan di sektor manufaktur masih relatif kecil. Padahal sektor tersebut memberikan andil yang cukup besar bagi penyerapan tenaga kerja.

Disini terlihat bahwa dengan diturunkannya BI rate akan memicu dunia perbankan memacu penyaluran kredit. Dengan begitu, porsi perbankan yang menempatkan dananya di Sertifikat Bank Indonesia akan semakin berkurang. Mengingat perbankan merupakan korporasi yang memberikan kontribusi paling besar atas meningkatnya beban utang pemerintah.

Terlepas dari penyaluran kredit, penurunan BI rate juga mempunyai dampak negatif yang cukup signifikan terhadap Rupiah. Penurunan BI rate dapat menjadi mimpi buruk bagi Rupiah, karena berpotensi terdepresiasi (melemah).

Namun, apabila pemerintah berpendapat bahwa fundamental ekonomi Indonesia sudah berjalan pada jalan yang benar (on the right track), maka semestinya hal-hal negatif yang akan terjadi seiring dengan penurunan BI rate dapat diminimalisir.

Mungkin pemerintah saat ini masih menunggu keputusan negeri paman sam (Amerika) untuk menurunkan The Fed Fund Rate atau suku bunga The FED yang masih berada di level 5.25%. Dengan diturunkannya suku bunga US Dolar tersebut, maka tercipta ruang bagi Bank Indonesia untuk menurunkan BI rate.

Menunggu, bukanlah sesuatu hal yang dinanti masyarakat, yang kian terjepit ditengah mahalnya biaya hidup serta diiringi dengan menciutnya mata pencaharian. Bukankah mempercepat penurunan BI rate akan mempersempit peluang meningkatnya jumlah angka kemiskinan, pengangguran bahkan kriminalitas.

Kalau saat ini Rupiah sudah menguat jauh, cadangan devisa meningkat tajam, terjadi peningkatan pertumbuhan ekspor yang signifikan, inflasi cukup terkendali, pergerakan US Dolar yang tidak menjadi ancaman serius, maka apalagi yang harus ditunggu.

Deflasi dan Reshufle Bayangi Rupiah dan IHSG

Medan Bisnis, 30 April 2007
Pada bulan Februari silam kita dikejutkan dengan melambungnya harga beras yang membuat beberapa pengamat memperkirakan akan terjadi lonjakan inflasi yang cukup signifikan. Namun, melonjaknya harga beras yang diiringi dengan banjir besar di Jakarta tidak menjadikan inflasi selama bulan tersebut naik tajam. Bahkan, inflasi yang diperkirakan akan berada diatas 1% tidak terbukti.

Berbeda dengan saat ini, Biro Pusat Statistik (BPS) memperkirakan tidak akan terjadi laju inflasi selama bulan April. Bahkan diperkirakan akan terjadi sebaliknya, yakni deflasi. Deflasi bisa terjadi karena memang ada tren penurunan harga barang, namun dapat juga diakibatkan oleh melemahnya daya beli masyarakat.

Terkait dengan deflasi, tentunya ekspektasi tersebut akan berdampak positif bagi IHSG dan kadang mempunyai sisi negatif bagi pergerakan nilai tukar Rupiah, yang pada bulan kemarin Rupiah mendapat support dengan tidak diturunkannya BI rate.

Ekspektasi deflasi saat ini akan memberikan dampak psikologis bagi pelaku pasar. Tentunya bakal ada penurunan BI rate pada awal bulan Mei mendatang. Penurunan BI rate akan memberikan dampak positif bagi sektor riil, dan berpotensi mengangkat IHSG.

Namun, penurunan BI rate juga berpotensi membuat Rupiah akan melemah, karena penurunan BI rate akan membuat investor memilih negara yang lebih aman serta memberikan imbal hasil yang mumpuni seperti Amerika. Lagi-lagi itu hanya ekspektasi, kenyataannya kadang terbalik, penurunan BI rate justru diikuti dengan menguatnya IHSG dan Rupiah secara bersama-sama.

Kalaupun Rupiah menguat, namun harus diperhatikan sampai dimana penguatan Rupiah nantinya. Kalau BI berkehendak untuk menahan laju penguatan Rupiah maka bisa diperkirakan Rupiah akan stagnan dikisaran level 9030 hingga 9120. Kalau tidak ditahan, bisa saja Rupiah akan menguat secara signifikan menembus level 9000. Terlebih nilai tukar Dolar Amerika saat ini kian melemah terhadap mata uang dunia.

Nah, kalau IHSG tentunya tetap akan mendapat support dari tren penurunan BI rate. IHSG bahkan telah menembus level psikologis 2000, dan diperkirakan akan terus naik hingga akhir tahun ini. Akan tetapi, tetap diwaspadi aksi profit taking yang berpotensi membawa IHSG kembali ke bawah. Tapi dengan fundamental makro ekonomi Indonesia yang masih kuat saat ini tentunya tetap menumbuhkan keyakinan akan terus membaiknya kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).

Reshufle
Kalau kita merujuk ke politik dalam negeri saat ini, bisa diperkirakan isu reshufle tidak akan berpengaruh signifikan terhadap Rupiah dan IHSG. Karena pada dasarnya investor akan lebih melihat pada kondisi riil ekonomi bangsa ini, daripada melihat profil terhadap seorang menteri.

Memang pada saat Boediono ditunjuk sebagai menteri ekonomi, Rupiah langsung menunjukan penguatan signifikan dari level 11.000-an/US Dolar hingga ke level 9000-an/USDolar. Namun pada saat itu terjadi kenaikan BI rate yang cukup signifikan hingga ke level 12.75%. Aliran dana yang masuk kenegeri ini pun cukup signifikan, dan hampir semua dana yang masuk merupakan aliran dana jangka pendek.

Jadi kalaupun nantinya Presiden SBY kembali mengganti sejumlah menteri yang dinilai kurang kompeten, maka yang perlu dicermati adalah kebijakan dari menteri tersebut. Namun, kalau seandainya nanti menteri yang diganti tidak terkait secara langsung dengan sektor finansial, maka kita bisa memprediksikan kemana arah pasar finansial negeri ini.

Rupiah Bergerak Tanpa Sentimen

Medan Bisnis, 23 April 2007
Rupiah nyaris tidak beranjak jauh di kisaran level 9100, walaupun mempunyai kecenderungan menguat. Namun, sejauh ini penguatan Rupiah tidak signfikan dan diperkirakan akan bertahan diatas level 9050 dalam beberapa hari ke depan.

Belum adanya sentimen yang mampu menggerakan pasar seperti spekulasi mengenai arah suku bunga membuat Rupiah hanya bergerak dalam kisaran yang sangat sempit. Keadaan tersebut tentunya juga didukung oleh sejumlah faktor teknikal, dimana Rupiah sudah mendekati level support 9050.

Selain itu, IHSG yang sempat menguat secara signifikan juga diperkirakan akan bergerak sangat terbatas, dengan tetap memiliki kecenderungan menguat. Hal tersebut sangat didukung oleh kebijakan pemerintah yang diperkirakan masih akan menurunkan suku bunga walaupun tidak signifikan seperti tahun lalu.

Namun, tingginya laju inflasi di China akan berdampak buruk pada bursa di negara tersebut dan akan memberikan dampak negatif bagi lantai bursa Asia khususnya Jakarta. Permintah China diperkirakan akan terus melakukan kebijakan pengetatan moneter, guna meredam tingginya laju inflasi di negara tersebut, yang hingga saat ini masih merealisasikan inflasi 2 digit.

Sementara dari dalam negeri, walaupun diyakini BI masih akan menurunkan BI rate, namun masih simpang-siur tepatnya kapan BI akan menurunkan suku bunga. Walaupun laju inflasi masih terkendali, namun saat ini belum jaminan hal tersebut akan membuat BI menurunkan bunga Rupiah.

Sangat berbeda dari tahun lalu, dimana setiap diumumkan besarnya laju inflasi, maka dengan melakukan penilaian terhadap besarnya laju inflasi, BI pun mengambil langkah untuk menurunkan BI rate. Dan sejauh hal tersebut dilakukan, nilai tukar Rupiah juga tidak menunjukan adanya fluktuasi yang tajam.

Jadi walaupun nantinya laju inflasi selama bulan April merealisasikan angka aktual yang cukup kecil, namun BI masih akan sulit untuk menurunkan BI rate, dikarenakan masih relatif tingginya bunga US Dolar dan adanya tren kenaikan suku bunga di zona Euro.

Selama perdagangan minggu kemarin, sentimen pasar hanya tertuju pada seputar pernyataan yang dilontarkan pejabat Bank Sentral AS serta konferensi yang dilakukan menteri keuangan AS Henry Paulson di China. Seiring dengan minimnya data perekonomian yang dirilis membuat sejumlah mata uang dunia bergerak terbatas termasuk Rupiah.

Tema yang akan menjadi penggerak pasar nantinya masih akan terfokus pada melemahnya mata uang US Dolar. Meskipun ada beberapa data yang akan dirilis dari Amerika, namun data tersebut diperkirakan tidak akan berbuat banyak bagi US Dolar, dikarenakan pasar lebih tertuju pada faktor-faktor negatif US Dolar.
Ditengah minimnya sentimen seperti sekarang ini, pasar hanya mengandalkan faktor teknikal maupun carry trade. Tarik ulur dari kedua faktor tersebut berpotensi membuat pasar valuta akan sangat berfluktuasi.

Namun, bagi Rupiah hal tersebut tidaklah berpengaruh banyak. Walaupun sebenarnya faktor carry trade mampu membuat Rupiah bergerak sangat fluktuatif, akan tetapi hanya sedikit pelaku pasar yang memasukan mata uang Rupiah dalam daftar mata uang yang masuk dalam daftar transaksi carry trade.