Monday, February 20, 2012

Paradigma Baru Perbankan Kita

Medan Bisnis, 20 Februari 2012
Kita tentunya telah mengetahui bahwa pasar dengan tingkat persaingan sempurna dimana permintaan akan suatu barang dipengaruhi oleh Demand and Supply. Sepertinya teori tersebut tidak berlaku bagi industri perbankan kita yang justru tetap hidup dengan menikmati tingginya perbedaan selisih bunga kredit dan pinjaman kendati tren Inflasi yang menjadi tolak ukur suku bunga bergerak turun.

Perbankan di Indonesia terus berlomba menggaet nasabah baru dengan menawarkan imbal hasil simpanan yang melebihi BI Rate atau diatas bunga pinjamanan yang ditetapkan oleh LPS (Lembaga Penjamin Simpanan). Bila mengacu pada data yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, memang benar posisi simpanan masyarakat dalam bentuk deposito lebih besar dari tabungan maupun Giro.

Hal ini jelas menunjukan bahwa Masyarakat kita lebih banyak menabung dalam bentuk Deposito karena memang memberikan Imbal hasil yang lebih tinggi dari pada tabungan. Bisa juga dikarenakan untuk memiliki bentuk tabungan dalam deposito tidak dibutuhkan lagi dana yang besar. Dengan 5 Juta kita sudah memiliki simpanan yang memberikan keuntungan setara deposito. Atau dengan cicilan simpanan sebesar ratusan ribu setiap bulan, kita juga bisa menikmati bunga simpanan sekelas deposito.

Bila perbankan enggan menurunkan bunga pinjaman dengan alasan nabasah “menyandera” bunga simpanan. Maka kesimpulan yang dapat ditarik adalah hanya nasabah yang memiliki simpanan besar yang memiliki posisi tawar terhadap bunga simpanan tersebut. Yang pasti jumlah orangnya lebih sedikit bila dibandingkan dengan nasabah yang menyimpan dalam bentuk tabungan maupun deposito dengan nominal yang tidak terlalu besar.

Disisi lain, para pengusaha terus mengkritik perbankan kita yang secara terus menerus memohon agar bunga pinjaman (kredit) diturunkan. Lagi-lagi, nasabah debitur yang meminjam dalam jumlah besar (seperti korporasi) memiliki posisi tawar bunga pinjaman (lebih murah) bila dibandingkan dengan masyarakat yang meminjam untuk kebutuhan kredit sepeda motor atau kredit usaha yang nominalnya kecil.

Sebagai gambaran, kita asumsikan perbankan kita memberikan fasilitas pinjaman kredit yang sama besar porsinya, baik itu kredit konsumsi, korporasi, komersial maupun KPR. Dan dana pihak ketiga di perbankan kita juga memiliki porsi yang sama untuk Tabungan dan Deposito.

Bila Perbankan memberikan bunga untuk tabungan sebesar 2% dan deposito 6.5%. Sementara Perbankan kita menawarkan bunga pinjaman 9% (untuk pinjaman besar) dan 12% (untuk pinjaman konsumsi maupun kredit dengan nominal kecil), dan bila bank tersebut ingin mendapatkan keuntungan maksimal, maka dana yang disimpan dalam bentuk tabungan akan digunakan untuk menyediakan pembiayaan bagi debitur besar (korporasi besar). Dengan mengasumsikan bahwa perputaran uang dalam bentuk simpanan tabungan tetap.

Siapa saja yang menyimpan uangnya dalam bentuk tabungan?. Pastinya didominasi oleh nasabah yang memiliki perputaran uang yang cepat (kurang dari 1 bulan) serta mereka yang tidak memiliki uang yang cukup untuk disimpan dalam bentuk deposito (biasanya masyarakat menengah bawah). Mereka inilah yang memberikan subsidi bunga kepada nasabah Bank (debitur) yang besar.

Selain itu, Perbankan kita tentunya akan menggenjot laba dengan terus mencari nasabah yang membutuhkan kredit konsumsi dan meningkatkan sumber pengumpulan dana murah (tabungan). Dan fakta tersebut terjadi saat ini, dimana kredit konsumsi di Indonesia mengalami pertumbuhan yang sangat pesat dan jumlahnya melebihi kredit yang diberikan perbankan dalam bentuk lainnya.

Pertumbuhan kredit yang tinggi seharusnya tidak dijadikan sebagai alasan mengapa perbankan kita enggan menurunkan bunga pinjaman. Kalaupun BI Rate turun, respon terhadap penurunan bunga simpanan lebih cepat dibandingkan dengan bunga pinjaman. Persaingan antar Bank di Indonesia sepertinya tidak menciptakan biaya yang murah yang pro pertumbuhan.

Padahal bila Perbankan kita memiliki paradigma yang baru. Dimana bunga simpanan diturunkan seiring dengan melemahnya laju tekanan inflasi, bunga pinjaman juga diturunkan dan selisih antara simpanan dan pinjaman diminimalisirkan dan biaya dana juga diturunkan seoptimal mungkin. Maka dampak multipliernya adalah pertumbuhan yang tinggi dan masyarakat memiliki daya beli yang mumpuni. Yang nantinya akan membuat laju perputaran uang semakin besar di perbankan kita, dan tentunya memberikan kesempatan bagi Bank kita untuk mendapatkan keuntungan.

Oleh karena itu, Bank Indonesia diharapkan mampu menciptakan regulasi yang mumpuni untuk mengatur industri perbankan kita. Paradigma Bankir kita seharusnya juga bisa di ubah dan ditekankan pentingnya penciptaan lapangan kerja yang bertujuan menciptakan fundamental ekonomi yang kuat dari hanya sekedar mengejar keuntungan.

No comments: