Sunday, November 18, 2007

Ancaman Inflasi Dunia

Medan Bisnis, 19 November 2007
Kenaikan harga minyak dunia telah membawa harga sejumlah kebutuhan pokok manusia kembali terancam naik. Ancaman tersebut terjadi dihampir seluruh belahan dunia dimana akan berdampak pada melambatnya laju pertumbuhan ekonomi dunia serta memperburuk jumlah angka kemiskinan dan pengangguran.

Negara yang tergabung dalam kelompok G-20 diperkirakan akan membahas permasalahan harga minyak dunia yang telah menjadi ancaman serius bagi terus meningkatnya tekanan inflasi. Kenaikan harga minyak telah memaksa sejumlah Bank Sentral di dunia akan menahan suku bunganya untuk menghindari meningkatnya laju tekanan inflasi, termasuk Indonesia.

Kebijakan tersebut tentunya akan membawa dampak negatif yang lebih luas bagi Indonesia sebagai negara berkembang yang justru membutuhkan akselerasi dalam pertumbuhan ekonomi guna mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran. Sementara itu, China masih menjadi negara dengan tingkat inflasi tertinggi di dunia.

Ancaman inflasi yang semakin serius juga akan kian meningkat intensitasnya tatkala Amerika benar-benar menyerang Iran terkait dengan dugaan AS terhadap pembangkit reaktor nuklir Iran. Bahkan, banyak analis yang memperkirakan harga minyak dunia akan menyentuh level $200/barel apabila hal tersebut benar-benar terealisasi.

Kenaikan harga minyak dunia telah membawa biaya transportasi melambung tinggi dan membuat harga sejumlah komoditas seperti Gandum dan CPO (crude palm oil) naik secara sigfnifikan. Bahkan, produsen mie instant terbesar dunia PT. Indofood Sukses Makmur akan kembali menaikan harga mie untuk ketiga kalinya dalam enam bulan guna menutupi pembengkakan biaya yang disebabkan oleh kenaikan harga gandum.

Selain itu, kenaikan harga minyak dunia telah membawa sejumlah indeks bursa kembali turun. Hal tersebut juga berdampak bagi melemahnya nilai tukar rupiah yang kembali diperdagangkan melemah di level 9300-an. Melemahnya nilai tukar akan menambah beban pemerintah serta berpotensi membawa inflasi naik ke level yang lebih tinggi lagi, karena akan menambah biaya produk yang berbasis impor.

Beberapa masalah yang sangat mendasar dan mempengaruhi pergerakan harga minyak dunia saat ini adalah ketegangan politik, perubahan iklim, krisis ekonomi di negara besar, kebutuhan minyak yang tinggi maupun tren pelemahan nilai tukar US Dolar. Dari sekian banyak alasan tersebut ketegangan politik serta resesi ekonomi (suprime mortgage AS) memberikan kontribusi paling besar bagi kenaikan harga minyak.

Selain itu, produksi minyak di sejumlah negara penghasil minyak juga belum mampu menjadi penahan terhadap volatilitas harga minyak dunia yang bergerak sangat liar belakangan ini. Hal tersebut dikarenakan produksi minyak belum mampu memenuhi kebutuhan minyak dunia yang terus meningkat secara signifikan.

Indonesia yang merupakan negara yang juga mengimpor minyak guna memenuhi kebutuhan minyak dalam negerinya tidak dapat mengelak bahkan terancam terpuruk. Hal tersebut dikarenakan asumsi harga minyak di APBN yang jauh lebih rendah dari harga di pasar global saat ini. Defisit APBN pun kian bertambah seiring dengan melonjaknya harga minyak dunia. Namun, rasa nyaman di masyarakat muncul setelah pemerintah menekankan bahwa tidak akan terjadi kenaikan harga minyak dunia hingga tahun 2009 mendatang.

Akankah kita nyaman dengan pernyataan tersebut? Bisa Ya maupun Tidak. Karena pemerintah tentunya mempunyai alasan yang melandasi pernyataan tersebut. Bisa saja karena alasan finansial sampai ke alasan politis yang terkadang sulit diterima akal sehat.

Kalau Inflasi telah menjadi virus disejumlah negara di belahan dunia dan sulit untuk disembuhkan, maka keadaan tersebut sejatinya akan mempengaruhi kinerja ekonomi dalam negeri. Apabila negara tujuan ekspor Indonesia menjadi lamban pertumbuhan ekonominya karena kenaikan harga minyak, maka demikian pula akan terjadi perlambatan ekonomi Indonesia khususnya di bidang ekspor.

Demikian pula dengan impor, kenaikan harga minyak dunia juga akan turut mengurangi Impor Indonesia karena akan menambah laju tekanan Inflasi. Kalau sudah begini maka kenaikan harga minyak akan membuat sejumlah industri akan menurun kinerjanya atau bahkan bangkrut. Hal tersebut tentunya akan berkorelasi terhadap pemutusan hubungan kerja (PHK) yang akan menambah jumlah pengangguran dan angka kemiskinan.

Peluang US Dolar Melemah Terbuka Lebar

Medan Bisnis, 12 November 2007
Setelah sempat tertekan menyusul keputusan Bank Sentral Amerika yang memotong besaran suku bunga sebesar 25 basis poin menjadi 4.5% pada saat ini, US Dolar diperkirakan masih akan mengalami tekanan pada perdagangan ke depan seiring dengan tingginya harga minyak dunia yang turut diiringi dengan meningkatnya konsumsi minyak menjelang musim dingin tahun ini, serta pernyataan negara-negara eropa yang lebih confidence terhadap penguatan mata uang Euro seiring dengan tingginya harga minyak dunia saat ini.

Selain memutuskan pemotongan suku bunga 25 basis poin pada perdagangan kamis minggu kemarin, Bank Sentral Amerika juga memberikan sinyal pemotongan suku bunga lagi pada pertemuan FOMC (Federal Open Market Committee) awal Desember mendatang. Bahkan pasar berspekulasi bahwa akan terjadi pemotongan suku bunga sebesar 50 basis poin. Apabila pasar terus berkosentrasi pada hal tersebut, sudah tentunya US Dolar tidak akan menarik dan akan terus mengalami tekanan jual US$.

Dari sisi politis, pernyataan pemerintah Amerika yang akan terus menekankan akan tetap memberikan sanksi terhadap Iran. Pernyataan tersebut tentunya tidak akan memberikan kontribusi positif terhadap pasar finansial Amerika, dan mengabaikan buruknya kondisi perekonomian AS yang belum mampu menuntaskan krisis subprime-mortgage Amerika.

Beralih ke data Non Farm Payrolls (NFP) Amerika yang dirilis menguat pada jum'at minggu kemarin, data tersebut dirilis membaik - terjadi kenaikan jumlah tenaga kerja baru sebanyak 160.000 jiwa - dari bulan sebelumnya sebesar 110.000 jiwa. Namun, hal tersebut tidak menolong US Dolar dan belum akan merubah ekspektasi pasar yang secara keseluruhan masih meragukan perekonomian Amerika.

Sementara itu, Bank Sentral Inggris (BoE) dan Eropa (ECB) kembali mempertahankan besaran suku bunganya masing-masing di level 5.75% (BoE) dan 4% (ECB). Keputusan tersebut tentunya berdampak pada melemahnya mata uang US Dolar terhadap mata uang Euro dan GBP.

Namun, data terbaru yang dirilis pemerintah AS kamis malam kemarin menyebutkan bahwa defisit neraca perdagangan Amerika (trade balance) kembali turun hingga ke level terendah dalam 2 tahun terakhir. Defisit neraca perdagangan AS selama bulan September sebesar $56.5 Milyar dari bulan Agustus sebesar $56.8 Milyar atau turun sebesar 0.6%.

Membaiknya defisit tersebut dikarenakan terjadi penurunan suku bunga US Dolar yang diiringi dengan melemahnya mata uang US Dolar sebesar 8% terhadap sejumlah mata uang utama dunia lainnya. Melemahnya US Dolar akan membuat kinerja ekspor Amerika meningkat sehingga mampu mengurangi ketergantungan impor dari negara mitra dagang AS khususnya China.

Akan tetapi, data tersebut bukan jaminan bahwa US Dolar akan kembali menguat dalam beberapa waktu ke depan. Tren kenaikan harga minyak dunia yang turut diiringi dengan meningkatnya konsumsi serta tren pergerakan suku bunga negara eropa yang cenderung stabil akan memberi tekanan terhadap mata uang US Dolar.

Terlebih lagi apabila tren penurunan suku bunga The FED berlanjut. Maka hal tersebut akan memicu pertumbuhan ekonomi Amerika serta akan membuat kebutuhan akan minyak AS yang lebih besar lagi.

Dalam Negeri
Kembali ke dalam negeri, Badan Pusat Statistik kembali mengumumkan besaran inflasi selama bulan Oktober sebesar 0.79% minggu kemarin. Tingginya inflasi pada saat ini seiring dengan perayaan keagamaan membuat pasar ragu apakah akan terjadi penurunan suku bunga lagi dalam RDG (Rapat Dewan Gubernur) BI pada minggu ini.

Di tengah ketidak pastian ekonomi global saat ini, sangatlah tepat kiranya apabila BI menunda menurunkan suku bunga hingga akhir tahun. Hal tersebut cukup beralasan seiring dengan masih adanya perayaan keagamaan serta ketidakpastian mengenai gejolak harga minyak dunia yang diperkirakan masih akan terus mengalami kenaikan.

Kenaikan harga minyak dunia tentunya akan menambah defisit APBN karena hingga saat ini masih dipatok lebih rendah dari harga minyak sebenarnya. Bahkan kebijakan yang tidak populis (menaikan harga minyak domestik) kerap muncul ditengah menghangatnya suhu politik menjelang Pemilu tahun 2009.

Meskipun BI kerap menyatakan akan melihat tren pergerakan bunga The FED, namun hal tersebut tentunya tidak akan menjadi acuan mutlak untuk menentukan pergerakan BI rate. Interest rate differential antara BI rate dan The FED sudah melebar. Namun, beberapa faktor fundamental seperti tingginya inflasi dan harga minyak berpotensi memudarkan harapan akan terjadi penurunan suku bunga lagi.

Apabila dikaitkan dengan tujuan politis, pemerintah saat ini sepertinya akan memilih untuk tetap tidak menaikan harga minyak dalam negeri, karena akan memperburuk kinerja pemerintah di mata rakyat dan akan mempengaruhi proses pencalonannya pada pemilu yang akan datang.

Sunday, November 04, 2007

NFP membaik, FED Menunjukan Sikap

Medan Bisnis, 8 Oktober 2007
Pasar menyambut baik dirilisnya data NFP (Non Farm Payrolls) yang dirilis pemerintah AS hari Jumat kemarin dengan kembali memburu asset dalam US Dolar. Maklum data ketenagakerjaan tersebut direvisi lebih baik 10% (pertumbuhan 110.000 tenaga kerja baru) dari ekspektasi pasar sebelumnya sebesar 100.000 tenaga kerja baru. Sinyalemen pemotongan suku bunga oleh Bank Sentral AS pun berguguran.

Meski demikian tren pertumbuhan tenaga kerja di Amerika tidaklah menunjukan tren kenaikan. Selama tiga bulan terakhir rata-rata pertumbuhan tenaga kerja merealisasikan angka sebesar 96.000 jiwa, atau turun sebesar 25% dari rata-rata pertumbuhan tenaga kerja 3 bulan sebelumnya sebesar 126.000 jiwa.

US Dolar pun kembali menguat terhadap sejumlah rivalnya. Terutama terhadap mata uang Euro dan Yen Jepang. Data bloomberg menyebutkan bahwa US Dolar menguat sebesar 1.8% terhadap Yen Jepang diposisi 116.97, dan menguat sebesar 0.9% terhadap mata uang Euro di level 1.4136/US Dolar setelah sempat terpuruk di level 1.4283/US Dolar.

Selain itu, US Dolar juga menguat terhadap mata uang Poundsterling Inggris dalam sepekan ini. Keputusan Bank of Englad yang tetap mempertahankan besaran suku bunganya dikisaran level 5.75%. Keputusan BoE tersebut tidak berpengaruh banyak terhadap mata uang GBP, dimana pasar diperkirakan sudah mengantisipasi sebelumnya. Memburuknya kinerja ekonomi di sektor perumahan masih menjadi kekhawatiran pelaku pasar untuk terus mengkoleksi asset dalam mata uang GBP.

Namun, US Dolar kembali melemah terhadap mata uang Aussie (Australian Dolar). Namun, menguatanya AUD lebih dikarenakan sejumlah faktor teknikal, dan hanya sedikit terdorong oleh keputusan Bank Sentral Australia (RBA) yang masih tetap mempertahankan besaran suku bunganya dikisaran level 6.5%.

Meski demikian, penguatan US Dolar diperkirakan tidak akan bertahan lama, karena secara keseluruhan data perekonomian AS masih menunjukan tren negatif. Data Non Farm Payrolls AS menyisakan bahwa unemployment rate masih menunjukan tren kenaikan dan saat ini berada dikisaran level 4.7%. Hal tersebut mengindikasikan bahwa "krisis" yang dikhawatirkan seperti sekarang ini hanyalah masalah waktu. Walalupun tetap tercipta pertumbuhan peluang kerja di Amerika, namun pertumbuhan tersebut belum dapat mengimbangi laju pertumbuhan para pencari kerja baru.

Harga Minyak Dunia
Sementara itu, harga minyak dunia kembali turun seiring dengan pengumuman pemeritah Amerika mengenai data ketenaga kerjaan yang direvisi membaik. Hal tersebut berdampak pada pudarnya ekspektasi bahwa The FED akan kembali memotong suku bunganya sekali lagi dalam tahun ini. Sebelumnya harga minyak dunia mengalami lonjakan hingga di atas $80/barel setelah Bank Sentral Amerika memotong besaran suku bunganya sebesar 50 basis poin.

Hal tersebut mendukung asumsi yang menyebutkan bahwa roda perekononomian Amerika akan kembali tumbuh dan berimbas pada meningkatnya konsumsi bahan bakar guna menggerakan perekonomian Amerika, sehingga mempengaruhi peningkatan permintaan terhadap minyak dunia. Selain itu, harga komoditas dunia diperdagangkan dalam mata uang US Dolar, sehingga pelemahan pada mata uang akan berdampak sebaliknya terhadap harga komoditas.

Walaupun sejauh ini harga minyak dunia masih mengalami tren kenaikan, namun laju penguatan harga minyak tersebut diperkirakan tidak akan mengalami laju kenaikan yang ekstreem seiring dengan keputusan OPEC (Organization of Petrolium Exporting Countries) yang akan menambah jumlah output sebanyak 500.000 barel perhari guna mengantisipasi meningkantnya laju permintaan minyak dunia. OPEC saat ini men-supply 40% terhadap kebutuhan minyak Global.