Wednesday, February 01, 2012

Mungkinkah Amerika Serikat Bangkrut?

Medan Bisnis, 11 Juli 2011
Bursa di eropa akhir-akhir ini menjadi fokus utama selain data ketenagakerjaan AS yang dirilis mengecewakan. Banyak Negara di Eropa yang terancam default. Sehingga penurunan rating Negara-negara eropa menjadi fokus perhatian pasar bahkan menjadi salah satu acuan dalam pengambilan keputusan berinvestasi. Namun sebenarnya bagaimana dengan Ekonomi AS itu sendiri. Mana yang harus lebih kita khawatirkan AS atau Eropa.

Amerika merupakan Negara besar yang sering meminjamkan uang (kreditor) bagi Negara belahan dunia lainnya di era tahun 1970-an. Perlahan peran AS berubah menjadi Negara peminjam (debitur) di era tahun 1980-an. Dan pada saat ini Amerika telah berubah menjadi Negara dengan hutang terbesar dari Negara lain di Dunia. Era 1990-an merupakan dimulainya masa dimana AS beralih menjadi Negara debitur terbesar di Bumi ini.

Hutang Amerika yang terus merangsek naik membuat Amerika dilanda krisis yang belum berkesudahan hingga saat ini. Total hutang AS mencapai lebih dari $14 Trilyun. Jika dibagi dengan jumlah penduduk AS maka setiap orang berhutang sekitar $46.000 atau sekitar Rp. 391 Juta bila dikalikan dengan kurs Rp. 8.500/$. Rasio hutang luar negeri AS terhadap PDB-nya telah mencapai 100% lebih.

Menurut sumber www.usdebtclock.org. Bila dibandingkan dengan eropa seperti Irlandia, Portugal, Italia, German dan Spanyol. Maka rasio hutang AS relatif lebih kecil. Karena Negara eropa tersebut memiliki rasio hutang luar negeri di atas 125%, bahkan Irlandia memiliki rasio diatas 1000% saat ini. Itu sebabnya kenapa rating hutang di Negara eropa diturunkan dan masuk dalam kategori sampah atau “junk”.

Bila melihat cara Amerika dalam menyelesaikan krisis. Amerika lebih memilih untuk mencetak uang sebanyak-banyaknya serta membiarkan US Dolar terdevaluasi (melemah) secara tajam. Mencetak uang berarti memicu konsumsi dan berimbas pada tingginya laju inflasi. Sementara semakin banyak uang beredar maka semakin murah nilai suatu mata uang.

Itulah kenapa akhir-akhir ini AS menggunakan program Quantitative Easing dalam memerangi krisis. Sehingga wajar jika Amerika serikat melanjutkan program tersebut guna memerangi krisis nantinya. US Dolar yang terdevaluasi nantinya akan memberikan keuntungan bagi transaksi berjalan AS. Dengan US Dolar yang melemah diharapkan Ekonomi AS dapat lebih bertahan karena akan menciptakan suatu perubahan permintaan Barang dan Jasa.

Dengan kata lain ekspor AS diharapakan akan meningkat manakala US$ melemah. Hanya saja bila melihat nilai tukar mata uang China Yuan yang tak kunjung menguat, maka konsentrasi pelemahan US$ akan mengalami hambatan bila Yuan justru juga melemah terhadap US Dolar. Maka defisit transaksi antara China dan Amerika akan lebih menguntungkan buat China. Sulit untuk mengatakan bahwa pemulihan ekonomi global berjalan sesuai dengan yang diharapkan.

Semakin banyak uang yang di cetak, maka semakin murah harganya bila dibandingkan dengan logam mulia seperti Emas. Oleh karena itu, semakin sering AS mengeluarkan kebijakan quantitative easing, maka emas harus menjadi pilihan dalam menyelamatkan asset kekayaan kita. Wajar bila logam mulia tersebut terus mengalami kenaikan harga akhir-akhir ini.

Meski demikian, penulis tetap berkeyakinan bahwa AS masih memiliki kesempatan atau bahkan pulih total di masa yang akan datang. Mata uang US$ masih menjadi mata uang yang digunakan dalam lalu lintas perdagangan di seluruh Negara di dunia. Pulih merupakan pilihan mutlak bagi pemerintah AS. Meskipun saat ini AS di hadapkan kepada dua pilihan melunasi hutang atau default.

No comments: