Friday, February 10, 2012

Model Ekonomi yang Tepat untuk Indonesia

Indonesia kembali mendapatkan hadiah dari lembaga pemeringkat Moody’s sebagai negara yang masuk dalam layak investasi. Layak investasi tersebut sepertinya akan Indonesia dapatkan lagi dari lembaga pemeringkat Standard & Poor’s, mudah-mudahan dalam waktu dekat ini (semester I 2012). Peringkat tersebut nantinya menjadi kesempatan bagi korporasi untuk meminjam dana dengan biaya murah.

Namun, kira-kira apa ya manfaatnya layak investasi bagi masyarakat
miskin? Apakah mereka benar-benar mengerti bahwa layak investasi bisa
diterjemahkan kepada meningkatnya lapangan kerja, sembako murah atau
sarana pendidikan yang terjangkau? Jawabannya bisa.

Hanya memerlukan kemauan dari pemangku jabatan agar lebih serius dalam beberapa hal seperti sumber pendanaan murah, subsidi yang tepat, serta kebijakan maupun perlindungan terhadap permasalahan yang terkait dengan investasi.

Bila rakyat miskin sangat bergantung pada Kredit Usaha Rakyat (KUR). Maka sejauh ini peran dari lembaga penyalur KUR yaitu perbankan menurut versi pemerintah dinilai telah berhasil.
Namun, tidak sedikit yang mengeluhkan sulitnya mendapat KUR karena harus dibarengi dengan jaminan. Kalaupun tanpa jaminan, kredit yang digelontorkan tidak dalam jumlah signifikan, sehingga membatasi kemampuan seseorang yang mungkin memiliki pengelolaan sumber dana yang lebih baik bila dibandingkan dengan kondisi ekonominya saat ini.

Namun, langkah-langkah pemerintah dalam menciptakan pengusaha baru juga perlu diacungi jempol. Salah satunya menggaet mahasiswa/ mahasiswi untuk turut mengembangkan potensi wirausahanya.

Akan tetapi, bagaimana dengan mereka yang sudah terlanjur tidak sekolah namun memiliki kemampuan untuk menjadi entrepreneur tanpa memiliki kemampuan finansial? Nah, disitu peran perbankan yang lebih dikedepankan oleh pemerintah. Padahal, banyak dari mereka di golongan tersebut yang justru tidak melek dunia perbankan sama sekali.

Sehingga kesimpulannya pemerintah masih belum optimal dalam menciptakan lapangan kerja baru dengan cara menumbuhkan entrepreneur barunya.

Kondisi tersebut diperparah dengan memburuknya kondisi perbankan yang enggan menurunkan suku bunga pinjaman kendati BI Rate sudah bergerak turun. Lagi-lagi pemerintah kedodoran mengatur strateginya untuk menyediakan pembiayaan murah bagi masyarakatnya.

Satu lagi, sistem ekonomi kita yang liberal turut menjadi biang keladi bagi sulitnya produk-produk pertanian maupun produk lokal lainnya agar bersaing di pasar internasional. Sektor pertanian kita yang masih rapuh harus dihadapkan dengan liberalisasi pasar dan dipaksa bersaing dengan produk dari luar yang banyak di subsidi oleh pemerintahnya.

Kebijakan pangan selama ini sepertinya masih menjadi macan kertas. Karena kebutuhan akan bahan makanan pokok seperti Beras kadang kala harus kita beli dari negara lain. Padahal sebenarnya kita mampu menjadi negara yang bisa memenuhi kebutuhan negara lainnya. Pemerintah seharusnya paham akan hal ini.

Bukan karena kita salah dalam menentukan idiologi ekonomi. Namun kita kerap lalai dalam melaksanakan pembangunan yang sesuai dengan idiologi yang kita tanamkan. Ekonomi Pancasila begitu kita menyebutnya untuk model ekonomi Indonesia maupun sebagai sebuah idiologi ekonomi. Idiologi bisa tidak berarti apa apa, karena sangat bergantung pada pemangku kebijakan sebagai pelaksana idiologi tersebut.

Layaknya agama yang memiliki aturannya masing masing. Namun, tidak akan bermakna apa apa bila seseorang yang menganut agama tersebut justru melakukan banyak pelanggaran dan berlumuran dosa.

Yang dibutuhkan untuk menciptakan entrepreneur adalah keberpihakan dalam semua sisi. Tidak perlu bergantung pada model ekonomi, tapi model ekonomi akan terbentuk dengan sendirinya bergantung dari apa yang kita lakukan.

No comments: