Medan Bisnis, 9 Juli 2012
Seperti suatu hal yang
umumnya terjadi saat menjelang Ramadhan dan Idul Fitri, dimana akan ada selalu
kenaikan harga barang. Rutinitas yang tak pernah lekang dari pola konsumsi
masyarakat kita yang lebih menekankan pada konsumsi yang berlebihan dalam
perayaan yang semestinya tidak perlu dilakukan dengan cara yang lebay. Perayaan
tersebut jelas melahirkan sebuah penyakit yang dapat dilihat dengan kasat mata
bernama Inflasi.
Namun, masyarakat kita
masih menilai wajar akan aktifitas seperti ini. Bagaikan sebuah Ideologi,
konsumsi menjelang peryaaan keagamaan bagaikan sebuah budaya yang tak akan
pernah hilang dari pola konsumsi masyarakat kita. Untuk memecahkan masalah
tersebut sepertinya pemerintah tidak punya jalan lain kecuali mengendalikan
harga agar dapat terus dikendalikan.
Sementara itu, pola
konsumsi masyarakat yang jelas-jelas menjadi masalah yang pokok (fundamental)
membuat pemerintah tidak berdaya menghadapinya. Pola konsumsi musiman seperti
saat ini jelas sekali akan memberikan kesempatan kepada spekulan untuk
mempermainkan harga. Masyarakat akan dengan sangat mudah diprovokasi dengan
alasan apapun oleh pedagang nakal sehingga harga barang bergerak naik.
Inflasi juga akan
menjadi masalah bagi Perbankan nasional, karena inflasi yang tinggi identik
dengan suku bunga yang tinggi. Bila Pak Amir (nama samaran) adalah seorang
kepala keluarga yang menghabiskan uang belanja sebesar Rp. 2 Juta rupiah
perbulan di hari-hari biasa. Sedangkan Pak Amir harus mengumpulkan uang yang
lebih banyak lagi menjelang Ramadhan dan Idul Fitri.
Uang yang banyak
tersbut akan digunakan oleh Pak Amir untuk berbelanja kebutuhan makanan,
pakaian dan banyak lagi. Asumsikan di bulan Ramadhan dan Idul Fitri Pak Amir
membutuhkan uang sebesar Rp.3 Juta s.d. Rp.4 Juta. Bayangkan saja bila ada 50
Juta kepala keluarga yang juga membutuhkan uang yang sama banyaknya. Maka uang
yang beredar di masyarakat akan bertambah banyak dan Inflasi juga akan
merangkak naik.
Sejauh ini, di Indonesia terjadi kenaikan inflasi 5%
s.d. 7% setiap tahunnya. Artinya dalam satu tahun harga barang itu naik 5% s.d.
7%. Misalkan sepanjang tahun 2011 terjadi kenaikan inflasi sebesar 5%. Maka bila
harga Beras di januari tahun 2011 adalah Rp.100.000/karung, maka bisa
diasumsikan bahwa harga beras di bulan desember tahun 2011 adalah
Rp.105.000/karung.
Ibu Ita (fiktif) adalah
seorang penabung di Bank BUMN. Di tahun 2011 Ibu Ita menabung dan mendapatkan
bunga sebesar 5%. Namun karena inflasi di tahun 2012 menjadi 7%. Maka jelas
bunga yang didapat sebesar 5% sudah tidak layak lagi dia dapat, Karena harga
barang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan bunga simpanan yang didapat oleh
Ibu Ita.Agar Ibu Ita tetap mau menabung, maka Bank BUMN tersebut akan menaikkan bunga
simpanannya menjadi 7% (hanya contoh).
Disini jelas sekali
bahwa Bunga Bank akan naik bila Inflasi juga naik. Dengan demikian Bunga Kredit
juga akan mengalami kenaikan yang serupa. Kita misalkan saja bunga kredit
menjadi 13% disaat Bunga Simpanan Bank dinaikan menjadi 7%. Bandingkan dengan Jepang
yang memiliki laju Inflasi yang relatif rendah bahkan negatif. Dalam setahun
Inflasi di Jepang kita asumsikan saja berkisar 1% per tahun.
Kita asumsikan saja
bunga tabungan juga berkisar di angka yang sama yaitu 1% per tahun. Dan bunga kredit
kita misalkan saja di angka 2% per tahun. Jauh berbeda dengan bunga kredit di
Indonesia yang sebesar 13% per tahun. Bila ada seorang warna negara Jepang yang
meminjam uang di Bank yang ada di Jepang, dia dikenakan bunga kredit sebesar 2%
per tahun.
Maka masuk akal bila dia (warga Jepang) bisa saja menyimpan uangnya dalam bentuk tabungan di Indonesia dengan bunga 7%. Kita dibuat bagai “sapi perah”. Begitulah ilustrasi yang mungkin terjadi. Bersifat boros memberikan ‘kutukan” bagi kita semua. Dan masih banyak lagi dampak negatif yang bahkan dapat kita rasakan saat ini. Agama secara jelas menyatakan bahwa boros itu merupakan tindakan setan. Namun apa daya, kemurnian ajaran agama pun seolah tidak mampu membendung hawa nafsu manusia saat ini.