Wednesday, October 03, 2007

Ekuilibrium Pasar Finansial

Medan Bisnis, 24 September 2007
Diluar ekspektasi, The FED (Bank Sentral Amerika) mengeluarkan kebijakan yang tergolong berani dengan menurunkan besaran suku bunga US Dolar sebesar 50 basis poin menjadi 4.75% pada saat ini. Kebijakan tersebut telah membawa US Dolar melemah terhadap hampir semua mata uang Global, terlebih terhadap mata uang Euro, yang untuk pertama kalinya menembus level psikologis 1.40/US Dolar.

Kebijakan tersebut diambil guna menghindari resesi ekonomi AS yang disebabkan oleh kredit macet yang besar di sektor properti Amerika. Gejolak pasar finansial pada saat ini tentunya akan sangat berfluktuasi secara tajam. Namun, dengan kebijakan The FED tersebut bisa diperkirakan bahwa pergerakan pasar finansial saat ini jelas tidak akan menguntungkan US Dolar walaupun ada sentimen positif dari kenaikan Indeks Bursa Dow Jones.

Penurunan bunga The FED Fund Rate merupakan implikasi dari ketidakseimbangan ekonomi Amerika, sehingga dibutuhkan penurunan suku bunga agar terjadi kesimbangan baru yang mampu menghindari negeri paman sam tersebut dari resesi ekonomi.

Apabila Amerika saat ini tengah melakukan penyesuaian terhadap besaran suku bunganya, maka momen tersebut sejatinya akan diikuti oleh negara lain untuk menyesuaikan kondisi perekonomian negara masing-masing untuk dapat membentuk keseimbangan yang baru. Di Indonesia, penurunan bunga The FED telah membawa IHSG menembus level psikologis 2.300 dan turut diiringi dengan penguatan Rupiah dikisaran level 9.100 dari sebelumnya bertengger di kisaran level 9.400/US Dolar.

Dan apabila penguatan Rupiah secara tajam tidak diikuti dengan langkah pemerintah untuk melakukan intervensi, maka akan melukai kinerja ekspor negeri ini. Pemerintah benar-benar dituntut untuk berpikir secara matang dalam memanfaatkan momentum seperti sekarang ini. Penurunan suku bunga pada waktu yang tepat serta dengan besaran yang tepat pula akan menentukan keseimbangan pasar keuangan domestik.

Terlebih, pada saat ini, penurunan suku bunga federal fund turut dibarengi dengan melonjaknya harga minyak mentah dunia yang telah menembus level $81/Barel. Sejarah menyebutkan bahwa kenaikan harga minyak dunia selalu diiringi dengan tekanan terhadap pergerakan mata uang Rupiah. Sehingga kenaikan harga minyak tersebut menjadi faktor penting dalam pengambilan keputusan penurunan BI Rate nantinya.

Lain lagi dengan realita kenaikan harga sembako akhir-akhir ini. Aksi beli konsumen di bulan Ramadhan ini telah memberikan dampak psikologis bagi kenaikan harga sejumlah barang. Hal ini tentunya akan memicu tingginya inflasi selama bulan Ramadhan ini. Sejauh ini, pemerintah telah mengumumkan bahwa persediaan bahan makanan akan tetap mencukupi hingga lebaran nanti. Jadi, bisa diambil kesimpulan, konsumer habit (aksi beli sembako besar-besaran) menjadi faktor utama tingginya harga bahan makanan pada saat ini.

Ada pengamat yang berpendapat penurunan suku bunga hendaknya dilakukan apabila laju inflasi berada di bawah 1%. Namun, tingginya laju inflasi yang sifatnya hanya terjadi pada saat-saat tertentu haruslah mengacu pada target inflasi pemerintah secara menyeluruh (pertahun). Selama laju inflasi masih berada dalam koridor seperti yang ditargetkan sebelumnya, serta sangat diuntungkan oleh kebijakan suku bunga negara lain seperti sekarang ini, maka tepat kiranya momen penurunan BI Rate.

Akan tetapi ekonomi bukanlah seputar hal mengenai suku bunga saja. Kita tidak mungkin secara terus menerus berkutat pada perbedaan BI Rate dengan The FED maupun negara lain hanya sebagai alasan guna menarik minat investor asing untuk meng-endapkan dananya dinegeri ini.

Permasalahan lain seperti pergerakan sektor riil, rendahnya penyerapan APBD, neraca berjalan, inflasi serta masalah struktural negeri ini merupakan hal yang patut diperhatikan daripada hanya mengeluarkan sebuah kebijakan moneter. Jangan pernah hanya mengandalkan suku bunga dalam menciptakan sebuah ekuilibrium yang baru.

No comments: