Wednesday, February 01, 2012

Sedia Payung Sebelum Hujan

Medan Bisnis, 4 juli 2011
Dalam sesi perdagangan seminggu kemarin, kita melihat betapa isu dari eropa yang sedang berjibaku melewati krisis mampu menggerakan pasar perdagangan baik mata uang maupun saham secara global. Isu-isu yang berkembang bahkan semua pemberitaan terkait dengan benua biru selalu menjadi fokus perhatian dan menjadi landasan untuk melakukan transaksi jual beli surat berharga.

Ada yang perlu diwaspadai dengan isu yang berkembang akhir-akhir ini. Terlebih jika buruknya ekonomi di Benua biru tersebut ternyata justru mengancam sejumlah Negara di eropa default. Tentunya akan mempengaruhi ekonomi di Asia, khususnya Indonesia. Terlebih Amerika juga dibelit masalah penyelesaian defisit anggaran.

Eropa dan Amerika dalam beberapa hari terakhir mengalami kebuntuan-kebuntuan seperti yang banyak dibicarakan akhir-akhir ini. Senat AS mengalami kebuntuan untuk menyelesaikan krisis defisit anggaran terkait apakah menaikan pajak atau menaikan limit pinjaman terkait dengan batas hutang AS yang jatuh tempo.

Sementara krisis yang menjangkiti Eropa secara bergantian menular ke Negara eropa lainnya dan terus menerus membuat sejumlah Negara di Eropa terancam default. Laju pertumbuhan ekonomi di Eropa yang melambat nantinya akan berdampak pada perlambatan pertumbuhan di sejumlah Negara Asia. Meskipun negara di Asia saat ini memiliki fundamental Ekonomi yang lebih kuat dibandingkan dengan Amerika dan Eropa.

Tapi tidak bisa dipungkiri bahwa Asia juga akan mengalami kontraksi bila ekonomi di Benua Biru terus terkikis, termasuk juga Indonesia. Negara di Asia yang berpeluang besar untuk mengalami perlambatan adalah Singapura. Dan tentunya sangat bergantung dengan nilai ekspor Negara di Asia ke Eropa. Semakin besar ketergantungan ekspor suatu Negara terhadap Eropa maka semakin besar pula peluang menyusutnya ekonomi Negara tersebut.

Banyak yang menilai Indonesia tidak akan terimbas krisis yang terjadi di Eropa. Selain Indonesia, China diperkirakan juga memiliki fundamental yang baik karena hanya 3% dari total nilai ekspor China yang masuk ke pasar Eropa. Sehingga selain Indonesia, China dinilai tidak akan terkena dampak krisis di Eropa.

Capital Inflows (dana yang masuk) ke Indonesia akhir-akhir ini mengalami pertumbuhan yang signifikan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pasar keuangan kita masih dibanjiri dana-dana asing. Nilai tukar rupiah juga terus menguat dan saat ini cadangan devisa kita dinilai lebih dari cukup untuk pembiayaan impor 7 bulan kedepan.

Rupiah bahkan bisa saja menguat lagi bila dibiarkan sesuai dengan mekanisme pasar.
Setidaknya begitulah kesimpulan dari tatap muka antara penulis dengan Bank Indonesia beberapa waktu lalu. Hal tersebut tentunya menindikasikan betapa besarnya aliran dana yang masuk sehingga memungkinkan BI untuk melakukan intervensi dalam menjaga kestabilan nilai tukar Rupiah.

Meski demikian ada hal yang perlu diwaspadai, seperti membesarnya porsi hutang Indonesia, Baik utang swasta maupun pemerintah. Tren penguatan nilai tukar Rupiah, rencana kenaikan peringkat hutang Indonesia serta rencana pemangkasan peringkat Hutang di sejumlah Negara Eropa membuat Indonesia memiliki kesempatan yang lebih besar untuk terus berhutang.

Krisis di Eropa dan Amerika sepertinya memberikan berkah bagi pasar keuangan kita. Walau demikian, setidaknya kita waspada terhadap tren penguatan nilai tukar akhir-akhir ini. Terlebih lagi bila tren kenaikan hutang luar negeri kita justru didominasi oleh hutang jangka panjang, dimana jatuh temponya sangat lama.

Siklus ekonomi yang terjadi di Eropa dan Amerika seharusnya akan berbalik dalam tempo hingga 3 sampai 5 tahun kedepan. Bayangkan bila ada hutang yang belum jatuh tempo sementara Eropa dan Amerika memasuki masa pemulihan, dan nilai tukar rupiah kembali tertekan karena adanya pembalikan modal. Jangan sampai krisis itu ternyata menular ke Indonesia nantinya.

No comments: