Thursday, December 27, 2007

Kembali Menguatnya US Dolar

Medan Bisnis, 17 Desember 2007
Setelah terpuruk dalam waktu yang cukup lama diakibatkan oleh krisis subprime mortgage AS, US Dolar kembali menguat terhadap hamper semua mata uang dunia dalam perdagangan minggu kemarin. Pemicunya adalah tingginya inflasi serta dirilisnya beberapa data ekonomi yang menunjukan tingginya consumer spending sehingga membantah ekspektasi akan pemotongan suku bunga Bank Sentral Amerika kedepan.

Pada hari selasa minggu kemarin, Bank Sentral AS kembali menurunkan suku bunga sebesar 25 basis poin menjadi 4.25% pada saat ini. Keputusan tersebut membuat sejumlah pelaku pasar kecewa karena tidak sesuai dengan ekspektasi pasar sebelumnya.

Inflasi tetap menjadi fokus pasar selanjutnya, dimana ada kekhawatiran bahwa inflasi di Amerika akan kembali naik dan berpotensi menggiring harga minyak dunia ke level harga yang lebih tinggi lagi. Kekhawatiran tersebut juga telah membawa indeks Wall Street terpuruk setelah sebelumnya menunjukan kinerja yang cukup baik seiring dengan euphoria penurunan suku bunga The FED.

Namun, penguatan US Dolar tersebut akan ditentukan kelanjutannya oleh beberapa data penting yang akan dirilis minggu ini, menjelang perayaan natal. Beberapa data diantaranya yaitu, GDP (Gross Domestic Product), Personal Spending dan Core PCE. Data tersebut akan menjadi acuan apakah inflasi dapat dipertahankan dan akan tetap menjadi penopang bagi penguatan US Dolar nantinya.

Dan apabila inflasi terus bergerak naik maka sudah dapat diperkirakan bahwa kebijakan uang ketat atau biasa disebut dengan tight monetery policy akan tetap dipertahankan. Sehingga, akan memperkecil ruang pertumbuhan ekonomi AS serta akan berdampak pada meningkatnya kredit macet.

Sejauh ini, IMF (international monetery fund) memperkirakan bahwa laju pertumbuhan ekonomi dunia pada tahun 2008 akan melambat yang diakibatkan oleh krisis kredit di pasar keuangan. Memburuknya kinerja ekonomi Amerika paska kenaikan harga minyak dunia oktober silam diperkirakan akan memberikan kontraksi pada melemahnya perekonomian Negara mitra dagang Amerika.

China dan India akan menjadi Negara yang menyumbangkan pertumbuhan ekonomi global yang paling besar. Namun, langkah China yang akan menaikan suku bunganya berpotensi memperkecil laju pertumbuhan global. China yang merealisasikan angka pertumbuhan diatas 11% membuat Negara tersebut perlu melakukan kebijakan uang ketat guna meredam inflasi.

Kembali ke euforia penguatan US Dolar, Rupiah diperkirakan akan tertekan dalam sesi perdagangan menjelang tahun baru 2008. Hal tersebut dikarenakan tingginya permintaan US Dolar oleh korporasi guna memenuhi kewajiban di akhir tahun.

Selain itu melemahnya US Dolar pada sesi perdagangan sebelumnya juga tidak membuat mata uang Rupiah menguat. Faktor eksternal seperti momentum naiknya harga minyak dunia serta ekspektasi penurunan suku bunga The FED juga tidak berpengaruh besar bagi pergerakan Rupiah.

Hal tersebut dikarenakan aksi beli US Dolar yang cukup signifikan baik untuk memenuhi kebutuhan impor minyak maupun kebutuhan rutin menjelang tahun baru. Sehingga dalam beberapa minggu kedepan Rupiah tidak akan beranjak jauh dari level pada saat ini dengan tetap memiliki peluang untuk terus melemah terhadap US Dolar.

Sunday, December 02, 2007

PENTINGNYA PERTUMBUHAN EKONOMI YANG SELARAS DENGAN ALAM

Medan Bisnis, 3 Desember 2007
Dunia kembali dirisaukan oleh isu pemanasan global yang ditandai dengan perubahan iklim bumi yang semakin panas, serta mengancam kelangsungan hidup semua mahkluk yang berada di Bumi. Kalau saja suhu bumi merangkak naik secara konsisten, maka sudah tidak ada gunanya lagi bagi kita untuk terus berkonsentrasi pada pemenuhan kebutuhan duniawi. Karena, pada dasarnya kita tengah menuju pada pemusnahan alam yang disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi itu sendiri.

Selama ini, sebuah negara akan dinilai sukses apabila negara tersebut mampu menyediakan lapangan kerja, menurunkan kemiskinan serta meningkatkan taraf hidup manusia seperti di negara belahan Eropa dan Amerika Serikat. Namun, untuk menciptakan itu semua sebuah negara harus menciptakan iklim investasi yang baik, dan mampu mempercepat laju pertumbuhan ekonomi.

Kalau laju pertumbuhan ekonomi sebuah negara sudah mampu memberikan gambaran hidup ideal seperti yang diharapkan, maka kemakmuran yang diharapkan akan terwujud disamping akan menjadi barometer terhadap negara lain untuk melakukan hal yang sama.
Indonesia juga menganut hal yang sama dalam proses pembangunan selama ini. Jadi, kita semua yang berdomisili di Indonesia juga turut bertanggung jawab terhadap perubahan iklim global yang semakin panas (global warming).

Menurut salah satu karya tulis dari Fakultas Geografi – UGM Yogyakarta menyatakan bahwa, Global warming merupakan fenomena terhadap peningkatan temperatur global dari tahun ke tahun karena terjadinya efek rumah kaca (greenhouse effect) yang disebabkan oleh meningkatnya emisi gas-gas seperti karbondioksida (CO2), metana (CH4), dinitrooksida (N2O) dan CFC sehingga energi matahari terperangkap dalam atmosfer bumi.

Salah satu penyebab terjadinya global warming yang paling mudah kita temui adalah asap knalpot dari kendaraan bermotor serta asap yang dihasilkan dari industri, dan masih banyak lagi yang lainnya. Semakin tinggi kemampuan daya beli (purchasing power) sebuah masyarakat, maka semakin besar potensi masyarakat tersebut dalam memberikan sumbangsih terhadap perubahan iklim global.

Oleh karena itu, negara-negara industri maju seperti Eropa, AS, Jepang, maupun Australia dituding banyak kalangan sebagai negara yang paling bertanggung jawab terhadap perubahan iklim (global warming) yang terjadi pada saat ini. Namun, masih ada negara baru seperti China dan India yang menjadi fokus dunia pada saat ini.

Kedua negara tersebut pada saat ini telah menjadi negara yang berkembang cukup pesat. China rata-rata merealisasikan pertumbuhan ekonomi diatas 10%, sementara India merealisasikan pertumbuhan rata-rata sebesar 9% setiap tahunnya. Pergerakan mata uang kedua negara tersebut juga terus merayap naik terhadap banyak mata uang dunia.

China, India dan Amerika merupakan negara yang menghasilkan polusi terbesar di dunia pada saat ini. Oleh sebab itu cukup beralasan kiranya ketiga negara tersebut menentang kebijakan pengurangan wajib gas rumah kaca yang diinginkan banyak negara Eropa dan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa).

Karena pengurangan wajib gas rumah kaca akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi di negara masing-masing akan melambat. Sementara, percepatan pembangunan serta pengurangan kemiskinan menjadi sangat penting bagi semua negara di belahan dunia ini.
Sejauh ini, belum ada kesepakatan maupun solusi yang dapat mengurangi efek gas rumah kaca. Setiap negara masih mengedepankan pentingnya pertumbuhan bagi kelangsungan masyarakatnya. Pemanasan global bukanlah sebab namun merupakan akibat pemakaian model pembangunan ekonomi yang dianut banyak negera selama ini.

Sehingga sangat penting dibutuhkan sebuah model pembangunan yang berperspektif lingkungan, atau kita justru punah dengan keteledoran kita sendiri dalam menilai sebuah kesejahteraan tanpa memperdulikan lingkungan yang kian tidak bersahabat. Untuk itu, janganlah terlalu risau dengan kenaikan harga minyak belakangan ini, karena kenaikan tersebut juga membawa berkah pelajaran akan pentingnya menggunakan sumber daya alam secara lebih efisien.

Pengalihan Resiko Mata Uang

Medan Bisnis, 26 November 2007
elemahya mata uang US Dolar belakangan ini telah membawa sejumlah pelaku pasar khawatir akan terus berlanjuntnya pelemahan US Dolar dalam jangka panjang. Hal tersebut membuat sejumlah negara arab akan mengganti cadangan devisanya yang semula dalam US Dolar ke dalam sejumlah mata uang termasuk Euro.

Dalam catatan terakhir US Dolar telah melemah terhadap Euro sebanyak 6% seiring dengan pemotongan suku bunga The FED, dan kembali mencatatkan rekor terendah selama 2 tahun terakhir terhadap mata uang Yen Jepang. Aksi carry trade diperkirakan menjadi alasan utama melemahnya mata uang US Dolar terhadap sejumlah mata uang dengan suku bunga yang lebih tinggi.

Pelaku pasar kembali melakukan likuidasi terhadap aset-aset carry trade, hal tersebut membuat permintaan terhadap mata uang Yen Jepang meningkat cukup signifikan. Fundamental ekonomi Amerika yang dinilai rapuh menciptakan ekspektasi akan kembali memburuknya kinerja perekonomian AS dalam waktu yang cukup lama.

Pengalihan resiko (risk aversion) yang terjadi di pasar saat ini diciptakan oleh gejolak fluktuasi harga minyak dunia yang dibarengi dengan memburuknya kinerja perekonomian raksasa dunia Amerika yang terus dihadapkan kepada ketidak pastian.

Banyak Bank Sentral di beberapa negara di belahan dunia yang mengkhawatirkan pergerakan mata uang US Dolar. Hal tersebut sangat berpengaruh karena hampir semua negara di dunia masih menggunakan US Dolar sebagai mata uang utama dalam cadangan terbesar devisa mereka. Hal tersebut juga turut memicu kebijakan sejumlah Bank Sentral yang akan beralih ke mata uang dunia lainnya (diversifikasi). Isu tersebut telah mencuat dan akan memberikan tekanan signifikan bagi pergerakan US$.

Diantara banyak pilihan mata uang, Euro merupakan mata uang yang paling banyak diminati oleh pelaku pasar. Hal tersebut membuat Euro menguat terhadap US$ dan masih akan bergerak naik mendekati 1.5 Euro/US$. Pejabat Bank Sentral Eropa Jean C. Treachet menyatakan bahwa penguatan Euro merupakan pilihan pasar yang percaya terhadap mata uang tersebut.

Nah, bagaimana dengan Rupiah?. Dalam beberapa hari perdagangan terakhir rupiah menunjukan tren penguatan walaupun masih cukup lamban. Pelemahan US Dolar sepertinya tidak serta merta akan diikuti oleh penguatan mata uang Rupiah.

Permintaan US Dolar yang cukup tinggi oleh pemerintah menjelang akhir bulan selalu berimbas negatif terhadap pergerakan Rupiah. Banyak kebutuhan strategis pemerintah di setiap akhir bulan dalam mata uang US Dolar yang selalu memberikan tekanan terhadap Rupiah.
Indonesia yang merupakan negara bukan sepenuhnya pengekspor minyak lagi tentunya membutuhkan banyak dana dalam US$ untuk memenuhi kebutuhan impor minyak dalam negeri. Apabila US Dolar terus menguat dan harga minyak kian tinggi seperti yang terjadi dalam beberapa minggu terakhir, sudah pasti akan menambah beban pemerintah dan akan memperburuk APBN.

Perlukah risk aversion dalam pengelolaan cadangan devisa negara kita?, atau mungkinkah kita menggunakan mata uang dalam transaksi minyak dunia kita?. Pemerintah sejatinya harus bisa mempertimbangkan semua aspek terkait gejolak keuangan global akhir-akhir ini.

Ada pepatah yang mengatakan bahwa jangan tempatkan semua telur dalam satu keranjang. Maka hendaknya pemerintah juga bisa bertindak arif dengan tidak menyimpan cadangan devisanya dalam satu mata uang saja. Karena, fundamental negara dimana mata uang tersebut diterbitkan akan sangat berpengaruh terhadap mata uangnya.