Sunday, October 12, 2008

Psikologis Pasar Menghadapi Krisis

Medan Bisnis, 13 oktober 2008

Indeks Bursa Amerika Dow Jones sempat turun di bawah level 8000, akibat guncangan krisis finansial meskipun dana talangan $700 Milyar telah disuntikan guna menyelamatkan dunia perbankan. Kepanikan di sektor keuangan sepertinya telah merambah ke negara lain yang notabene mempunyai fundamental perekonomian yang lebih baik dari Amerika seperti Indonesia.

Otoritas bursa di Indonesia harus menutup sementara aktifitas perdagangan di lantai bursa karena khawatir akan terjadi penurunan yang lebih parah seperti indeks bursa dow jones di Amerika. Keputusan tersebut memang baik, guna memberi waktu kepada pemerintah untuk memberikan solusi serta mengetahui langkah konkrit apa yang akan dilakukan pemerintah dalam mengatasi gejolak pasar.

Buy back saham BUMN. Sekilas seperti aji mumpung atau kesempatan yang dimanfaatkan untuk membeli saham BUMN karena harganya juga lebih murah pada saat ini. Namun, bila dilihat lebih jauh langkah pemerintah tersebut lebih dari hanya sekedar membeli kembali. Akan tetapi merupakan ajakan bersama untuk kembali masuk ke lantai bursa, serta memberikan keyakinan kepada pasar bahwa pemerintah sendiri masih mempunyai keyakinan terhadap lantai bursa indonesia.

Dana yang dikeluarkan pemerintah juga cukup besar untuk masuk ke lantai bursa, sekitar Rp. 10 Trilyun. Namun pertanyaan yang muncul adalah efektifkah langkah pemerintah tersebut?. Pengalaman negeri paman sam yang mengucurkan dana ratusan milyar $ dalam menghadapi krisis dinilai kurang efektif. Tapi tentu kondisinya kan berbeda, bukankah langkah pemerintah AS tersebut ditopang dengan sektor riil AS yang amburadul. Sehingga masih tetap memberikan optimisme bagi pemerintah Indonesia untuk melakukan langkah konkrit seperti yang telah diwacanakan dalam minggu ini. Karena fundamental ekonomi Indonesia saat ini jauh lebih baik dibandingkan tahun 1998 maupun Amerika sendiri.

Memang pada saat ini, fundamental perekonomian tidaklah cukup untuk meyakinkan pasar yang terlanjur panik terlebih dahulu. Kebijakan nyata serta keberpihakan ke pasar mutlak diperlukan, bila perlu bailout serupa juga diterapkan di negeri ini. Kepanikan akan memunculkan rasa tidak percaya pada dunia finansial seperti perbankan. Selain itu, panik secara psikologis juga berdampak pada pembetukan opini bersama serta mengabaikan kondisi riil yang seharusnya menjadi pertimbangan.

Kondisi panik, walaupun hanya sesaat akan berdampak pada pemulihan kondisi pasar yang cukup lama atau bahkan bisa membuat pasar terjerumus kedalam depresi dan bisa berujung pada krisis moneter. Tuntutan agar pelaku pasar berpikir logis juga sulit untuk diterapkan apabila “penyakit” panik masih mewabah dikalangan pelaku pasar. Dan apa yang bisa membuat banyak orang dan pelaku pasar kembali tenang dan tidak panik?. Bigung menjawabnya. Terkadang muncul gagasan bahwa Nasionalisme mutlak diperlukan.

Gerakan cinta Rupiah dan produk dalam negeri harus benar-benar diterjemahkan menjadi langkah, pola dan tingkah laku sehari-hari. Kalau sebelumnya kita beranggapan Amerika adalah negara dengan adidaya ekonomi menjadi kiblat perekonomian dunia. Bukankah saat ini perekonomainnya sedang terpuruk dan keadidayaannya dipertanyakan. Masihkah kita berkiblat ke mereka?. Penulis berharap kita semua bisa mengambil sisi positif dari perekonomian Amerika serta meninggalkan sisi negatif yang memang tidak harus kita miliki.

Negeri yang memiliki 240 Juta penduduk ini selayaknya mampu menghadapi krisis secara mandiri tanpa bantuan pihak asing seperti yang dilakukan pemerintah di era soeharto menghadapi krisis tahun 1997-1998 dengan meminta bantuan IMF. Banyak kalangan menilai bahwa krisis yang diawali di AS memberikan peluang untuk mengembalikan kepercayaan terhadap produk-produk dalam negeri serta berkontribusi positif untuk tidak ikut-ikutan panik seperti yang terjadi di Amerika.

Ketahuilah bahwa krisis finansial bukan bermula dari negeri ini. Namun, hanya merupakan efek global karena negara kaya yang mengendalikan ¼ PDB dunia sedang menjadi pesakitan. Meskipun tetap memberikan efek negatif, tidak akan separah seperti apa yang ditakutkan oleh mereka yang saat ini sedang ikut-ikutan panik.

Pada hari senin ini, pemerintah direncanakan untuk kembali membuka bursa saham yang telah ditutup sebelumnya selama 3 hari. Kembalilah dengan keyakinan karena memang tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Kalau ada yang bilang portofolio di lantai bursa lebih dari 50% dimiliki asing yang sedang kolaps, namun bukankah portofolio tersebut memberikan kesempatan kepada pelaku pasar domestik untuk membelinya. Kalau sudah begitu tentunya bursa akan tetap aman. Dalam menghadapi krisis, maka berbuatlah untuk negeri ini dengan tidak menjadikannya sebagai tempat hanya untuk mencari uang semata, namun jadikanlah diri kita sebagai Ibu untuk negeri yang kita cintai ini.

Sunday, October 05, 2008

Versi Penyelamatan Krisis Finansial

Medan Bisnis, 06 Oktober 2008
Langkah penyelamatan krisis finansial secara besar-besaran melalui bailout yang dilakukan pemerintah AS, telah menjadi pelajaran bagi Negara lain untuk melakukan langkah penyelamatan krisis finansial yang terjadi di Negara masing-masing. Krisis finansial tersebut juga sebenarnya diawali dengan “demam” yang mewabah di perekonomian AS.

Kucuran dana sebesar $700 Milyar yang disetujui oleh pemerintah AS ternyata tidak akan ditiru oleh Negara lain dalam menyikapi krisis yang terjadi dinegaranya masing-masing. Seperti langkah yang dilakukan pemerintah di zona eropa. Mereka menyatakan tidak akan membentuk dana penyelamatan namun akan memberikan kelonggaran kebijakan di pasar finansial eropa.

Pertemuan yang dilakukan di paris tersebut diwakili oleh beberapa Negara eropa seperti Jerman, Perancis, Luxembourg, Italia dan Britain. Dalam pertemuannya tersebut mereka menekankan pentingnya proses penyelesaian masalah dengan cara yang sesuai dengan masalah yang dihadapi oleh masing-masing Negara.

Hal senada juga dikemukakan oleh presiden Perancis Nicolas Sarkozy yang menyatakan bahwa setiap Negara akan menyelesaikan masalah sesuai dengan caranya masing-masing yang sesuai dengan tujuan setiap Negara tersebut, namun tetap melakukan koordinasi dengan Negara eropa lainnya.

Dana penyelamatan krisis finansial atau Joint Bailout Fund sebelumnya sempat diisukan akan dilakukan oleh pemerintah dikawasan eropa. Namun, usulan tersebut tidak mendapat dukungan oleh Negara eropa yang melakukan pertemuan tersebut. Namun, sejumlah pemimpin tertinggi setiap Negara tersebut menyetujui paket penyelamatan di sektor kredit.

Seperti yang akan dilakukan di Irlandia, sejumlah petinggi tersebut menyetujui untuk melakukan harmonisasi terhadap setiap tingkatan deposito, Bahkan The U.K. Bank juga telah meningkatkan batas maksimal asuransi untuk setiap orang menjadi 50.000 Pounds dari sebelumnya sebesar 35.000 pounds guna membatasi dana yang mengalir ke Irlandia.

Namun langkah para pemimpin tersebut tentunya tidak akan didukung oleh dunia perbankan, yang sejauh ini masih mengharapkan adanya bailout serupa yang dilakukan pemerintah AS. Dunia perbankan di Eropa sepertinya harus menahan rasa kecewa yang diakibatkan oleh kebijakan tersebut.

Pemerintah Indonesia juga mempunyai sikap yang tak jauh berbeda dalam mengantisipasi krisis finansial yang terjadi. Seperti yang dikemukakan oleh Menneg PPN/Ketua Bappenas Paskah Suzetta. Dimana ada 3 tahapan proses penyelamatan yakni menyelamatkan belanja pemerintah, perluasan jaringan pengaman sosial serta revitalisasi modal ventura.

Dalam implementasinya belanja pemerintah harus lebih ditingkatkan serta merevisi keppres No.80 karena dianggap menjadi penghambat dalam pengadaan barang dan jasa. Dalam perluasan JPS paskah juga mengusulkan untuk dijadikan 6 bulan di tahun 2009, dari hanya selama 3 bulan di tahun 2008 ini. Serta untuk revitalisasi modal ventura, ini merupakan alternatif dari kebijakan suku bunga tinggi serta membutuhkan dukungan dari pemerintah.

Namun, itu masih merupakan usulan dari seorang Menneg PPN, belum merupakan keputusan bersama oleh sejumlah petinggi yang terkait. Sejauh ini penulis menilai kebijakan yang diambil baik yang masih merupakan wacana sekalipun, berupa kebijakan jangka pendek yang terfokus pada penyelamatan krisis keuangan.

Belum merupakan paket kebijakan konkrit untuk menyelamatkan perekonomian dalam jangka panjang. Sudah semestinya pemerintah mampu menciptakan formula untuk memberikan kredit lunak dengan suku bunga rendah serta berperan serius dalam penyaluran kredit UKM. Pengalaman yang lalu mengajarkan kita bahwa UKM lebih tahan terhadap guncangan krisis dibandingkan korporasi besar.

Sunday, September 28, 2008

Mewaspadai Singa Yang Bersiap Untuk Bangun

Medan Bisnis, 29 September 2009

Kongres AS telah menyetujui program penyelamatan perekonomian AS sebear $700 Milyar pada sabtu malam kemarin. Program yang menghabiskan dana besar dan merupakan yang pertama tersebut akan menjadi ancaman baru bagi pergerakan pasar di luar AS. Langkah negeri paman sam tersebut sepertinya hanya menunggu tahap implementasi di lapangan dari hanya sekedar wacana serta debat seperti yang terjadi sepanjang minggu kemarin.

Apa yang akan terjadi sebenarnya adalah sentimen positif bagi nilai tukar US Dolar dan memaksa pasar lainnya untuk bergerak di teritori negatif. Dan tidak menutup kemungkinan akan berimbas pada pergerakan saham dan mata uang di negeri ini. Padahal pasar domestik kita justru memasuki masa liburan menyambut hari raya Idul Fitri.

Nancy Pelosi yang merupakan pembicara di kongres menyatakan bahwa perbedaan yang pernah terjadi sebelumnya sudah terpecahkan, sehingga kita (AS) dapat melangkah kedepan dengan sejumlah paket untuk menstabilkan pasar. Sebuah pernyataan yang tidak menunjukan isi dari paket yang akan dilakukan pemerintah AS, namun cukup memberikan sinyal bahwa program penyelamatan dari krisis finansial baru saja di mulai.

Rencana penyelamatan tersebut seharusnya memberikan kewenangan bagi Departemen Keuangan AS untuk membeli aset-aset bermasalah yang dimiliki oleh perusahaan Investasi dan Bank. Kepastian mengenai program tersebut rencananya sudah akan kelar sebelum pasar asia di buka senin pagi.

Kekhawatiran bukan hanya akan timbul dari pasar di Asia, namun pasar di London juga sudah mencium kecemasan serupa terkait dengan rencana pemerintah AS tersebut. Pasar di London diperkirakan akan bergerak dalam teritori negatif apabila pemerintah AS benar-benar merealisasikan programnya tersebut. Dan akan mengembalikan kerugian yang pernah dialami US Dolar terhadap mata uang Poundsterling.

Meskipun tetap menyisakan kontroversial mengenai efektifitas program tersebut. Namun, Presiden AS George Walker Bush telah memberikan lampu hijau bagi penyelamatan program tersebut. Melalui Tony Fratto, juru bicara kepresidenan, Bush memberikan apresiasi terhadap sejumlah langkah yang akan ditempuh untuk menyelamatkan pasar finansial serta melindungi perekonomian Amerika.

Langkah pemerintah AS tersebut juga akan memberikan dampak yang positif dan sangat luas apabila berhasil dalam tahap implementasinya. Kepercayaan pasar akan institusi keuangan setidaknya akan kembali tumbuh setelah sempat terombang-ambing sebelumnya. Daya beli yang diharapkan membaik akan menyelamatkan dunia industri dari ancaman kebangkrutan.

Pasar keuangan akan menemukan kestabilan yang baru setelah sempat bergejolak signifikan. Namun semuanya itu masih menunggu kepastian dari pemerintah AS, dan apabila programnya sudah terealisasi seharusnya akan memberikan dampak positif tidak hanya bagi Amerika namun global. Karena Amerika saat ini merupakan Negara dengan kekuatan ekonomi terbesar serta menyerap hampir ¼ PDB dunia.

Selain itu, harga komoditas yang sebelumnya telah merobek kantong pemerintah akibat tingginya harga minyak dunia, diharapkan akan terus menunjukan tren penurunan dan menstabilkan harga pangan di dalam negeri.

Semoga saja kemenangan rencana AS terhadap penyelamatan krisis finansialnya juga memberikan angin segar bagi komoditas ekspor yang dikirim ke AS dari negeri ini, dan memberikan sumbangsih bagi PDB (Produk Domestik Bruto) kita. Dan semoga saja kita terhindar dari krisis finansial yang pernah terjadi 11 tahun silam. Penulis Mengucapkan, Selamat Hari Raya Idul Fitri, Mohon Maaf Lahir dan Batin.

Monday, September 22, 2008

Biaya Penyelematan Krisis Yang Sangat Mahal

Medan Bisnis, 22 September 2008
Meskipun saat ini Bank Sentral AS memberlakukan kebijakan suku bunga acuan yang cukup moderat hanya sekitar 2%, namun kebijakan tersebut ternyata tidak cukup untuk melindungi masyarakat AS yang kian terpuruk daya belinya. Konsumsi masyarakat AS kian hari kian menurun yang diakibatkan oleh melemahnya ekonomi AS.

Amerika sejauh ini masih terjebak dalam asset-asset bermasalah yang menyebabkan krisis di sektor kredit. Sektor peumahan merupakan sektor yang menjadi prioritas utama untuk diselamatkan dimana krisis keuangan di AS dimulai dari sektor tersebut. Kekhawatiran yang muncul belakangan ini dari bangkrutnya Bank investasi terbesar AS Lehman Brothers serta bailout perusahaan asuransi terbesar AS AIG (American International Group).

Krisis di sektor perbankan tersebut telah menimbulkan ketidak percayaan Bank untuk meminjamkan modalnya ke Bank lain. Sehingga Bank yang mengalami kesulitan likuiditas akan kian terpuruk dan berujung pada kebangkrutan. Ketegangan di dunia perbankan tersebut telah memaksa The FED (bank sentral AS) menginjeksi milyaran dolar guna menyelamatkan pasar dari tekanan pembiayaan.

Demi menyelamatkan sektor keuangan AS dari krisis yang mungkin muncul seperti yang terjadi di Asia pada tahun 1997. Pada sabtu malam pemerintah AS melalui menteri keuangan Henry Paulson meminta kongres untuk menyetujui program penyelamatan krisis finansial senilai $700 Milyar.

Langkah pemerintah AS tersebut akan meningkatkan porsi hutang negeri paman sam. Dan akan menghabiskan dana lebih besar dari dana tahunan yang dibutuhkan oleh 3 departemen sekaligus seperti Departemen Pertahanan AS, Pendidikan dan Kesehatan serta Human Service. Dan oleh karena itu proposal pengajuan penyelamatan dari krisis finansial menghabiskan dana diluar dari biasanya dan bahkan belum pernah terjadi sebelumnya.

Pasar pun merespon positif terhadap langkah AS tersebut. Hal tersebut terbukti dari membaiknya nilai tukar US Dolar terhadap hampir semua mata uang rivalnya. Sentimen positif yang datang dari pemerintah AS tersebut mengkukuhkan US Dolar sebagai mata uang yang paling kuat untuk sementara ini. Penguatan US Dolar juga didorong oleh minimnya sentimen global.

Pasar boleh saja bernafas lega. Kucuran dana yang akan dikeluarkan pemerintah AS tersebut telah memberikan harapan akan kembali bergairahnya perdagangan di pasar finansial. Serta memberikan rasa aman bahwa krisis lebih dapat dikendalikan. Hal senada juga dikemukakan oleh senator AS Charles Schumer yang menyatakan bahwa kesalahan pemerintah AS dalam mendukung sistem keuangan akan membawa AS kedalam jurang depresi.

Selain itu, Schumer juga menyatakan bahwa tidak melakukan apa-apa akan meningkatkan resiko ekonomi yang terus menunjukan tren penurunan dan tidak pernah terlihat sebelumnya dalam 60 tahun terakhir. Hal tersebut mengindikasikan kuatnya komitmen pemerintah AS dalam menstabilkan pasar keuangan dan sinyal kuat bahwa penyelamatan krisis dengan dana besar berpotensi untuk dilakukan.

Namun, benarkah dana tersebut akan mampu mengcover kredit-kredit bermasalah di AS? Karena banyak ahli justru berpendapat bahwa penyelamatan krisis finansial di AS akan menghabiskan dana sampai $1 Trilyun. Sebuah dana yang fantastis yang belum akan mungkin terjadi di Indonesia.

Akan tetapi, langkah pemerintah AS tersebut meskipun berupa sederetan langkah positif namun tetap memiliki imbas negatif di pasar keuangan Indonesia. Coba liat nilai tukar Rupiah yang kian terpuruk. Hal tersebut akan menambah beban berat pada pemerintah khususnya dalam hal pengendalian inflasi.

Sejauh ini, inflasi yang kian tinggi telah membuat pemerintah Indonesia melakukan kebijakan yang terus meningkatkan suku bunga. Apabila rakyat Indonesia mulai terjebak dengan suku bunga tinggi, maka akan menimbulkan resiko kemungkinan gagal bayar yang lebih besar. Mungkinkah pemerintah akan menggelontorkan dana untuk membeli asset-asset rakyat yang bermasalah!. Atau tetap melakukan langkah tradisional dengan tetap memberlakukan kebijakan uang ketat. Entahlah.

Rapor Merah Pergerakan Indeks

Medan Bisnis 15 September 2008
Daya beli masyarakat dunia yang terus menurun telah mempengaruhi pergerakan indeks global telah terjadi koreksi yang cukup dalam di hampir semua indeks di Asia. Kondisi tersebut tidak jauh berbeda dengan pergerakan harga saham di bursa Wall Street di AS. Penguatan US Dolar turut disinyalir sebagai pemicu melemahnya pergerakan indeks harga saham dunia.

Tingginya harga minyak dunia beberapa waktu lalu yang turut dibarengi dengan melemahnya konsumsi masyarakat AS seiring dengan memburuknya sektor property telah menghancurkan fundamental perekonomian dunia. Inflasi yang tinggi telah membuat laju pertumbuhan ekonomi tertekan dan pengetatan kebijakan moneter bank sentral pada umumnya turut menekan harga saham dunia.

Saat ini, harga minyak terus mengalami koreksi yang cukup tajam setelah meroket pada pertengahan bulan Juli lalu. Kondisi tersebut tidak membuat perdagangan di lantai bursa bergeliat, karena penurunan tersebut justru diyakini sebagai melemahnya konsumsi masyarakat dunia yang mengindikasikan telah terjadi perlambatan terhadap pertumbuhan ekonomi global.

Hal yang paling mungkin terjadi yang akan membuat indeks bursa saham kembali menggeliat adalah kemungkinan rebound secara teknikal. Psikologis pasar yang telah jenuh mengalami aksi jual menjadi kesempatan bagi para pelaku pasar untuk membuka posisi beli yang baru. Walaupun, kondisi secara teknikal tersebut kemungkinan hanya berlangsung dalam tempo yang singkat sehingga hanya memberikan peluang rebound atau menguat sementara.

Harga saham di sektor manufaktur dan transportasi yang sangat sensitif terhadap perubahan harga minyak dunia juga belum menunjukan peforma yang lebih baik meskipun biaya produksi sudah di tekan akibat penurunan harga minyak dunia. Kendala utama yang dihadapai yakni justru dari melemahnya daya beli msyarakat sehingga produk yang dijual tidak laku dan menurunkan pendapatan perusahaan di sektor tersebut.

Gejala penurunan daya beli juga diperparah oleh data yang dikeluarkan pemerintah AS dimana telah terjadi penurunan penjualan ritel di bulan agustus seiring dengan berakhirnya musim panas di AS. Kondisi melemahnya daya beli masyarakat AS juga diyakini sebagai salah satu pemicunya. Harapan yang masih dinanti adalah data penjualan perumahan di AS yang diharapkan akan kembali membaik, pasca diakuisisinya perusahaan properti AS terbesar Fannie Mae dan Freddi Mac oleh pemerintah AS.

Selain itu, ada beberapa hal yang tidak lazim yang jarang terjadi dan mempengaruhi pengerakan harga saham pada umumnya dan minyak khususnya. Yakni badai yang melanda teluk mexico yang mengancam produksi minyak AS. Uniknya badai tersebut seharusnya mampu menjadi pemicu melambungnya harga minyak dunia.

Dan sekali lagi pasar komoditas justru terus memperdagangkan minyak yang terus berusaha bergerak turun dibawah level $100/barel. Padahal pasokan minyak diperkirakan akan terus menurun apalagi OPEC juga berkomitmen untuk menurunkan produksi minyaknya guna mengimbangi harga dan kebutuhan minyak global.

Kondisi pasar keuangan dan saham yang tidak menentu itu saat ini telah terfokus pada pelemahan pertumbuhan ekonomi yang terjebak oleh tingginya suku bunga kredit. Penurunan harga minyak yang telah terkoreksi cukup signifikan bahkan tidak mampu menjadi stimulus bagi kembali bergeliatnya konsumsi masyarakat dunia. Dan sekaligus mengindikasikan bahwa pertumbuhan ekonomi global sedang terjepit oleh ketidak pastian pertumbuhan.

Pelaku pasar juga terus berupaya mencari lahan yang lebih menguntungkan dengan memanfaatkan kondisi yang serba tidak pasti. Sehingga menjadi pemicu semakin maraknya aksi spekulasi dikalangan pelaku pasar. Ketidakpastian ekonomi global tersebut juga akan berbanding lurus terhadap pergerakan indeks dan pasar keuangan, serta mempengaruhi kondisi perekonomian di negeri ini, meskipun negeri ini sedikit diuntungkan oleh penurunan harga minyak dunia.

Mata Uang Asia Terpuruk

sxqdqMedan Bisnis, 8 September 2008
Rupiah kembali melemah dan menembus level diatas 9300/US Dolar. Pelemahan tersebut seiring dengan melemahnya beberapa mata uang asia seperti Won Korea, Kiwi (Newzealand Dolar), Baht Thailand serta beberapa mata uang asia lainnya. Kisruh politik di Thailand diyakini menjadi pemicu utama melemahnya Rupiah belakangan ini.

Kebijakan Bank Indonesia yang menaikan suku bunga acuan atau biasa disebut dengan BI rate, tidak berpengaruh banyak bagi pergerakan nilai tukar Rupiah yang masih terpuruk. Kondisi geopolitik di kawasan asia sepertinya lebih dominan dan mempengaruhi kinerja nilai tukar Rupiah dari hanya sekedar menaikan BI Rate.

Selain itu, mata uang US Dolar kian menunjukan keperkasaannya terhadap hampir semua mata uang di dunia seiring dengan penurunan ekonomi global yang mewabah di kawasan Eropa. Tercatat mata uang Euro sempat mencatatkan level paling rendah (05/09). Pelemahan tersebut dipicu oleh pernyataan dari ECB (European Central Bank) yang menyatakan bahwa perekonomian Eropa masih lemah. Kondisi tersebut juga diperparah dengan pernyataan dari Perdana Menteri Luxemburg yang menyatakan bahwa nilai tukar Euro masih cukup tinggi.

Selain itu Bank Sentral Eropa atau ECB juga menurunkan prediksi angka pertumbuhan selama tahun 2008 ini menjadi 1.4%, sebelumnya ECB memprediksikan bahwa perumbuhan ekonomi di tahun 2008 sebesar 1.8%. Bukan hanya itu, prediksi pertumbuhan di tahun 2009 juga dipangkas turun dari sebelumnya sebesar 1.5% menjadi 1.2%.

Belum habis pembicaraan mengenai laju pertumbuhan ekonomi eropa yang kian melemah. Inflasi di kawasan Euro juga diperkirakan masih akan naik lagi. ECB memprediksikan selama tahun 2008 ini inflasi yang terjadi sebesar 3.5%, lebih tinggi dari prediksi sebelumnya sebesar 3.4%. Selain itu, inflasi ditahun 2009 juga direvisi lebih tinggi lagi, dari semula sebesar 2.4% menjadi 2.6%.

Hal tersebut mencerminkan bahwa perekonomian di zona eropa belum menunjukan adanya tanda perbaikan. Sehingga banyak investor yang melepas mata uang dalam Euro ke mata uang US Dolar. Hal tersebut diyakini turut menjadi pemicu menguatnya US Dolar terhadap mata uang dunia.

Penguatan US Dolar juga didorong oleh sentimen ketidak percayaan terhadap pasar komoditi. Berita kehancuran perusahaan komoditi terbesar dunia Osprae Management LLC telah membuat investor berpikir 2 kali mengalihkan dananya ke bursa komoditi. Sehingga membuat US Dolar terlihat lebih aman dibandingkan dengan produk investasi lainnya.

Harga komoditas yang kembali turun seperti emas ternyata juga memberikan efek negatif pada mata uang Newzealand Dolar atau biasa disebut dengan Kiwi. Hal tersebut turut memberikan sentimen bagi mata uang komoditas lainnya seperti Australian Dolar.

Dibalik penguatan mata uang US Dolar, justru berita buruk datang dari negeri paman sam itu sendiri. Berita mengenai tingkat pengangguran di AS yang meningkat menjadi 6.1% pada saat ini tentunya memberikan sentimen negatif bagi pergerakan mata uang US Dolar kedepan. Level tersebut merupakan level tertinggi selama 5 tahun terakhir.

Negeri paman sam banyak kehilangan pekerjaan pada beberapa sektor seperti manufaktur, service dan retail, seperti yang di beritakan oleh departemen tenaga kerja AS. Selama bulan Agustus perekonomian AS telah kehilangan 84.000 pekerjaan atau sekitar 605.000 pekerjaan terhitung sejak bulan januari.

Padahal perekonomian AS seharusnya mampu menciptakan 100.000 lapangan pekerjaan baru setiap bulan guna menampung jumlah tenaga kerja baru. Dengan kondisi ini maka rata-rata perbulan perekonomian AS kehilangan sekitar 23.500 pekerjaan dalam satu tahun terakhir. Data tersebut tentunya akan menjadi berita negatif dan memberikan tekanan bagi nilai tukar US Dolar.

Kembali ke Rupiah, akibat makkin perkasanya US Dolar Rupiah kembali terpuruk dikisaran level 9.329/US Dolar. Kondisi dimana banyak analis yang sudah memperkirakan sebelumnya bahwa pada saat Rupiah menembus level 9.200/US$ maka ada kemungkinan Rupiah terpuruk lebih dalam lagi. Kondisi ini sangat bertolak belakang dengan langkah BI yang telah menaikan BI rate.

Selain itu, kondisi US$ yang menguat juga justru tidak ditopang dengan fundamentalnya yang kuat. Banyak pertanyaan kenapa Rupiah terus kian terpuruk. Namun, beberapa hal seperti tekanan inflasi domestik yang kemungkinan akan kembali meningkat selama Ramadhan serta diperburuk kondisi geopolitik di Asia seperti kemungkinan kudeta di Thailand akan menjadi sentimen negatif bagi Rupiah. Meskipun Jumat kemarin US Dolar mendapat berita yang tidak sedap dari departemen tenaga kerjanya, namun bukan berarti Rupiah akan kembali menguat secara signifikan terhadap US Dolar, bisa jadi justru yang sebaliknya.

Mewaspadai Tradisi Inflasi Tinggi

Medan Bisnis, 1 September 2008
Lebaran sebentar lagi, Ramadhan telah tiba. Tradisi umat muslim Indonesia yang merayakan lebaran dengan berkumpul dengan sanak keluarga merupakan sebuah tradisi yang cukup unik, dan jarang terjadi di negara muslim lainnya. Semua orang tahu tradisi tersebut menjadi biang keladi terhadap timbulnya masalah transportasi yang disebabkan oleh adanya arus mudik dan balik. Dibalik banyak kebaikan bulan Ramadhan dan perayaan Lebaran, namun keduanya juga menyisakan masalah yang tak kalah penting yakni meningkatnya tekanan laju inflasi.

Walaupun keliatannya sudah biasa, namun tahukah kita bahwa kebiasaan menyediakan sesuatu yang istimewa (makanan) selama Ramadhan dan Lebaran juga memberikan tekanan di pasar uang. Kita lihat bagaimana korelasinya.

Harga telur, dan daging kembali mencatatkan kenaikan tinggi dibandingkan dengan kebutuhan pokok lainnya. Kenaikan tersebut bukan disebabkan oleh karena pasokannya yang berkurang namun dikarenakan oleh tingginya permintaan. Jadi, sekalipun pasokannya ditambah tetap akan sulit dalam menstabilkan harga.

Harga yang lebih mahal tentunya harus dibayar dengan jumlah uang yang lebih banyak pula. Meskipun terkadang bisa di tolerasnsi besarannya oleh setiap individu, namun pernahkah membayangkan besarannya apabila dikalikan dengan 200 juta lebih penduduk Indonesia.

Setiap ada penambahan jumlah uang yang beredar, yang diakibatkan oleh kenaikan harga, tentunya akan membuat nilai mata uang tersebut lebih murah dibandingkan dengan sebelum terjadi kenaikan harga. Misal, sebelum Ramadhan harga telur Rp. 500, di bulan Ramadhan harganya menjadi Rp. 600. Setiap keluarga diasumsikan mengkonsumsi 10 butir telur per hari. Kalau ada 50 Juta keluarga saja, bayangkan berapa banyak Rupiah yang telah dibuang untuk kenaikan Rp. 100 per butir telur.

Terlihat, ada penurunan nilai jual dari mata uang Rupiah, dimana rupiah lebih murah dibandingkan dengan telur yang Rp.100 lebih mahal. Kenaikan tersebut akan memberikan kontribusi bagi besaran inflasi. Apabila ternyata laju inflasi lebih besar dari perkiraan dan berada di atas asumsi APBN, maka kita juga tahu bahwa sulit bagi BI untuk menurunkan suku bunga, karena inflasi yang tinggi memberikan konskuensi bagi banyaknya jumlah uang beredar dan harus diserap dengan suku bunga tinggi, atau bahasa yang lebih halus memberikan insentif agar kita lebih rajin menabung daripada membelanjakan uang kita.

Dengan suku bunga yang tinggi, kita juga tahu bahwa sulit bagi kita untuk meminjam uang dari Bank. Nah, bagaimana kalau niat meminjam uang justru akan digunakan sebagai modal usaha. Bukankah membuka usaha akan menambah lapangan kerja, dan justru itulah yang diharapkan kita semua. Bukankah demikian.

Kembali lagi, tekanan laju inflasi yang membuat suku bunga tetap tinggi juga berdampak bagi peningkatan dana asing untuk ditanamkan di Indonesia. Para pemodal di seantero bumi ini selalu mencari tempat untuk mengkembangbiakan uangnya pada instrument yang memberikan imbal hasil yang tinggi. Dan Indonesia dikenal dengan suku bunga yang tinggi pula, dengan kenyaman investasi yang masih cukup aman.

Kalau BI rate tetap tinggi, maka dunia perbankan akan menetapkan suku bunga seperti Deposito dan bunga pinjaman dalam nominal yang tinggi pula. Dan satu hal yang perlu diperhatikan bahwa bukan hanya kita yang tinggal di Indonesia yang tertarik dengan imbal hasil tinggi, namun mereka yang tinggal diluar Negara kita tentunya juga akan berminat untuk menanamkan uangnya di negeri ini.

Dengan sistem keuangan yang terintegrasi secara global, sulit bagi kita untuk tidak membiarkan dana-dana panas tersebut (asing) berkembang biak di negeri ini. Kalau mereka menyimpan dalam jumlah nominal yang cukup signifikan, bayangkan bagaimana bunga yang harus dibayar oleh kita ke mereka. Sialnya lagi bunga atau keuntungan yang mereka terima akan mereka bawa pulang, sehingga apa yang kita dapat!.

Kita tahu bahwa harga minyak dunia saat ini mencoba untuk kembali merangkak naik, dan kita juga harus tahu bahwa negeri ini juga membeli minyak dari luar untuk memenuhi kebutuhannya. Dan seharusnya kita tahu bagaimana kenaikan harga minyak dunia telah membuat pemerintah kita menaikan harga BBM dan membuat inflasi meroket.

Kita hanya mengambil satu contoh dalam kasus telur, namun kita harus menyadari bahwa kenaikan tidak hanya terjadi pada harga telur saja. Umumnya semua harga sembako akan mengalami kenaikan pada hampir setiap perayaan keagamaan. Tanpa kita sadari bahwa pola konsumsi yang cenderung meningkat selama bulan Ramadhan serta perayaan keagamaan lainnya ternyata meninggalkan masalah di sisi lain. Yang tanpa disadari menjadi biang keladi terhadap masalah yang kita hadapi seperti transportasi, inflasi, pengangguran dan bisa merambah ke masalah resesi.

Berani hidup di bawah standart, dengan tetap tidak merubah pola konsumsi selama Ramadhan ini dan Lebaran nanti, akan lebih banyak memberikan manfaat yang besar serta tetap mebawa kita kepada kemenangan. Bukankah substansi berpuasa dan lebaran bukan pada makanan-makanan yang enak, pakaian mewah, maupun pemenuhan kebutuhan yang lebih dari biasanya.

Dan tahukah kita bahwa THR (Tunjangan Hari Raya) juga telah membuat kita lebih konsumtif. Jika semua karyawan yang bekerja mendapatkan THR, bayangkan berapa potensi jumlah uang yang akan dibelanjakan, bayangkan bagaimana jumlah uag beredar dan bayangkan juga akibatnya. Walaupun hanya bersifat musiman, namun bukankah tuhan juga tidak mau kita menyepelekannya.

Stimulan Kredit Untuk Recovery

Medan Bisnis, 25 Agustus 2008
Setelah sempat digoyang oleh gonjang ganjing harga minyak, pada saat ini pasar sedikit lebih tenang karena fluktuasi harga minyak cukup stabil dan memiliki kecenderungan turun. Kondisi yang paling mudah untuk dilihat adalah tanda adanya penguatan nilai tukar US Dolar terhadap major currency. Hal tersebut menandakan bahwa harga komoditas mulai terkendali meskipun tidak menutup kemungkinan masih ada tekanan laju inflasi.

Pertumbuhan yang cukup lamban seiring dengan melonjaknya harga komoditas seharusnya menjadi stimulan bagi kestabilan harga dan inflasi. Meski demikian, masih terdapat sejumlah faktor penting yang berpotensi menjadi pemicu kembali melambungnya harga komoditas, sehingga tetap saja masih terbuka kemungkinan bahwa komoditas khususnya minyak belum akan mencapai kestabilan ditengah tingginya permintaan oleh negara-negara yang mencetak angka pertumbuhan tinggi seperti China dan India.

Dari sisi persediaan memang telah terjadi peningkatan terhadap produksi minyak oleh negara anggota OPEC. Namun, lifting produksi minyak tersebut belum sepenuhnya mampu memenuhi kebutuhan minyak dunia. Terlebih menjelang akhir tahun ini, harga minyak kemungkinan saja masih akan naik lagi seiring dengan tingginya permintaan menjelang musim dingin.

Untuk Indonesia, perayaan keagamaan seperti lebaran yang jatuh sedikit lebih awal dibulan Oktober diperkirakan akan mengurangi beban pemerintah sehingga laju inflasi nantinya masih relatif terkendali. Bayangkan saja, apabila lebaran justru jatuh berdekatan dengan perayaan Natal dan musim dingin di belahan negara lain. Sudah tentunya pemerintah akan mendapatkan tekanan dahsyat akibat melambungnya permintaan serta banyaknya jumlah uang beredar.

Walaupun bersifat musiman dan hanya berlangsung beberapa hari dalam setahun, namun kontribusi yang diberikan terhadap tekanan inflasi secara tahunan akan sangat terasa dampaknya. Dan tentunya akan mempersulit Bank Indonesia dalam melakukan kontrol terhadap laju tekanan inflasi.

Di beberapa negara besar seperti Amerika Serikat, kondisi ekonomi yang menuju ke lubang resesi telah memaksa pejabat di negara tersebut untuk menyalurkan dana segar guna menyelamatkan perekonomian. Sektor yang mendapat perhatian serius sebelumnya adalah sektor energi. Namun, saat ini telah bergulir usulan agar sektor otomotif juga membutuhkan adanya kucuran dana untuk menyelamatkan industri otomotif.

Perusahaan terbesar otomotif AS General Motor yang mengalami kerugian sebesar $15.5 Milyar memang membutuhkan kucuran dana segar. Dana tersebut nantinya akan berguna untuk merehabilitasi perusahaan dengan membeli mesin-mesin baru serta penilitian untuk membuat kendaraan yang hemat enerji.

Langkah yang diambil pemerintah AS terbilang cukup berani dengan memberikan stimulan kredit. Bahkan sektor perumahan AS yang dijadikan kambing hitam pemicu memburuknya perekonomian dunia diperkirakan akan segera berakhir. Seorang milyader bernama Warren Buffet menyatakan bahwa kedua perusahaan finansial terkemuka bernama Fannie Mae dan Fraddie Mac akan menerima kucuran dana sebesar $12 Trilliun guna menyelamatkan kedua perusahaan tersebut dari masa sulit seperti sekarang ini.

Indonesia juga mengalami masalah yang tak jauh berbeda dengan AS. Hanya saja langkah yang diambil Indonesia lebih bersifat pengendalian moneter dengan tetap menjaga kestabilan harga dan laju inflasi. Sehingga, kalaupun ada laju pertumbuhan yang disebabkan kondisi tersebut, namun pertumbuhan itu bukan yang bersifat padat karya, sehingga menimbulkan sebuah pertumbuhan semu.

Program pemerintah untuk menumbuhkan jiwa wiraswasta dengan KUR (kredit usaha rakyat) dinilai juga belum maksimal. Karena perbankan juga enggan menyalurkan kredit dengan jumlah besar apabila tidak tersedia jaminan. Sehingga akses untuk mendapatkan KUR masih sangat terbatas. Dibutuhkan langkah konkrit serta keberanian pemerintah dalam mengambil resiko. Karena untuk kembali meningkatkan daya beli serta mendongkrak laju pertumbuhan salah satunya dilakukan dengan mengalokasikan dana dengan akses yang lebih mudah untuk sektor riil atau padat karya.

Pelemahan Ekonomi Eropa Sentimen Baik Bagi Komoditas

Medan Bisnis, 11 Agustus 2008
Pergerakan mata uang Euro kembali melemah cukup tajam terhadap mata uang US$ dikisaran 1.501/US$. Pelemahan tersebut dipicu oleh pernyataan Gubernur Bank Sentral Eropa Jean Claude Treachet mengenai kemungkinan terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi zona Euro, pada kuartal keempat tahun ini. Hal tersebut sekaligus menimbulkan spekulasi mengenai kemungkinan bahwa Bank Sentral Eropa tidak menaikan suku bunganya.

Dampaknya kian terasa terhadap penguatan mata uang US$ yang tentunya lebih diminati seiring dengan pernyataan tersebut. Selain itu, harga komoditas seperti minyak dunia juga kembali mereda hingga mendekati level $100/barel, seiring dengan penguatan mata uang US$. Penguatan mata uang US$ berhasil mengabaikan sentimen negatif data dari departemen tenaga kerja AS yang merilis bahwa sektor manufaktur justru turun sebesar 1.4%.

Ekonomi Eropa menghadapi perekonomian kian sulit setelah Produk Domestik Bruto Italia mengalami penurunan yang diringi dengan kebijakan ECB (European Central Bank) yang menahan suku bunga Euro di level 4.25%. Padahal keputusan tersebut diambil ditengah ancaman tingginya tekanan inflasi dalam beberapa waktu kedepan.

Sehingga ekspektasi kemungkinan akan kembali diturunkannya suku bunga oleh ECB dan BoE (Bank of England) masih cukup terbuka lebar. Sementara Bank Sentral AS atau biasa disebut dengan The FED masih tetap menunjukan gelagat akan menaikan kembali suku bunganya. Sehingga kemungkinan US$ menguat terhadap mata uang global cukup besar.

Kondisi tersebut akan membuat tekanan harga pada beberapa komoditas diperkirakan akan terus melemah. Minyak misalnya yang sempat diperdagangkan mendekati level $150/Barel, pada saat ini telah mereda dan berada dikisaran level $113/barel. Sementara itu harga emas turun dalam posisi terendah selama 3 bulan terakhir diposisi $851/ troy ounce. Demikian halnya dengan perak yang juga turun drastis sebanyak 5%.

Kembali menguatnya US Dolar juga membuat harga komoditas seperti CPO turun signifikan. Hal tersebut tercermin dengan semakin terkendalinya harga pasaran minyak goreng di dalam negeri. Banyak hal positif yang dapat diambil dari penguatan US Dolar, tak terkecuali terhadap laju mata uang Rupiah yang kembali sedikit tertekan oleh penguatan US$.

Secara keseluruhan harga minyak mentah dunia telah turun sebanyak 20% setelah sempat mencapai titik puncaknya di level $147/Barel pada tanggal 11 Juli lalu. Selain itu, eksplorasi minyak yang akan dilakukan Iraq setelah 20 tahun tertunda akibat sanski oleh PBB diharapkan mampu menambah kapasitas minyak menjadi dua kalilipat. Nantinya hal tersebut akan menjadi berita bagus bagi perdagangan komoditas karena akan ada tambahan pada pasokan minyak dunia.

Pasar kedepan akan lebih fokus pada perkembangan data di zona Eropa dan Inggris ketimbang memburuknya data perekonomian di AS. Beberapa hal yang akan menjadi penekanan disini adalah keputusan Bank Sentral seperti ECB dan BoE. Dimana langkah yang akan diambil menjadi tolak ukur untuk mengurangi kerugian yang diakibatkan oleh menguatnya US$ secara signifikan dalam beberapa hari belakangan ini. Dan diperkirakan US$ akan melanjutkan tren penguatannya dalam pekan ini dan harga komoditas juga akan kembali mengalami penguatan serupa seiring dengan penguatan US$.

Di dalam negeri kenaikan BBM serta penurunan harga minyak dunia pada saat ini akan menjadi sebuah kesempatan untuk APBN agar bisa sedikit bernapas, karena sebelumnya sempat tertekan dan mengalami defisit yang diakibatkan oleh kenaikan minyak mentah dunia.

Ekspektasi akan kembali menguatnya harga minyak dunia juga tetap ada. Kemungkinan akan terpilihnya calon presiden AS Barrack Obama yang selalu diasumsikan sebagai sentimen positif. Karena Obama mempunyai perhatian yang lebih terhadap masalah Iraq. Sehingga secara politis akan mengurangi tekanan harga minyak.

Namun bukan berarti harapan minyak turun tanpa ada kemungkinan sebaliknya. Harga minyak dunia sangat dipengaruhi oleh masalah Demand & Supply, Politik, Spekulasi, maupun Iklim. Sehingga kestabilan harga minyak itu sendiri akan sangat tergantung pada kestabilan faktor yang mempengaruhinya.

Pasar Kembali Berkonsolidasi

Medan Bisnis, 28 Juli 2008
Setelah sempat gunjang-ganjing fluktuasi pasar yang disebabkan harga minyak. Saat ini pasar kembali berkonsolidasi dengan tetap fokus kepada data-data perekonomian Amerika. Sekali lagi data perkonomian AS kembali membuat kejutan dengan merealisasikan angka aktual diluar perkiraan sebelumnya.

Diantaranya data permintaan terhadap barang-barang tahan lama atau durable goods order yang naik selama bulan juni 2008 sebesar 0.8%. Selain itu, data penjualan rumah juga menunjukan hal serupa dimana lebih tinggi dari ekspektasi sebelumnya. Kedua data tersebut kembali mengangkat nilai tukar US Dolar yang kembali menguat terhadap hampir semua mata uang utama dunia.

Pasar saat ini pasar tidak memiliki sentiment yang cukup yang akan menjadi penggerak pasar selanjutnya. Namun, konsolidasi yang dilakukan pasar saat ini sepertinya akan lebih menjadi pendorong positif bagi penguatan US Dolar ke depan. Seiring dengan memudarnya ekspektasi kenaikan suku bunga di kawasan Eropa.

Kejutan-kejutan yang sering terjadi pada pergerakan harga minyak sepertinya tidak akan begitu terasa, karena telah terjadi penurunan harga yang cukup signifikan setelah sempat naik tajam sebelumnya. Hingga saat ini, fluktuasi harga minyak belum menunjukan adanya fluktuasi yang tajam seiring dengan membaiknya hubungan AS dan Iran.

Selain itu, dalam waktu dekat mata uang US Dolar juga akan mendapatkan angin segar seiring akan dirilisnya data Gross Domestic Product (GDP), yang diperkirakan juga akan mengalami peningkatan seiring dengan membaiknya data perekonomian AS. Hal tersebut akan berpengaruh cukup signifikan bagi greenback untuk mengurangi kerugiannya terhadap major currency.

Namun, beberapa kemungkinan tersebut bisa saja tidak sesuai dengan ekspektasi. Karena saat ini calon presiden AS yang baru Barrack Obama justru menyatakan sikap untuk membawa Iran kembali mengikuti aturan PBB terkait dengan pengemabangan program nuklirnya.

Hal tersebut mengindikasikan bahwa AS tetap akan mempermasalahkan program nuklir yang dikembangkan Iran ke depan, dan berpotensi membawa harga minyak naik lebih tajam lagi. Ketegangan tersebut sepertinya belum akan berakhir meskipun akan terjadi perubahan kepemimpinan di Amerika.

Kembali ke dalam negeri. Pergerakan US Dolar yang masih labil tidak akan berpengaruh banyak bagi pergerakan Rupiah. Nilai tukar rupiah masih menunjukan pergerakan yang relatif stabil meskipun terjadi fluktuasi yang tajam pada mata uang utama dunia.

Inflasi yang cukup stabil serta dibarengi oleh BI yang terus melakukan penetrasi terhadap kemungkinan fluktuasi Rupiah (intervensi pasar) akan tetap membuat mata uang Rupiah bergerak dalam rentang yang terbatas. Apalagi BI mempunyai cadangan devisa yang cukup untuk meredam segala bentuk gejolak pasar yang kemungkinan terjadi.

Meski demikian bursa saham belum mampu menunjukan peforma yang lebih baik. Hal tersebut dikarenakan banyak Bank sentral di dunia ini yang memberlakukan kebijakan uang ketat atau tight money policy guna meredam laju inflasi. Saham-saham yang berpeluang terkoreksi sangat dalam adalah saham-saham perbankan. Karena Bank diperkirakan akan mengalami kesulitan dalam penyaluran kredit, akibat tekanan suku bunga yang cukup tinggi.

Minyak Turun, US Dolar Berpotensi Menguat

Medan Bisnis, 21 Juli 2008
Harga minyak mentah dunia sempat menyentuh level tertingginya, seiring dengan peluncuran uji coba senjata yang dilakukan oleh Iran. Aksi pamer senjata tersebut ternyata ditanggapi sebagai bentuk ujicoba pertahanan militer Iran terhadap kemungkinan serangan senjata yang akan dilancarkan oleh tentara Israel.

Kekhawatiran pun muncul di pasar finansial. Serangan tersebut akan membuat harga minyak semakin mahal dan langka, sementara menurut laporan cadangan minyak di Amerika Serikat mulai menurun. Tak terelakkan lagi harga minyak naik tajam dan membuat kekhawatiran akan tingginya laju tekanan inflasi.

Terlepas dari permasalahan fundamental harga minyak seperti demand & supply. Permasalahan geopolitik di Iran baru-baru ini telah menyita perhatian banyak pelaku bisnis, dan sempat dijadikan biang keladi melambungnya harga minyak dunia. Ditambah lagi aksi beli para spekulan.

Namun, benarkah pemerintah AS merestui serangan yang akan dilancarkan Israel ke Iran?. Tentu tidak, bukan karena AS atau Israel tidak memiliki amunisi yang cukup maupun teknologi yang tidak memadai. Namun, membaiknya hubungan Iran dan AS baru-baru ini lebih disebabkan oleh kekhawatiran akan kembali bergejolaknya harga minyak dunia dan mengancam perekonomian di AS.

Iran yang sebelumnya dituduh sebagai negara yang melanggar ketentuan PBB dalam pengembangan senjata nuklir, ternyata tetap mendapatkan perlakuan khusus. Hal ini disebabkan bargaining position (posisi tawar) Iran jauh lebih baik dibandingkan dengan posisi Amerika. Iran yang menjadi negara pengekspor minyak terbesar no.2 dunia dan tentunya masih akan tetap diperhitungkan di kancah perpolitikan internasional.

Posisi Iran tersebut tentunya akan membuat negara tersebut imun (kebal) terhadap segala bentuk ancaman serangan militer dari luar khususnya Amerika. Sumber daya alam yang dimiliki tetap berguna sebagai tameng dalam menangkal intervensi politik terhadap negara tersebut. Dan cukup berguna untuk menekan negara lain.

Selain itu, posisi Iran serta langkah yang diambil Iran dengan sedikit merapatkan badan dengan Amerika Serikat juga berguna bagi kestabilan perekonomian global. Bayangkan hanya dengan memperbaiki hubungan dengan AS, harga minyak dunia turun ke level US$128/barel, setelah sempat naik ke level US$147/barel.

Bahkan mata uang US Dolar sendiri sempat menguat secara tajam dibandingkan dengan pergerakan mata uang Euro. Meskipun banyak yang menilai bahwa turunnya harga minyak disebabkan oleh persepsi pasar yang tidak menginginkan harga minyak naik lebih jauh lagi karena menghambat laju pertumbuhan ekonomi.

Namun, penulis berpendapat turunnya harga minyak lebih dikarenakan oleh membaiknya hubungan yang dijalin antara AS dan Iran. Meskipun belum ada yang memprediksikan sampai sejauh mana hubungan tersebut akan terjalin. Namun, setidaknya akan memberikan kenyamanan pada pasar finansial dalam jangka pendek.

Dalam beberapa waktu kedepan US Dolar masih berpotensi untuk terus menguat terhadap mata uang Global. Mengingat pemerintah AS yang dinilai mampu dalam mengatasi permasalahan di dua perusahaan properti terbesar di AS. Euro diperkirakan akan kembali melanjutkan tren pelemahan terhadap US$ karena Gubernur Bank Sentral Eropa menyatakan bahwa pelemahan ekonomi di zona Eropa masih berlanjut.

Seiring dengan meningkatnya laju tekanan inflasi di AS, maka US$ masih tetap akan mendapatkan sentimen positif, karena diprediksi akan kembali dinaikkannya suku bunga Bank Sentral AS atau The FED Fund Rate.

Kegelisahan Baru di Pasar Global

Medan Bisnis, 14 Juli 2008
Negeri paman sam masih terus berjuang untuk melawan perekonomian yang kian tak menentu. Hal tersebut dapat terlihat dengan serangkaian kebijakan yang telah dibuat, maupun koordinasi dengan banyak negara guna mengurangi dampak negatif yang lebih luas dari tren penurunan perekonomian di Amerika.

Namun, usaha tersebut sepertinya terkesan tidak mampu berbuat banyak. Karena kebijakan apapun yang akan diambil hanya bersifat memperpanjang umur belaka dan bukan menuntaskan permasalahan. Karena kebijakan apapun yang diambil Amerika akan tetap memberikan dampak negatif pada sisi lainnya, karena belum ada formulasi kebijakan yang bisa menyembuhkan semua penyakit (permasalahan).

Yang paling menyedihkan adalah berita yang baru-baru ini muncul. Berasal dari 2 lembaga keuangan pembiayaan perumahan paling penting di AS yang bernama Fannie Mae dan Freddie Mac. Diberitakan bahwa kedua perusahaan tersebut sedang jungkir-balik dan membutuhkan suntikan dana cukup besar guna tetap beroperasi.

Kondisi tersebut terang aja membuat pelaku pasar panik yang dibuktikan dengan anjloknya bursa saham di AS serta melemahnya nilai tukar US Dolar terhadap mata uang Euro. Kekhawatiran tersebut jelas menggambarkan akan terpuruknya perekonomian AS serta memunculkan pesimisme baru dikalangan pelaku pasar. Yang seakan-akan memberikan kabar bahwa hal yang lebih buruk bisa saja akan segera terjadi.

Bahkan kinerja buruk yang terjadi di bursa saham wall street mengabaikan penurunan harga minyak serta tetap terpojok oleh sentimen negatif dari kedua perusahaan perumahan besar Amerika tersebut. Kejadian itu membuat Bank Sentral AS akan kembali membuat kebijakan guna menyelamatkan perekonomian dari keterpurukan di sektor perumahan yang lebih dalam lagi.

Dibalik keterpurukan tersebut banyak pengamat yang memperkirakan bahwa kemungkinan yang akan terjadi nantinya akan jauh lebih buruk dari yang dibayangkan saat ini. Sebuah kondisi yang mungkin diluar ekspektasi semua orang pada saat ini, walaupun masih hanya sekedar sebuah wacana.

Kegelisahan tersebut nantinya akan membuat US Dolar kembali terpuruk signifikan serta akan membuat harga minyak naik lebih tinggi lagi. Dalam perdagangan sepekan ini harga minyak sempat meroket ke level $147/barel. Kondisi ini akan membuat banyak negara terjebak dalam stagflasi. Dimana tidak ada pertumbuhan namun diiringi dengan meroketnya laju inflasi.

IMF juga memberikan statement serupa, dimana perekonomian yang sedang dihadapi saat ini berada diantara pertumbuhan yang stagnan yang dibarengi dengan laju inflasi yang tak terkendali. Namun lebih jauh IMF juga berpendapat bahwa negara yang tergolong dalam ekonomi berkembang (emerging market) memiliki kesempatan untuk selamat dari resesi lebih besar. Meskipun tidak dibarengi dengan alasan yang cukup kuat.

Dari kejutan-kejutan baru tersebut, Indonesia diperkirakan juga akan mengalami hal yang serupa terhadap penyesuaian-penyesuaian yang mungkin saja terjadi, sekalipun terhadap asumsi di dalam APBN. Karena dari sekian banyak asumsi, harga minyak dan inflasi tetap terus berubah-ubah sehingga APBN dituntut untuk lebih fleksibel lagi.

Meskipun tidak semudah membalikan telapak tangan, namun kondisi yang lebih buruk semestinya sudah dapat diantisipasi di depan. Sebelum melakukan penyesuaian yang terkadang dikatakan terlambat serta mempertaruhkan kredibilitas pemerintah. Sejauh ini perubahan yang terjadi pada harga komoditas minyak dunia, dicoba untuk ditepiskan dengan memberikan statement yang seolah-olah pemerintah masih sanggup untuk mengatasinya.

Misal, harga minyak dunia dikisaran level $145/barel masih akan membuat APBN tetap aman. Bayangkan sekarang harganya sudah di $147/barel. Mungkin pemerintah sudah menunjukan kegelisahannya dan berharap tidak ada kenaikan lagi. Namun, tensi perselisihan yang terjadi di Iran dan Israel tetap memberi peluang akan kenaikan yang tak terduga lagi. Semoga saja tidak.

Iran Menjadi Kunci Penting Kestabilan Ekonomi

Medan Bisnis, 7 Juli 2008
Rencana Israel yang akan melakukan invasi terhadap pusat pembangkit tenaga nuklir di Iran menimbulkan tekanan terhadap perkembangan harga minyak yang terus naik keatas. Maklum saja Iran merupakan negara pengekspor minyak terbesar ke 2 di dunia. Sehingga, menjadi kunci penting bagi perdagangan minyak di pasar internasional.

Sejauh ini, Iran bersikukuh bahwa tenaga nuklir yang dikembangkan saat ini adalah untuk keperluan pembangkit tenaga listrik semata. Namun, pendapat berbeda justru datang dari Eropa dan Amerika yang menyatakan perkembangan tenaga nuklir di Iran digunakan sebagai pembuatan senjata militer yang mengancam keselamatan umat manusia di bumi ini.

Dan permasalahan geo-politik Iran pada saat ini telah di “kambing hitam-kan” sebagai salah satu pemicu tingginya harga minyak dunia. Pada bulan Januari 2006 Iran memang telah melanggar perjanjian PBB dengan meluncurkan program yang diberi nama Nuklir Natanz untuk pengayaan Uranium. Dan Iran sendiri telah mengembangkan penelitian yang sudah berlangsung sekitar 2 tahun pada saat itu.

Menghadapi hal tersebut pemerintah Iran terus melakukan langkah ofensif dengan sejumlah pernyataan yang mengancam akan menngurangi pasokan minyaknya ke Eropa dan Amerika apabila negara tersebut benar-benar di invasi. Dan OPEC sendiri sangat mengkhawatirkan langkah Iran yang akan mengurangi pasokan, karena akan membuat cadangan minyak dunia terancam dan akan membuat harga minyak naik serta menekan laju pertumbuhan.

Kini, dunia kembali dihadapkan dengan masalah geo politik Iran yang berpotensi membuat banyak negara terjebak dalam krisis yang berkepanjangan. Permasalahan tersebut juga membuat banyak negara seperti Indonesia yang kedodoran menghadapi tingginya laju kenaikan harga minyak. Bahkan pemerintah memperingatkan untuk tidak meributkan masalah kenaikan harga minyak dengan tetap mencari solusi dalam menghadapinya.

Tidak jauh berbeda dengan Amerika. Negeri paman sam tersebut juga direpotkan dengan semakin mahalnya harga minyak, menurunnya pasokan minyak dalam negeri yang turut diperparah dengan memburuknya data-data perekonomian Amerika.

Kondisi tersebut juga menimbulkan ekspektasi dimana Bank Sentral ragu untuk kembali menaikan suku bunga. Hal tersebut nantinya akan berdampak pada semakin terpuruknya mata uang US Dolar meskipun sempat menguat di akhir pekan ini. Dan akan membuat harga minyak naik lebih tinggi lagi.

Meskipun harga minyak sempat turun di minggu kemarin, namun penurunan tersebut tidak lebih karena aksi profit taking (ambil untung) para pelaku pasar. Penurunan harga minyak tersebut juga membuat harga emas turun cukup signifikan. Dan turut diiringi dengan penguatan nilai tukar US Dolar terhadap mata uang dunia terutama Euro.

Selain itu, penguatan US Dolar juga didorong oleh dirilisnya data Non Farm Payroll, yang tidak seburuk dengan perkiraan sebelumnya. Sehingga memberikan sedikit angin segar bagi perdagangan US Dolar. Meski demikian di Amerika telah terjadi penurunan penyerapan tenaga kerja selama semester pertama tahun 2008. Dan hal tersebut akan tetap menjadi sentimen negatif bagi US$ dalam jangka panjang.

Dengan adanya kejutan-kejutan baru seperti masalah geo politik Iran, perekonomian Amerika juga akan berfluktuasi cukup tajam. Sehingga belum mampu memberikan kepastian akan kebijakan apa yang akan di ambil pemerintah AS dalam menghadapi permasalahan ke depan. Penyelesaian masalah Iran yang nantinya berujung pada Invasi akan memberikan tekanan lain di pasar keuangan dan saham sehingga tetap menyisahkan efek negatif dari aksi tersebut.

Langkah pemerintah Iran dalam menghadapi tekanan internasional akan berimplikasi langsung terhadap pergerakan harga minyak dunia, US$ maupun emas. Isu yang berkembang saat ini sangat mudah digunakan oleh para spekulan untuk meraup keuntungan. Sehingga tidak hanya dipengaruhi oleh demand and supply, kenaikan harga komoditas (dalam waktu dekat) seperti minyak juga akan bergantung pada kebijakan yang arif dari para stakeholders, politik dan para spekulan yang tidak bertanggung jawab.

Monday, June 30, 2008

Kebijakan The FED Picu Inflasi

Medan Bisnis, 30 Juni 2008
Bank Sentral AS atau yang lebih dikenal dengan sebutan The FED kembali mempertahankan besaran suku bunga sebesar 2%. Kebijakan tersebut sesuai dengan ekspektasi pasar, namun tetap menyisakan masalah karena The FED tidak memberikan sinyal kapan suku bunga akan kembali dinaikkan. Padahal Gubernur Bank Sentral AS Ben Bernanke sebelumnya sempat menunjukan sikap akan pentingnya pengendalian inflasi dan memberikan sinyal bahwa tekanan ekonomi yang diakibatkan oleh tren pertumbuhan yang menurun sudah mulai berkurang.

Sikap Ben Bernanke sebelumnya sempat membuat US Dolar menguat terhadap mata uang Euro. Namun, penguatan tersebut hanya bertahan sementara karena Bank Sentral Eropa diperkirakan akan kembali menaikan besaran suku bunganya dalam ECB meeting (rapat bank sentral Eropa) pada tanggal 3 Juli mendatang.

Keputusan The FED tersebut telah memicu harga minyak dunia kembali naik di atas level $142/barel, yang sekaligus merupakan rekor harga minyak tertinggi yang baru. Dan akan berdampak terhadap tingginya tekanan laju inflasi. Kenaikan harga minyak tersebut juga telah menggerus indeks bursa saham di beberapa negara termasuk indeks bursa Dow Jones. Terkait dengan keputusan The FED, harga komoditas diperkirakan akan kembali merangkak naik dan akan memangkas daya beli masyarakat dunia.

Meski demikian, US Dolar masih tetap mendapatkan sentimen positif dari laporan bahwa tingkat belanja masyarakat AS secara personal naik sebesar 0.8% dan pendapatan nasional naik sebesar 1.9%. Hal tersebut mengindikasikan bahwa meskipun ekonomi AS kebanyakan di gambarkan dengan catatan data perekonomian yang buram, namun tetap masih ada peluang adanya pertumbuhan.

Akan tetapi tetap perlu dicermati bahwa stimulus kebijakan ekonomi AS yang menggelontorkan banyak dana untuk masyarakat AS (semacam BLT di Indonesia) yang telah mengirimkan angin segar serta menahan US Dolar untuk terpuruk lebih dalam lagi. Yang dipertanyakan adalah sampai sejauh mana bahwa pemerintah AS akan terus melakukan kebijakan yang sama guna mendorong peningkatan konsumsi masyarakat AS.

Di Indonesia, keputusan The FED yang mempertahankan suku bunga sempat membuat Rupiah perkasa dan diperdagangkan di bawah level 9200/US Dolar. Namun, kondisi tersebut hanya bertahan sementara, karena pelemahan US Dolar justru berakibat sebaliknya terhadap harga minyak dunia yang kembali merangkak naik. Sehingga dampak dari sisi lain pelemahan US Dolar justru kembali menekan mata uang Rupiah.

Fundamental ekonomi Indonesia yang belum cukup kokoh memang tidak memberikan jaminan akan stabilitas terhadap pergerakan nilai tukar yang tidak stabil seperti saat ini. Di saat sejumlah mata uang negara di Asia kebanyakan menguat terhadap US Dolar. Rupiah tetap saja mengalami anomali.

Sejauh ini, pemerintah berkeyakinan bahwa gejolak ekonomi global seperti sekarang akan tetap memberikan angin segar terhadap perdagangan di SUN (surat utang negara). Dengan tetap memberikan pengecualian bahwa tidak akan terjadi kejutan-kejutan baru terutama harga minyak dan relatif stabilnya laju inflasi. Padahal, gejolak harga minyak dunia yang masih berfluktuasi liar dan ada yang memperkirakan akan naik hingga ke level $170/barel akan menjadi ancaman dan berpotensi memupuskan harapan pemerintah tersebut.

Pergerakan harga minyak kedepan diyakini masih akan sangat dipengaruhi oleh pergerakan mata uang US Dolar. Saat ini memang tren pelemahannya lebih mendominasi dan masih tetap menjadi sentimen negatif bagi harga komoditas dunia. Namun demikian bukan berarti akan terus berlanjut dan pelemahan US Dolar akan terus mencatatkan rekor pelemahan yang baru.

Penguatan US Dolar sendiri nantinya akan tertolong oleh sejumlah faktor teknikal. Sementara tekanan laju inflasi yang terus meningkat serta tren penurunan suku bunga yang dipastikan sudah berhenti nantinya akan berdampak positif bagi pergerakan mata uang US Dolar. Sehingga tren kembali menguatnya US Dolar bisa diperhitungkan meskipun dalam kurun waktu yang cukup singkat. Sementara itu, penguatan US Dolar itu nantinya akan mengurangi laju tekanan inflasi yang disebabkan oleh tren kenaikan harga minyak dunia.

Sunday, June 22, 2008

Sentimen Penguatan US Dolar

Medan Bisnis, 23 Juni 2008
Dalam beberapa minggu terkahir, US Dolar kembali bergerak menguat setelah sempat terpuruk paska mencuatnya krisis kredit perumahan AS. Penguatan US Dolar saat ini dipicu oleh kenaikan harga BBM di China sebesar 18%. Kenaikan tersebut berimbas pada ekspektasi tingginya inflasi yang akan menekan laju pertumbuhan ekonomi di China.

Harga saham di China juga diprediksikan turun seiring dengan langkah pemerintah China tersebut. Namun penurunan tersebut sepertinya tidak akan terjadi pada harga saham-saham penyulingan minyak yang diprediksikan akan terus naik seiring dengan mahalnya harga energi. Sejauh ini dampak dari kenaikan tersebut telah membawa US Dolar mengurangi kerugiannya (pelemahan) terhadap mata uang dunia seperti Euro, Yen Jepang, NZD (newzealand) maupun AUD (australia).

Namun, kebijakan pemerintah China tersebut berpotensi membawa dampak positif terhadap mata uang Yuan China. Terlebih setelah menaikkan harga BBM, pemerintah China juga menaikkan suku bunga guna mengontrol jumlah uang beredar. Sehingga potensi kerugian mata uang Yuan yang diakibatkan oleh naiknya harga BBM dapat berkurang apabila pemerintah China juga melakukan langkah yang lebih ofensif dibidang keuangan.

Kebijakan pemerintah China tersebut pada dasarnya telah membuat konsumsi minyak dunia turun. Menaikan harga BBM dalam negeri nantinya akan menekan jumlah pemakaian minyak yang berujung pada menurunnya permintaan akibat berkurangnya kebutuhan akan energi. Hal tersebut juga yang menyebabkan US Dolar kembali menguat. Sepinya permintaan membuat harga minyak dunia turun dan menjadi pemicu penguatan US Dolar. Karena kenaikan atau penurunan harga minyak akan berdampak sebaliknya terhadap mata uang US Dolar.

Dari sudut pandang pemerintah AS, penguatan US Dolar justru disebabkan oleh sejumlah kebijakan yang di ambil dari pemerintah AS itu sendiri. Penguatannya juga dipicu oleh sejumlah statement yang dilontarkan oleh sejumlah pejabat pemerintah AS yang lebih menginginkan penguatan US Dolar setelah meningkatnya tekanan inflasi. Walaupun terkesan lebih bersifat pengendalian moneter dan mengabaikan fundamental, namun pernyataan tersebut telah membuat US Dolar kembali menguat terhadap beberapa mata uang utama dunia.

Selain itu, lembaga keuangan dunia seperti IMF juga mensinyalir bahwa ancaman terhadap pertumbuhan sudah mulai berkurang daripada yang dikhawatirkan. Sehingga proses pemulihan sudah saatnya dimulai, sehingga suku bunga US Dolar (The Fed Fund Rate) sudah saatnya kembali dinaikkan guna meredam tingginya laju inflasi akibat menguatnya US Dolar belakangan ini.

Bahkan Gubernur Bank Sentral AS juga mengindikasikan hal serupa. Meskipun tidak berkomentar mengenai langkah Bank Sentral AS menaikan suku bunga. Namun dalam pernyataannya Ben Bernanke mengindikasikan dengan sangat jelas bahwa kebijakan menurunkan suku bunga akan dihentikan. Sehingga komenter tersebut membawa angin segar di pasar keuangan dan lagi-lagi membuat mata uang US Dolar menguat.

Namun, hal tersebut nantinya akan berimbas sebaliknya di bursa saham. Indeks dow jones diperkirakan akan kembali tertekan seiring dengan sejumlah padangan pemerintah AS tersebut. Kebijakan menghentikan suku bunga akan membuat sejumlah harga saham kembali terkoreksi. Selain itu, bursa saham di AS khususnya saham perbankan masih belum terhindar sepenuhnya dari krisis kredit sektor perumahan yang mencuat ke permukaan beberapa bulan terakhir.

Diantara sekian banyak pernyataan yang lebih menginginkan US Dolar kembali menguat (Hawkish), justru pernyataan berbeda datang dari calon presiden AS Barack Obama. Dalam kampanyenya Barack lebih menekankan pentingnya membangun fundamental ekonomi yang kokoh ketimbang hanya mengendalikan kebijakan moneter dan fiskal. Menurutnya kebijakan memulihkan fundamental ekonomi secara otomatis akan berdampak pada penguatan mata uang dalam jangka panjang.

Meski demikian, statement tersebut sepertinya tidak berpengaruh banyak bagi pergerakan US Dolar yang cenderung masih mengalami penguatan. Walaupun terkesan memberi warna lain, namun pernyataan obama tersebut belum dapat diimplementasikan karena masih hanya pernyataan dari sang calon presiden bukan seorang pengambil keputusan.

Diprediksikan US Dolar masih akan terus menguat seiring dengan rapat yang akan di gelar pada tanggal 24-25 juni mendatang. Dimana dalam rapat tersebut Bank sentral AS diperkirakan tidak akan menurunkan suku bunga. Apabila dalam rapat FOMC (Federal Open Market Committee) tersebut Bank Sentral AS benar-benar merealisasikannya, maka bias diprediksikan bahwa tren pergerakan US Dolar kedepan adalah Bullish (naik).

Harga Minyak di Tahun 2009

Medan Bisnis, 16 Juni 2008
Pemerintah melalui Meneg PPN/Kepala Bappenas Paskah Suzeta kembali menjamin bahwa tidak akan terjadi kenaikan harga minyak di tahun 2009. Pernyataan tersebut dilontarkan seiring dengan asumsi pemerintah bahwa harga minyak akan menjadi hal yang sangat sensitif karena bersamaan dengan pelaksanaan pemilihan umum.

Kalau selama tahun 2008, pemerintah sangat direpotkan dengan lonjakan harga minyak yang bergerak liar. Maka pada tahun 2009, kalaupun ada lonjakan harga minyak kembali, pemerintah sepertinya lebih memilih untuk membebankan pada APBN, karena agenda pemerintah masih akan terfokus pada pemilu.

Minyak memang merupakan masalah sensitif karena mampu merubah pandangan masyarakat terhadap efektifitas kinerja pemerintah yang berkuasa. Meskipun kepercayaan publik saat ini terhadap pemerintah mulai menurun, namun setidaknya tidak ada opini yang lebih buruk lagi di masa yang akan datang. Menaikkan harga minyak baru-baru ini dinilai mampu mengurangi beban APBN dan bermanfaat untuk kembali menumbuhkan kepercayaan masyarakat hingga menjelang pemilu yang akan datang.

Namun, sayangnya pemerintah hanya mematok asumsi harga minyak di level $120/barel. Padahal harga minyak mentah dunia saat ini bergerak mendekati level $140/barel. Yang lebih parah lagi asumsi tersebut juga akan dipakai pada tahun 2009. Padahal dalam tahun ini saja harga minyak tetap berpotensi untuk naik lebih tajam lagi dan bahkan ada yang berani memproyeksikan hingga ke level $200/barel.

Sehingga asumsi harga minyak pemerintah saat ini dinilai tidak realistis karena terlalu dini diputuskan. Dan tidak mempertimbangkan aspek volatilitasnya. Meskipun negara anggota OPEC berpendapat bahwa harga minyak dunia kemungkinan akan turun seiring dengan sepinya permintaan, bukan berarti bahwa harga minyak memiliki kecenderungan untuk kembali turun.
Memang pertumbuhan di AS dan Eropa saat ini menunjukan adanya pelemahan. Sehingga berpotensi menjadi pemicu sepinya permintaan akan minyak. Akan tetapi bukan berarti bahwa harga minyak tidak akan kembali naik. Minyak merupakan komoditas yang diperdagangkan, harganya bergantung pada mekanisme pasar.

Permintaan akan minyak bukan hanya disebabkan oleh faktor pertumbuhan di setiap negara. Tapi, lebih dari itu, pergerakan harga minyak juga disebabkan oleh peralihan minat investasi. Dimana para investor sangat bergantung pada investasi yang memberikan imbal hasil yang lebih baik.

Kalau saat ini, banyak negara yang mematok suku bunga cukup rendah. Maka minyak memberikan imbal hasil yang cukup baik karena menjadi komoditas yang menurut banyak pakar mulai sedikit jumlahnya (minyak bumi). Semakin sedikit maka harganyapun akan semakin mahal. Sementara, proses peralihan ke sumber energi baru seperti biofuel juga belum memberikan dampak yang cukup signifikan.

Hingga saat ini kontroversi mengenai apa penyebab kenaikan harga minyak belum terlihat dengan jelas. International Monetery Fund (IMF) juga masih terus mengkaji penyebab lonjakan harga minyak pada saat ini. Sementara itu agenda para menteri keuangan Group 8 (G8) juga masih akan mengangkat minyak menjadi topik pertemuan di Osaka Jepang.

Menghadapi permasalahan tersebut, APBN dituntut untuk lebih fleksibel terhadap volatilitas harga minyak. Asumsi pemerintah yang telah dilontarkan pada saat ini sangat tidak relevan dengan menggambarkan keadaan di masa yang akan datang. Janji yang dikeluarkan pemerintah bersifat politis dan justru akan berdampak negatif terhadap pandangan masyarakat pada umumnya.

Secara historis, pemerintah memang kurang kredibel dalam menentukan besaran harga minyak. Hampir semua asumsi tentang harga minyak meleset dan berujung pada kenaikan harga BBM. Kalaupun ada kebijakan alternatif lainnya, pemerintah justru hanya mampu memformulasikan dan mengalami kesulitan pada tahap implementasinya.

Sehingga jangan terpaku dan merasa aman dengan statement yang telah dilontarkan. karena pemerintah berasumsi pada kondisi yang terjadi saat ini. Pemerintah memprediksikan berdasarkan harga pada saat ini, bukan memprediksikan besaran harga yang terjadi di masa yang akan datang. Sehingga tidak ada jaminan bahwa harga minyak tidak akan naik di tahun 2009 nanti.

Rupiah Kembali Tertekan Akibat Melonjaknya Harga Minyak

Medan Bisnis, 9 Juni 2008
Bank Indonesia yang kembali menaikan suku bunga acuan atau BI rate sebesar 25 basis poin, sempat menahan mata uang Rupiah terpuruk seiring dengan melemahnya mata uang regional Asia. Keputusan tersebut diambil setelah terjadi kenaikan haraga minyak dalam negeri yang bertujuan untuk meredam laju tekanan inflasi.

Namun keputusan tersebut tidak menjadi efektif, setelah harga minyak dunia kembali menguat (naik) di harga rata-rata sebesar $128/barel. Kenaikan harga minyak tersebut dipicu oleh menguatnya mata uang Euro terhadap US Dolar. Melemahnya US Dolar sendiri terkait dengan memburuknya data perekonomian AS, serta pernyataan pejabat Bank Sentral Eropa yang akan menaikan kembali besaran suku bunga ECB (European Central Bank) pada bulan Juli mendatang.

Kebijakan ECB tersebut dimaksudkan guna meredam inflasi akibat kenaikan harga minyak dunia. Beberapa bank sentral lain seperti BOE (Bank of England) juga akan mempergunakan suku bunga tinggi guna meredam gejolak harga yang diakibatkan oleh fluktuasi harga minyak yang cukup tajam.

Mata uang Euro yang menguat cukup signifikan akibat berbagai isu dipasar keuangan diyakini akan terus menguat bahkan dalam jangka panjang. Selain dikarenakan faktor tren kenaikan suku bunga, penguatan Euro juga didukung oleh pengendalian inflasi yang cukup efektif serta pertumbuhan ekonomi di Negara kawasan eropa yang masih solid.

Apabila terus terjadi penguatan mata uang Euro, maka bisa dipastikan akan ada cukup alasan buat harga minyak untuk terus bergerak menguat. Selama penguatan itu terjadi maka akan berdampak pada peningkatan tekanan terhadap mata uang Rupiah yang memang masih rapuh apabila dilihat dari sisi fundamentalnya.

Permasalahan yang sangat mendasar dalam beberapa waktu kedepan adalah permasalahan inflasi akibat kenaikan bahan bakar. Meskipun kenaikan bahan bakar telah membuat banyak Negara melakukan efisiensi penggunaan BBM. Namun dampak dari kenaikan BBM yang telah memicu inflasi, dan membuat minyak menjadi investasi yang menggairahkan dimata para investor.

Hal tersebut memang terbukti, selama kenaikan harga minyak bulan Mei cadangan minyak di AS terus mengalami peningkatan dan sempat membuat harga minyak melemah atau turun. Namun diversifikasi investasi sepertinya lebih banyak berpengaruh bagi melonjaknya harga minyak, meskipun telah terjadi penurunan konsumsi di berbagai Negara di belahan dunia.
Hal ini juga menunjukan bahwa harga minyak sangat rentan dengan ulah spekulasi yang akan berdampak pada memburuknya kinerja mata uang Rupiah. Sehingga upaya yang dilakukan bisa saja menjadi tidak berguna terlebih apabila sudah menggunakan asumsi bahwa harga minyak akan terkendali apabila stok juga memadai.

Stok tidaklah cukup, namun kebijakan untuk tetap mempertahankan suku bunga tinggi diperkirakan mampu menahan kenaikan harga minyak yang lebih ekstrim. Negara kita yang masih membutuhkan upaya pemenuhan kebutuhan dengan mengimpor minyak akan tetap berpotensi menjadi sentimen negatif dalam jangka panjang. Pergerakan rupiah pun akan mengikuti pola pergerakan harga minyak.

Dimana apabila terjadi kenaikan harga minyak maka Rupiah akan berjalan sebaliknya. Kalaupun tidak, pergerakan Rupiah akan terus dipertahankan meskipun harus kembali menaikan harga BBM dalam negeri serta menaikan suku bunga acuan atau BI rate.

Pemasalahannya adalah sampai kapan kebijakan tersebut akan terus dijalankan. Penyelesaian permasalahan yang fundamental seperti peningkatan produksi minyak yang juga belum terealisasi. Bahkan terkesan sebagai wacana karena yang terjadi malah sebaliknya. Kebijakan Boediono sebagai Gubernur BI yang mengendalikan inflasi cukup efektif.

Namun, efek negatif dari kebijakan tersebut tetaplah ada. Jadi apabila kita melihat, kebijakan BI sepertinya akan terus menaikan suku bunga dan melakukan penyelamatan Rupiah apabila melihat ada kemungkinan kenaikan inflasi, seperti yang diakibatkan oleh kenaikan minyak baru-baru ini. Sehingga kebijakan pemerintah lebih bersifat defensive.

Friday, June 20, 2008

Jangan Banyak Berharap Pada Pertumbuhan

Medan Bisnis, 2 Juni 2008

Kenaikan BBM beberapa waktu lalu yang turut dibarengi dengan kenaikan BBM untuk industri per 1 Juni 2008 akan memberikan bobot pada peningkatan tekanan terhadap laju inflasi. Hampir semua Negara di dunia pada saat ini mengalami laju tekanan inflasi yang sangat kuat yang membuat roda perekonomian mengalami overheating (kepanasan).

Laju tekanan inflasi di Negara kawasan Asia yang masih bergerak liar, membuat banyak Bank Sentral di Asia lebih fokus terhadap pengendalian harga/inflasi dibandingkan dengan memikirkan permasalahan sosial seperti pengentasan kemiskinan dan pengangguran. Harga minyak dunia yang terus menggila membuat Negara tetangga kita Vietnam terjepit dengan rata-rata kenaikan harga barang sebesar 25%.

Laju pertumbuhan Negara di Asia juga dipangkas menjadi sekitar 7%. Padahal Asia saat ini merupakan Negara yang memberikan kontribusi paling besar terhadap laju pertumbuhan ekonomi Dunia. Dengan melemahnya daya beli di AS, Asia diharapkan menjadi Negara yang mampu menjadi penyeimbang karena tingginya pertumbuhan di China (11%) serta di India (8,7%).

Namun, kondisi tersebut sangat berbeda saat ini. Negara-negara di kawasan Asia terjebak dengan tingginya inflasi namun tidak ada tanda adanya pertumbuhan (stagflasi). Negara yang lebih mengandalkan ekspor terlebih ekspor ke AS akan menjadi sangat terbebani karena rendahnya daya beli masyarakat di Amerika. Dengan laju pertumbuhan ekonomi AS rata-rata dibawah 2%, maka Negara yang menjadikan AS sebagai tujuan utama ekspor akan mengalami kontraksi di negaranya sendiri.

Kondisi yang demikian akan membuat banyak Negara mengalihkan ekspornya ke Negara lain, salah satunya adalah Negara di kawasan Asia. Namun, apakah Asia akan tetap diminati?, tentunya tetap karena masih memberikan pertumbuhan lebih tinggi. Namun, apabila inflasi terus menggerogoti daya beli, maka popularitas Asia sebagai Negara tujuan ekspor akan terus memudar.

Termasuk juga Indonesia. Negara ini juga tidak terlepas dari jebakan resesi dunia. Kenaikan inflasi akibat kenaikan harga BBM membawa negeri ini untuk kembali memberlakukan kebijakan uang ketat atau suku bunga kredit tinggi. Tekanan inflasi akan semakin memburuk tatkala pemerintah telah menaikan harga BBM Industri.

Dengan kenaikan tersebut maka biaya operasional industri akan cenderung meningkat dan akan membuat produk dari industri tersebut semakin mahal. Inflasi akan bergerak seiring dengan pergerakan produk tersebut selama dalam proses distribusi ke pengguna akhir. Bayangkan apabila proses distribusi tersebut di lakukan dengan biaya harga BBM yang mahal, tentunya akan berdampak pada meningkatnya harga jual barang tersebut. Semakin jauh barang tersebut di distribusikan maka semakin mahal pula harganya.

Dampak yang dapat dirasakan adalah apabila produk yang telah dipasarkan tersebut ternyata tidak terjual di pasaran. Misal dikarenakan terlalu mahal atau diluar kemampuan konsumen untuk membelinya. Sehingga akan mengurangi omzet dari perusahaan. Jelas apabila terjadi penurunan pendapatan maka perusahaan akan melakukan rasionalisasi termasuk melakukan PHK.

Disini sangat jelas sekali, bahwa kenaikan BBM akan menambah jumlah pengangguran dan orang miskin. Pengendalian inflasi/harga yang dilakukan pemerintah pada saat ini hanya akan berdampak pada pasar keuangan. Karena pengendalian inflasi biasanya dilakukan dengan cara menaikan suku bunga guna menambah cadangan Bank Sentral (BI).


Cara yang dilakukan oleh BI pun hanya akan menambah jumlah uang panas, yang lebih bersifat jangka pendek. Sementara itu ruang lingkup pertumbuhan ekonomi kian mengecil. Sehingga selama pemerintah masih mengatakan bahwa pentingnya pengendalian harga/inflasi, maka selama itu pula kita jangan terlalu berharap adanya pertumbuhan ekonomi yang akan merubah nasib kita menjadi lebih baik.

Sunday, June 01, 2008

Dampak Kenaikan BBM

Medan Bisnis, 26 May 2008

Pemerintah telah memutuskan untuk menaikan harga BBM rata-rata sebesar 28.7%. Keputusan tersebut diambil guna mengamankan APBN serta menyelamatkan program-program sosial pemerintah. Kompensasi dari kenaikan tersebut adalah Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Pertanyaan yang kerap muncul adalah sejauh mana BLT mampu memperbaiki daya beli masyarakat yang kian merosot?. Ditengah tingginya inflasi akibat kenaikan BBM, BLT hanya akan bersifat mempertahankan daya beli.

Para penerima BLT tidak semuanya akan terlindungi dari kenaikan harga barang akibat melambungnya harga BBM. Bagi para penerima BLT yang bekerja diluar sektor pertanian seperti jasa (tukang becak, ojek, maupun buruh), akan sangat merasakan dampaknya dibandingkan dengan mereka yang mengandalkan sektor pertanian dan penerima BLT. Karena, para petani akan lebih terlindungi karena mampu memproduksi makanan pokok mereka sendiri.

Disini terlihat bahwa BLT sebenarnya kurang efektif karena belum mampu meng-cover semua lapisan masyarakat. Karena program BLT yang memberikan uang tunai dengan nominal yang sama dan tidak memperhitungkan disektor manasaja para penerima BLT itu bekerja. Sehingga para penerima BLT yang bermukim di perkotaan kurang terlindungi dari dampak kenaikan harga BBM, sehingga daya beli tetap merosot.

Dampak sosial pun kerap menerpa dari kenaikan BBM. Bersyukur Indonesia tidak mengalami demikian, namun pada dasarnya kenaikan BBM akan memberikan dampak pada tingginya angka kriminalitas, putus sekolah, keputus asa-an, hingga kerawanan sosial yang lebih luas seperti demonstrasi, dan aksi terorisme.

Dampak ke Pasar Keuangan

Kenaikan BBM nantinya akan membuat inflasi kurang terkendali. Banyak pakar yang memperkirakan inflasi akan berada dilevel 10%, jauh dari asumsi pemerintah dalam RAPBN yang memperkirakan inflasi akan berada di kisaran 6%. Apabila kenaikan inflasi tidak dibarengi kenaikan suku bunga, maka akan terjadi pembalikan modal keluar (sudden reversal).

Obligasi yang memberikan imbal hasil tetap, akan menjadi obligasi yang tidak menarik terlebih bunga yang diberikan lebih rendah daripada laju inflasi. Apabila ada obligasi yang memberikan suku bunga dikisaran 7 hingga 9%. Maka dapat diprediksikan harga dari obligasi tersebut akan terjun bebas karena inflasi (misal 10%) jauh berada diatas rata-rata bunga obligasi. Sehingga potensi kerugian yang ditanggung investor sebesar 1 hingga 3%.

Untuk menghindari hal tersebut investor tentunya akan melakukan diversifikasi investasi (mencari investasi yang lebih menguntungkan). Yang dikhawatirkan adalah dimana investor menanamkan modalnya untuk belanja komoditas – minyak. Sehingga berdampak pada kelebihan permintaan dan berpotensi membawa minyak ke harga yang lebih tinggi lagi.

Pasar saham juga demikian. Perusahaan yang lebih mengandalkan investasinya pada modal perbankan akan kesulitan dalam mempertahankan maupun mengembangkan bisnis karena tersangkut oleh tingginya suku bunga kredit perbankan. Sehingga berpotensi menggerus keuntungan dari perusahaan tersebut, dan membuat harga sahamnya diperdagangkan lebih murah (jatuh).

Tidak ubahnya nilai tukar Rupiah. Kenaikan BBM akan membuat masyarakat membelanjakan uang lebih banyak sehingga menambah banyaknya uang beredar. Kenaikan harga minyak dunia membuat pemerintah membelanjakan uangnya lebih banyak sehingga membuat nilai tukar Rupiah cenderung lebih murah dibandingkan dengan mata uang lainnya, seperti US Dolar. Namun, kekhawatiran akan memburuknya nilai tukar Rupiah terhadap US Dolar tidak perlu dikhawatirkan mengingat nilai tukar US Dolar juga masih sangat murah dibandingkan dengan pergerakan mata uang lainnya.

Secara keseluruhan dampak kenaikan BBM akan menghambat laju pertumbuhan ekonomi. Kebijakan moneter yang ketat oleh BI (tight money policy) akan menghambat akses masyarakat dalam membuat pusat-pusat bisnis baru. Sehingga penyerapan angkatan kerja akan mengecil dan membuat angka pengangguran meningkat.

Krisis yang terjadi saat ini memang dirasakan di semua negara di dunia, mulai dari yang kaya hingga ke yang miskin. Tidak hanya Indonesia namun juga negara besar seperti Amerika. Walaupun sepertinya krisis berawal dari negeri Paman Sam, namun bukan berarti AS yang menyelesaikan masalah kita disini.

Wednesday, May 21, 2008

Janji Kebijakan Ekonomi Yang Hanya Berisi Estimasi

Medan Bisnis, 19 Mei 2008

Dengan pertimbangan serta analisis yang cukup mendalam dari para pakar, terhadap segala bentuk estimasi dari perubahan ekonomi (Internal) yang akan datang, selalu dituangkan dalam rancangan anggaran yang biasa disebut dengan RAPBN (Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara), serta dapat dilakukan perubahan sesuai dengan jadwal, apabila terjadi perubahan asumsi atau estimasi, maka akan ada rancangan anggaran perubahan atau diistilahkan dengan RAPBN – P (Perubahan).

Dalam perumusan tersebut tentunya anggaran telah disiapkan dan akan digunakan untuk kepentingan strategis pemerintah. Namun, dalam perjalanannya anggaran bisa saja kurang mencukupi sehingga berpotensi defisit. Kejadian tersebut tidak sepenuhnya dikarenakan ketidak akuratan si pembuat kebijakan namun dapat dikarenakan oleh faktor-faktor yang bersifat unpredictable (sulit diprediksi).

Dalam kasus yang terjadi sekarang ini, asumsi mengenai Inflasi dan Harga Minyak dalam RAPBN menjadi tidak realistis karena realitasnya jauh dari asumsi pemerintah. Namun kejadian tersebut bukan hanya terjadi disini (Indonesia), banyak Negara lain di belahan dunia yang juga mengalami hal serupa. Sehingga komentar-komentar yang berbau ekonomi selalu meralat sejumlah asumsi yang telah dibuat.

Belum lepas dari ingatan kita, pada saat pemerintah menjamin bahwa harga minyak tidak akan dinaikan selama tahun 2008 ini. Namun, baru-baru ini telah terdengar rencana kenaikan BBM yang mungkin terjadi di awal bulan Juni mendatang. Janji yang sebelumnya pernah terucap menjadi pepesan kosong yang membuat orang untuk tidak mempercayai kembali apabila ada janji-janji lain yang nantinya terdengar dari sang penguasa negeri ini.

Namun, janji yang dikeluarkan tersebut sebenarnya berlandaskan pada suatu hal yang masuk akal atau bahkan cukup rasional. Kestabilan nilai tukar rupiah, stabilnya harga minyak dunia, asumsi masih solidnya perekonomian Amerika, Inflasi yang terkendali serta membaiknya laju pertumbuhan ekonomi Indonesia, tentunya membuat pemerintah pada saat itu sangat percaya diri, untuk menjamin tidak akan ada kebijakan ekonomi yang akan menyesengsarakan rakyatnya (kenaikan BBM).

Akan tetapi, waktu terus berlalu. Kebijakan maupun komentar atau bahkan janji pemerintah memasuki tahap diuji untuk dikatakan bahwa kerangka kebijakan tersebut benar-benar berhasil. Dalam prosesnya, kebijakan tersebut dihadapkan pada sebuah kondisi diluar prediksi sebelumnya. Dimana, sebuah Negara dengan ekonomi terbesar didunia (AS) mengalami keterpurukan, harga minyak dunia naik diluar ekspektasi baik disebabkan oleh diversifikasi investasi, alam, hingga ke permasalahan politis.

Inflasi kembali bergejolak liar, harga pangan membumbung tinggi hingga menemui kelangkaannya, defisit belanja negara terus membengkak, sehingga memaksa pemerintah untuk mengurangi/menghilangkan subsidi. Dampaknya jelas, penduduk miskin dan pengangguran bertambah.

Kesimpulan akhir adalah bahwa perekonomian terjebak dalam sebuah lingkaran setan. Dimana setiap kebijakan yang akan diambil tidak akan bisa memberikan solusi pada sisi lain dan tetap berpotensi menimbulkan resistensi (perlawanan) dari seantero penduduk yang berkediaman di negeri ini.

Faktor-faktor alam memang bukan suatu hal yang dapat diprediksikan. Gempa hebat yang melanda China membuat Negara itu mengkonsumsi minyak lebih banyak lagi untuk kembali menggairahkan roda perekonomiannya. Keadaan tersebut juga telah membuat harga minyak naik hingga mencatatkan rekor tertinggi terbaru $127/barel.

Negeri paman sam (amerika) yang biasa mengkonsumsi minyak dalam jumlah yang cukup besar juga menghadapi tekanan hebat. Karena hampir semua minyaknya dibeli dari negeri lain, Amerika kerap meminta negara produsen minyak untuk menambah kapasitas produksinya. Namun, apa boleh dikata, negara pengekspor minyak terbesar Arab Saudi menyatakan ketidak bersediannya untuk menambah kapasitas produksi minyaknya. Kondisi tersebut membuat partai demokrat di AS berang dan mengusulkan untuk dilakukan embargo ke Arab Saudi.

Permasalahan-permasalahan tersebut diatas berpotensi membawa harga minyak bergerak ke level yang lebih buruk lagi. Kondisi tersebut juga sangat membingungkan pemerintah Indonesia untuk menaikan harga BBM karena terpaku pada pergerakan harga minyak global yang terus bergerak liar. Sehingga seberapa besar kenaikan minyak nantinya bukan jaminan bahwa tidak akan terjadi kenaikan BBM lagi.

Sunday, May 11, 2008

BBM Naik, Others Can Only Follow

Medan Bisnis, 12 Mei 2008
Bursa saham di eropa kembali tergerus seiring dengan naiknya harga minyak. Rencana kenaikan harga minyak juga membuat pemerintah dikritik habis-habisan di negeri ini. Tidak ada yang salah dari kebijakan pemerintah, rencana kenaikan harga BBM merupakan opsi dari beberapa opsi lainnya.

Namun, pernyataan dari pejabat pemerintah saja yang membuat banyak orang maupun media yang berspekulasi bahwa harga minyak pasti naik. Padahal pemerintah juga sedang mengkaji opsi lain sepereti penggunaan smart card di beberapa SPBU di Jakarta. Seiring dengan itu, banyak orang yang telah menjadi spekulan minyak yang mengakibatkan panic buying (rame-rame beli minyak) di masyarakat.

Di pasar dunia, harga minyak sempat menembus level tertingginya $126/Barel meskipun banyak analis yang menyimpulkan bahwa harga minyak akan tertahan di level psikologis $120/Barel. Gejolak harga minyak yang ditimbukan karena banyak alasan, akan tetapi rencana pemberian sanksi atas Negara Columbia oleh AS telah memicu munculnya pernyataan dari pemerintah Venezuela untuk mengurangi pasokan minyaknya ke AS, dan diyakini sebagai biang keladi meroketnya harga minyak belakangan ini.

Selain itu, meroketnya harga minyak juga dipicu oleh tren pelemahan mata uang US Dolar, yang kian terperosok apabila dibandingkan dengan mata uang Euro. Melemahnya US Dolar terhadap Euro tidak lebih disebabkan oleh rencana Bank Sentral Eropa untuk tetap mempertahankan suku bunga Euro seiring tingginya inflasi di Negara pengguna mata uang Euro.

Setelah menembus level $126/Barel, harga minyak bisa saja mencoba mendekati level $150/Barel dalam tahun ini atau mungkin saja $200/Barel. Analisis tersebut cukup beralasan karena permintaan akan minyak mentah dunia global diperkirakan masih akan tetap tinggi. Gejolak politik di Nigeria serta musim dingin di China akan membuat permintaan akan minyak tetap tinggi. Belum lagi karena faktor spekulasi oleh para hedge fund manager.

Banyak Negara pada saat ini memotong ekspetasi pertumbuhan ekonomi negaranya dikarenakan tingginya inflasi akibat kenaikan harga pangan, yang dipicu oleh meroketnya harga minyak dunia. Bahkan bank sentral di Negara tersebut tetap akan mempertahankan besaran suku bunganya atau bahkan dinaikan termasuk di Indonesia.

Hal tersebut akan membuat US Dolar kian terpuruk oleh mata uang lainnya sehingga berpotensi membawa harga minyak ke level yang lebih tinggi lagi. Beban masyarakat dunia belum berakhir disitu, meskipun harga minyak sepertinya sudah cukup tinggi terbang, masih akan ada tambahan lain yakni daya beli yang tidak kunjung membaik karena laju pertumbuhan mengalami penurunan.

Di beberapa Negara seperti Perancis dan Spanyol, kenaikan harga minyak telah membuat Negara tersebut berpikir untuk menggunakan energi alternatif lainnya. Seperti menggunakan energi bahan bakar tumbuhan atau biofuel hingga penggunaan energi matahari secara besar-besaran. Meskipun tetap mempunyai dampak negatif, namun antisipasi untuk menyelamatkan kebutuhan energi dalam negeri terlihat nyata.

Untuk Indonesia, Kenaikan harga BBM memaksa presiden untuk mengajak seluruh masyarakat di Indonesia berhemat energi. Seiring dengan hal itu, opsi-opsi penyelamatan keuangan Negara seperti menaikan harga BBM, hingga alternatif kenaikan untuk warga tertentu juga tengah di gulirkan.

Reaksi keras dan beragam dari seantero masyarakat di Indonesia sudah lazim terdengar belakangan ini. Asumsi APBN yang kian tidak realistis seperti asumsi mengenai Inflasi, Laju pertumbuhan, serta harga minyak membuat pemerintah kehilangan kredibilitasnya. Walaupun masih baru rencana menaikan BBM, namun apaboleh dikata harga kebutuhan pangan telah meroket mendahului si “empu” nya (BBM). Sudah menjadi hal yang biasa BBM naik, maka yang lainnya hanya akan mengikuti (Others Can Only Follow).

The FED Turun, Harga Pangan Tetap Akan Naik

Medan Bisnis, 5 Mei 2008
Bank Sentral Amerika atau The FED kembali memangkas suku bunganya sebesar 25 basis poin menjadi 2%. Keputusan tersebut bertujuan untuk mengurangi dampak krisis dari kredit di sektor perumahan serta menjadi stimulus agar konsumsi masyarakat di AS kembali membaik. Selain itu, penurunan suku bunga The FED juga dibarengi dengan penyuntikan likuiditas agar permintaan kredit tetap meningkat.

Dampak dari keputusan The Fed tersebut sangat terasa di pasar keuangan khususnya Bursa Saham dan Pasar Uang. Keputusan The FED telah mengangkat indeks saham di BEI (Bursa Efek Indonesia) serta beberapa indeks bursa lain seperti Nikkei (Jepang) maupun HangSeng (Hongkong).

Selain itu, membaiknya indeks bursa saham juga dipengaruhi oleh membaiknya harga minyak dunia yang sempat turun dikisaran harga $112/barel. Namun, sejauh ini penguatan harga minyak tersebut hanya akan berfluktuasi sementara dan tetap akan menjadi pemicu bagi kenaikan sejumlah harga komoditas lainnya.

Suku bunga global dimana acuannya adalah suku bunga The FED memang mengalami tren penurunan. Akan tetapi, tren penurunan suku bunga tersebut sepertinya akan terus memicu konsumsi karena penurunan suku bunga akan berdampak pada tingginya permintaan kredit serta konsumsi. Sehingga harga pangan diperkirakan akan terus naik, dan bahkan akan lebih buruk lagi karena dibarengi dengan tingginya inflasi.

Beberapa negara yang mengalami laju pertumbuhan tercepat saat ini telah menciptakan permintaan akan komoditas yang cukup signifikan. Dan diyakini sebagai salah satu pemicu memburuknya krisis pangan dunia. Beberapa negara tersebut yaitu China, India dan juga termasuk Malaysia. Padahal dibeberapa belahan negara lain mengalami kesulitan akan pangan karena faktor cuaca maupun dikarenakan oleh pelemahan mata uang US Dolar.

Konversi kebutuhan pangan seperti sawit (CPO), Jagung, maupun komoditas lain menjadi sumber energi seperti bahan bakar minyak juga menjadi sumbangsih terhadap kenaikan harga komoditas global yang terus berfluktuasi secara tajam. Di Amerika yang biasanya surplus pangan, kini beramai-ramai menjual komoditasnya keluar, karena lebih mahal serta diikuti dengan melemahnya nilai tukar US Dolar.

Penurunan suku bunga The FED sepertinya tidak akan menyelamatkan ekonomi AS dari keterpurukan dan akan mengalami recovery/penyelamatan yang lebih lama dari perkiraan sebelumnya. Penurunan suku bunga The FED akan terus menekan pasar keuangan di AS, yang hingga saat ini terus mengalami pembalikan modal keluar (sudden reversal).

Terlebih The FED saat ini tidak memberikan sinyal yang jelas akan gambaran keputusannya dimasa yang akan datang. Pernyataan The FED “Kita Akan Bergerak Jika Diperlukan” mempunyai penafsiran yang beragam dan tidak memberikan kepastian. The Fed sepertinya ragu untuk menentukan pilihan apakah menaikan atau menurunkan suku bunganya, ditengah gejolak ekonomi global seperti sekarang ini.

Namun, satu hal yang pasti, The FED akan sulit untuk kembali menaikkan suku bunganya apabila kondisi perekonomian AS dan Global masih mengalami perlambatan seperti yang terjadi pada saat ini. Tingginya harga energi yang dibarengi dengan tingginya inflasi dan diperburuk oleh krisis keuangan yang berkepanjangan, tentunya akan memaksa The FED untuk tidak menaikkan suku bunga.

Di Indonesia, suku bunga masih dipertahankan meskipun telah terjadi penurunan yang signifikan pada suku bunga The FED. Inflasi yang tinggi di dalam negeri sepertinya tetap menjadi fokus utama seakan-akan mengabaikan perkembangan suku bunga global. Fokus utama pemerintah masih tertuju pada penstabilan harga pangan dalam negeri.

Pemerintah melalui Presiden SBY telah menyatakan pentingnya untuk berhemat energi. Tingginya harga minyak dunia telah membuat APBN terseok-seok menanggung beban subsidi yang kian membesar. Pemerintah juga telah menawarkan solusi yakni dengan penggunaan smart card atau menaikan harga BBM bersubsidi rata-rata 28.7%.
Menurut hemat penulis, lebih baik memilih smart card yang bertujuan mengendalikan penggunaan BBM bersubsidi oleh mereka yang memiliki daya beli lebih baik (ekonomi menengah keatas). Kenapa, karena apabila pemerintah menaikan harga minyak subsidi secara menyeluruh, hal tersebut akan dirasakan oleh semua lapisan masyarakat dan akan berpotensi menjadi pemicu terhadap permasalahan sosial.

Sunday, May 04, 2008

Likuiditas Pemerintah (Defisit) Terhadap Obligasi SUN, ORI dan Pasar Keuangan

Medan Bisnis, 28 April 2008
Kebijakan pemerintah yang belum menaikan harga minyak domestik, akan mengancam perdagangan surat berharga (obigasi) khususnya obligasi yang diterbikan oleh pemerintah atau biasa disebut dengan government bond. Sejauh ini pemerintah masih mensubsidi kebutuhan minyak yang kian berimbas pada membengkaknya defisit sehingga berpotensi menimbulkan kepanikan dipasar karena akan mengurangi kepercayaan investor yang disebabkan asumsi kemungkinan gagal bayar (default).

Walaupun asumsi tersebut masih tergolong wacana, namun keprihatinan akan kenaikan harga minyak dunia tetap akan memberikan dampak psikologis bagi para pelaku pasar. Terlebih ada tren kenaikan di sejumlah harga komoditas yang lebih menguntungkan. Apabila investor mengkonversi aset dalam obligasi ke instrumen lainnya maka ada kemungkinan pemerintah akan mengalami kesulitan dalam menyediakan likuiditas (gagal bayar).

Kondisi tersebut berpotensi memicu krisis seperti yang terjadi di Amerika Serikat. Dimana ketika ada gagal bayar di sektor perumahan, maka para investor yang memegang produk turunan (sub ordinasi) dari perumahan tersebut melepaskan kepemilikannya dan beralih ke instrumen lain seperti komoditas. Sehingga dampak negatif dari peralihan tersebut adalah terjadi kenaikan yang signifikan terhadap harga komoditas dunia.

Selain itu, defisit yang kian membesar juga akan mempersulit pemerintah dalam menyediakan pembiayaan infrastruktur dan sektor riil lainnya. Karena distribusi dana APBN akan terus terkonsentrasi pada subsidi, sehingga ruang lain bagi stimulus pembangunan sektor riil akan menyempit.

Sejauh ini pemerintah juga terus memberikan kepastian yang kurang realistis, seperti tidak akan terjadi kenaikan harga minyak serta menyatakan bahwa APBN akan tetap aman hingga akhir tahun. Padahal guncangan eksternal sangat terasa guncangannya dan terus memberikan tekanan terhadap pasar keuangan nasional.

Obligasi, Saham maupun mata uang Rupiah juga belum berada pada posisi yang aman, dan diperkirakan akan terus berfluktuasi tajam selama tahun ini. Pasar obligasi diperkirakan akan mengalami gunjangan lebih serius bahkan dalam interval waktu yang cukup pendek, apabila harga minyak tidak dinaikan meski telah terjadi kenaikan luar biasa di pasar dunia.

Sejauh ini, obligasi yang diterbitkan pemerintah masih cukup diminati oleh para pemodal baik dari dalam maupun luar negeri. Karena imbal hasil yang diberikan oleh obligasi pemerintah lebih kompetitif dibandingkan obligasi yang diterbitkan oleh pemerintah lain. Namun, ditengah tingginya inflasi seperti yang terjadi disaat ini, tentunya akan membuat investor berpikir ulang dan berpotensi memudarkan ketertarikannya terhadap obligasi.

Laju harga minyak dunia saat ini, terus mencoba menembus angka psikologis $120/barel. Walaupun relatif tertahan secara teknikal di level tersebut, namun belum ada yang bisa memastikan sampai kapan kondisi tersebut akan tetap bertahan. Terlebih ketegangan yang timbul di negara di kawasan asia tengah berpotensi memicu spekulasi, dan membawa harga minyak ke level yang lebih tinggi lagi.

Di Indonesia, belum terdengar kebijakan yang secara langsung akan menyelamatkan pasar keuangan domestik. Kebijakan yang diambil masih pada seputar penyelamatan ekonomi nasional (fundamental) yang terkonsentrasi pada penyelamatan APBN. Meski demikian, tindakan yang diambil pemerintah tersebut nantinya juga akan berimbas pada pasar keuangan yang sedang berfluktuasi liar.

Statement yang dikeluarkan dan terkait dengan permasalahan fundamental pemerintah belakangan juga masih menyisakan kontroversi. Meski demikian perlu dipahami bahwa statement tersebut tetap mempunyai tujuan yang baik, misalnya menyelamatkan pasar, memberikan ketenangan di masyarakat, minimalisasi wacana yang menyesatkan, memulihkan kepercayaan pemodal, membentuk citra mereka sendiri atau mungkin menceritakan keadaan sebenarnya.

Kendati demikian, statement/pernyataan bahwa harga minyak tidak akan naik, APBN akan tetap aman setidaknya akan memberikan rasa aman walaupun hanya sesaat, meskipun hanya pada saat pernyataan tersebut dilontarkan. Seiring dengan berjalannya waktu, pemerintah terus akan berusaha untuk melengkapi bukti-bukti yang bisa membuat masyarakat menerima apabila pemerintah meralat semua yang telah diucapkannya.

Terpuruknya US Dolar Mengancam Rezim Demokratis

Medan Bisnis, 21 April 2008
Melemahnya US Dolar belakangan ini, terus menekan harga minyak ke level yang lebih tinggi lagi. Ini disebabkan karena nilai intrinsik dari US Dolar itu sendiri, sehingga pelemahannya akan memicu harga komoditas lain membumbung tinggi. Faktor spekulasi selalu dijadikan biang keladi terhadap krisis keuangan yang melebar menjadi krisis pangan.

Habbit dari para pemegang modal yang terus mencari tempat yang paling aman dan menguntungkan dalam berinvestasi diyakini sebagai penyebab utama melambungnya harga minyak dunia pada saat ini. Namun, belum bisa dipastikan, karena aksi spekulasi memainkan harga minyak dunia juga dipicu oleh langkah pemerintah AS yang terus menurunkan suku bunga.

Salah satu negara anggota OPEC menyatakan bahwa, penambahan kapasitas produksi minyak mentah dunia seharusnya mampu mengimbangi kebutuhan minyak sehingga mampu menstabilkan harga minyak dipasaran. Namun, kondisinya sangat jauh berbeda, dimana pelemahan US Dolar memegang peranan penting dan turut bertanggung jawab terhadap peningkatan harga pangan yang memicu inflasi.

Pada dasarnya pelemahan US Dolar itu sendiri merupakan dampak dari ketidaktertarikan investor untuk terus memegang mata uang dalam US Dolar. Terlebih langkah Bank Sentral Amerika (The FED) yang terus menurunkan suku bunga akibat krisis sektor perumahan. Penurunan suku bunga tersebut kian membuat US Dolar terjun bebas terhadap mata uang lainnya. Sehingga Bank Sentral AS atau The FED juga turut bertanggung jawab terhadap gejolak ekonomi yang mewabah seperti sekarang ini.

Kalau sudah begini, para pemodal tentunya akan melakukan penyelamatan asset dengan menyimpan modalnya pada instrumen keuangan lain yang lebih aman, termasuk komoditas seperti emas dan minyak dunia. Sehingga permintaan akan komoditas tersebut membuat harganya semakin mahal.

Misalnya, harga minyak mentah dunia yang saat ini diperdagangkan mendekati level $115/barel. Kenaikan harga minyak tersebut turut membuat asumsi harga minyak dunia dalam APBN semakin tidak realistis. Sehingga daya tahan APBN tersebut dalam merespon perubahan ekonomi semakin lemah. Dalam banyak hal, melemahnya ketahanan APBN akan memicu pemerintah melakukan penghematan di sana-sini bahkan bila perlu menghapus subsidi.

Banyak negara demokrasi seperti Indonesia, masalah pangan merupakan masalah krusial yang berpotensi menggulingkan sebuah rezim demokratis seperti saat ini. Faktor global seperti fluktuasi harga pangan dibeberapa kebutuhan dasar masyarakat membuat pemerintah Indonesia kian tidak berdaya dalam merumuskan kebijakan, walaupun kebijakan yang sangat baik sekalipun.

Kearifan masyarakat dalam menilai permasalahan menjadi kunci utama dalam menjaga kestabilan sebuah rezim. Akan tetapi, apabila kondisi ini terus berlangsung maka masyarakat akan mencoba mencari pendekatan lain, walau dengan menghancurkan sebuah kekuasaan dan menyuarakan untuk dilakukan sebuah revolusi.

Kekuasaan presiden SBY saat ini benar-benar berada dalam tekanan yang sangat sulit, bahkan dalam ancaman. Sejauh ini, belum ada solusi maupun langkah konkrit yang mampu memberikan penyelesaian bagi semua pihak layaknya obat untuk semua penyakit. Yang ada hanyalah berupa kebijakan menyembuhkan penyakit yang satu walau dengan menahan sakit dari penyakit lainnya, dan mengurangi dampak penularan terhadap organ tubuh lainnya.

Kondisi seperti ini tentunya juga dirasakan oleh banyak negara lainnya. Krisis pangan telah menjadi ancaman serius dibanyak negara khususnya negara yang sedang berkembang. Berbagai langkah tengah diupayakan, pemenuhan kebutuhan pangan tentu menjadi fokus utamanya. Oleh sebab itu, dibanyak negara di ASEAN menjadikan sektor pertanian merupakan sektor yang perlu diselamatkan terebih dahulu.

Kalau Indonesia saat ini tengah mempunyai cadangan beras yang cukup. Maka, pertimbangkan dahulu untuk tidak mengekspornya ke luar negeri, walaupun harus melawan anjuran dari seorang wakil kepala negara sekalipun. Karena, belum ada yang bisa memastikan kapan gejolak pelemahan US Dolar yang memberikan dampak luas bagi negara lain akan berakhir. Dengan sistem keuangan yang terintegrasi seperti sekarang ini, sulit untuk mengelak apalagi mengabaikan faktor eksternal tersebut.