Wednesday, May 21, 2008

Janji Kebijakan Ekonomi Yang Hanya Berisi Estimasi

Medan Bisnis, 19 Mei 2008

Dengan pertimbangan serta analisis yang cukup mendalam dari para pakar, terhadap segala bentuk estimasi dari perubahan ekonomi (Internal) yang akan datang, selalu dituangkan dalam rancangan anggaran yang biasa disebut dengan RAPBN (Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara), serta dapat dilakukan perubahan sesuai dengan jadwal, apabila terjadi perubahan asumsi atau estimasi, maka akan ada rancangan anggaran perubahan atau diistilahkan dengan RAPBN – P (Perubahan).

Dalam perumusan tersebut tentunya anggaran telah disiapkan dan akan digunakan untuk kepentingan strategis pemerintah. Namun, dalam perjalanannya anggaran bisa saja kurang mencukupi sehingga berpotensi defisit. Kejadian tersebut tidak sepenuhnya dikarenakan ketidak akuratan si pembuat kebijakan namun dapat dikarenakan oleh faktor-faktor yang bersifat unpredictable (sulit diprediksi).

Dalam kasus yang terjadi sekarang ini, asumsi mengenai Inflasi dan Harga Minyak dalam RAPBN menjadi tidak realistis karena realitasnya jauh dari asumsi pemerintah. Namun kejadian tersebut bukan hanya terjadi disini (Indonesia), banyak Negara lain di belahan dunia yang juga mengalami hal serupa. Sehingga komentar-komentar yang berbau ekonomi selalu meralat sejumlah asumsi yang telah dibuat.

Belum lepas dari ingatan kita, pada saat pemerintah menjamin bahwa harga minyak tidak akan dinaikan selama tahun 2008 ini. Namun, baru-baru ini telah terdengar rencana kenaikan BBM yang mungkin terjadi di awal bulan Juni mendatang. Janji yang sebelumnya pernah terucap menjadi pepesan kosong yang membuat orang untuk tidak mempercayai kembali apabila ada janji-janji lain yang nantinya terdengar dari sang penguasa negeri ini.

Namun, janji yang dikeluarkan tersebut sebenarnya berlandaskan pada suatu hal yang masuk akal atau bahkan cukup rasional. Kestabilan nilai tukar rupiah, stabilnya harga minyak dunia, asumsi masih solidnya perekonomian Amerika, Inflasi yang terkendali serta membaiknya laju pertumbuhan ekonomi Indonesia, tentunya membuat pemerintah pada saat itu sangat percaya diri, untuk menjamin tidak akan ada kebijakan ekonomi yang akan menyesengsarakan rakyatnya (kenaikan BBM).

Akan tetapi, waktu terus berlalu. Kebijakan maupun komentar atau bahkan janji pemerintah memasuki tahap diuji untuk dikatakan bahwa kerangka kebijakan tersebut benar-benar berhasil. Dalam prosesnya, kebijakan tersebut dihadapkan pada sebuah kondisi diluar prediksi sebelumnya. Dimana, sebuah Negara dengan ekonomi terbesar didunia (AS) mengalami keterpurukan, harga minyak dunia naik diluar ekspektasi baik disebabkan oleh diversifikasi investasi, alam, hingga ke permasalahan politis.

Inflasi kembali bergejolak liar, harga pangan membumbung tinggi hingga menemui kelangkaannya, defisit belanja negara terus membengkak, sehingga memaksa pemerintah untuk mengurangi/menghilangkan subsidi. Dampaknya jelas, penduduk miskin dan pengangguran bertambah.

Kesimpulan akhir adalah bahwa perekonomian terjebak dalam sebuah lingkaran setan. Dimana setiap kebijakan yang akan diambil tidak akan bisa memberikan solusi pada sisi lain dan tetap berpotensi menimbulkan resistensi (perlawanan) dari seantero penduduk yang berkediaman di negeri ini.

Faktor-faktor alam memang bukan suatu hal yang dapat diprediksikan. Gempa hebat yang melanda China membuat Negara itu mengkonsumsi minyak lebih banyak lagi untuk kembali menggairahkan roda perekonomiannya. Keadaan tersebut juga telah membuat harga minyak naik hingga mencatatkan rekor tertinggi terbaru $127/barel.

Negeri paman sam (amerika) yang biasa mengkonsumsi minyak dalam jumlah yang cukup besar juga menghadapi tekanan hebat. Karena hampir semua minyaknya dibeli dari negeri lain, Amerika kerap meminta negara produsen minyak untuk menambah kapasitas produksinya. Namun, apa boleh dikata, negara pengekspor minyak terbesar Arab Saudi menyatakan ketidak bersediannya untuk menambah kapasitas produksi minyaknya. Kondisi tersebut membuat partai demokrat di AS berang dan mengusulkan untuk dilakukan embargo ke Arab Saudi.

Permasalahan-permasalahan tersebut diatas berpotensi membawa harga minyak bergerak ke level yang lebih buruk lagi. Kondisi tersebut juga sangat membingungkan pemerintah Indonesia untuk menaikan harga BBM karena terpaku pada pergerakan harga minyak global yang terus bergerak liar. Sehingga seberapa besar kenaikan minyak nantinya bukan jaminan bahwa tidak akan terjadi kenaikan BBM lagi.

Sunday, May 11, 2008

BBM Naik, Others Can Only Follow

Medan Bisnis, 12 Mei 2008
Bursa saham di eropa kembali tergerus seiring dengan naiknya harga minyak. Rencana kenaikan harga minyak juga membuat pemerintah dikritik habis-habisan di negeri ini. Tidak ada yang salah dari kebijakan pemerintah, rencana kenaikan harga BBM merupakan opsi dari beberapa opsi lainnya.

Namun, pernyataan dari pejabat pemerintah saja yang membuat banyak orang maupun media yang berspekulasi bahwa harga minyak pasti naik. Padahal pemerintah juga sedang mengkaji opsi lain sepereti penggunaan smart card di beberapa SPBU di Jakarta. Seiring dengan itu, banyak orang yang telah menjadi spekulan minyak yang mengakibatkan panic buying (rame-rame beli minyak) di masyarakat.

Di pasar dunia, harga minyak sempat menembus level tertingginya $126/Barel meskipun banyak analis yang menyimpulkan bahwa harga minyak akan tertahan di level psikologis $120/Barel. Gejolak harga minyak yang ditimbukan karena banyak alasan, akan tetapi rencana pemberian sanksi atas Negara Columbia oleh AS telah memicu munculnya pernyataan dari pemerintah Venezuela untuk mengurangi pasokan minyaknya ke AS, dan diyakini sebagai biang keladi meroketnya harga minyak belakangan ini.

Selain itu, meroketnya harga minyak juga dipicu oleh tren pelemahan mata uang US Dolar, yang kian terperosok apabila dibandingkan dengan mata uang Euro. Melemahnya US Dolar terhadap Euro tidak lebih disebabkan oleh rencana Bank Sentral Eropa untuk tetap mempertahankan suku bunga Euro seiring tingginya inflasi di Negara pengguna mata uang Euro.

Setelah menembus level $126/Barel, harga minyak bisa saja mencoba mendekati level $150/Barel dalam tahun ini atau mungkin saja $200/Barel. Analisis tersebut cukup beralasan karena permintaan akan minyak mentah dunia global diperkirakan masih akan tetap tinggi. Gejolak politik di Nigeria serta musim dingin di China akan membuat permintaan akan minyak tetap tinggi. Belum lagi karena faktor spekulasi oleh para hedge fund manager.

Banyak Negara pada saat ini memotong ekspetasi pertumbuhan ekonomi negaranya dikarenakan tingginya inflasi akibat kenaikan harga pangan, yang dipicu oleh meroketnya harga minyak dunia. Bahkan bank sentral di Negara tersebut tetap akan mempertahankan besaran suku bunganya atau bahkan dinaikan termasuk di Indonesia.

Hal tersebut akan membuat US Dolar kian terpuruk oleh mata uang lainnya sehingga berpotensi membawa harga minyak ke level yang lebih tinggi lagi. Beban masyarakat dunia belum berakhir disitu, meskipun harga minyak sepertinya sudah cukup tinggi terbang, masih akan ada tambahan lain yakni daya beli yang tidak kunjung membaik karena laju pertumbuhan mengalami penurunan.

Di beberapa Negara seperti Perancis dan Spanyol, kenaikan harga minyak telah membuat Negara tersebut berpikir untuk menggunakan energi alternatif lainnya. Seperti menggunakan energi bahan bakar tumbuhan atau biofuel hingga penggunaan energi matahari secara besar-besaran. Meskipun tetap mempunyai dampak negatif, namun antisipasi untuk menyelamatkan kebutuhan energi dalam negeri terlihat nyata.

Untuk Indonesia, Kenaikan harga BBM memaksa presiden untuk mengajak seluruh masyarakat di Indonesia berhemat energi. Seiring dengan hal itu, opsi-opsi penyelamatan keuangan Negara seperti menaikan harga BBM, hingga alternatif kenaikan untuk warga tertentu juga tengah di gulirkan.

Reaksi keras dan beragam dari seantero masyarakat di Indonesia sudah lazim terdengar belakangan ini. Asumsi APBN yang kian tidak realistis seperti asumsi mengenai Inflasi, Laju pertumbuhan, serta harga minyak membuat pemerintah kehilangan kredibilitasnya. Walaupun masih baru rencana menaikan BBM, namun apaboleh dikata harga kebutuhan pangan telah meroket mendahului si “empu” nya (BBM). Sudah menjadi hal yang biasa BBM naik, maka yang lainnya hanya akan mengikuti (Others Can Only Follow).

The FED Turun, Harga Pangan Tetap Akan Naik

Medan Bisnis, 5 Mei 2008
Bank Sentral Amerika atau The FED kembali memangkas suku bunganya sebesar 25 basis poin menjadi 2%. Keputusan tersebut bertujuan untuk mengurangi dampak krisis dari kredit di sektor perumahan serta menjadi stimulus agar konsumsi masyarakat di AS kembali membaik. Selain itu, penurunan suku bunga The FED juga dibarengi dengan penyuntikan likuiditas agar permintaan kredit tetap meningkat.

Dampak dari keputusan The Fed tersebut sangat terasa di pasar keuangan khususnya Bursa Saham dan Pasar Uang. Keputusan The FED telah mengangkat indeks saham di BEI (Bursa Efek Indonesia) serta beberapa indeks bursa lain seperti Nikkei (Jepang) maupun HangSeng (Hongkong).

Selain itu, membaiknya indeks bursa saham juga dipengaruhi oleh membaiknya harga minyak dunia yang sempat turun dikisaran harga $112/barel. Namun, sejauh ini penguatan harga minyak tersebut hanya akan berfluktuasi sementara dan tetap akan menjadi pemicu bagi kenaikan sejumlah harga komoditas lainnya.

Suku bunga global dimana acuannya adalah suku bunga The FED memang mengalami tren penurunan. Akan tetapi, tren penurunan suku bunga tersebut sepertinya akan terus memicu konsumsi karena penurunan suku bunga akan berdampak pada tingginya permintaan kredit serta konsumsi. Sehingga harga pangan diperkirakan akan terus naik, dan bahkan akan lebih buruk lagi karena dibarengi dengan tingginya inflasi.

Beberapa negara yang mengalami laju pertumbuhan tercepat saat ini telah menciptakan permintaan akan komoditas yang cukup signifikan. Dan diyakini sebagai salah satu pemicu memburuknya krisis pangan dunia. Beberapa negara tersebut yaitu China, India dan juga termasuk Malaysia. Padahal dibeberapa belahan negara lain mengalami kesulitan akan pangan karena faktor cuaca maupun dikarenakan oleh pelemahan mata uang US Dolar.

Konversi kebutuhan pangan seperti sawit (CPO), Jagung, maupun komoditas lain menjadi sumber energi seperti bahan bakar minyak juga menjadi sumbangsih terhadap kenaikan harga komoditas global yang terus berfluktuasi secara tajam. Di Amerika yang biasanya surplus pangan, kini beramai-ramai menjual komoditasnya keluar, karena lebih mahal serta diikuti dengan melemahnya nilai tukar US Dolar.

Penurunan suku bunga The FED sepertinya tidak akan menyelamatkan ekonomi AS dari keterpurukan dan akan mengalami recovery/penyelamatan yang lebih lama dari perkiraan sebelumnya. Penurunan suku bunga The FED akan terus menekan pasar keuangan di AS, yang hingga saat ini terus mengalami pembalikan modal keluar (sudden reversal).

Terlebih The FED saat ini tidak memberikan sinyal yang jelas akan gambaran keputusannya dimasa yang akan datang. Pernyataan The FED “Kita Akan Bergerak Jika Diperlukan” mempunyai penafsiran yang beragam dan tidak memberikan kepastian. The Fed sepertinya ragu untuk menentukan pilihan apakah menaikan atau menurunkan suku bunganya, ditengah gejolak ekonomi global seperti sekarang ini.

Namun, satu hal yang pasti, The FED akan sulit untuk kembali menaikkan suku bunganya apabila kondisi perekonomian AS dan Global masih mengalami perlambatan seperti yang terjadi pada saat ini. Tingginya harga energi yang dibarengi dengan tingginya inflasi dan diperburuk oleh krisis keuangan yang berkepanjangan, tentunya akan memaksa The FED untuk tidak menaikkan suku bunga.

Di Indonesia, suku bunga masih dipertahankan meskipun telah terjadi penurunan yang signifikan pada suku bunga The FED. Inflasi yang tinggi di dalam negeri sepertinya tetap menjadi fokus utama seakan-akan mengabaikan perkembangan suku bunga global. Fokus utama pemerintah masih tertuju pada penstabilan harga pangan dalam negeri.

Pemerintah melalui Presiden SBY telah menyatakan pentingnya untuk berhemat energi. Tingginya harga minyak dunia telah membuat APBN terseok-seok menanggung beban subsidi yang kian membesar. Pemerintah juga telah menawarkan solusi yakni dengan penggunaan smart card atau menaikan harga BBM bersubsidi rata-rata 28.7%.
Menurut hemat penulis, lebih baik memilih smart card yang bertujuan mengendalikan penggunaan BBM bersubsidi oleh mereka yang memiliki daya beli lebih baik (ekonomi menengah keatas). Kenapa, karena apabila pemerintah menaikan harga minyak subsidi secara menyeluruh, hal tersebut akan dirasakan oleh semua lapisan masyarakat dan akan berpotensi menjadi pemicu terhadap permasalahan sosial.

Sunday, May 04, 2008

Likuiditas Pemerintah (Defisit) Terhadap Obligasi SUN, ORI dan Pasar Keuangan

Medan Bisnis, 28 April 2008
Kebijakan pemerintah yang belum menaikan harga minyak domestik, akan mengancam perdagangan surat berharga (obigasi) khususnya obligasi yang diterbikan oleh pemerintah atau biasa disebut dengan government bond. Sejauh ini pemerintah masih mensubsidi kebutuhan minyak yang kian berimbas pada membengkaknya defisit sehingga berpotensi menimbulkan kepanikan dipasar karena akan mengurangi kepercayaan investor yang disebabkan asumsi kemungkinan gagal bayar (default).

Walaupun asumsi tersebut masih tergolong wacana, namun keprihatinan akan kenaikan harga minyak dunia tetap akan memberikan dampak psikologis bagi para pelaku pasar. Terlebih ada tren kenaikan di sejumlah harga komoditas yang lebih menguntungkan. Apabila investor mengkonversi aset dalam obligasi ke instrumen lainnya maka ada kemungkinan pemerintah akan mengalami kesulitan dalam menyediakan likuiditas (gagal bayar).

Kondisi tersebut berpotensi memicu krisis seperti yang terjadi di Amerika Serikat. Dimana ketika ada gagal bayar di sektor perumahan, maka para investor yang memegang produk turunan (sub ordinasi) dari perumahan tersebut melepaskan kepemilikannya dan beralih ke instrumen lain seperti komoditas. Sehingga dampak negatif dari peralihan tersebut adalah terjadi kenaikan yang signifikan terhadap harga komoditas dunia.

Selain itu, defisit yang kian membesar juga akan mempersulit pemerintah dalam menyediakan pembiayaan infrastruktur dan sektor riil lainnya. Karena distribusi dana APBN akan terus terkonsentrasi pada subsidi, sehingga ruang lain bagi stimulus pembangunan sektor riil akan menyempit.

Sejauh ini pemerintah juga terus memberikan kepastian yang kurang realistis, seperti tidak akan terjadi kenaikan harga minyak serta menyatakan bahwa APBN akan tetap aman hingga akhir tahun. Padahal guncangan eksternal sangat terasa guncangannya dan terus memberikan tekanan terhadap pasar keuangan nasional.

Obligasi, Saham maupun mata uang Rupiah juga belum berada pada posisi yang aman, dan diperkirakan akan terus berfluktuasi tajam selama tahun ini. Pasar obligasi diperkirakan akan mengalami gunjangan lebih serius bahkan dalam interval waktu yang cukup pendek, apabila harga minyak tidak dinaikan meski telah terjadi kenaikan luar biasa di pasar dunia.

Sejauh ini, obligasi yang diterbitkan pemerintah masih cukup diminati oleh para pemodal baik dari dalam maupun luar negeri. Karena imbal hasil yang diberikan oleh obligasi pemerintah lebih kompetitif dibandingkan obligasi yang diterbitkan oleh pemerintah lain. Namun, ditengah tingginya inflasi seperti yang terjadi disaat ini, tentunya akan membuat investor berpikir ulang dan berpotensi memudarkan ketertarikannya terhadap obligasi.

Laju harga minyak dunia saat ini, terus mencoba menembus angka psikologis $120/barel. Walaupun relatif tertahan secara teknikal di level tersebut, namun belum ada yang bisa memastikan sampai kapan kondisi tersebut akan tetap bertahan. Terlebih ketegangan yang timbul di negara di kawasan asia tengah berpotensi memicu spekulasi, dan membawa harga minyak ke level yang lebih tinggi lagi.

Di Indonesia, belum terdengar kebijakan yang secara langsung akan menyelamatkan pasar keuangan domestik. Kebijakan yang diambil masih pada seputar penyelamatan ekonomi nasional (fundamental) yang terkonsentrasi pada penyelamatan APBN. Meski demikian, tindakan yang diambil pemerintah tersebut nantinya juga akan berimbas pada pasar keuangan yang sedang berfluktuasi liar.

Statement yang dikeluarkan dan terkait dengan permasalahan fundamental pemerintah belakangan juga masih menyisakan kontroversi. Meski demikian perlu dipahami bahwa statement tersebut tetap mempunyai tujuan yang baik, misalnya menyelamatkan pasar, memberikan ketenangan di masyarakat, minimalisasi wacana yang menyesatkan, memulihkan kepercayaan pemodal, membentuk citra mereka sendiri atau mungkin menceritakan keadaan sebenarnya.

Kendati demikian, statement/pernyataan bahwa harga minyak tidak akan naik, APBN akan tetap aman setidaknya akan memberikan rasa aman walaupun hanya sesaat, meskipun hanya pada saat pernyataan tersebut dilontarkan. Seiring dengan berjalannya waktu, pemerintah terus akan berusaha untuk melengkapi bukti-bukti yang bisa membuat masyarakat menerima apabila pemerintah meralat semua yang telah diucapkannya.

Terpuruknya US Dolar Mengancam Rezim Demokratis

Medan Bisnis, 21 April 2008
Melemahnya US Dolar belakangan ini, terus menekan harga minyak ke level yang lebih tinggi lagi. Ini disebabkan karena nilai intrinsik dari US Dolar itu sendiri, sehingga pelemahannya akan memicu harga komoditas lain membumbung tinggi. Faktor spekulasi selalu dijadikan biang keladi terhadap krisis keuangan yang melebar menjadi krisis pangan.

Habbit dari para pemegang modal yang terus mencari tempat yang paling aman dan menguntungkan dalam berinvestasi diyakini sebagai penyebab utama melambungnya harga minyak dunia pada saat ini. Namun, belum bisa dipastikan, karena aksi spekulasi memainkan harga minyak dunia juga dipicu oleh langkah pemerintah AS yang terus menurunkan suku bunga.

Salah satu negara anggota OPEC menyatakan bahwa, penambahan kapasitas produksi minyak mentah dunia seharusnya mampu mengimbangi kebutuhan minyak sehingga mampu menstabilkan harga minyak dipasaran. Namun, kondisinya sangat jauh berbeda, dimana pelemahan US Dolar memegang peranan penting dan turut bertanggung jawab terhadap peningkatan harga pangan yang memicu inflasi.

Pada dasarnya pelemahan US Dolar itu sendiri merupakan dampak dari ketidaktertarikan investor untuk terus memegang mata uang dalam US Dolar. Terlebih langkah Bank Sentral Amerika (The FED) yang terus menurunkan suku bunga akibat krisis sektor perumahan. Penurunan suku bunga tersebut kian membuat US Dolar terjun bebas terhadap mata uang lainnya. Sehingga Bank Sentral AS atau The FED juga turut bertanggung jawab terhadap gejolak ekonomi yang mewabah seperti sekarang ini.

Kalau sudah begini, para pemodal tentunya akan melakukan penyelamatan asset dengan menyimpan modalnya pada instrumen keuangan lain yang lebih aman, termasuk komoditas seperti emas dan minyak dunia. Sehingga permintaan akan komoditas tersebut membuat harganya semakin mahal.

Misalnya, harga minyak mentah dunia yang saat ini diperdagangkan mendekati level $115/barel. Kenaikan harga minyak tersebut turut membuat asumsi harga minyak dunia dalam APBN semakin tidak realistis. Sehingga daya tahan APBN tersebut dalam merespon perubahan ekonomi semakin lemah. Dalam banyak hal, melemahnya ketahanan APBN akan memicu pemerintah melakukan penghematan di sana-sini bahkan bila perlu menghapus subsidi.

Banyak negara demokrasi seperti Indonesia, masalah pangan merupakan masalah krusial yang berpotensi menggulingkan sebuah rezim demokratis seperti saat ini. Faktor global seperti fluktuasi harga pangan dibeberapa kebutuhan dasar masyarakat membuat pemerintah Indonesia kian tidak berdaya dalam merumuskan kebijakan, walaupun kebijakan yang sangat baik sekalipun.

Kearifan masyarakat dalam menilai permasalahan menjadi kunci utama dalam menjaga kestabilan sebuah rezim. Akan tetapi, apabila kondisi ini terus berlangsung maka masyarakat akan mencoba mencari pendekatan lain, walau dengan menghancurkan sebuah kekuasaan dan menyuarakan untuk dilakukan sebuah revolusi.

Kekuasaan presiden SBY saat ini benar-benar berada dalam tekanan yang sangat sulit, bahkan dalam ancaman. Sejauh ini, belum ada solusi maupun langkah konkrit yang mampu memberikan penyelesaian bagi semua pihak layaknya obat untuk semua penyakit. Yang ada hanyalah berupa kebijakan menyembuhkan penyakit yang satu walau dengan menahan sakit dari penyakit lainnya, dan mengurangi dampak penularan terhadap organ tubuh lainnya.

Kondisi seperti ini tentunya juga dirasakan oleh banyak negara lainnya. Krisis pangan telah menjadi ancaman serius dibanyak negara khususnya negara yang sedang berkembang. Berbagai langkah tengah diupayakan, pemenuhan kebutuhan pangan tentu menjadi fokus utamanya. Oleh sebab itu, dibanyak negara di ASEAN menjadikan sektor pertanian merupakan sektor yang perlu diselamatkan terebih dahulu.

Kalau Indonesia saat ini tengah mempunyai cadangan beras yang cukup. Maka, pertimbangkan dahulu untuk tidak mengekspornya ke luar negeri, walaupun harus melawan anjuran dari seorang wakil kepala negara sekalipun. Karena, belum ada yang bisa memastikan kapan gejolak pelemahan US Dolar yang memberikan dampak luas bagi negara lain akan berakhir. Dengan sistem keuangan yang terintegrasi seperti sekarang ini, sulit untuk mengelak apalagi mengabaikan faktor eksternal tersebut.

Guncangan Ekonomi Kian Terasa

Medan Bisnis, 14 April 2008

Pasar keuangan global kembali dihadapkan pada guncangan ekonomi yang sangat kuat seiring dengan tingginya harga minyak dunia serta ancaman melemahnya laju pertumbuhan ekonomi global. Bahkan beberapa Bank Sentral tetap menekankan pentingnya stabilitas pengendalian harga yang menjadi pemicu tingginya inflasi belakangan ini.

Kredit sektor perumahan AS juga belum menunjukan adanya perbaikan sehingga diperkirakan akan terus membebani perputaran ekonomi global yang kian suram. IMF (International Monetery Fund) juga menyatakan bahwa pentingnya persiapan dalam menghadapi krisis keuangan (finansial) yang kemungkinan akan terjadi.

Sementara itu, ditengah gejolak fluktuasi pasar yang cukup tajam, pemerintah Indonesia kembali mengeluarkan opsi untuk menaikan harga BBM seiring degan tingginya harga minyak mentah dunia. Hal tersebut tentunya bukan opsi yang akan diterima dengan mudah oleh masyarakat luas karena tetap akan menimbulkan resistensi dari semua kalangan.

Daya beli masyarakat diperkirakan akan terus semakin lemah seiring dengan tingginya harga pangan belakangan ini. Opsi kenaikan BBM dinilai tidak tepat untuk saat ini, meskipun pemerintah belum punya pilihan lain. Saat ini, harga minyak mentah dunia berada dikisaran level $111/barel, jauh diatas asumsi harga minyak mentah dalam APBNP-2008(Angggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2008) sebesar $95/barel.

Tentunya dengan asumsi tersebut sudah dipastikan pemerintah kembali mengalami defisit yang kian menganga. Sehingga sudah sepantasnya departemen keuangan mengingatkan pemerintah untuk menaikan harga BBM guna terhindar dari defisit yang lebih besar lagi. Secara sosial, kenaikan harga BBM tersebut akan berdampak pada semakin melemahnya daya beli masyarakat dan berpotensi menjadi pemicu gejolak sosial.

Dalam mengantisipasi tingginya laju inflasi yang disebabkan oleh meroketnya harga kebutuhan pangan belakangan ini. Pemerintah bisa saja menaikan suku bunga acuan atau biasa disebut dengan BI rate. Namun, kenaikan BI rate tentunya akan memperlambat laju pertumbuhan. Padahal laju pertumbuhan itu sendiri sangat dibutuhkan guna menyelamatkan pertumbuhan ekonomi domestik.

Kebijakan BI yang mempertahankan suku bunga dinilai masih cukup realistis. Walaupun bukan pilihan yang tepat, namun keputusan tersebut masih bersifat menyelamatkan perekonomian dalam jangka pendek, belum memberikan dampak positif yang lebih luas dalam jangka panjang. Kebijakan yang diambilpun bukan hanya karena bertumpu pada data-data perekonomian domestik, namun juga sangat dipengaruhi oleh data perekonomian global. Sehingga, apapun yang terjadi diluar sana tetap diperhitungkan oleh pengambil kebijakan di dalam negeri.

Kesemuanya itu akan kembali pada ketahan perekonomian nasional. Dampak negatif dari gejolak ekonomi global masih dapat diantisipasi oleh sebuah negara dengan struktur ekonomi yang kuat. Ketahan APBN kita memang belum memenuhi syarat untuk itu. Sementara daya beli masyarakat yang lemah tidak akan membaik segera walau ada stimulus kebijakan penurunan suku bunga.

Dipasar keuangan sepertinya juga akan terus mengalami fluktuasi yang tajam. Melemahnya US Dolar yang cukup memprihatinkan bukan berarti akan membuat Rupiah kembali perkasa. Karena penguatan Rupiah yang ditopang oleh dana-dana jangka pendek tetap menyisakan resiko akan terjadinya pembalikan modal. Terlebih apabila kedepan akan terjadi kenaikan laju inflasi yang cukup tinggi. Sehingga untuk mempertahankan nilai tukar diperlukan kenaikan suku bunga atau BI rate.

Kalau diibaratkan makan buah simalakama. Tentunya pemerintah harus mengambil keputusan dengan melihat keuntungan apa yang bisa diambil walaupun dengan menyia-yiakan benefit yang lainnya. Pemerintah memang dihadapkan pada stagflasi seperti sekarang ini, namun, pemerintah harus mengambil sikap untuk tetap menjaga stabilitas harga. Karena tidak menambah jumlah penduduk miskin masih lebih baik ketimbang mengangkat penduduk miskin dari kemiskinannya.