Sunday, September 28, 2008

Mewaspadai Singa Yang Bersiap Untuk Bangun

Medan Bisnis, 29 September 2009

Kongres AS telah menyetujui program penyelamatan perekonomian AS sebear $700 Milyar pada sabtu malam kemarin. Program yang menghabiskan dana besar dan merupakan yang pertama tersebut akan menjadi ancaman baru bagi pergerakan pasar di luar AS. Langkah negeri paman sam tersebut sepertinya hanya menunggu tahap implementasi di lapangan dari hanya sekedar wacana serta debat seperti yang terjadi sepanjang minggu kemarin.

Apa yang akan terjadi sebenarnya adalah sentimen positif bagi nilai tukar US Dolar dan memaksa pasar lainnya untuk bergerak di teritori negatif. Dan tidak menutup kemungkinan akan berimbas pada pergerakan saham dan mata uang di negeri ini. Padahal pasar domestik kita justru memasuki masa liburan menyambut hari raya Idul Fitri.

Nancy Pelosi yang merupakan pembicara di kongres menyatakan bahwa perbedaan yang pernah terjadi sebelumnya sudah terpecahkan, sehingga kita (AS) dapat melangkah kedepan dengan sejumlah paket untuk menstabilkan pasar. Sebuah pernyataan yang tidak menunjukan isi dari paket yang akan dilakukan pemerintah AS, namun cukup memberikan sinyal bahwa program penyelamatan dari krisis finansial baru saja di mulai.

Rencana penyelamatan tersebut seharusnya memberikan kewenangan bagi Departemen Keuangan AS untuk membeli aset-aset bermasalah yang dimiliki oleh perusahaan Investasi dan Bank. Kepastian mengenai program tersebut rencananya sudah akan kelar sebelum pasar asia di buka senin pagi.

Kekhawatiran bukan hanya akan timbul dari pasar di Asia, namun pasar di London juga sudah mencium kecemasan serupa terkait dengan rencana pemerintah AS tersebut. Pasar di London diperkirakan akan bergerak dalam teritori negatif apabila pemerintah AS benar-benar merealisasikan programnya tersebut. Dan akan mengembalikan kerugian yang pernah dialami US Dolar terhadap mata uang Poundsterling.

Meskipun tetap menyisakan kontroversial mengenai efektifitas program tersebut. Namun, Presiden AS George Walker Bush telah memberikan lampu hijau bagi penyelamatan program tersebut. Melalui Tony Fratto, juru bicara kepresidenan, Bush memberikan apresiasi terhadap sejumlah langkah yang akan ditempuh untuk menyelamatkan pasar finansial serta melindungi perekonomian Amerika.

Langkah pemerintah AS tersebut juga akan memberikan dampak yang positif dan sangat luas apabila berhasil dalam tahap implementasinya. Kepercayaan pasar akan institusi keuangan setidaknya akan kembali tumbuh setelah sempat terombang-ambing sebelumnya. Daya beli yang diharapkan membaik akan menyelamatkan dunia industri dari ancaman kebangkrutan.

Pasar keuangan akan menemukan kestabilan yang baru setelah sempat bergejolak signifikan. Namun semuanya itu masih menunggu kepastian dari pemerintah AS, dan apabila programnya sudah terealisasi seharusnya akan memberikan dampak positif tidak hanya bagi Amerika namun global. Karena Amerika saat ini merupakan Negara dengan kekuatan ekonomi terbesar serta menyerap hampir ¼ PDB dunia.

Selain itu, harga komoditas yang sebelumnya telah merobek kantong pemerintah akibat tingginya harga minyak dunia, diharapkan akan terus menunjukan tren penurunan dan menstabilkan harga pangan di dalam negeri.

Semoga saja kemenangan rencana AS terhadap penyelamatan krisis finansialnya juga memberikan angin segar bagi komoditas ekspor yang dikirim ke AS dari negeri ini, dan memberikan sumbangsih bagi PDB (Produk Domestik Bruto) kita. Dan semoga saja kita terhindar dari krisis finansial yang pernah terjadi 11 tahun silam. Penulis Mengucapkan, Selamat Hari Raya Idul Fitri, Mohon Maaf Lahir dan Batin.

Monday, September 22, 2008

Biaya Penyelematan Krisis Yang Sangat Mahal

Medan Bisnis, 22 September 2008
Meskipun saat ini Bank Sentral AS memberlakukan kebijakan suku bunga acuan yang cukup moderat hanya sekitar 2%, namun kebijakan tersebut ternyata tidak cukup untuk melindungi masyarakat AS yang kian terpuruk daya belinya. Konsumsi masyarakat AS kian hari kian menurun yang diakibatkan oleh melemahnya ekonomi AS.

Amerika sejauh ini masih terjebak dalam asset-asset bermasalah yang menyebabkan krisis di sektor kredit. Sektor peumahan merupakan sektor yang menjadi prioritas utama untuk diselamatkan dimana krisis keuangan di AS dimulai dari sektor tersebut. Kekhawatiran yang muncul belakangan ini dari bangkrutnya Bank investasi terbesar AS Lehman Brothers serta bailout perusahaan asuransi terbesar AS AIG (American International Group).

Krisis di sektor perbankan tersebut telah menimbulkan ketidak percayaan Bank untuk meminjamkan modalnya ke Bank lain. Sehingga Bank yang mengalami kesulitan likuiditas akan kian terpuruk dan berujung pada kebangkrutan. Ketegangan di dunia perbankan tersebut telah memaksa The FED (bank sentral AS) menginjeksi milyaran dolar guna menyelamatkan pasar dari tekanan pembiayaan.

Demi menyelamatkan sektor keuangan AS dari krisis yang mungkin muncul seperti yang terjadi di Asia pada tahun 1997. Pada sabtu malam pemerintah AS melalui menteri keuangan Henry Paulson meminta kongres untuk menyetujui program penyelamatan krisis finansial senilai $700 Milyar.

Langkah pemerintah AS tersebut akan meningkatkan porsi hutang negeri paman sam. Dan akan menghabiskan dana lebih besar dari dana tahunan yang dibutuhkan oleh 3 departemen sekaligus seperti Departemen Pertahanan AS, Pendidikan dan Kesehatan serta Human Service. Dan oleh karena itu proposal pengajuan penyelamatan dari krisis finansial menghabiskan dana diluar dari biasanya dan bahkan belum pernah terjadi sebelumnya.

Pasar pun merespon positif terhadap langkah AS tersebut. Hal tersebut terbukti dari membaiknya nilai tukar US Dolar terhadap hampir semua mata uang rivalnya. Sentimen positif yang datang dari pemerintah AS tersebut mengkukuhkan US Dolar sebagai mata uang yang paling kuat untuk sementara ini. Penguatan US Dolar juga didorong oleh minimnya sentimen global.

Pasar boleh saja bernafas lega. Kucuran dana yang akan dikeluarkan pemerintah AS tersebut telah memberikan harapan akan kembali bergairahnya perdagangan di pasar finansial. Serta memberikan rasa aman bahwa krisis lebih dapat dikendalikan. Hal senada juga dikemukakan oleh senator AS Charles Schumer yang menyatakan bahwa kesalahan pemerintah AS dalam mendukung sistem keuangan akan membawa AS kedalam jurang depresi.

Selain itu, Schumer juga menyatakan bahwa tidak melakukan apa-apa akan meningkatkan resiko ekonomi yang terus menunjukan tren penurunan dan tidak pernah terlihat sebelumnya dalam 60 tahun terakhir. Hal tersebut mengindikasikan kuatnya komitmen pemerintah AS dalam menstabilkan pasar keuangan dan sinyal kuat bahwa penyelamatan krisis dengan dana besar berpotensi untuk dilakukan.

Namun, benarkah dana tersebut akan mampu mengcover kredit-kredit bermasalah di AS? Karena banyak ahli justru berpendapat bahwa penyelamatan krisis finansial di AS akan menghabiskan dana sampai $1 Trilyun. Sebuah dana yang fantastis yang belum akan mungkin terjadi di Indonesia.

Akan tetapi, langkah pemerintah AS tersebut meskipun berupa sederetan langkah positif namun tetap memiliki imbas negatif di pasar keuangan Indonesia. Coba liat nilai tukar Rupiah yang kian terpuruk. Hal tersebut akan menambah beban berat pada pemerintah khususnya dalam hal pengendalian inflasi.

Sejauh ini, inflasi yang kian tinggi telah membuat pemerintah Indonesia melakukan kebijakan yang terus meningkatkan suku bunga. Apabila rakyat Indonesia mulai terjebak dengan suku bunga tinggi, maka akan menimbulkan resiko kemungkinan gagal bayar yang lebih besar. Mungkinkah pemerintah akan menggelontorkan dana untuk membeli asset-asset rakyat yang bermasalah!. Atau tetap melakukan langkah tradisional dengan tetap memberlakukan kebijakan uang ketat. Entahlah.

Rapor Merah Pergerakan Indeks

Medan Bisnis 15 September 2008
Daya beli masyarakat dunia yang terus menurun telah mempengaruhi pergerakan indeks global telah terjadi koreksi yang cukup dalam di hampir semua indeks di Asia. Kondisi tersebut tidak jauh berbeda dengan pergerakan harga saham di bursa Wall Street di AS. Penguatan US Dolar turut disinyalir sebagai pemicu melemahnya pergerakan indeks harga saham dunia.

Tingginya harga minyak dunia beberapa waktu lalu yang turut dibarengi dengan melemahnya konsumsi masyarakat AS seiring dengan memburuknya sektor property telah menghancurkan fundamental perekonomian dunia. Inflasi yang tinggi telah membuat laju pertumbuhan ekonomi tertekan dan pengetatan kebijakan moneter bank sentral pada umumnya turut menekan harga saham dunia.

Saat ini, harga minyak terus mengalami koreksi yang cukup tajam setelah meroket pada pertengahan bulan Juli lalu. Kondisi tersebut tidak membuat perdagangan di lantai bursa bergeliat, karena penurunan tersebut justru diyakini sebagai melemahnya konsumsi masyarakat dunia yang mengindikasikan telah terjadi perlambatan terhadap pertumbuhan ekonomi global.

Hal yang paling mungkin terjadi yang akan membuat indeks bursa saham kembali menggeliat adalah kemungkinan rebound secara teknikal. Psikologis pasar yang telah jenuh mengalami aksi jual menjadi kesempatan bagi para pelaku pasar untuk membuka posisi beli yang baru. Walaupun, kondisi secara teknikal tersebut kemungkinan hanya berlangsung dalam tempo yang singkat sehingga hanya memberikan peluang rebound atau menguat sementara.

Harga saham di sektor manufaktur dan transportasi yang sangat sensitif terhadap perubahan harga minyak dunia juga belum menunjukan peforma yang lebih baik meskipun biaya produksi sudah di tekan akibat penurunan harga minyak dunia. Kendala utama yang dihadapai yakni justru dari melemahnya daya beli msyarakat sehingga produk yang dijual tidak laku dan menurunkan pendapatan perusahaan di sektor tersebut.

Gejala penurunan daya beli juga diperparah oleh data yang dikeluarkan pemerintah AS dimana telah terjadi penurunan penjualan ritel di bulan agustus seiring dengan berakhirnya musim panas di AS. Kondisi melemahnya daya beli masyarakat AS juga diyakini sebagai salah satu pemicunya. Harapan yang masih dinanti adalah data penjualan perumahan di AS yang diharapkan akan kembali membaik, pasca diakuisisinya perusahaan properti AS terbesar Fannie Mae dan Freddi Mac oleh pemerintah AS.

Selain itu, ada beberapa hal yang tidak lazim yang jarang terjadi dan mempengaruhi pengerakan harga saham pada umumnya dan minyak khususnya. Yakni badai yang melanda teluk mexico yang mengancam produksi minyak AS. Uniknya badai tersebut seharusnya mampu menjadi pemicu melambungnya harga minyak dunia.

Dan sekali lagi pasar komoditas justru terus memperdagangkan minyak yang terus berusaha bergerak turun dibawah level $100/barel. Padahal pasokan minyak diperkirakan akan terus menurun apalagi OPEC juga berkomitmen untuk menurunkan produksi minyaknya guna mengimbangi harga dan kebutuhan minyak global.

Kondisi pasar keuangan dan saham yang tidak menentu itu saat ini telah terfokus pada pelemahan pertumbuhan ekonomi yang terjebak oleh tingginya suku bunga kredit. Penurunan harga minyak yang telah terkoreksi cukup signifikan bahkan tidak mampu menjadi stimulus bagi kembali bergeliatnya konsumsi masyarakat dunia. Dan sekaligus mengindikasikan bahwa pertumbuhan ekonomi global sedang terjepit oleh ketidak pastian pertumbuhan.

Pelaku pasar juga terus berupaya mencari lahan yang lebih menguntungkan dengan memanfaatkan kondisi yang serba tidak pasti. Sehingga menjadi pemicu semakin maraknya aksi spekulasi dikalangan pelaku pasar. Ketidakpastian ekonomi global tersebut juga akan berbanding lurus terhadap pergerakan indeks dan pasar keuangan, serta mempengaruhi kondisi perekonomian di negeri ini, meskipun negeri ini sedikit diuntungkan oleh penurunan harga minyak dunia.

Mata Uang Asia Terpuruk

sxqdqMedan Bisnis, 8 September 2008
Rupiah kembali melemah dan menembus level diatas 9300/US Dolar. Pelemahan tersebut seiring dengan melemahnya beberapa mata uang asia seperti Won Korea, Kiwi (Newzealand Dolar), Baht Thailand serta beberapa mata uang asia lainnya. Kisruh politik di Thailand diyakini menjadi pemicu utama melemahnya Rupiah belakangan ini.

Kebijakan Bank Indonesia yang menaikan suku bunga acuan atau biasa disebut dengan BI rate, tidak berpengaruh banyak bagi pergerakan nilai tukar Rupiah yang masih terpuruk. Kondisi geopolitik di kawasan asia sepertinya lebih dominan dan mempengaruhi kinerja nilai tukar Rupiah dari hanya sekedar menaikan BI Rate.

Selain itu, mata uang US Dolar kian menunjukan keperkasaannya terhadap hampir semua mata uang di dunia seiring dengan penurunan ekonomi global yang mewabah di kawasan Eropa. Tercatat mata uang Euro sempat mencatatkan level paling rendah (05/09). Pelemahan tersebut dipicu oleh pernyataan dari ECB (European Central Bank) yang menyatakan bahwa perekonomian Eropa masih lemah. Kondisi tersebut juga diperparah dengan pernyataan dari Perdana Menteri Luxemburg yang menyatakan bahwa nilai tukar Euro masih cukup tinggi.

Selain itu Bank Sentral Eropa atau ECB juga menurunkan prediksi angka pertumbuhan selama tahun 2008 ini menjadi 1.4%, sebelumnya ECB memprediksikan bahwa perumbuhan ekonomi di tahun 2008 sebesar 1.8%. Bukan hanya itu, prediksi pertumbuhan di tahun 2009 juga dipangkas turun dari sebelumnya sebesar 1.5% menjadi 1.2%.

Belum habis pembicaraan mengenai laju pertumbuhan ekonomi eropa yang kian melemah. Inflasi di kawasan Euro juga diperkirakan masih akan naik lagi. ECB memprediksikan selama tahun 2008 ini inflasi yang terjadi sebesar 3.5%, lebih tinggi dari prediksi sebelumnya sebesar 3.4%. Selain itu, inflasi ditahun 2009 juga direvisi lebih tinggi lagi, dari semula sebesar 2.4% menjadi 2.6%.

Hal tersebut mencerminkan bahwa perekonomian di zona eropa belum menunjukan adanya tanda perbaikan. Sehingga banyak investor yang melepas mata uang dalam Euro ke mata uang US Dolar. Hal tersebut diyakini turut menjadi pemicu menguatnya US Dolar terhadap mata uang dunia.

Penguatan US Dolar juga didorong oleh sentimen ketidak percayaan terhadap pasar komoditi. Berita kehancuran perusahaan komoditi terbesar dunia Osprae Management LLC telah membuat investor berpikir 2 kali mengalihkan dananya ke bursa komoditi. Sehingga membuat US Dolar terlihat lebih aman dibandingkan dengan produk investasi lainnya.

Harga komoditas yang kembali turun seperti emas ternyata juga memberikan efek negatif pada mata uang Newzealand Dolar atau biasa disebut dengan Kiwi. Hal tersebut turut memberikan sentimen bagi mata uang komoditas lainnya seperti Australian Dolar.

Dibalik penguatan mata uang US Dolar, justru berita buruk datang dari negeri paman sam itu sendiri. Berita mengenai tingkat pengangguran di AS yang meningkat menjadi 6.1% pada saat ini tentunya memberikan sentimen negatif bagi pergerakan mata uang US Dolar kedepan. Level tersebut merupakan level tertinggi selama 5 tahun terakhir.

Negeri paman sam banyak kehilangan pekerjaan pada beberapa sektor seperti manufaktur, service dan retail, seperti yang di beritakan oleh departemen tenaga kerja AS. Selama bulan Agustus perekonomian AS telah kehilangan 84.000 pekerjaan atau sekitar 605.000 pekerjaan terhitung sejak bulan januari.

Padahal perekonomian AS seharusnya mampu menciptakan 100.000 lapangan pekerjaan baru setiap bulan guna menampung jumlah tenaga kerja baru. Dengan kondisi ini maka rata-rata perbulan perekonomian AS kehilangan sekitar 23.500 pekerjaan dalam satu tahun terakhir. Data tersebut tentunya akan menjadi berita negatif dan memberikan tekanan bagi nilai tukar US Dolar.

Kembali ke Rupiah, akibat makkin perkasanya US Dolar Rupiah kembali terpuruk dikisaran level 9.329/US Dolar. Kondisi dimana banyak analis yang sudah memperkirakan sebelumnya bahwa pada saat Rupiah menembus level 9.200/US$ maka ada kemungkinan Rupiah terpuruk lebih dalam lagi. Kondisi ini sangat bertolak belakang dengan langkah BI yang telah menaikan BI rate.

Selain itu, kondisi US$ yang menguat juga justru tidak ditopang dengan fundamentalnya yang kuat. Banyak pertanyaan kenapa Rupiah terus kian terpuruk. Namun, beberapa hal seperti tekanan inflasi domestik yang kemungkinan akan kembali meningkat selama Ramadhan serta diperburuk kondisi geopolitik di Asia seperti kemungkinan kudeta di Thailand akan menjadi sentimen negatif bagi Rupiah. Meskipun Jumat kemarin US Dolar mendapat berita yang tidak sedap dari departemen tenaga kerjanya, namun bukan berarti Rupiah akan kembali menguat secara signifikan terhadap US Dolar, bisa jadi justru yang sebaliknya.

Mewaspadai Tradisi Inflasi Tinggi

Medan Bisnis, 1 September 2008
Lebaran sebentar lagi, Ramadhan telah tiba. Tradisi umat muslim Indonesia yang merayakan lebaran dengan berkumpul dengan sanak keluarga merupakan sebuah tradisi yang cukup unik, dan jarang terjadi di negara muslim lainnya. Semua orang tahu tradisi tersebut menjadi biang keladi terhadap timbulnya masalah transportasi yang disebabkan oleh adanya arus mudik dan balik. Dibalik banyak kebaikan bulan Ramadhan dan perayaan Lebaran, namun keduanya juga menyisakan masalah yang tak kalah penting yakni meningkatnya tekanan laju inflasi.

Walaupun keliatannya sudah biasa, namun tahukah kita bahwa kebiasaan menyediakan sesuatu yang istimewa (makanan) selama Ramadhan dan Lebaran juga memberikan tekanan di pasar uang. Kita lihat bagaimana korelasinya.

Harga telur, dan daging kembali mencatatkan kenaikan tinggi dibandingkan dengan kebutuhan pokok lainnya. Kenaikan tersebut bukan disebabkan oleh karena pasokannya yang berkurang namun dikarenakan oleh tingginya permintaan. Jadi, sekalipun pasokannya ditambah tetap akan sulit dalam menstabilkan harga.

Harga yang lebih mahal tentunya harus dibayar dengan jumlah uang yang lebih banyak pula. Meskipun terkadang bisa di tolerasnsi besarannya oleh setiap individu, namun pernahkah membayangkan besarannya apabila dikalikan dengan 200 juta lebih penduduk Indonesia.

Setiap ada penambahan jumlah uang yang beredar, yang diakibatkan oleh kenaikan harga, tentunya akan membuat nilai mata uang tersebut lebih murah dibandingkan dengan sebelum terjadi kenaikan harga. Misal, sebelum Ramadhan harga telur Rp. 500, di bulan Ramadhan harganya menjadi Rp. 600. Setiap keluarga diasumsikan mengkonsumsi 10 butir telur per hari. Kalau ada 50 Juta keluarga saja, bayangkan berapa banyak Rupiah yang telah dibuang untuk kenaikan Rp. 100 per butir telur.

Terlihat, ada penurunan nilai jual dari mata uang Rupiah, dimana rupiah lebih murah dibandingkan dengan telur yang Rp.100 lebih mahal. Kenaikan tersebut akan memberikan kontribusi bagi besaran inflasi. Apabila ternyata laju inflasi lebih besar dari perkiraan dan berada di atas asumsi APBN, maka kita juga tahu bahwa sulit bagi BI untuk menurunkan suku bunga, karena inflasi yang tinggi memberikan konskuensi bagi banyaknya jumlah uang beredar dan harus diserap dengan suku bunga tinggi, atau bahasa yang lebih halus memberikan insentif agar kita lebih rajin menabung daripada membelanjakan uang kita.

Dengan suku bunga yang tinggi, kita juga tahu bahwa sulit bagi kita untuk meminjam uang dari Bank. Nah, bagaimana kalau niat meminjam uang justru akan digunakan sebagai modal usaha. Bukankah membuka usaha akan menambah lapangan kerja, dan justru itulah yang diharapkan kita semua. Bukankah demikian.

Kembali lagi, tekanan laju inflasi yang membuat suku bunga tetap tinggi juga berdampak bagi peningkatan dana asing untuk ditanamkan di Indonesia. Para pemodal di seantero bumi ini selalu mencari tempat untuk mengkembangbiakan uangnya pada instrument yang memberikan imbal hasil yang tinggi. Dan Indonesia dikenal dengan suku bunga yang tinggi pula, dengan kenyaman investasi yang masih cukup aman.

Kalau BI rate tetap tinggi, maka dunia perbankan akan menetapkan suku bunga seperti Deposito dan bunga pinjaman dalam nominal yang tinggi pula. Dan satu hal yang perlu diperhatikan bahwa bukan hanya kita yang tinggal di Indonesia yang tertarik dengan imbal hasil tinggi, namun mereka yang tinggal diluar Negara kita tentunya juga akan berminat untuk menanamkan uangnya di negeri ini.

Dengan sistem keuangan yang terintegrasi secara global, sulit bagi kita untuk tidak membiarkan dana-dana panas tersebut (asing) berkembang biak di negeri ini. Kalau mereka menyimpan dalam jumlah nominal yang cukup signifikan, bayangkan bagaimana bunga yang harus dibayar oleh kita ke mereka. Sialnya lagi bunga atau keuntungan yang mereka terima akan mereka bawa pulang, sehingga apa yang kita dapat!.

Kita tahu bahwa harga minyak dunia saat ini mencoba untuk kembali merangkak naik, dan kita juga harus tahu bahwa negeri ini juga membeli minyak dari luar untuk memenuhi kebutuhannya. Dan seharusnya kita tahu bagaimana kenaikan harga minyak dunia telah membuat pemerintah kita menaikan harga BBM dan membuat inflasi meroket.

Kita hanya mengambil satu contoh dalam kasus telur, namun kita harus menyadari bahwa kenaikan tidak hanya terjadi pada harga telur saja. Umumnya semua harga sembako akan mengalami kenaikan pada hampir setiap perayaan keagamaan. Tanpa kita sadari bahwa pola konsumsi yang cenderung meningkat selama bulan Ramadhan serta perayaan keagamaan lainnya ternyata meninggalkan masalah di sisi lain. Yang tanpa disadari menjadi biang keladi terhadap masalah yang kita hadapi seperti transportasi, inflasi, pengangguran dan bisa merambah ke masalah resesi.

Berani hidup di bawah standart, dengan tetap tidak merubah pola konsumsi selama Ramadhan ini dan Lebaran nanti, akan lebih banyak memberikan manfaat yang besar serta tetap mebawa kita kepada kemenangan. Bukankah substansi berpuasa dan lebaran bukan pada makanan-makanan yang enak, pakaian mewah, maupun pemenuhan kebutuhan yang lebih dari biasanya.

Dan tahukah kita bahwa THR (Tunjangan Hari Raya) juga telah membuat kita lebih konsumtif. Jika semua karyawan yang bekerja mendapatkan THR, bayangkan berapa potensi jumlah uang yang akan dibelanjakan, bayangkan bagaimana jumlah uag beredar dan bayangkan juga akibatnya. Walaupun hanya bersifat musiman, namun bukankah tuhan juga tidak mau kita menyepelekannya.

Stimulan Kredit Untuk Recovery

Medan Bisnis, 25 Agustus 2008
Setelah sempat digoyang oleh gonjang ganjing harga minyak, pada saat ini pasar sedikit lebih tenang karena fluktuasi harga minyak cukup stabil dan memiliki kecenderungan turun. Kondisi yang paling mudah untuk dilihat adalah tanda adanya penguatan nilai tukar US Dolar terhadap major currency. Hal tersebut menandakan bahwa harga komoditas mulai terkendali meskipun tidak menutup kemungkinan masih ada tekanan laju inflasi.

Pertumbuhan yang cukup lamban seiring dengan melonjaknya harga komoditas seharusnya menjadi stimulan bagi kestabilan harga dan inflasi. Meski demikian, masih terdapat sejumlah faktor penting yang berpotensi menjadi pemicu kembali melambungnya harga komoditas, sehingga tetap saja masih terbuka kemungkinan bahwa komoditas khususnya minyak belum akan mencapai kestabilan ditengah tingginya permintaan oleh negara-negara yang mencetak angka pertumbuhan tinggi seperti China dan India.

Dari sisi persediaan memang telah terjadi peningkatan terhadap produksi minyak oleh negara anggota OPEC. Namun, lifting produksi minyak tersebut belum sepenuhnya mampu memenuhi kebutuhan minyak dunia. Terlebih menjelang akhir tahun ini, harga minyak kemungkinan saja masih akan naik lagi seiring dengan tingginya permintaan menjelang musim dingin.

Untuk Indonesia, perayaan keagamaan seperti lebaran yang jatuh sedikit lebih awal dibulan Oktober diperkirakan akan mengurangi beban pemerintah sehingga laju inflasi nantinya masih relatif terkendali. Bayangkan saja, apabila lebaran justru jatuh berdekatan dengan perayaan Natal dan musim dingin di belahan negara lain. Sudah tentunya pemerintah akan mendapatkan tekanan dahsyat akibat melambungnya permintaan serta banyaknya jumlah uang beredar.

Walaupun bersifat musiman dan hanya berlangsung beberapa hari dalam setahun, namun kontribusi yang diberikan terhadap tekanan inflasi secara tahunan akan sangat terasa dampaknya. Dan tentunya akan mempersulit Bank Indonesia dalam melakukan kontrol terhadap laju tekanan inflasi.

Di beberapa negara besar seperti Amerika Serikat, kondisi ekonomi yang menuju ke lubang resesi telah memaksa pejabat di negara tersebut untuk menyalurkan dana segar guna menyelamatkan perekonomian. Sektor yang mendapat perhatian serius sebelumnya adalah sektor energi. Namun, saat ini telah bergulir usulan agar sektor otomotif juga membutuhkan adanya kucuran dana untuk menyelamatkan industri otomotif.

Perusahaan terbesar otomotif AS General Motor yang mengalami kerugian sebesar $15.5 Milyar memang membutuhkan kucuran dana segar. Dana tersebut nantinya akan berguna untuk merehabilitasi perusahaan dengan membeli mesin-mesin baru serta penilitian untuk membuat kendaraan yang hemat enerji.

Langkah yang diambil pemerintah AS terbilang cukup berani dengan memberikan stimulan kredit. Bahkan sektor perumahan AS yang dijadikan kambing hitam pemicu memburuknya perekonomian dunia diperkirakan akan segera berakhir. Seorang milyader bernama Warren Buffet menyatakan bahwa kedua perusahaan finansial terkemuka bernama Fannie Mae dan Fraddie Mac akan menerima kucuran dana sebesar $12 Trilliun guna menyelamatkan kedua perusahaan tersebut dari masa sulit seperti sekarang ini.

Indonesia juga mengalami masalah yang tak jauh berbeda dengan AS. Hanya saja langkah yang diambil Indonesia lebih bersifat pengendalian moneter dengan tetap menjaga kestabilan harga dan laju inflasi. Sehingga, kalaupun ada laju pertumbuhan yang disebabkan kondisi tersebut, namun pertumbuhan itu bukan yang bersifat padat karya, sehingga menimbulkan sebuah pertumbuhan semu.

Program pemerintah untuk menumbuhkan jiwa wiraswasta dengan KUR (kredit usaha rakyat) dinilai juga belum maksimal. Karena perbankan juga enggan menyalurkan kredit dengan jumlah besar apabila tidak tersedia jaminan. Sehingga akses untuk mendapatkan KUR masih sangat terbatas. Dibutuhkan langkah konkrit serta keberanian pemerintah dalam mengambil resiko. Karena untuk kembali meningkatkan daya beli serta mendongkrak laju pertumbuhan salah satunya dilakukan dengan mengalokasikan dana dengan akses yang lebih mudah untuk sektor riil atau padat karya.

Pelemahan Ekonomi Eropa Sentimen Baik Bagi Komoditas

Medan Bisnis, 11 Agustus 2008
Pergerakan mata uang Euro kembali melemah cukup tajam terhadap mata uang US$ dikisaran 1.501/US$. Pelemahan tersebut dipicu oleh pernyataan Gubernur Bank Sentral Eropa Jean Claude Treachet mengenai kemungkinan terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi zona Euro, pada kuartal keempat tahun ini. Hal tersebut sekaligus menimbulkan spekulasi mengenai kemungkinan bahwa Bank Sentral Eropa tidak menaikan suku bunganya.

Dampaknya kian terasa terhadap penguatan mata uang US$ yang tentunya lebih diminati seiring dengan pernyataan tersebut. Selain itu, harga komoditas seperti minyak dunia juga kembali mereda hingga mendekati level $100/barel, seiring dengan penguatan mata uang US$. Penguatan mata uang US$ berhasil mengabaikan sentimen negatif data dari departemen tenaga kerja AS yang merilis bahwa sektor manufaktur justru turun sebesar 1.4%.

Ekonomi Eropa menghadapi perekonomian kian sulit setelah Produk Domestik Bruto Italia mengalami penurunan yang diringi dengan kebijakan ECB (European Central Bank) yang menahan suku bunga Euro di level 4.25%. Padahal keputusan tersebut diambil ditengah ancaman tingginya tekanan inflasi dalam beberapa waktu kedepan.

Sehingga ekspektasi kemungkinan akan kembali diturunkannya suku bunga oleh ECB dan BoE (Bank of England) masih cukup terbuka lebar. Sementara Bank Sentral AS atau biasa disebut dengan The FED masih tetap menunjukan gelagat akan menaikan kembali suku bunganya. Sehingga kemungkinan US$ menguat terhadap mata uang global cukup besar.

Kondisi tersebut akan membuat tekanan harga pada beberapa komoditas diperkirakan akan terus melemah. Minyak misalnya yang sempat diperdagangkan mendekati level $150/Barel, pada saat ini telah mereda dan berada dikisaran level $113/barel. Sementara itu harga emas turun dalam posisi terendah selama 3 bulan terakhir diposisi $851/ troy ounce. Demikian halnya dengan perak yang juga turun drastis sebanyak 5%.

Kembali menguatnya US Dolar juga membuat harga komoditas seperti CPO turun signifikan. Hal tersebut tercermin dengan semakin terkendalinya harga pasaran minyak goreng di dalam negeri. Banyak hal positif yang dapat diambil dari penguatan US Dolar, tak terkecuali terhadap laju mata uang Rupiah yang kembali sedikit tertekan oleh penguatan US$.

Secara keseluruhan harga minyak mentah dunia telah turun sebanyak 20% setelah sempat mencapai titik puncaknya di level $147/Barel pada tanggal 11 Juli lalu. Selain itu, eksplorasi minyak yang akan dilakukan Iraq setelah 20 tahun tertunda akibat sanski oleh PBB diharapkan mampu menambah kapasitas minyak menjadi dua kalilipat. Nantinya hal tersebut akan menjadi berita bagus bagi perdagangan komoditas karena akan ada tambahan pada pasokan minyak dunia.

Pasar kedepan akan lebih fokus pada perkembangan data di zona Eropa dan Inggris ketimbang memburuknya data perekonomian di AS. Beberapa hal yang akan menjadi penekanan disini adalah keputusan Bank Sentral seperti ECB dan BoE. Dimana langkah yang akan diambil menjadi tolak ukur untuk mengurangi kerugian yang diakibatkan oleh menguatnya US$ secara signifikan dalam beberapa hari belakangan ini. Dan diperkirakan US$ akan melanjutkan tren penguatannya dalam pekan ini dan harga komoditas juga akan kembali mengalami penguatan serupa seiring dengan penguatan US$.

Di dalam negeri kenaikan BBM serta penurunan harga minyak dunia pada saat ini akan menjadi sebuah kesempatan untuk APBN agar bisa sedikit bernapas, karena sebelumnya sempat tertekan dan mengalami defisit yang diakibatkan oleh kenaikan minyak mentah dunia.

Ekspektasi akan kembali menguatnya harga minyak dunia juga tetap ada. Kemungkinan akan terpilihnya calon presiden AS Barrack Obama yang selalu diasumsikan sebagai sentimen positif. Karena Obama mempunyai perhatian yang lebih terhadap masalah Iraq. Sehingga secara politis akan mengurangi tekanan harga minyak.

Namun bukan berarti harapan minyak turun tanpa ada kemungkinan sebaliknya. Harga minyak dunia sangat dipengaruhi oleh masalah Demand & Supply, Politik, Spekulasi, maupun Iklim. Sehingga kestabilan harga minyak itu sendiri akan sangat tergantung pada kestabilan faktor yang mempengaruhinya.

Pasar Kembali Berkonsolidasi

Medan Bisnis, 28 Juli 2008
Setelah sempat gunjang-ganjing fluktuasi pasar yang disebabkan harga minyak. Saat ini pasar kembali berkonsolidasi dengan tetap fokus kepada data-data perekonomian Amerika. Sekali lagi data perkonomian AS kembali membuat kejutan dengan merealisasikan angka aktual diluar perkiraan sebelumnya.

Diantaranya data permintaan terhadap barang-barang tahan lama atau durable goods order yang naik selama bulan juni 2008 sebesar 0.8%. Selain itu, data penjualan rumah juga menunjukan hal serupa dimana lebih tinggi dari ekspektasi sebelumnya. Kedua data tersebut kembali mengangkat nilai tukar US Dolar yang kembali menguat terhadap hampir semua mata uang utama dunia.

Pasar saat ini pasar tidak memiliki sentiment yang cukup yang akan menjadi penggerak pasar selanjutnya. Namun, konsolidasi yang dilakukan pasar saat ini sepertinya akan lebih menjadi pendorong positif bagi penguatan US Dolar ke depan. Seiring dengan memudarnya ekspektasi kenaikan suku bunga di kawasan Eropa.

Kejutan-kejutan yang sering terjadi pada pergerakan harga minyak sepertinya tidak akan begitu terasa, karena telah terjadi penurunan harga yang cukup signifikan setelah sempat naik tajam sebelumnya. Hingga saat ini, fluktuasi harga minyak belum menunjukan adanya fluktuasi yang tajam seiring dengan membaiknya hubungan AS dan Iran.

Selain itu, dalam waktu dekat mata uang US Dolar juga akan mendapatkan angin segar seiring akan dirilisnya data Gross Domestic Product (GDP), yang diperkirakan juga akan mengalami peningkatan seiring dengan membaiknya data perekonomian AS. Hal tersebut akan berpengaruh cukup signifikan bagi greenback untuk mengurangi kerugiannya terhadap major currency.

Namun, beberapa kemungkinan tersebut bisa saja tidak sesuai dengan ekspektasi. Karena saat ini calon presiden AS yang baru Barrack Obama justru menyatakan sikap untuk membawa Iran kembali mengikuti aturan PBB terkait dengan pengemabangan program nuklirnya.

Hal tersebut mengindikasikan bahwa AS tetap akan mempermasalahkan program nuklir yang dikembangkan Iran ke depan, dan berpotensi membawa harga minyak naik lebih tajam lagi. Ketegangan tersebut sepertinya belum akan berakhir meskipun akan terjadi perubahan kepemimpinan di Amerika.

Kembali ke dalam negeri. Pergerakan US Dolar yang masih labil tidak akan berpengaruh banyak bagi pergerakan Rupiah. Nilai tukar rupiah masih menunjukan pergerakan yang relatif stabil meskipun terjadi fluktuasi yang tajam pada mata uang utama dunia.

Inflasi yang cukup stabil serta dibarengi oleh BI yang terus melakukan penetrasi terhadap kemungkinan fluktuasi Rupiah (intervensi pasar) akan tetap membuat mata uang Rupiah bergerak dalam rentang yang terbatas. Apalagi BI mempunyai cadangan devisa yang cukup untuk meredam segala bentuk gejolak pasar yang kemungkinan terjadi.

Meski demikian bursa saham belum mampu menunjukan peforma yang lebih baik. Hal tersebut dikarenakan banyak Bank sentral di dunia ini yang memberlakukan kebijakan uang ketat atau tight money policy guna meredam laju inflasi. Saham-saham yang berpeluang terkoreksi sangat dalam adalah saham-saham perbankan. Karena Bank diperkirakan akan mengalami kesulitan dalam penyaluran kredit, akibat tekanan suku bunga yang cukup tinggi.

Minyak Turun, US Dolar Berpotensi Menguat

Medan Bisnis, 21 Juli 2008
Harga minyak mentah dunia sempat menyentuh level tertingginya, seiring dengan peluncuran uji coba senjata yang dilakukan oleh Iran. Aksi pamer senjata tersebut ternyata ditanggapi sebagai bentuk ujicoba pertahanan militer Iran terhadap kemungkinan serangan senjata yang akan dilancarkan oleh tentara Israel.

Kekhawatiran pun muncul di pasar finansial. Serangan tersebut akan membuat harga minyak semakin mahal dan langka, sementara menurut laporan cadangan minyak di Amerika Serikat mulai menurun. Tak terelakkan lagi harga minyak naik tajam dan membuat kekhawatiran akan tingginya laju tekanan inflasi.

Terlepas dari permasalahan fundamental harga minyak seperti demand & supply. Permasalahan geopolitik di Iran baru-baru ini telah menyita perhatian banyak pelaku bisnis, dan sempat dijadikan biang keladi melambungnya harga minyak dunia. Ditambah lagi aksi beli para spekulan.

Namun, benarkah pemerintah AS merestui serangan yang akan dilancarkan Israel ke Iran?. Tentu tidak, bukan karena AS atau Israel tidak memiliki amunisi yang cukup maupun teknologi yang tidak memadai. Namun, membaiknya hubungan Iran dan AS baru-baru ini lebih disebabkan oleh kekhawatiran akan kembali bergejolaknya harga minyak dunia dan mengancam perekonomian di AS.

Iran yang sebelumnya dituduh sebagai negara yang melanggar ketentuan PBB dalam pengembangan senjata nuklir, ternyata tetap mendapatkan perlakuan khusus. Hal ini disebabkan bargaining position (posisi tawar) Iran jauh lebih baik dibandingkan dengan posisi Amerika. Iran yang menjadi negara pengekspor minyak terbesar no.2 dunia dan tentunya masih akan tetap diperhitungkan di kancah perpolitikan internasional.

Posisi Iran tersebut tentunya akan membuat negara tersebut imun (kebal) terhadap segala bentuk ancaman serangan militer dari luar khususnya Amerika. Sumber daya alam yang dimiliki tetap berguna sebagai tameng dalam menangkal intervensi politik terhadap negara tersebut. Dan cukup berguna untuk menekan negara lain.

Selain itu, posisi Iran serta langkah yang diambil Iran dengan sedikit merapatkan badan dengan Amerika Serikat juga berguna bagi kestabilan perekonomian global. Bayangkan hanya dengan memperbaiki hubungan dengan AS, harga minyak dunia turun ke level US$128/barel, setelah sempat naik ke level US$147/barel.

Bahkan mata uang US Dolar sendiri sempat menguat secara tajam dibandingkan dengan pergerakan mata uang Euro. Meskipun banyak yang menilai bahwa turunnya harga minyak disebabkan oleh persepsi pasar yang tidak menginginkan harga minyak naik lebih jauh lagi karena menghambat laju pertumbuhan ekonomi.

Namun, penulis berpendapat turunnya harga minyak lebih dikarenakan oleh membaiknya hubungan yang dijalin antara AS dan Iran. Meskipun belum ada yang memprediksikan sampai sejauh mana hubungan tersebut akan terjalin. Namun, setidaknya akan memberikan kenyamanan pada pasar finansial dalam jangka pendek.

Dalam beberapa waktu kedepan US Dolar masih berpotensi untuk terus menguat terhadap mata uang Global. Mengingat pemerintah AS yang dinilai mampu dalam mengatasi permasalahan di dua perusahaan properti terbesar di AS. Euro diperkirakan akan kembali melanjutkan tren pelemahan terhadap US$ karena Gubernur Bank Sentral Eropa menyatakan bahwa pelemahan ekonomi di zona Eropa masih berlanjut.

Seiring dengan meningkatnya laju tekanan inflasi di AS, maka US$ masih tetap akan mendapatkan sentimen positif, karena diprediksi akan kembali dinaikkannya suku bunga Bank Sentral AS atau The FED Fund Rate.

Kegelisahan Baru di Pasar Global

Medan Bisnis, 14 Juli 2008
Negeri paman sam masih terus berjuang untuk melawan perekonomian yang kian tak menentu. Hal tersebut dapat terlihat dengan serangkaian kebijakan yang telah dibuat, maupun koordinasi dengan banyak negara guna mengurangi dampak negatif yang lebih luas dari tren penurunan perekonomian di Amerika.

Namun, usaha tersebut sepertinya terkesan tidak mampu berbuat banyak. Karena kebijakan apapun yang akan diambil hanya bersifat memperpanjang umur belaka dan bukan menuntaskan permasalahan. Karena kebijakan apapun yang diambil Amerika akan tetap memberikan dampak negatif pada sisi lainnya, karena belum ada formulasi kebijakan yang bisa menyembuhkan semua penyakit (permasalahan).

Yang paling menyedihkan adalah berita yang baru-baru ini muncul. Berasal dari 2 lembaga keuangan pembiayaan perumahan paling penting di AS yang bernama Fannie Mae dan Freddie Mac. Diberitakan bahwa kedua perusahaan tersebut sedang jungkir-balik dan membutuhkan suntikan dana cukup besar guna tetap beroperasi.

Kondisi tersebut terang aja membuat pelaku pasar panik yang dibuktikan dengan anjloknya bursa saham di AS serta melemahnya nilai tukar US Dolar terhadap mata uang Euro. Kekhawatiran tersebut jelas menggambarkan akan terpuruknya perekonomian AS serta memunculkan pesimisme baru dikalangan pelaku pasar. Yang seakan-akan memberikan kabar bahwa hal yang lebih buruk bisa saja akan segera terjadi.

Bahkan kinerja buruk yang terjadi di bursa saham wall street mengabaikan penurunan harga minyak serta tetap terpojok oleh sentimen negatif dari kedua perusahaan perumahan besar Amerika tersebut. Kejadian itu membuat Bank Sentral AS akan kembali membuat kebijakan guna menyelamatkan perekonomian dari keterpurukan di sektor perumahan yang lebih dalam lagi.

Dibalik keterpurukan tersebut banyak pengamat yang memperkirakan bahwa kemungkinan yang akan terjadi nantinya akan jauh lebih buruk dari yang dibayangkan saat ini. Sebuah kondisi yang mungkin diluar ekspektasi semua orang pada saat ini, walaupun masih hanya sekedar sebuah wacana.

Kegelisahan tersebut nantinya akan membuat US Dolar kembali terpuruk signifikan serta akan membuat harga minyak naik lebih tinggi lagi. Dalam perdagangan sepekan ini harga minyak sempat meroket ke level $147/barel. Kondisi ini akan membuat banyak negara terjebak dalam stagflasi. Dimana tidak ada pertumbuhan namun diiringi dengan meroketnya laju inflasi.

IMF juga memberikan statement serupa, dimana perekonomian yang sedang dihadapi saat ini berada diantara pertumbuhan yang stagnan yang dibarengi dengan laju inflasi yang tak terkendali. Namun lebih jauh IMF juga berpendapat bahwa negara yang tergolong dalam ekonomi berkembang (emerging market) memiliki kesempatan untuk selamat dari resesi lebih besar. Meskipun tidak dibarengi dengan alasan yang cukup kuat.

Dari kejutan-kejutan baru tersebut, Indonesia diperkirakan juga akan mengalami hal yang serupa terhadap penyesuaian-penyesuaian yang mungkin saja terjadi, sekalipun terhadap asumsi di dalam APBN. Karena dari sekian banyak asumsi, harga minyak dan inflasi tetap terus berubah-ubah sehingga APBN dituntut untuk lebih fleksibel lagi.

Meskipun tidak semudah membalikan telapak tangan, namun kondisi yang lebih buruk semestinya sudah dapat diantisipasi di depan. Sebelum melakukan penyesuaian yang terkadang dikatakan terlambat serta mempertaruhkan kredibilitas pemerintah. Sejauh ini perubahan yang terjadi pada harga komoditas minyak dunia, dicoba untuk ditepiskan dengan memberikan statement yang seolah-olah pemerintah masih sanggup untuk mengatasinya.

Misal, harga minyak dunia dikisaran level $145/barel masih akan membuat APBN tetap aman. Bayangkan sekarang harganya sudah di $147/barel. Mungkin pemerintah sudah menunjukan kegelisahannya dan berharap tidak ada kenaikan lagi. Namun, tensi perselisihan yang terjadi di Iran dan Israel tetap memberi peluang akan kenaikan yang tak terduga lagi. Semoga saja tidak.

Iran Menjadi Kunci Penting Kestabilan Ekonomi

Medan Bisnis, 7 Juli 2008
Rencana Israel yang akan melakukan invasi terhadap pusat pembangkit tenaga nuklir di Iran menimbulkan tekanan terhadap perkembangan harga minyak yang terus naik keatas. Maklum saja Iran merupakan negara pengekspor minyak terbesar ke 2 di dunia. Sehingga, menjadi kunci penting bagi perdagangan minyak di pasar internasional.

Sejauh ini, Iran bersikukuh bahwa tenaga nuklir yang dikembangkan saat ini adalah untuk keperluan pembangkit tenaga listrik semata. Namun, pendapat berbeda justru datang dari Eropa dan Amerika yang menyatakan perkembangan tenaga nuklir di Iran digunakan sebagai pembuatan senjata militer yang mengancam keselamatan umat manusia di bumi ini.

Dan permasalahan geo-politik Iran pada saat ini telah di “kambing hitam-kan” sebagai salah satu pemicu tingginya harga minyak dunia. Pada bulan Januari 2006 Iran memang telah melanggar perjanjian PBB dengan meluncurkan program yang diberi nama Nuklir Natanz untuk pengayaan Uranium. Dan Iran sendiri telah mengembangkan penelitian yang sudah berlangsung sekitar 2 tahun pada saat itu.

Menghadapi hal tersebut pemerintah Iran terus melakukan langkah ofensif dengan sejumlah pernyataan yang mengancam akan menngurangi pasokan minyaknya ke Eropa dan Amerika apabila negara tersebut benar-benar di invasi. Dan OPEC sendiri sangat mengkhawatirkan langkah Iran yang akan mengurangi pasokan, karena akan membuat cadangan minyak dunia terancam dan akan membuat harga minyak naik serta menekan laju pertumbuhan.

Kini, dunia kembali dihadapkan dengan masalah geo politik Iran yang berpotensi membuat banyak negara terjebak dalam krisis yang berkepanjangan. Permasalahan tersebut juga membuat banyak negara seperti Indonesia yang kedodoran menghadapi tingginya laju kenaikan harga minyak. Bahkan pemerintah memperingatkan untuk tidak meributkan masalah kenaikan harga minyak dengan tetap mencari solusi dalam menghadapinya.

Tidak jauh berbeda dengan Amerika. Negeri paman sam tersebut juga direpotkan dengan semakin mahalnya harga minyak, menurunnya pasokan minyak dalam negeri yang turut diperparah dengan memburuknya data-data perekonomian Amerika.

Kondisi tersebut juga menimbulkan ekspektasi dimana Bank Sentral ragu untuk kembali menaikan suku bunga. Hal tersebut nantinya akan berdampak pada semakin terpuruknya mata uang US Dolar meskipun sempat menguat di akhir pekan ini. Dan akan membuat harga minyak naik lebih tinggi lagi.

Meskipun harga minyak sempat turun di minggu kemarin, namun penurunan tersebut tidak lebih karena aksi profit taking (ambil untung) para pelaku pasar. Penurunan harga minyak tersebut juga membuat harga emas turun cukup signifikan. Dan turut diiringi dengan penguatan nilai tukar US Dolar terhadap mata uang dunia terutama Euro.

Selain itu, penguatan US Dolar juga didorong oleh dirilisnya data Non Farm Payroll, yang tidak seburuk dengan perkiraan sebelumnya. Sehingga memberikan sedikit angin segar bagi perdagangan US Dolar. Meski demikian di Amerika telah terjadi penurunan penyerapan tenaga kerja selama semester pertama tahun 2008. Dan hal tersebut akan tetap menjadi sentimen negatif bagi US$ dalam jangka panjang.

Dengan adanya kejutan-kejutan baru seperti masalah geo politik Iran, perekonomian Amerika juga akan berfluktuasi cukup tajam. Sehingga belum mampu memberikan kepastian akan kebijakan apa yang akan di ambil pemerintah AS dalam menghadapi permasalahan ke depan. Penyelesaian masalah Iran yang nantinya berujung pada Invasi akan memberikan tekanan lain di pasar keuangan dan saham sehingga tetap menyisahkan efek negatif dari aksi tersebut.

Langkah pemerintah Iran dalam menghadapi tekanan internasional akan berimplikasi langsung terhadap pergerakan harga minyak dunia, US$ maupun emas. Isu yang berkembang saat ini sangat mudah digunakan oleh para spekulan untuk meraup keuntungan. Sehingga tidak hanya dipengaruhi oleh demand and supply, kenaikan harga komoditas (dalam waktu dekat) seperti minyak juga akan bergantung pada kebijakan yang arif dari para stakeholders, politik dan para spekulan yang tidak bertanggung jawab.