Wednesday, February 01, 2012

Seberapa Kuat Kita Menghadapi Krisis?

Medan Bisnis, 31 Oktober 2011
Pemerintah sepertinya mulai merasakan dampak krisis Eropa yang sudah dirasakan di pasar keuangan dan sepertinya mulai berpengaruh terhadap perekonomian secara menyeluruh menjelang tahun 2012 yang hanya tinggal 2 bulan lagi. Meningkatnya ancaman resiko dari krisis di Eropa diyakini belum akan berakhir dalam kurun waktu singkat.

Masalah fiskal, perbankan, likuiditas dan politik asih akan mengkhawatirkan dan tentunya hal tersebut sangat bergantung pada upaya Negara anggota Eropa untuk dalam melakukan penyelamatan. Program austerity yang diusulkan pemerintah Yunani yang meliputi kenaikan pajak, pemotongan gaji dan pensiun, pengurangan pegawai negeri sebanyak 30 ribu serta mengurangi posisi tawar labor union dalam penggajian sudah disetujui parlemen-nya, sehingga bantuan sebesar EUR 8 miliar sudah cair dimana EUR 5.8 miliar akan digunakan untuk membayar hutang yang jatuh tempo.

Meski demikian, Yunani masih akan terlilit masalah ekonomi dan masih akan sulit untuk keluar dari resesi. Dengan adanya austerity program, hal tersebut tentunya membuat masyarakat Yunani mulai merasakan kemiskinan yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya. Pemerintah Jerman yang menyatakan bahwa penyelesaian masalah hutang masih membutuhkan waktu hingga tahun depan menyisahkan masalah bagi pasar yang nantinya masih akan cenderung bergerak liar.

Pelaku pasar juga terus mewaspadai kemungkinan akan diturunkannya peringkat hutang Perancis oleh S&P (Standard And Poor’s), setelah sebelumnya peringkat utang Itaia dan Spanyol yang telah diturunkan satu level. Alasannya rekapitalisasi bank dan pembiayaan defisit anggaran yang makin membengkak akan menyebabkan hutangnya menggelembung dalam waktu dekat ini.

Secara keseluruhan indikator makroekonomi Eropa masih menunjukkan kondisi yang belum membaik. Leading economic index pada bulan September kembali menurun, sehingga indeks tersebut sudah turun 6 bulan berturut-turut dan makin menguatkan perkiraan bahwa Euro diambang resesi. Dengan demikian Eropa akan memasuki resesi. Penyelesaian hutang Eropa belum dapat dilakukan segera, namun masih akan dicari jalan hingga tahun depan. Ini berarti kedepan sentimen positif dan negatif akan silih berganti, dan akan membuat volatilitas di pasar cukup tinggi.

Selain dari Eropa, Amerika juga masih mengalami pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan melambat. Housing starts di AS pada bulan September naik 15% menjadi 658.000, melampaui prediksi para ekonom. Pada saat yang sama laju inflasi pada bulan September turun ke 0.3% MoM dari 0.4% pada bulan sebelumnya. Hal ini sejalan dengan perkiraan Fed yang mengatakan bahwa harga tidak lagi menjadi kekhawatiran mereka dan daya beli masyarakat akan kembali membaik pada triwulan ke-4 dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.

Walaupun para ekonom juga meyakini bahwa pertumbuhan ekonomi Amerika akan lebih baik daripada triwulan ke-2. Namun leading economic index hanya tumbuh 0.2% dalam sebulan terakhir pada bulan September setelah pada bulan sebelumnya tumbuh 0.3% yang mengindikasikan pertumbuhan yang melambat dalam 3-6 bulan mendatang. Hal ini juga sejalan dengan hasil survey Fed dimana pertumbuhan ekonomi di beberapa daerah AS sudah melambat.

Sementara itu Pemerintah RI juga akan menghadapi msalah yang tidak jauh berbeda, walaupun ketidak pastian ekonomi tersebut datang dari Negara lain (eksternal). Beberapa tantangan yang akan dihadapi adalah terkoreksinya harga surat utang Negara maupun obligasi. Timur Tengah juga akan memberikan kontribusi terhadap kian memburuknya ancaman krisis seiring dengan meningkatnya aksi demonstrasi di beberapa Negara di Timur Tengah.

Akan tetapi, laju inflasi yang relatif rendah serta kemungkinan terjadinya deflasi di bulan Oktober ini tentunya tidak akan mengganggu kinerja nilai tukar Rupiah. Tren investasi juga terus mengalami peningkatan baik PMA (Asing) dan PMDN (Dalam Negeri), dimana investasi tumbuh 14.1% dari setahun sebelumnya. Lima negara asal PMA terbesar adalah Singapura (28.4%), AS (9.5%), Belanda (7.6%), Korea Selatan (7.6%) dan Jepang (7.6%). Total presentase ke lima negara tersebut adalah 61%. Negara lain yang sering menanamkan modal cukup besar adalah Hongkng, UK, Germany dan Perancis.

Indonesia harus bisa lebih ekspansif lagi dalam membelanjakan anggaran. Dengan investasi yang tetap tumbuh serta berkemampuan menjaga indikator ekonomi makro, bukan suatu hal yang mustahil kita mampu melewati krisis seperti yang terjadi di tahun 2008 silam.

No comments: