Thursday, February 02, 2012

Lintah Darat Penghambat Pertumbuhan

Medan Bisnis, 28 November 2011
Semakin dekat kita pada akhir tahun 2011. Gambaran akan masa depan yang suram membayangi sejumlah masyarakat yang tinggal di belahan Eropa dan Amerika. Gambaran tersebut juga masih akan menghantui banyak negara lainnya, karena potensi penyebarannya berpeluang menghinggapi negara lain yang memiliki hubungan kuat terhadap lalu lintas barang dan jasa maupun modal.

Tugas rumah pemerintah semakin banyak. Selain untuk menghindari efek negatif dari penyebaran krisis, pemerintah juga diharuskan mampu membuat ekonomi tetap berputar dan mampu mempertahankan laju pertumbuhan saat ini. Tanpa pertumbuhan maupun penciptaan lapangan kerja baru maka kita membuka peluang terjadinya krisis sosial.

Kita dinilai memiliki potensi selamat dari terpaan krisis. Tentunya bila kita melakukan sejumlah kebijakan yang pro dengan pertumbuhan. Sejumlah indikator terlihat bagus di tahun 2011 ini. Ekonomi diperkirakan tetap tumbuh 6.6% hingga akhir tahun, sementara laju inflasi relatif terkendali bahkan kemungkinan besar berada ditarget pemerintah yang paling bawah.

Untuk mempertahankan indikator tersebut di tahun 2012 mendatang. Pemerintah sejauh ini akan melakukan belanja dalam jumlah signifikan. Infrastruktur diperbaiki, Anggaran belanja modal yang signifikan dan tetap berfokus pada peningkatan konsumsi dalam negeri. Dan yang lebih menarik lagi, peningkatan rating utang pemerintah yang diperkirakan akan masuk dalam layak investasi di semester I tahun 2012 mendatang.

Dengan perbaikan dihampir semua sektor yang berpengaruh terhadap ekonomi, serta didorong oleh lembaga pemeringkat internasional yang menaikan rating utang Indonesia. Bukan suatu hal yang mustahil nantinya, disaat eropa dan amerika berada dalam resesi, kita justru menikmati awal dari pertumbuhan ekonomi yang fantastis.

Banyak pengamat yang optimis Indonesia mampu menjadi raksasa ekonomi dunia dalam kurun waktu 15 tahun kedepan. Namun saat ini, langkah tersebut menghadapi hambatan. Hambatan tersebut datang dari Perbankan yang sulit menurunkan bunga pinjamannya. Pertumbuhan ekonomi tidak akan maksimal bila Perbankan tetap memberlakukan kebijakan uang ketatnya. Dan kita bisa saja kehilangan momentum dalam memacu pertumbuhan ekonomi.

Sanksi tegas seharusnya diberikan kepada Bank yang enggan menurunkan bunga pinjamannya. Untuk itu kita semua harus mendukung langkah BI dalam pemberian sanksi terhadap perbankan yang tidak fair. Negara tetangga kita saja mampu memberikan bunga dengan selisih yang sedikit antara bunga simpanan dan pinjaman yang hanya sebesar 3%. Sementara perbankan kita memberikan selisih 6 s.d. 10%. Sangat aneh dan bersifat egois.

Perbankan kita hanya mementingkan penciptaan laba perusahaan dan kurang peduli terhadap proses intermediasinya. Selain itu, pemegang saham perbankan juga turut andil dan bertanggung jawab. Padahal bila kita lihat lebih jauh kedepan, bila ekonomi kita tumbuh maka nantinya juga akan memberikan keuntungan bagi perbankan kita. Ingat industri perbankan sangat bergantung pada siklus ekonomi suatu negara. Bila ekonomi tumbuh maka industri perbankan akan tumbuh lebih baik, dan manakala terjadi krisis pasti perbankan yang pertama kali akan mengalami keterpurukan.

Industri perbankan memiliki nilai beta yang lebih besar terhadap pertumbuhan bila dibandingkan dengan industri lainnya. Sejauh ini, ada beberapa pemicu mengapa Bank gemar mengutamakan laba. Tantiem atau bonus bagi direksi salah satunya. Besarnya tantiem sangat bergantung dari besarnya laba yang mampu diciptakan oleh suatu Bank.

Bayangkan bila tantiem sebesar 3% dari keuntungan Bank yang sebesar 5 – 10 Trilyun, dibagikan kepada direktur Bank tersebut. Pastinya mereka senang, padahal apa sih manfaatnya, bila masyarakat Indonesia tidak mampu meningkatkan daya belinya, yang sebenarnya bisa ditingkatkan bila Perbankan kita melakukan intermediasinya secara maksimal.

No comments: