Monday, June 30, 2008

Kebijakan The FED Picu Inflasi

Medan Bisnis, 30 Juni 2008
Bank Sentral AS atau yang lebih dikenal dengan sebutan The FED kembali mempertahankan besaran suku bunga sebesar 2%. Kebijakan tersebut sesuai dengan ekspektasi pasar, namun tetap menyisakan masalah karena The FED tidak memberikan sinyal kapan suku bunga akan kembali dinaikkan. Padahal Gubernur Bank Sentral AS Ben Bernanke sebelumnya sempat menunjukan sikap akan pentingnya pengendalian inflasi dan memberikan sinyal bahwa tekanan ekonomi yang diakibatkan oleh tren pertumbuhan yang menurun sudah mulai berkurang.

Sikap Ben Bernanke sebelumnya sempat membuat US Dolar menguat terhadap mata uang Euro. Namun, penguatan tersebut hanya bertahan sementara karena Bank Sentral Eropa diperkirakan akan kembali menaikan besaran suku bunganya dalam ECB meeting (rapat bank sentral Eropa) pada tanggal 3 Juli mendatang.

Keputusan The FED tersebut telah memicu harga minyak dunia kembali naik di atas level $142/barel, yang sekaligus merupakan rekor harga minyak tertinggi yang baru. Dan akan berdampak terhadap tingginya tekanan laju inflasi. Kenaikan harga minyak tersebut juga telah menggerus indeks bursa saham di beberapa negara termasuk indeks bursa Dow Jones. Terkait dengan keputusan The FED, harga komoditas diperkirakan akan kembali merangkak naik dan akan memangkas daya beli masyarakat dunia.

Meski demikian, US Dolar masih tetap mendapatkan sentimen positif dari laporan bahwa tingkat belanja masyarakat AS secara personal naik sebesar 0.8% dan pendapatan nasional naik sebesar 1.9%. Hal tersebut mengindikasikan bahwa meskipun ekonomi AS kebanyakan di gambarkan dengan catatan data perekonomian yang buram, namun tetap masih ada peluang adanya pertumbuhan.

Akan tetapi tetap perlu dicermati bahwa stimulus kebijakan ekonomi AS yang menggelontorkan banyak dana untuk masyarakat AS (semacam BLT di Indonesia) yang telah mengirimkan angin segar serta menahan US Dolar untuk terpuruk lebih dalam lagi. Yang dipertanyakan adalah sampai sejauh mana bahwa pemerintah AS akan terus melakukan kebijakan yang sama guna mendorong peningkatan konsumsi masyarakat AS.

Di Indonesia, keputusan The FED yang mempertahankan suku bunga sempat membuat Rupiah perkasa dan diperdagangkan di bawah level 9200/US Dolar. Namun, kondisi tersebut hanya bertahan sementara, karena pelemahan US Dolar justru berakibat sebaliknya terhadap harga minyak dunia yang kembali merangkak naik. Sehingga dampak dari sisi lain pelemahan US Dolar justru kembali menekan mata uang Rupiah.

Fundamental ekonomi Indonesia yang belum cukup kokoh memang tidak memberikan jaminan akan stabilitas terhadap pergerakan nilai tukar yang tidak stabil seperti saat ini. Di saat sejumlah mata uang negara di Asia kebanyakan menguat terhadap US Dolar. Rupiah tetap saja mengalami anomali.

Sejauh ini, pemerintah berkeyakinan bahwa gejolak ekonomi global seperti sekarang akan tetap memberikan angin segar terhadap perdagangan di SUN (surat utang negara). Dengan tetap memberikan pengecualian bahwa tidak akan terjadi kejutan-kejutan baru terutama harga minyak dan relatif stabilnya laju inflasi. Padahal, gejolak harga minyak dunia yang masih berfluktuasi liar dan ada yang memperkirakan akan naik hingga ke level $170/barel akan menjadi ancaman dan berpotensi memupuskan harapan pemerintah tersebut.

Pergerakan harga minyak kedepan diyakini masih akan sangat dipengaruhi oleh pergerakan mata uang US Dolar. Saat ini memang tren pelemahannya lebih mendominasi dan masih tetap menjadi sentimen negatif bagi harga komoditas dunia. Namun demikian bukan berarti akan terus berlanjut dan pelemahan US Dolar akan terus mencatatkan rekor pelemahan yang baru.

Penguatan US Dolar sendiri nantinya akan tertolong oleh sejumlah faktor teknikal. Sementara tekanan laju inflasi yang terus meningkat serta tren penurunan suku bunga yang dipastikan sudah berhenti nantinya akan berdampak positif bagi pergerakan mata uang US Dolar. Sehingga tren kembali menguatnya US Dolar bisa diperhitungkan meskipun dalam kurun waktu yang cukup singkat. Sementara itu, penguatan US Dolar itu nantinya akan mengurangi laju tekanan inflasi yang disebabkan oleh tren kenaikan harga minyak dunia.

Sunday, June 22, 2008

Sentimen Penguatan US Dolar

Medan Bisnis, 23 Juni 2008
Dalam beberapa minggu terkahir, US Dolar kembali bergerak menguat setelah sempat terpuruk paska mencuatnya krisis kredit perumahan AS. Penguatan US Dolar saat ini dipicu oleh kenaikan harga BBM di China sebesar 18%. Kenaikan tersebut berimbas pada ekspektasi tingginya inflasi yang akan menekan laju pertumbuhan ekonomi di China.

Harga saham di China juga diprediksikan turun seiring dengan langkah pemerintah China tersebut. Namun penurunan tersebut sepertinya tidak akan terjadi pada harga saham-saham penyulingan minyak yang diprediksikan akan terus naik seiring dengan mahalnya harga energi. Sejauh ini dampak dari kenaikan tersebut telah membawa US Dolar mengurangi kerugiannya (pelemahan) terhadap mata uang dunia seperti Euro, Yen Jepang, NZD (newzealand) maupun AUD (australia).

Namun, kebijakan pemerintah China tersebut berpotensi membawa dampak positif terhadap mata uang Yuan China. Terlebih setelah menaikkan harga BBM, pemerintah China juga menaikkan suku bunga guna mengontrol jumlah uang beredar. Sehingga potensi kerugian mata uang Yuan yang diakibatkan oleh naiknya harga BBM dapat berkurang apabila pemerintah China juga melakukan langkah yang lebih ofensif dibidang keuangan.

Kebijakan pemerintah China tersebut pada dasarnya telah membuat konsumsi minyak dunia turun. Menaikan harga BBM dalam negeri nantinya akan menekan jumlah pemakaian minyak yang berujung pada menurunnya permintaan akibat berkurangnya kebutuhan akan energi. Hal tersebut juga yang menyebabkan US Dolar kembali menguat. Sepinya permintaan membuat harga minyak dunia turun dan menjadi pemicu penguatan US Dolar. Karena kenaikan atau penurunan harga minyak akan berdampak sebaliknya terhadap mata uang US Dolar.

Dari sudut pandang pemerintah AS, penguatan US Dolar justru disebabkan oleh sejumlah kebijakan yang di ambil dari pemerintah AS itu sendiri. Penguatannya juga dipicu oleh sejumlah statement yang dilontarkan oleh sejumlah pejabat pemerintah AS yang lebih menginginkan penguatan US Dolar setelah meningkatnya tekanan inflasi. Walaupun terkesan lebih bersifat pengendalian moneter dan mengabaikan fundamental, namun pernyataan tersebut telah membuat US Dolar kembali menguat terhadap beberapa mata uang utama dunia.

Selain itu, lembaga keuangan dunia seperti IMF juga mensinyalir bahwa ancaman terhadap pertumbuhan sudah mulai berkurang daripada yang dikhawatirkan. Sehingga proses pemulihan sudah saatnya dimulai, sehingga suku bunga US Dolar (The Fed Fund Rate) sudah saatnya kembali dinaikkan guna meredam tingginya laju inflasi akibat menguatnya US Dolar belakangan ini.

Bahkan Gubernur Bank Sentral AS juga mengindikasikan hal serupa. Meskipun tidak berkomentar mengenai langkah Bank Sentral AS menaikan suku bunga. Namun dalam pernyataannya Ben Bernanke mengindikasikan dengan sangat jelas bahwa kebijakan menurunkan suku bunga akan dihentikan. Sehingga komenter tersebut membawa angin segar di pasar keuangan dan lagi-lagi membuat mata uang US Dolar menguat.

Namun, hal tersebut nantinya akan berimbas sebaliknya di bursa saham. Indeks dow jones diperkirakan akan kembali tertekan seiring dengan sejumlah padangan pemerintah AS tersebut. Kebijakan menghentikan suku bunga akan membuat sejumlah harga saham kembali terkoreksi. Selain itu, bursa saham di AS khususnya saham perbankan masih belum terhindar sepenuhnya dari krisis kredit sektor perumahan yang mencuat ke permukaan beberapa bulan terakhir.

Diantara sekian banyak pernyataan yang lebih menginginkan US Dolar kembali menguat (Hawkish), justru pernyataan berbeda datang dari calon presiden AS Barack Obama. Dalam kampanyenya Barack lebih menekankan pentingnya membangun fundamental ekonomi yang kokoh ketimbang hanya mengendalikan kebijakan moneter dan fiskal. Menurutnya kebijakan memulihkan fundamental ekonomi secara otomatis akan berdampak pada penguatan mata uang dalam jangka panjang.

Meski demikian, statement tersebut sepertinya tidak berpengaruh banyak bagi pergerakan US Dolar yang cenderung masih mengalami penguatan. Walaupun terkesan memberi warna lain, namun pernyataan obama tersebut belum dapat diimplementasikan karena masih hanya pernyataan dari sang calon presiden bukan seorang pengambil keputusan.

Diprediksikan US Dolar masih akan terus menguat seiring dengan rapat yang akan di gelar pada tanggal 24-25 juni mendatang. Dimana dalam rapat tersebut Bank sentral AS diperkirakan tidak akan menurunkan suku bunga. Apabila dalam rapat FOMC (Federal Open Market Committee) tersebut Bank Sentral AS benar-benar merealisasikannya, maka bias diprediksikan bahwa tren pergerakan US Dolar kedepan adalah Bullish (naik).

Harga Minyak di Tahun 2009

Medan Bisnis, 16 Juni 2008
Pemerintah melalui Meneg PPN/Kepala Bappenas Paskah Suzeta kembali menjamin bahwa tidak akan terjadi kenaikan harga minyak di tahun 2009. Pernyataan tersebut dilontarkan seiring dengan asumsi pemerintah bahwa harga minyak akan menjadi hal yang sangat sensitif karena bersamaan dengan pelaksanaan pemilihan umum.

Kalau selama tahun 2008, pemerintah sangat direpotkan dengan lonjakan harga minyak yang bergerak liar. Maka pada tahun 2009, kalaupun ada lonjakan harga minyak kembali, pemerintah sepertinya lebih memilih untuk membebankan pada APBN, karena agenda pemerintah masih akan terfokus pada pemilu.

Minyak memang merupakan masalah sensitif karena mampu merubah pandangan masyarakat terhadap efektifitas kinerja pemerintah yang berkuasa. Meskipun kepercayaan publik saat ini terhadap pemerintah mulai menurun, namun setidaknya tidak ada opini yang lebih buruk lagi di masa yang akan datang. Menaikkan harga minyak baru-baru ini dinilai mampu mengurangi beban APBN dan bermanfaat untuk kembali menumbuhkan kepercayaan masyarakat hingga menjelang pemilu yang akan datang.

Namun, sayangnya pemerintah hanya mematok asumsi harga minyak di level $120/barel. Padahal harga minyak mentah dunia saat ini bergerak mendekati level $140/barel. Yang lebih parah lagi asumsi tersebut juga akan dipakai pada tahun 2009. Padahal dalam tahun ini saja harga minyak tetap berpotensi untuk naik lebih tajam lagi dan bahkan ada yang berani memproyeksikan hingga ke level $200/barel.

Sehingga asumsi harga minyak pemerintah saat ini dinilai tidak realistis karena terlalu dini diputuskan. Dan tidak mempertimbangkan aspek volatilitasnya. Meskipun negara anggota OPEC berpendapat bahwa harga minyak dunia kemungkinan akan turun seiring dengan sepinya permintaan, bukan berarti bahwa harga minyak memiliki kecenderungan untuk kembali turun.
Memang pertumbuhan di AS dan Eropa saat ini menunjukan adanya pelemahan. Sehingga berpotensi menjadi pemicu sepinya permintaan akan minyak. Akan tetapi bukan berarti bahwa harga minyak tidak akan kembali naik. Minyak merupakan komoditas yang diperdagangkan, harganya bergantung pada mekanisme pasar.

Permintaan akan minyak bukan hanya disebabkan oleh faktor pertumbuhan di setiap negara. Tapi, lebih dari itu, pergerakan harga minyak juga disebabkan oleh peralihan minat investasi. Dimana para investor sangat bergantung pada investasi yang memberikan imbal hasil yang lebih baik.

Kalau saat ini, banyak negara yang mematok suku bunga cukup rendah. Maka minyak memberikan imbal hasil yang cukup baik karena menjadi komoditas yang menurut banyak pakar mulai sedikit jumlahnya (minyak bumi). Semakin sedikit maka harganyapun akan semakin mahal. Sementara, proses peralihan ke sumber energi baru seperti biofuel juga belum memberikan dampak yang cukup signifikan.

Hingga saat ini kontroversi mengenai apa penyebab kenaikan harga minyak belum terlihat dengan jelas. International Monetery Fund (IMF) juga masih terus mengkaji penyebab lonjakan harga minyak pada saat ini. Sementara itu agenda para menteri keuangan Group 8 (G8) juga masih akan mengangkat minyak menjadi topik pertemuan di Osaka Jepang.

Menghadapi permasalahan tersebut, APBN dituntut untuk lebih fleksibel terhadap volatilitas harga minyak. Asumsi pemerintah yang telah dilontarkan pada saat ini sangat tidak relevan dengan menggambarkan keadaan di masa yang akan datang. Janji yang dikeluarkan pemerintah bersifat politis dan justru akan berdampak negatif terhadap pandangan masyarakat pada umumnya.

Secara historis, pemerintah memang kurang kredibel dalam menentukan besaran harga minyak. Hampir semua asumsi tentang harga minyak meleset dan berujung pada kenaikan harga BBM. Kalaupun ada kebijakan alternatif lainnya, pemerintah justru hanya mampu memformulasikan dan mengalami kesulitan pada tahap implementasinya.

Sehingga jangan terpaku dan merasa aman dengan statement yang telah dilontarkan. karena pemerintah berasumsi pada kondisi yang terjadi saat ini. Pemerintah memprediksikan berdasarkan harga pada saat ini, bukan memprediksikan besaran harga yang terjadi di masa yang akan datang. Sehingga tidak ada jaminan bahwa harga minyak tidak akan naik di tahun 2009 nanti.

Rupiah Kembali Tertekan Akibat Melonjaknya Harga Minyak

Medan Bisnis, 9 Juni 2008
Bank Indonesia yang kembali menaikan suku bunga acuan atau BI rate sebesar 25 basis poin, sempat menahan mata uang Rupiah terpuruk seiring dengan melemahnya mata uang regional Asia. Keputusan tersebut diambil setelah terjadi kenaikan haraga minyak dalam negeri yang bertujuan untuk meredam laju tekanan inflasi.

Namun keputusan tersebut tidak menjadi efektif, setelah harga minyak dunia kembali menguat (naik) di harga rata-rata sebesar $128/barel. Kenaikan harga minyak tersebut dipicu oleh menguatnya mata uang Euro terhadap US Dolar. Melemahnya US Dolar sendiri terkait dengan memburuknya data perekonomian AS, serta pernyataan pejabat Bank Sentral Eropa yang akan menaikan kembali besaran suku bunga ECB (European Central Bank) pada bulan Juli mendatang.

Kebijakan ECB tersebut dimaksudkan guna meredam inflasi akibat kenaikan harga minyak dunia. Beberapa bank sentral lain seperti BOE (Bank of England) juga akan mempergunakan suku bunga tinggi guna meredam gejolak harga yang diakibatkan oleh fluktuasi harga minyak yang cukup tajam.

Mata uang Euro yang menguat cukup signifikan akibat berbagai isu dipasar keuangan diyakini akan terus menguat bahkan dalam jangka panjang. Selain dikarenakan faktor tren kenaikan suku bunga, penguatan Euro juga didukung oleh pengendalian inflasi yang cukup efektif serta pertumbuhan ekonomi di Negara kawasan eropa yang masih solid.

Apabila terus terjadi penguatan mata uang Euro, maka bisa dipastikan akan ada cukup alasan buat harga minyak untuk terus bergerak menguat. Selama penguatan itu terjadi maka akan berdampak pada peningkatan tekanan terhadap mata uang Rupiah yang memang masih rapuh apabila dilihat dari sisi fundamentalnya.

Permasalahan yang sangat mendasar dalam beberapa waktu kedepan adalah permasalahan inflasi akibat kenaikan bahan bakar. Meskipun kenaikan bahan bakar telah membuat banyak Negara melakukan efisiensi penggunaan BBM. Namun dampak dari kenaikan BBM yang telah memicu inflasi, dan membuat minyak menjadi investasi yang menggairahkan dimata para investor.

Hal tersebut memang terbukti, selama kenaikan harga minyak bulan Mei cadangan minyak di AS terus mengalami peningkatan dan sempat membuat harga minyak melemah atau turun. Namun diversifikasi investasi sepertinya lebih banyak berpengaruh bagi melonjaknya harga minyak, meskipun telah terjadi penurunan konsumsi di berbagai Negara di belahan dunia.
Hal ini juga menunjukan bahwa harga minyak sangat rentan dengan ulah spekulasi yang akan berdampak pada memburuknya kinerja mata uang Rupiah. Sehingga upaya yang dilakukan bisa saja menjadi tidak berguna terlebih apabila sudah menggunakan asumsi bahwa harga minyak akan terkendali apabila stok juga memadai.

Stok tidaklah cukup, namun kebijakan untuk tetap mempertahankan suku bunga tinggi diperkirakan mampu menahan kenaikan harga minyak yang lebih ekstrim. Negara kita yang masih membutuhkan upaya pemenuhan kebutuhan dengan mengimpor minyak akan tetap berpotensi menjadi sentimen negatif dalam jangka panjang. Pergerakan rupiah pun akan mengikuti pola pergerakan harga minyak.

Dimana apabila terjadi kenaikan harga minyak maka Rupiah akan berjalan sebaliknya. Kalaupun tidak, pergerakan Rupiah akan terus dipertahankan meskipun harus kembali menaikan harga BBM dalam negeri serta menaikan suku bunga acuan atau BI rate.

Pemasalahannya adalah sampai kapan kebijakan tersebut akan terus dijalankan. Penyelesaian permasalahan yang fundamental seperti peningkatan produksi minyak yang juga belum terealisasi. Bahkan terkesan sebagai wacana karena yang terjadi malah sebaliknya. Kebijakan Boediono sebagai Gubernur BI yang mengendalikan inflasi cukup efektif.

Namun, efek negatif dari kebijakan tersebut tetaplah ada. Jadi apabila kita melihat, kebijakan BI sepertinya akan terus menaikan suku bunga dan melakukan penyelamatan Rupiah apabila melihat ada kemungkinan kenaikan inflasi, seperti yang diakibatkan oleh kenaikan minyak baru-baru ini. Sehingga kebijakan pemerintah lebih bersifat defensive.

Friday, June 20, 2008

Jangan Banyak Berharap Pada Pertumbuhan

Medan Bisnis, 2 Juni 2008

Kenaikan BBM beberapa waktu lalu yang turut dibarengi dengan kenaikan BBM untuk industri per 1 Juni 2008 akan memberikan bobot pada peningkatan tekanan terhadap laju inflasi. Hampir semua Negara di dunia pada saat ini mengalami laju tekanan inflasi yang sangat kuat yang membuat roda perekonomian mengalami overheating (kepanasan).

Laju tekanan inflasi di Negara kawasan Asia yang masih bergerak liar, membuat banyak Bank Sentral di Asia lebih fokus terhadap pengendalian harga/inflasi dibandingkan dengan memikirkan permasalahan sosial seperti pengentasan kemiskinan dan pengangguran. Harga minyak dunia yang terus menggila membuat Negara tetangga kita Vietnam terjepit dengan rata-rata kenaikan harga barang sebesar 25%.

Laju pertumbuhan Negara di Asia juga dipangkas menjadi sekitar 7%. Padahal Asia saat ini merupakan Negara yang memberikan kontribusi paling besar terhadap laju pertumbuhan ekonomi Dunia. Dengan melemahnya daya beli di AS, Asia diharapkan menjadi Negara yang mampu menjadi penyeimbang karena tingginya pertumbuhan di China (11%) serta di India (8,7%).

Namun, kondisi tersebut sangat berbeda saat ini. Negara-negara di kawasan Asia terjebak dengan tingginya inflasi namun tidak ada tanda adanya pertumbuhan (stagflasi). Negara yang lebih mengandalkan ekspor terlebih ekspor ke AS akan menjadi sangat terbebani karena rendahnya daya beli masyarakat di Amerika. Dengan laju pertumbuhan ekonomi AS rata-rata dibawah 2%, maka Negara yang menjadikan AS sebagai tujuan utama ekspor akan mengalami kontraksi di negaranya sendiri.

Kondisi yang demikian akan membuat banyak Negara mengalihkan ekspornya ke Negara lain, salah satunya adalah Negara di kawasan Asia. Namun, apakah Asia akan tetap diminati?, tentunya tetap karena masih memberikan pertumbuhan lebih tinggi. Namun, apabila inflasi terus menggerogoti daya beli, maka popularitas Asia sebagai Negara tujuan ekspor akan terus memudar.

Termasuk juga Indonesia. Negara ini juga tidak terlepas dari jebakan resesi dunia. Kenaikan inflasi akibat kenaikan harga BBM membawa negeri ini untuk kembali memberlakukan kebijakan uang ketat atau suku bunga kredit tinggi. Tekanan inflasi akan semakin memburuk tatkala pemerintah telah menaikan harga BBM Industri.

Dengan kenaikan tersebut maka biaya operasional industri akan cenderung meningkat dan akan membuat produk dari industri tersebut semakin mahal. Inflasi akan bergerak seiring dengan pergerakan produk tersebut selama dalam proses distribusi ke pengguna akhir. Bayangkan apabila proses distribusi tersebut di lakukan dengan biaya harga BBM yang mahal, tentunya akan berdampak pada meningkatnya harga jual barang tersebut. Semakin jauh barang tersebut di distribusikan maka semakin mahal pula harganya.

Dampak yang dapat dirasakan adalah apabila produk yang telah dipasarkan tersebut ternyata tidak terjual di pasaran. Misal dikarenakan terlalu mahal atau diluar kemampuan konsumen untuk membelinya. Sehingga akan mengurangi omzet dari perusahaan. Jelas apabila terjadi penurunan pendapatan maka perusahaan akan melakukan rasionalisasi termasuk melakukan PHK.

Disini sangat jelas sekali, bahwa kenaikan BBM akan menambah jumlah pengangguran dan orang miskin. Pengendalian inflasi/harga yang dilakukan pemerintah pada saat ini hanya akan berdampak pada pasar keuangan. Karena pengendalian inflasi biasanya dilakukan dengan cara menaikan suku bunga guna menambah cadangan Bank Sentral (BI).


Cara yang dilakukan oleh BI pun hanya akan menambah jumlah uang panas, yang lebih bersifat jangka pendek. Sementara itu ruang lingkup pertumbuhan ekonomi kian mengecil. Sehingga selama pemerintah masih mengatakan bahwa pentingnya pengendalian harga/inflasi, maka selama itu pula kita jangan terlalu berharap adanya pertumbuhan ekonomi yang akan merubah nasib kita menjadi lebih baik.

Sunday, June 01, 2008

Dampak Kenaikan BBM

Medan Bisnis, 26 May 2008

Pemerintah telah memutuskan untuk menaikan harga BBM rata-rata sebesar 28.7%. Keputusan tersebut diambil guna mengamankan APBN serta menyelamatkan program-program sosial pemerintah. Kompensasi dari kenaikan tersebut adalah Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Pertanyaan yang kerap muncul adalah sejauh mana BLT mampu memperbaiki daya beli masyarakat yang kian merosot?. Ditengah tingginya inflasi akibat kenaikan BBM, BLT hanya akan bersifat mempertahankan daya beli.

Para penerima BLT tidak semuanya akan terlindungi dari kenaikan harga barang akibat melambungnya harga BBM. Bagi para penerima BLT yang bekerja diluar sektor pertanian seperti jasa (tukang becak, ojek, maupun buruh), akan sangat merasakan dampaknya dibandingkan dengan mereka yang mengandalkan sektor pertanian dan penerima BLT. Karena, para petani akan lebih terlindungi karena mampu memproduksi makanan pokok mereka sendiri.

Disini terlihat bahwa BLT sebenarnya kurang efektif karena belum mampu meng-cover semua lapisan masyarakat. Karena program BLT yang memberikan uang tunai dengan nominal yang sama dan tidak memperhitungkan disektor manasaja para penerima BLT itu bekerja. Sehingga para penerima BLT yang bermukim di perkotaan kurang terlindungi dari dampak kenaikan harga BBM, sehingga daya beli tetap merosot.

Dampak sosial pun kerap menerpa dari kenaikan BBM. Bersyukur Indonesia tidak mengalami demikian, namun pada dasarnya kenaikan BBM akan memberikan dampak pada tingginya angka kriminalitas, putus sekolah, keputus asa-an, hingga kerawanan sosial yang lebih luas seperti demonstrasi, dan aksi terorisme.

Dampak ke Pasar Keuangan

Kenaikan BBM nantinya akan membuat inflasi kurang terkendali. Banyak pakar yang memperkirakan inflasi akan berada dilevel 10%, jauh dari asumsi pemerintah dalam RAPBN yang memperkirakan inflasi akan berada di kisaran 6%. Apabila kenaikan inflasi tidak dibarengi kenaikan suku bunga, maka akan terjadi pembalikan modal keluar (sudden reversal).

Obligasi yang memberikan imbal hasil tetap, akan menjadi obligasi yang tidak menarik terlebih bunga yang diberikan lebih rendah daripada laju inflasi. Apabila ada obligasi yang memberikan suku bunga dikisaran 7 hingga 9%. Maka dapat diprediksikan harga dari obligasi tersebut akan terjun bebas karena inflasi (misal 10%) jauh berada diatas rata-rata bunga obligasi. Sehingga potensi kerugian yang ditanggung investor sebesar 1 hingga 3%.

Untuk menghindari hal tersebut investor tentunya akan melakukan diversifikasi investasi (mencari investasi yang lebih menguntungkan). Yang dikhawatirkan adalah dimana investor menanamkan modalnya untuk belanja komoditas – minyak. Sehingga berdampak pada kelebihan permintaan dan berpotensi membawa minyak ke harga yang lebih tinggi lagi.

Pasar saham juga demikian. Perusahaan yang lebih mengandalkan investasinya pada modal perbankan akan kesulitan dalam mempertahankan maupun mengembangkan bisnis karena tersangkut oleh tingginya suku bunga kredit perbankan. Sehingga berpotensi menggerus keuntungan dari perusahaan tersebut, dan membuat harga sahamnya diperdagangkan lebih murah (jatuh).

Tidak ubahnya nilai tukar Rupiah. Kenaikan BBM akan membuat masyarakat membelanjakan uang lebih banyak sehingga menambah banyaknya uang beredar. Kenaikan harga minyak dunia membuat pemerintah membelanjakan uangnya lebih banyak sehingga membuat nilai tukar Rupiah cenderung lebih murah dibandingkan dengan mata uang lainnya, seperti US Dolar. Namun, kekhawatiran akan memburuknya nilai tukar Rupiah terhadap US Dolar tidak perlu dikhawatirkan mengingat nilai tukar US Dolar juga masih sangat murah dibandingkan dengan pergerakan mata uang lainnya.

Secara keseluruhan dampak kenaikan BBM akan menghambat laju pertumbuhan ekonomi. Kebijakan moneter yang ketat oleh BI (tight money policy) akan menghambat akses masyarakat dalam membuat pusat-pusat bisnis baru. Sehingga penyerapan angkatan kerja akan mengecil dan membuat angka pengangguran meningkat.

Krisis yang terjadi saat ini memang dirasakan di semua negara di dunia, mulai dari yang kaya hingga ke yang miskin. Tidak hanya Indonesia namun juga negara besar seperti Amerika. Walaupun sepertinya krisis berawal dari negeri Paman Sam, namun bukan berarti AS yang menyelesaikan masalah kita disini.