Sunday, October 12, 2008

Psikologis Pasar Menghadapi Krisis

Medan Bisnis, 13 oktober 2008

Indeks Bursa Amerika Dow Jones sempat turun di bawah level 8000, akibat guncangan krisis finansial meskipun dana talangan $700 Milyar telah disuntikan guna menyelamatkan dunia perbankan. Kepanikan di sektor keuangan sepertinya telah merambah ke negara lain yang notabene mempunyai fundamental perekonomian yang lebih baik dari Amerika seperti Indonesia.

Otoritas bursa di Indonesia harus menutup sementara aktifitas perdagangan di lantai bursa karena khawatir akan terjadi penurunan yang lebih parah seperti indeks bursa dow jones di Amerika. Keputusan tersebut memang baik, guna memberi waktu kepada pemerintah untuk memberikan solusi serta mengetahui langkah konkrit apa yang akan dilakukan pemerintah dalam mengatasi gejolak pasar.

Buy back saham BUMN. Sekilas seperti aji mumpung atau kesempatan yang dimanfaatkan untuk membeli saham BUMN karena harganya juga lebih murah pada saat ini. Namun, bila dilihat lebih jauh langkah pemerintah tersebut lebih dari hanya sekedar membeli kembali. Akan tetapi merupakan ajakan bersama untuk kembali masuk ke lantai bursa, serta memberikan keyakinan kepada pasar bahwa pemerintah sendiri masih mempunyai keyakinan terhadap lantai bursa indonesia.

Dana yang dikeluarkan pemerintah juga cukup besar untuk masuk ke lantai bursa, sekitar Rp. 10 Trilyun. Namun pertanyaan yang muncul adalah efektifkah langkah pemerintah tersebut?. Pengalaman negeri paman sam yang mengucurkan dana ratusan milyar $ dalam menghadapi krisis dinilai kurang efektif. Tapi tentu kondisinya kan berbeda, bukankah langkah pemerintah AS tersebut ditopang dengan sektor riil AS yang amburadul. Sehingga masih tetap memberikan optimisme bagi pemerintah Indonesia untuk melakukan langkah konkrit seperti yang telah diwacanakan dalam minggu ini. Karena fundamental ekonomi Indonesia saat ini jauh lebih baik dibandingkan tahun 1998 maupun Amerika sendiri.

Memang pada saat ini, fundamental perekonomian tidaklah cukup untuk meyakinkan pasar yang terlanjur panik terlebih dahulu. Kebijakan nyata serta keberpihakan ke pasar mutlak diperlukan, bila perlu bailout serupa juga diterapkan di negeri ini. Kepanikan akan memunculkan rasa tidak percaya pada dunia finansial seperti perbankan. Selain itu, panik secara psikologis juga berdampak pada pembetukan opini bersama serta mengabaikan kondisi riil yang seharusnya menjadi pertimbangan.

Kondisi panik, walaupun hanya sesaat akan berdampak pada pemulihan kondisi pasar yang cukup lama atau bahkan bisa membuat pasar terjerumus kedalam depresi dan bisa berujung pada krisis moneter. Tuntutan agar pelaku pasar berpikir logis juga sulit untuk diterapkan apabila “penyakit” panik masih mewabah dikalangan pelaku pasar. Dan apa yang bisa membuat banyak orang dan pelaku pasar kembali tenang dan tidak panik?. Bigung menjawabnya. Terkadang muncul gagasan bahwa Nasionalisme mutlak diperlukan.

Gerakan cinta Rupiah dan produk dalam negeri harus benar-benar diterjemahkan menjadi langkah, pola dan tingkah laku sehari-hari. Kalau sebelumnya kita beranggapan Amerika adalah negara dengan adidaya ekonomi menjadi kiblat perekonomian dunia. Bukankah saat ini perekonomainnya sedang terpuruk dan keadidayaannya dipertanyakan. Masihkah kita berkiblat ke mereka?. Penulis berharap kita semua bisa mengambil sisi positif dari perekonomian Amerika serta meninggalkan sisi negatif yang memang tidak harus kita miliki.

Negeri yang memiliki 240 Juta penduduk ini selayaknya mampu menghadapi krisis secara mandiri tanpa bantuan pihak asing seperti yang dilakukan pemerintah di era soeharto menghadapi krisis tahun 1997-1998 dengan meminta bantuan IMF. Banyak kalangan menilai bahwa krisis yang diawali di AS memberikan peluang untuk mengembalikan kepercayaan terhadap produk-produk dalam negeri serta berkontribusi positif untuk tidak ikut-ikutan panik seperti yang terjadi di Amerika.

Ketahuilah bahwa krisis finansial bukan bermula dari negeri ini. Namun, hanya merupakan efek global karena negara kaya yang mengendalikan ¼ PDB dunia sedang menjadi pesakitan. Meskipun tetap memberikan efek negatif, tidak akan separah seperti apa yang ditakutkan oleh mereka yang saat ini sedang ikut-ikutan panik.

Pada hari senin ini, pemerintah direncanakan untuk kembali membuka bursa saham yang telah ditutup sebelumnya selama 3 hari. Kembalilah dengan keyakinan karena memang tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Kalau ada yang bilang portofolio di lantai bursa lebih dari 50% dimiliki asing yang sedang kolaps, namun bukankah portofolio tersebut memberikan kesempatan kepada pelaku pasar domestik untuk membelinya. Kalau sudah begitu tentunya bursa akan tetap aman. Dalam menghadapi krisis, maka berbuatlah untuk negeri ini dengan tidak menjadikannya sebagai tempat hanya untuk mencari uang semata, namun jadikanlah diri kita sebagai Ibu untuk negeri yang kita cintai ini.

Sunday, October 05, 2008

Versi Penyelamatan Krisis Finansial

Medan Bisnis, 06 Oktober 2008
Langkah penyelamatan krisis finansial secara besar-besaran melalui bailout yang dilakukan pemerintah AS, telah menjadi pelajaran bagi Negara lain untuk melakukan langkah penyelamatan krisis finansial yang terjadi di Negara masing-masing. Krisis finansial tersebut juga sebenarnya diawali dengan “demam” yang mewabah di perekonomian AS.

Kucuran dana sebesar $700 Milyar yang disetujui oleh pemerintah AS ternyata tidak akan ditiru oleh Negara lain dalam menyikapi krisis yang terjadi dinegaranya masing-masing. Seperti langkah yang dilakukan pemerintah di zona eropa. Mereka menyatakan tidak akan membentuk dana penyelamatan namun akan memberikan kelonggaran kebijakan di pasar finansial eropa.

Pertemuan yang dilakukan di paris tersebut diwakili oleh beberapa Negara eropa seperti Jerman, Perancis, Luxembourg, Italia dan Britain. Dalam pertemuannya tersebut mereka menekankan pentingnya proses penyelesaian masalah dengan cara yang sesuai dengan masalah yang dihadapi oleh masing-masing Negara.

Hal senada juga dikemukakan oleh presiden Perancis Nicolas Sarkozy yang menyatakan bahwa setiap Negara akan menyelesaikan masalah sesuai dengan caranya masing-masing yang sesuai dengan tujuan setiap Negara tersebut, namun tetap melakukan koordinasi dengan Negara eropa lainnya.

Dana penyelamatan krisis finansial atau Joint Bailout Fund sebelumnya sempat diisukan akan dilakukan oleh pemerintah dikawasan eropa. Namun, usulan tersebut tidak mendapat dukungan oleh Negara eropa yang melakukan pertemuan tersebut. Namun, sejumlah pemimpin tertinggi setiap Negara tersebut menyetujui paket penyelamatan di sektor kredit.

Seperti yang akan dilakukan di Irlandia, sejumlah petinggi tersebut menyetujui untuk melakukan harmonisasi terhadap setiap tingkatan deposito, Bahkan The U.K. Bank juga telah meningkatkan batas maksimal asuransi untuk setiap orang menjadi 50.000 Pounds dari sebelumnya sebesar 35.000 pounds guna membatasi dana yang mengalir ke Irlandia.

Namun langkah para pemimpin tersebut tentunya tidak akan didukung oleh dunia perbankan, yang sejauh ini masih mengharapkan adanya bailout serupa yang dilakukan pemerintah AS. Dunia perbankan di Eropa sepertinya harus menahan rasa kecewa yang diakibatkan oleh kebijakan tersebut.

Pemerintah Indonesia juga mempunyai sikap yang tak jauh berbeda dalam mengantisipasi krisis finansial yang terjadi. Seperti yang dikemukakan oleh Menneg PPN/Ketua Bappenas Paskah Suzetta. Dimana ada 3 tahapan proses penyelamatan yakni menyelamatkan belanja pemerintah, perluasan jaringan pengaman sosial serta revitalisasi modal ventura.

Dalam implementasinya belanja pemerintah harus lebih ditingkatkan serta merevisi keppres No.80 karena dianggap menjadi penghambat dalam pengadaan barang dan jasa. Dalam perluasan JPS paskah juga mengusulkan untuk dijadikan 6 bulan di tahun 2009, dari hanya selama 3 bulan di tahun 2008 ini. Serta untuk revitalisasi modal ventura, ini merupakan alternatif dari kebijakan suku bunga tinggi serta membutuhkan dukungan dari pemerintah.

Namun, itu masih merupakan usulan dari seorang Menneg PPN, belum merupakan keputusan bersama oleh sejumlah petinggi yang terkait. Sejauh ini penulis menilai kebijakan yang diambil baik yang masih merupakan wacana sekalipun, berupa kebijakan jangka pendek yang terfokus pada penyelamatan krisis keuangan.

Belum merupakan paket kebijakan konkrit untuk menyelamatkan perekonomian dalam jangka panjang. Sudah semestinya pemerintah mampu menciptakan formula untuk memberikan kredit lunak dengan suku bunga rendah serta berperan serius dalam penyaluran kredit UKM. Pengalaman yang lalu mengajarkan kita bahwa UKM lebih tahan terhadap guncangan krisis dibandingkan korporasi besar.