Sunday, February 24, 2008

Buah Simalakama Ala Amerika

Medan Bisnis, 18 Februari 2008
Bank Sentral Amerika atau biasa disebut denga The FED kembali dihadapkan dengan data-data perekonomian Amerika, yang lagi-lagi menunjukan performa yang buruk. Kebijakan menurunkan suku bunga acuan The FED secara drastis belakangan ini, menimbulkan masalah lain walaupun diperkirakan cukup mampu mengurangi defisit neraca perdagangan Amerika.

Departemen tenaga kerja AS melaporkan telah terjadi kenaikan sejumlah harga barang seperti makanan dan energi yang disebabkan oleh meningkatnya laju tekanan inflasi akibat meningkatnya harga barang impor. Memburuknya kinerja mata uang US Dolar telah membuat negara tersebut membayar lebih mahal terhadap semua barang impor yang masuk ke Amerika.

Harga barang impor di Amerika telah mengalami kenaikan sebesar 1.7% selama bulan Januari 2008. Kenaikan tersebut nantinya juga akan memaksa sejumlah perusahaan di Amerika menaikan harga barang sehingga mendongkrak laju inflasi negara tersebut. Untuk meredam laju inflasi itu, maka langkah yang harus diambil oleh Bank Sentral Amerika adalah dengan menaikkan suku bunga acuan atau The FED Fund Rate.

Tidak mungkin, kredit sektor perumahan Amerika masih dalam masa keterpurukan. Daya beli masyarakat Amerika kembali menurun. Menaikan suku bunga akan menambah beban masyarakat di negara tersebut dan dapat memperburuk kinerja perekonomian Amerika yang masih berkutat pada kredit bermasalah dan berpotensi membawa AS menuju resesi.

Keputusan menaikan suku bunga juga sangat bertolak belakang dengan kebijakan stimulus perekonomian Amerika yang telah disetujui oleh congress amerika. Kebijakan suku bunga tinggi atau tight money policy juga akan berdampak pada memburuknya kinerja perekonomian global, karena Amerika masih menjadi negara tujuan utama ekspor di hampir semua negara di belahan dunia.

Sangat dilematis, dan bagaikan makan buah simalakama. Namun, solusi untuk masalah tersebut adalah dengan menetapkan prioritas. Pemerintah AS harus dipaksa menentukan 1 pilihan yang sama-sama punya sisi negatif dan memiliki keterikatan antara satu dengan yang lainnya. Namun pilihan tersebut sepertinya telah terungkap dengan jelas seiring dengan pernyataan Gubernur Bank Sentral AS Ben Bernanke dalam rapat FOMC (Federal Open Market Committee).

Dalam Pidatonya Bank Sentral AS siap untuk menurunkan suku bunga lagi dalam mendorong pertumbuhan, serta memberikan jaminan akan munculnya ancaman dari kebijakan yang akan dibuat tersebut. Langkah tersebut jelas tidak populis, namun apamau dikata, biarkan saja inflasi naik, harga barang naik, banyak uang beredar asalkan mampu mendongkrak daya beli masyarakat.

Tapi bagaimana mungkin?, bukankah laju inflasi yang tinggi juga sebagai indikasi awal bahwa daya beli masyarakat akan kembali melemah nantinya. Bagi-bagi uang (paket stimulus ekonomi AS) juga akan kurang bermanfaat apabila masyarakat Amerika menerima uang, namun harus membayar harga yang lebih mahal terhadap produk yang akan di belinya.

Mirip lomba lari seperti perayaan acara 17-an. Kita hanya tinggal melihat manakah diantara Inflasi dan Pertumbuhan yang akan mencapai garis finish duluan. Kalau pertumbuhan ekonomi Amerika akan dipacu dengan suku bunga rendah dan dilengkapi dengan paket stimulus ekonomi, nah Inflasi akan di pacu dengan US Dolar yang melemah serta tingginya harga komoditas dunia.

Kalau paket stimulus AS berhasil membawa masyarakat Amerika jauh dari potensi resesi, maka hal tersebut tentunya akan dikompensasi dengan membaiknya perekonomian global yang ditandai dengan membaiknya daya beli masyarakat Amerika. Dan hal tersebut tentunya akan berdampak positif bagi kinerja ekspor negara-negara yang menjadikan Amerika sebagai tujuan utama.

Nah kalau ancaman inflasi yang lebih menonjol, maka hal tersebut akan memberikan dampak negatif terhadap perekonomian AS, sehingga perekonomian global akan mengalami kontraksi juga. Kita (Indonesia) tentunya tidak hanya menonton, kita harus mengantisipasi dampak dari kebijakan Amerika tersebut.

Kalau kita saat ini mengantisipasi dengan cara meningkatkan konsumsi dalam negeri. Maka kita akan melihat bahwa gejolak perekonomian Global tidak akan berpengaruh banyak bagi kegiatan ekonomi domestik. Posisi kita akan sangat lebih diuntungkan dari ancaman resesi negara lain.

Namun, tidak mudah untuk menaikan belanja masyarakat kita seperti sekarang ini. Selain karena APBN yang harus tambal sulam, tingginya harga komoditas seperti minyak, kedelai maupun gandum. Kita juga masih harus meminjam uang dengan suku bunga cukup tinggi, karena BI rate belum pasti akan turun dari tempat duduknya yang masih seharga 8%.

Wednesday, February 13, 2008

Ditengah Ketidakpastian Pertumbuhan

Medan Bisnis, 11 Februari 2008
Bank Sentral Inggris atau BOE kembali memangkas suku bunganya sebesar 25 basis poin menjadi 5,25% pada saat ini. keputusan tersebut diambil menyusul membaiknya laju pertumbuhan ekonomi di negara tersebut. Keputusan itu juga sepertinya untuk mengimbangi besaran suku bunga The FED yang juga turun akhir-akhir ini.

Selain itu, kepercayaan akan pertumbuhan ekonomi di zona euro seperti yang diungkapkan baru-baru ini sepertinya sangat bertolak belakang dengan prediksi IMF (International Monetery Fund) yang justru merevisi prediksi laju pertumbuhan untuk zona euro sebesar 1.6% pada tahun 2008 ini.

Krisis sektor perumahan AS telah membawa perubahan yang cukup signifikan bagi laju pertumbuhan ekonomi negara mitra dagang Amerika seperti negara di kawasan Eropa. Gubernur bank sentral eropa (ECB) Jean C. Trichet mengeluarkan statement bahwa tanda-tanda pertumbuhan ekonomi di Eropa masih cukup solid sehingga kemungkinan suku bunga akan turun tetap terbuka. Namun, hal tersebut ditanggapi dengan melemahnya mata uang Euro di pasar keuangan.

Dalam pertemuan negara anggota G-7 baru-baru ini, kelompok G-7 menyatakan bahwa laju pertumbuhan di Amerika serikat sepertinya masih akan memburuk dalam waktu yang cukup lama. Hal ini mengindikasikan bahwa ketidakseimbangan pertumbuhan ekonomi global akan tetap terjadi dalam kurun waktu yang belum bisa dipastikan.

Dalam statementnya negara anggota G-7 bertekad untuk menekan dampak buruk dari krisis yang berlangsung pada saat ini. Namun, lebih jauh tidak dijelaskan dengan jelas instrumen apa yang akan digunakan untuk meredam gejolak ketidakpastian ekonomi yang terjadi pada saat ini. Yang tentunya akan memunculkan kekhawatiran baru atas kredibilitas negara ekonomi besar dunia yang dinilai tidak kompeten.

Memburuknya perekonomian AS sepertinya sudah menjadi ancaman di pasar keuangan global, sehingga tidak banyak yang dapat dilakukan pemerintah Amerika untuk meredam dampak negatifnya pada saat ini. Pemangkasan suku bunga seperti yang dilakukan Bank Sentral Amerika atau The FED akhir-akhir ini sepertinya tidak berpengaruh signifikan dan hanya mengangkat harga komoditas ke level yang lebih tinggi lagi.

Kongres Amerika akhirnya membuat sebuah kebijakan (solusi) guna mempercepat perbaikan dalam ekonomi AS. Kebijakan tersebut diantaranya menyetujui paket stimulus ekonomi yang intinya memberikan dana bagi setiap warga AS guna meningkatkan konsumsi yang diharapkan mampu meningkatkan produk domestik bruto (PDB) AS. 130 juta warga Amerika diperkirakan akan mendapatkan dana tersebut.

Dana tersebut dibagikan bagi warga yang mempunyai penghasilan dibawah $3.000/tahun. Dengan ketentuan $600 untuk setiap orang, atau $1.200 bagi pasangan dan $300 untuk masing-masing anak. Termasuk para pensiunan yang mendapat jaminan sosial juga mendapatkan dana tersebut. Presiden AS George W. Bush menyatakan bahwa langkah tersebut cukup efektif guna menghindari Amerika dari resesi.

Sementara itu, seiring dengan tren penurunan suku bunga di Amerika, pasar keuangan Indonesia kembali dibanjiri oleh dana -dana asing atau lebih dikenal dengan Hot Money. Dana tersebut masuk melalui pasar keuangan maupun saham. Sejauh ini, BI selaku pemegang otoritas keuangan tertinggi tidak merisaukan arus dana masuk tersebut, yang tercermin dengan menguatnya nilai tukar rupiah belakangan ini.

BI bisa saja menurunkan besaran bunga acuan atau BI rate yang saat ini masih bertahan di level 8%. Penguatan rupiah sepertinya akan tetap bermanfaat bagi stabilitas harga pangan di dalam negeri khususnya kedelai dan gandum. Harga kedelai yang melambung telah membuat pemerintah membayar mahal untuk mengimpor kedelai dengan harga sekitar Rp. 6.000,- dan dijual dengan harga Rp. 3.000. Entah apa lagi yang akan dilakukan pemerintah guna menambal defisit APBN kedepan.

Dengan penguatan nilai tukar Rupiah setidaknya mengurangi beban pemerintah dalam menghimpun dana untuk mengimpor kedelai. Walaupun sebenarnya keadaan tersebut sangat mengkhawatirkan bagi pergerakan rupiah dalam jangka panjang. Apabila dana dana yang masuk saat ini (Hot Money) keluar secara tiba-tiba akibat volatilitas yang cukup tinggi di pasar global maka nilai tukar rupiah akan terjun bebas dan menggerus cadangan devisa. Kalau hal tersebut terjadi maka rakyat yang saat ini disubsidi dengan harga kedelai murah tentunya tetap akan membayar apabila Rupiah kembali begerak liar.

Gambaran Perekonomian AS Kian Buram

Medan Bisnis, 4 Februari 2008
Federal Reserve atau lebih dikenal dengan The FED sebagai sebutan untuk Bank Sentral Amerika Serikat, baru-baru ini kembali menurunkan suku bunga menjadi 3% pada saat ini. Keputusan tersebut dilatar belakangi dengan masih memburuknya kredit macet sektor perumahan Amerika serta anjloknya data tenaga kerja diluar sektor pertanian atau biasa disebut dengan Non-Farm Payroll.

Non-Farm Payroll AS turun menjadi sebesar 17.000 jiwa pada bulan januari 2008 setelah sempat naik sebanyak 82.000 jiwa pada bulan desember 2007. Hal tersebut sangat jauh berbeda dengan analisa banyak pengamat keuangan yang justru memperkirakan adanya pertumbuhan pada jumlah tenaga kerja baru yang terserap pada bulan Januari kemarin.

Kebijakan uang ketat atau Tight Money Policy The FED pada masa Alan Greenspan sepertinya sudah mulai pudar eksistensinya dan lebih menekankan pada pertumbuhan ekonomi. Selain itu, disinyalir memburuknya kinerja perekonomian AS tidak terlepas dari besarnya utang negara Amerika, dimana lebih fokus untuk mengkampanyekan program melawan teroris di belahan dunia selama pemerintahan presiden George W. Bush.

Memburuknya perekonomian AS juga diperparah dengan semakin tingginya harga minyak mentah dunia. Apabila harga minyak dunia kembali naik signifikan bisa dipastikan bahwa Amerika lagi-lagi akan menghadapi masalah sulit karena harus membeli dengan nominal yang cukup besar dalam memenuhi kebutuhan energi dalam negeri.

Dalam setiap kebijakan mengenai suku bunganya The FED selalu memberikan komentar yang biasanya digunakan untuk memprediksi arah pergerakan suku bunga ke depan. Sejauh ini, pasar lebih optimis bahwa The FED masih akan memotong besaran suku bunganya dalam pertemuan FOMC (federal open market committee) bulan mendatang.

Hal tersebut mengindikasikan bahwa The FED masih mengkhawatirkan sektor perumahan yang mengalami kredit macet serta lebih menekankan pada laju pertumbuhan untuk mendorong konsumsi masyarakat disana. Dan oleh karena itu, mata uang US Dolar kembali terpuruk cukup dalam terhadap semua mata uang dunia.

Untuk mengatasi dampak negatif dari memburuknya perekonomian Amerika, negara Eropa seperti Inggris kembali mengeluarkan regulasi perbankan yang lebih melindungi deposan serta menjaga pasar finansial dari volatilitas yang cukup tinggi. Dampak negatif dari memburuknya perekonomian AS juga dapat dirasakan diseluruh belahan dunia dengan mengeluarkan sebuah kebijakan untuk menghadapi skenario stres (stress scenario).

Stress scenario yang paling mungkin terjadi adalah terpuruknya nilai tukar US Dolar (sharp decoupling), stagnasi akibat inflasi tinggi (stagflation) dan stagnasi akibat kelesuan ekonomi (stagnation). Sehingga bisa diperkirakan bahwa ekonomi global akan terus mencoba untuk mencapai titik keseimbangan (equilibrium) selama tahun 2008 – 2009. Walaupun beberapa kekuatan ekonomi dunia yang baru (China dan India) diperkirakan mampu untuk mengimbangi kelesuan ekonomi global saat ini, namun kekuatan ekonomi AS sepertinya masih akan tetap mendominasi serta akan mempengaruhi ekonomi global dari segala aspeknya.

Dalam negeri
Indonesia merupakan negara yang juga terintegrasi dalam sistem keuangan global. Keterpurukan ekonomi AS juga membuat Indonesia terkena dampaknya seperti kenaikan harga bahan pangan baru-baru ini. Sulit untuk mengatakan apakah kita secara mandiri dapat menghindari dari gejala resesi yang diawali dengan memburuknya perekonomian AS.

Amerika bukan negara tujuan ekspor utama Indonesia, namun karena Amerika menguasai hampir seperempat (¼) produk domestik bruto (PDB) dunia, jadi sangatlah sulit untuk terhindar dari efek awal resesi perekonomian dunia pada saat ini. Bukan mustahil apabila Amerika mengalami krisis ekonomi maka akan diikuti oleh Indonesia.

Suku bunga atau BI rate juga dipertahankan sama di level 8% pada saat ini. Hal tersebut dikarenakan masih tingginya inflasi pada bulan januari yang dirilis BPS (badan pusat statistik) sebesar 1.7%. Hal tersebut akan membuat pemerintah dan otoritas moneter negara kita bekerja ekstra keras karena target inflasi tahun 2008 ini adalah sebesar 5% plus minus 1%.

Ruang penurunan BI rate semakin kecil, sehingga perbankan diperkirakan masih akan tetap memberlakukan suku bunga tinggi sehingga berdampak pada stagnasi penyaluran kredit. Dunia bisnis pun akan mengalami hal yang sama yaitu stagnasi. Siapapun pemerintahan sekarang ini pastilah akan sulit untuk mengatasi perekonomian Indonesia yang tidak mengalami gejala perubahan yang lebih baik secara signifikan.

Sejumlah faktor baik Internal maupun Eksternal bukan perkara mudah untuk dikendalikan. Faktor eksternal (global) sangat rentan dengan permasalahan global dan sifatnya juga sangat sulit untuk diprediksi (unpredictable). Namun, tidak jauh berbeda dengan permasalahan internal, melambungnya harga bahan makanan pokok merupakan hasil dari reaksi perubahan perekonomian global. Sehingga siklus perputaran ekonomi tak ubahnya seperti lingkaran. Dimana akan lebih nyaman berada diatas dari pada tergilas pada saat di bawah.

Antara Paket Stimulus Ekonomi AS, Tempe dan Minyak Goreng

Medan Bisnis, 29 Januari 2008
Perekonomian Amerika Serikat kembali menghadapi resesi yang mungkin akan berkepanjangan. Hal tersebut terbukti dengan bangkrutnya sejumlah perusahaan jasa keuangan AS yang sekaligus memicu anjloknya indeks bursa saham wall street, serta menyeret sejumlah indeks bursa global. Mata uang US Dolar juga tidak luput dari keterpurukan sehingga membutuhkan insetif baru guna menyelamatkannya.

Tidak tanggung-tanggung, melemahnya US Dolar turut memicu melambungnya harga komoditas seperti minyak mentah dunia, yang turut membawa komoditas lainnya seperti gandum, kedelai kembali meroket tajam. Imbasnya jelas, para produsen tempe sempat menghentikan produksinya karena kenaikan harga bahan baku kacang kedelai.

Ungkapan yang muncul seperti “Amerika Bersin, Maka Negara Lain akan Demam”, sepertinya cukup menggambarkan bagaimana dampak dari kredit macet perumahan AS berimbas pada kebutuhan bahan makanan pokok di dalam negeri. Bahkan, pemerintah Indonesia menyatakan bahwa permasalahan pangan belakangan ini merupakan masalah global, jadi bukan Indonesia saja yang kesulitan dalam menghadapi kelangkaan pangan, namun negara lain juga merasakan hal yang sama.

Namun yang pasti akan lebih bermartabat kalau pemerintah mampu mengatasi kelangkaan pangan dalam negeri walaupun negara lain justru kesulitan dalam mengatasinya. Bukan hanya beretorika serta mencari alasan lain sebagai kambing hitam dan dijadikan alasan untuk tidak melakukan sesuatu.

Indonesia lagi-lagi berada dalam posisi yang dirugikan pada saat ini. Belum lagi tuntas masalah pencapaian pertumbuhan yang tidak memenuhi harapan, Indonesia kembali dihadapkan pada laju tekanan inflasi akibat melambungnya harga sejumlah kebutuhan makanan pokok. Sehingga, banyak yang optimis bahwa pada tahun 2008 ini pemerintah tidak akan mencapai pertumbuhan ekonomi seperti yang telah ditargetkan.

Banyak yang bertanya-tanya, kenapa harga minyak goreng tetap mahal dipasaran, padahal Indonesia merupakan salah satu negara penghasil minyak kelapa sawit terbesar di Dunia. Jawabannya jelas, para pengusaha kelapa sawit akan lebih senang kalau sawitnya dijual di pasar global karena jauh lebih menguntungkan ketimbang harus dijual didalam negeri, yang notabene lebih murah karena untuk menstabilkan harga minyak goreng di pasar domestik.

Moral hazard dari para pengekspor CPO (Crude Palm Oil) / minyak kelapa sawit sempat diketuk ketika harga minyak goreng malambung tinggi. Namun, apakah kita sadar bahwa kenaikan harga CPO di pasar global juga akan mengangkat pendapatan petani sawit dalam negeri pada umumnya. Ngalor-ngidul dan tetap berkutat ke permasalahan itu, akhirnya pemerintah mengambil kebijakan untuk menaikan pajak ekspor dari penjualan CPO.
Efektifkah?, jawabannya tentu relatif tergantung kemampuan daya beli kita terhadap minyak goreng itu sendiri. Mahal atau tidaknya suatu barang tentu akan bergantung pada isi kantong kita masing-masing. Belum ada yang tahu kapan kesengsaraan ini akan berakhir.

Mungkinkah lagu dari Alm.Chrisye yang berjudul Badai Pasti Berlalu benar-benar akan menjadi doa yang akan terwujud, atau sebagai hiburan atas kesabaran mengahadapi cobaan seperti sekarang ini.

Namun, kita semua pasti dapat memperhitungkan semuanya. Mari kita sama-sama menganalisa. Kredit macet yang terjadi di Amerika telah membuat daya beli masyarakat disana menurun, sehingga mengurangi kinerja ekspor negara kita ke AS.

Hal tersebut tentunya akan berdampak pada menurunnya produktifitas perusahaan yang penjualannya bergantung pada Amerika Serikat. Dan memungkinkan perusahaan tersebut akan merugi, terlebih perusahaan tersebut tidak mempunyai negara tujuan ekspor lainnya. Dan kita tentunya sudah tahu apa yang akan dilakukan jika sebuah perusahaan itu merugi.

Nah, ada beberapa negara lain seperti China dan India yang tetap menunjukan laju pertumbuhan ekonomi yang dahsyat. Sehingga membuat negara tersebut kehausan akan minyak dan membuat harga minyak dunia melambung jauh diatas harga yang ditetapkan dalam APBN. Apabila harga minyak dunia naik tajam sudah tetntunya hal tersebut akan berimbas pada melambungnya harga barang yang berbasis impor. Karena harga barang tersebut akan ditambah dengan harga pengiriman yang juga membutuhkan bahan bakar.

Inilah yang menjadi pemicu kenapa harga kebutuhan pokok turut melambung tinggi belakangan ini. Kalaupun pemerintah mampu menstabilkan harga dengan cara subsidi, namun kita tidak akan pernah tahu sampai kapan negara ini akan mampu dibebani dengan biaya subsidi yang semakin besar.

Pada saat ini, Amerika Serikat direncanakan akan mendapat dana bantuan untuk menghindari negara tersebut dari krisis ekonomi, yang disebut juga dengan rencana stimulus kebijakan ekonomi. Ada harapan akan membaiknya daya beli masyarakat di AS yang sejalan dengan pemangkasan suku bunga The FED belakangan ini. Dan tentunya ada harapan pula dengan peningkatan kinerja ekspor negara kita.

Namun, turut diwaspadai pula bahwa peningkatan laju pertumbuhan ekonomi Amerika akan membuat negara tersebut semakin rakus akan minyak mentah, yang berpotensi mengangkat harga minyak mentah ke level yang lebih tinggi lagi. Sehingga sulit untuk menciptakan harga barang yang peduli pada masyarakat kita pada umumnya. Sehingga Teori yang benar untuk mengungkapkan ini semua adalah teori keseimbangan (equilibrium). Dimana pada dasarnya kita tetap berada pada sebuah titik keseimbangan, tidak kurang dan tidak lebih. Kalaupun anda merasa lebih tentunya ada sisi lain yang kekurangan.

Kesengsaraan (Hutang) Tiada Akhir

Medan Bisnis, 14 Januari 2008
Banyak pihak yang merasa kecewa ketika banyak media mengabarkan bahwa perbankan masih saja menyimpan dananya ke Bank Indonesia melalui instrumen keuangan Sertifikat Bank Indonesia atau biasa disebut dengan SBI. Dana nganggur di Perbankan tersebut seharusnya dapat dijadikan instrumen keuangan bagi dunia usaha atau biasa disebut dengan kredit.

Penyaluran kredit akan meningkatkan belanja masyarakat dan akan mempercepat laju pertumbuhan ekonomi, dan sekaligus sebagai wadah mediasi perbankan itu sendiri. Namun, perbankan juga masih mengeluhkan penyerapan yang kurang maksimal dari para pelaku dunia usaha, baik itu karena suku bunga dinilai masih relatif tinggi, tingginya harga bahan bakar minyak, mahalnya bahan baku, penurunan daya beli hingga ke permasalahan struktural yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi.

Permasalahan tersebut disinyalir sebagai akar dari lemahnya penyerapan APBD di sejumlah daerah di Indonesia. Namun, alasan lain seperti ketakutan akan kekuatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang gencar dalam memberantas penyalahgunaan uang Negara (korupsi) kerap dijadikan masalah juga. Padahal penggunaan anggaran yang dapat dipertanggung jawabkan tentunya dapat dijadikan garansi.

Kondisi yang seperti demikian akan memicu sejumlah daerah menempatkan dananya di perbankan dengan fasilitas yang sama yaitu SBI. Karena SBI memberikan imbal hasil yang lebih baik dibandingkan dengan produk keuangan lain seperti Deposito. Sehingga pantas kiranya kalau pemerintah juga memberikan kontribusi bagi lambatnya pertumbuhan ekonomi, lemahnya penyerapan tenaga kerja hingga ketidak berdayaan dalam mengentaskan kemiskinan.

Rakyat yang jelas-jelas tidak terlibat sedikitpun dalam setiap pengambilan keputusan tersebut sangat dirugikan, karena beban dari bunga yang harus dibayarkan juga harus dibayar dengan keringat mereka. Sehingga subsidi (dalam bentuk apapun) yang diterima rakyat seperti sekarang ini tidak sebanding dengan kesempatan lain yang bisa diraih seperti pekerjaan, pendidikan, dan kehidupan yang lebih layak.

Kalau saja penulis diberikan pilihan, maka penulis akan memilih untuk tidak menerima subsidi sama sekali asalkan dapat mendapatkan pekerjaan yang layak. Lagipula, subsidi yang diberikan pemerintah pada saat ini juga tidak sepenuhnya memihak kepada rakyat miskin karena mereka yang berpendapatan lebih baik juga dapat menggunakan subsidi tersebut.

Sejak menjelang akhir tahun 2007 hingga awal tahun 2008 ini, posisi pemerintah semakin sulit untuk menyesuaikan kenaikan harga minyak yang sebelumnya dalam APBN dipatok $60/barel, padahal harga minyak dunia pada saat ini mendekati level $100/barel. Defisit APBN pun tidak bisa dihindari.

Hingga pemerintah melalui menteri keuangan kembali menerbitkan surat utang dalam denominasi mata uang US Dolar sebesar US$ 2 Milyar yang biasa disebut dengan global bond, dan diberi nama indo 38 dan indo 18. Dengan masing-masing jatuh tempo 30 tahun untuk indo 38 serta 10 tahun untuk indo 18.

Ada hal yang menarik dari penerbitan dua obligasi tersebut, yakni bunga yang ditawarkan sebesar 7.74% (indo 38) serta 6.90% (indo 18). Menarik disini bukanlah karena bunga yang dibayar terlalu murah, akan tetapi lebih tinggi dari penerbitan obligasi di Amerika sendiri yang berada di range 4% hingga 6%.

Walaupun rating utang Indonesia yang diberikan lembaga pemeringkat utang sudah membaik akhir-akhir ini, namun sepertinya kebanyakan investor di negeri paman sam tidak mau ambil resiko, mereka tetap meminta bunga yang lebih tinggi lagi. Nah, siapakah yang akan membayar bunga segede itu?, kita (rakyat) tentunya dong, melalui pemerintah pastinya.

Walaupun tidak akan ada tagihan secara langsung yang ditujukan kepada kita, tapi yakinlah bunga segede itu akan berdampak pada berkurangnya kualitas subsidi yang kita terima selama ini, maupun hilangnya kesempatan lain untuk mendapatkan subsidi yang baru. Subsidi tersebut juga belum terbebas dengan aksi penggelapan oleh oknum pemerintah, yang tentunya akan menambah lengkap penderitaan kita (rakyat).

Dengan porsi utang pemerintah melalui SBI yang mendekati Rp.300 Trilyun, serta utang lain seperti penerbitan global bond, mengindikasikan bahwa kita (rakyat) masih akan terus berjuang untuk lepas dari kesengsaraan. Kalau perjuangan tersebut sudah mengalami titik jenuh, maka tidak ada pilihan lain selain pasrah kepada Tuhan.

Perputaran Uang Panas (Hot Money)

Medan Bisnis, 7 Januari 2008
Salah satu mata uang kuat dunia US Dolar kembali terpuruk akibat meningkatnya jumlah angka pengangguran di negeri paman sam. Alhasil, pelemahan tersebut membuat sejumlah mata uang rivalnya seperti Yuan China kembali menguat signifikan.

Penguatan mata uang Yuan tidak terlepas dari pengaruh memburuknya kondisi perekonomian Amerika, dimana selama bulan desember 2007 di Amerika Serikat terjadi penyerapan tenaga kerja baru sebanyak 18.000 jiwa, jauh lebih kecil dari ekspektasi pasar sebelumnya sebanyak 70.000 jiwa. Data tersebut merupakan data terkecil sejak 4 tahun terakhir.

Indeks jumlah pengangguran juga naik menjadi 5% pada saat ini, atau lebih tinggi dari ekspektasi analis sebesar 4.8%. Peningkatan jumlah pengangguran tidak dapat dihindari sejak krisis sektor perumahan atau subprime mortgage melanda pasar finansial Amerika di tahun 2007 lalu. Dampak dari krisis perumahan tersebut sepertinya masih akan menjadi stimulus negatif bagi perekonomian Amerika di tahun 2008 ini.

Akibat data tersebut, Indeks Bursa Dow Jones juga kembali terpuruk (turun 2%) seiring dengan melemahnya nilai tukar US Dolar. Penurunan indeks Bursa Dow Jones juga berimbas pada melemahnya indeks bursa di Eropa dan Jepang. Namun, tidak selamanya dampak negatif dari memburuknya perekonomian Amerika juga akan dirasakan di Negara lainnya.

Memburuknya kinerja perekonomian Amerika akhir-akhir ini berpotensi menjadi pemicu larinya sejumlah aliran dana keluar dari Amerika. Kemana?, ke Negara yang memberikan imbal hasil yang lebih baik tentunya. Negara berkembang atau biasa disebut emerging market berpotensi mendapatkan keuntungan dari memburuknya perekonomian Amerika.

Kalau kita cermati, mata uang Yuan China, menunjukan peforma yang cukup baik, dan bergerak sebaliknya dibandingkan pergerakan mata uang US Dolar. Diperkirakan penguatan Yuan terkait dengan masuknya aliran dana dari luar, khususnya Amerika sehingga membuat pasar finansial dibanjiri oleh dana dari mana saja. Uang yang masuk yang memanfaatkan gain suku bunga dan tidak termasuk sebagai dana yang digunakan untuk investasi (Foreign Direct Investment – FDI) biasa disebut dengan uang panas atau hot money.

Dalam jangka pendek dana tersebut akan menyebabkan permintaan pada produk keuangan yang diterbitkan di Negara asal sehingga terjadi permintaan akan obligasi, saham maupun produk keuangan lainnya. Efek yang ditimbulkan adalah permintaan akan mata uang Negara asal yang terus meningkat dan menguat terhadap mata uang Negara lainnya.

China merupakan salah satu peta kekuatan ekonomi dunia yang diperhitungkan pada saat ini. Dengan laju pertumbuhan diatas 10%, tingkat inflasi yang cukup tinggi serta jumlah penduduk yang terbanyak di dunia memberikan imbal hasil (suku bunga) yang cukup baik dibandingkan dengan Negara lainnya. Kondisi tersebut tentunya akan menjadi penilaian positif bagi investor untuk mengembang biakan dananya ke Negara tersebut.

Laju pertumbuhan yang tinggi umumnya akan dibarengi dengan inflasi yang tinggi pula. Hal tersebut berdampak pada pengetatan kebijakan moneter di China yang secara meyakinkan terus menaikan suku bunganya. Sehingga dapat menimbulkan dampak pada mengalirnya sejumlah dana -hot money- ke Negara tersebut.

Bahkan, Amerika menuding China melakukan kecurangan dengan tidak membiarkan mata uang Yuan menguat sesuai dengan mekanisme pasar. Monopoli terhadap produk buatan China di pasar China dituding menjadi akar permasalahan bagi defisit neraca perdagangan Amerika. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa Yuan masih akan terus menguat lebih jauh lagi, walaupun tanpa kebijakan untuk meliberalkan mata uang Yuan.

Bukan berarti keadaan tersebut akan terus menguntungkan China. Perputaran uang (hot money) sangat rentan terhadap isu global yang berpotensi akan menjadi boomerang bagi Negara yang saat ini sangat diuntungkan oleh hot money tersebut. Indonesia juga pernah mengalami hal serupa, bahkan sebelum kirisis melanda Indonesia pada tahun 1997.

Dana panas biasanya akan membanjiri produk keuangan jangka pendek yang dapat dicairkan seketika. Apabila terjadi gejolak yang menimbulkan dampak negatif pada perekonomian, dengan cepat dana panas tersebut akan segera keluar dan menyebabkan fluktuasi pada pasar finansial.

Apabila Negara yang mengalami fluktuasi tersebut tidak sigap ataupun salah dalam mengambil tindakan, dikhawatirkan akan berdampak pada krisis berkepanjangan seperti yang dialami Indonesia sejak tahun 1997.

Uang tidak pernah mengenal nasionalisme, dan juga tidak mengenal humanisme. Uang akan terus berkembang biak sesuai dengan kemauan sang pemiliknya. Peredarannya lebih dikarenakan sebagai alat pemuas semata bagi tuannya. Tanpa mengenal lelah uang akan terus beputar dan berpihak pada siapa (Negara) dia akan lebih menguntungkan. Uang memang berguna bagi kebanyakan manusia, tapi pahamilah bahwa uang panas, dana panas atau hot money itu ga ada gunanya.