Wednesday, October 03, 2007

Event Penting Penggerak Pasar

Medan Bisnis, 01 Oktober 2007
Dalam minggu ini, banyak sekali event (data ekonomi) penting yang mampu menjadi motor utama penggerak pasar. Sejumlah Bank Sentral seperti RBA (Reserve Bank of Australia), BoE (Bank Of England) dan ECB (Europe Central Bank) dijadwalkan akan mengumumkan besaran suku bunganya. Selain itu ada data Non-Farm Payrolls Amerika yang akan dirilis pemerintah AS pada akhir minggu ini.

Dari sekian banyak even penting tersebut, belum bisa dipastikan manakah even yang akan menjadi penolong bagi US Dolar untuk kembali menguat terhadap semua rivalnya. Tren pelemahan US Dolar diperkirakan masih akan menjadi tema dalam perdagangan beberapa hari ke depan dalam minggu ini.

Bank Sentral Amerika yang telah menurunkan suku bunganya diperkirakan tidak akan mempengaruhi Bank Sentral Inggris dan Eropa yang justru masih berkonsentrasi pada masalah tingginya inflasi. Dari dua Bank Sentral tersebut tentunya bisa diperkirakan tidak akan terjadi penurunan suku bunga. Meski demikian sempat beredar rumor dikalangan pelaku pasar bahwa akan terjadi pemotongan suku bunga oleh Bank Sentral Inggris.

Nah, US Dolar tentunya akan sangat bergantung pada data Non-Farm Payrolls (NFP) yang akan memberikan andil besar bagi pergerakan US Dollar nantinya. Walaupun sempat di revisi turun, namun, belum bisa ada yang memastikan apakah data tersebut nantinya akan direvisi lebih baik.

Selain NFP, pada tanggal 01 Oktober mendatang, pemerintah Amerika juga akan merilis ISM (Institute for Supply Management) Manufacturing. Data tersebut merupakan indeks sektor manufaktur, dimana angka 50 akan menjadi indikator bahwa secara keseluruhan ekonomi di sektor manufaktur Amerika mengalami kenaikan (expanding). Sementara, angka di bawah 50 akan memberikan gambaran sebaliknya. Data tersebut masih menunjukan performa yang baik (diatas 50 sejak bulan Februari lalu).

Sementara itu, RBA atau Bank Sentral Australia diragukan apakah akan memotong besaran suku bunganya yang saat ini masih bertengger di level 6.5%. Meski demikian banyak pelaku pasar yang berasumsi bahwa RBA akan mengikuti langkah The FED. Mata uang AUD (Australian Dolar) diperkirakan akan bergerak dalam range yang sempit menjelang pemutusan suku bunga oleh RBA pada hari selasa besok.

Kembali ke Indonesia, BI diperkirakan akan kembali menurunkan BI rate sebesar 25 basis poin menjadi 8% dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI minggu depan. Hal tersebut sangat dimungkinkan karena sangat diuntungkan oleh penguatan Rupiah dan IHSG yang cukup tajam akhir-akhir ini.

Pelemahan US Dolar yang turut diiringi sinyal akan tetap diturunkannya The FED Fund Rate (suku bunga $) di tahun ini memberikan peluang yang cukup besar bagi Bank Indonesia untuk kembali menurunkan BI rate. Akan tetapi, keputusan BI tersebut nantinya akan melihat besaran inflasi selama bulan September yang akan dirilis oleh Biro Pusat Statistik (BPS) pada tanggal 01 Oktober mendatang.

Meski demikian ada beberapa faktor yang dapat dapat menopang keputusan BI dalam menurunkan suku bunga. Diantara yakni : tingginya cadangan devisa (51,4 Milyar US Dolar / 31 Agustus 2007), tren penurnan suku bunga global, penguatan nila tukar rupiah dan IHSG serta relatif terkendalinya Inflasi walaupun sempat terjadi kenaikan terhadap harga sejumlah bahan makanan.

Sehingga, dengan membaiknya indikator ekonomi tersebut dapat mereduksi kemungkinan-kemungkinan negatif yang dapat ditimbulkan oleh penurunan BI rate nantinya, termasuk depresiasi terhadap nilai tukar rupiah, maupun terhadap permintaan akan surat utang Negara.

Ekuilibrium Pasar Finansial

Medan Bisnis, 24 September 2007
Diluar ekspektasi, The FED (Bank Sentral Amerika) mengeluarkan kebijakan yang tergolong berani dengan menurunkan besaran suku bunga US Dolar sebesar 50 basis poin menjadi 4.75% pada saat ini. Kebijakan tersebut telah membawa US Dolar melemah terhadap hampir semua mata uang Global, terlebih terhadap mata uang Euro, yang untuk pertama kalinya menembus level psikologis 1.40/US Dolar.

Kebijakan tersebut diambil guna menghindari resesi ekonomi AS yang disebabkan oleh kredit macet yang besar di sektor properti Amerika. Gejolak pasar finansial pada saat ini tentunya akan sangat berfluktuasi secara tajam. Namun, dengan kebijakan The FED tersebut bisa diperkirakan bahwa pergerakan pasar finansial saat ini jelas tidak akan menguntungkan US Dolar walaupun ada sentimen positif dari kenaikan Indeks Bursa Dow Jones.

Penurunan bunga The FED Fund Rate merupakan implikasi dari ketidakseimbangan ekonomi Amerika, sehingga dibutuhkan penurunan suku bunga agar terjadi kesimbangan baru yang mampu menghindari negeri paman sam tersebut dari resesi ekonomi.

Apabila Amerika saat ini tengah melakukan penyesuaian terhadap besaran suku bunganya, maka momen tersebut sejatinya akan diikuti oleh negara lain untuk menyesuaikan kondisi perekonomian negara masing-masing untuk dapat membentuk keseimbangan yang baru. Di Indonesia, penurunan bunga The FED telah membawa IHSG menembus level psikologis 2.300 dan turut diiringi dengan penguatan Rupiah dikisaran level 9.100 dari sebelumnya bertengger di kisaran level 9.400/US Dolar.

Dan apabila penguatan Rupiah secara tajam tidak diikuti dengan langkah pemerintah untuk melakukan intervensi, maka akan melukai kinerja ekspor negeri ini. Pemerintah benar-benar dituntut untuk berpikir secara matang dalam memanfaatkan momentum seperti sekarang ini. Penurunan suku bunga pada waktu yang tepat serta dengan besaran yang tepat pula akan menentukan keseimbangan pasar keuangan domestik.

Terlebih, pada saat ini, penurunan suku bunga federal fund turut dibarengi dengan melonjaknya harga minyak mentah dunia yang telah menembus level $81/Barel. Sejarah menyebutkan bahwa kenaikan harga minyak dunia selalu diiringi dengan tekanan terhadap pergerakan mata uang Rupiah. Sehingga kenaikan harga minyak tersebut menjadi faktor penting dalam pengambilan keputusan penurunan BI Rate nantinya.

Lain lagi dengan realita kenaikan harga sembako akhir-akhir ini. Aksi beli konsumen di bulan Ramadhan ini telah memberikan dampak psikologis bagi kenaikan harga sejumlah barang. Hal ini tentunya akan memicu tingginya inflasi selama bulan Ramadhan ini. Sejauh ini, pemerintah telah mengumumkan bahwa persediaan bahan makanan akan tetap mencukupi hingga lebaran nanti. Jadi, bisa diambil kesimpulan, konsumer habit (aksi beli sembako besar-besaran) menjadi faktor utama tingginya harga bahan makanan pada saat ini.

Ada pengamat yang berpendapat penurunan suku bunga hendaknya dilakukan apabila laju inflasi berada di bawah 1%. Namun, tingginya laju inflasi yang sifatnya hanya terjadi pada saat-saat tertentu haruslah mengacu pada target inflasi pemerintah secara menyeluruh (pertahun). Selama laju inflasi masih berada dalam koridor seperti yang ditargetkan sebelumnya, serta sangat diuntungkan oleh kebijakan suku bunga negara lain seperti sekarang ini, maka tepat kiranya momen penurunan BI Rate.

Akan tetapi ekonomi bukanlah seputar hal mengenai suku bunga saja. Kita tidak mungkin secara terus menerus berkutat pada perbedaan BI Rate dengan The FED maupun negara lain hanya sebagai alasan guna menarik minat investor asing untuk meng-endapkan dananya dinegeri ini.

Permasalahan lain seperti pergerakan sektor riil, rendahnya penyerapan APBD, neraca berjalan, inflasi serta masalah struktural negeri ini merupakan hal yang patut diperhatikan daripada hanya mengeluarkan sebuah kebijakan moneter. Jangan pernah hanya mengandalkan suku bunga dalam menciptakan sebuah ekuilibrium yang baru.