Friday, June 15, 2012

Meramal Ekonomi Tahun 2012

Medan Bisnis, 27 Desember 2011
Tanpa terasa kita telah berda di penghujung tahun 2011. Merupakan tahun yang menjadi pertanda kemungkinan memburuknya kondisi perekonomian tahun 2012 mendatang. Di tahun 2011 kita dihadapkan pada memburuknya ekonomi di kawasan Eropa dan Amerika. Parahnya kondisi tersebut kian hari kian memburuk dan akan “diwariskan” ke tahun 2012 mendatang.

Pasar keuangan kita juga ikut mengalami hal yang sama walaupun sektor riil masih menjanjikan dan mampu tetap tumbuh hingga hari ini. Kita memang benar-benar harus mandiri menghadapi perekonomian dunia yang tengah tidak bersahabat. Kondisi tersebut diperkirakan masih akan berlanjut dalam 3 sampai 5 tahun mendatang.

Tugas berat tahun 2012 sudah pasti tidak bisa terelakan. Walaupun sejauh ini kita dinilai masih mampu menghadapi krisis, namun bila salah kebijakan maka bisa saja tahun 2012 menjadi petaka awal bagi perekonomian kita di masa yang akan datang. Sejumlah strategi terus dipersiapkan, mulai dari Jaringan Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) hingga anggaran yang super gede untuk membangun infrastruktur di negeri ini. Selain itu, pemerintah juga terus memperbaiki semua sektor yang dinilai bisa menghambat investasi di negeri ini.

Dengan kondisi seperti yang terjadi saat ini, menarik untuk memprediksi semua kemungkinan ekonomi yang terjadi di tahun 2012 mendatang. Kebiasaan unik ini selalu dilakukan oleh kebanyakan analis yang ditujukan agar membantu kita dalam mengambil keputusan di masa yang akan datang.

Diawali dengan keadaan internal yang menghambat aliran investasi yaitu korupsi. Korupsi itu sama dengan biaya tinggi, investor sejauh ini mengapresiasi proses penyelesaian korupsi yang terjadi di Indonesia. Dengan konsistensi untuk terus mengurangi korupsi, maka kita optimis tahun 2012 mendatang pembasmian korupsi akan terus berjalan dan akan terus meningkatkan kepercayaan investor dan memberikan kenyamanan untuk berinvestasi di Indonesia.

Untuk sejumlah indikator ekonomi makro, di tahun 2012 mendatang ekonomi kita masih sangat atraktif meskipun indikator pertumbuhan Produk Domestik Bruto proyeksinya di turunkan. PDB diperkirkan akan melambat menjadi 6.3% s.d. 6.7% di tahun 2012 mendatang. Yang menarik adalah inflasi yang diperkirakan akan melemah sehingga nilai pertumbuhan PDB akan jauh lebih baik dibandingkan tahun 2011.

Untuk nilai tukar Rupiah sepertinya tidak akan mengalami fluktuasi yang tajam. Rupiah diperkirakan akan tetap stabil seperti tahun 2011 karena di topang oleh membaiknya peringkat utang Indonesia sehingga akan berdampak pada banjirnya likuiditas dan nantinya akan membuat Rupiah bergerak menguat.

Dari sisi eksternal, Ekspor menjadi ancaman serius karena pertumbuhan ekonomi dunia yang terus melambat. Ekspor sangat bergantung pada kebutuhan impor Negara mitra dagang kita. Sejauh ini pasar di Eropa dan Amerika mengalami kontraksi dan menurunkan ekspor kita. Namun, dikarenakan ekspor kita masih berbasis pada ekspor hasil bumi yang memiliki elastisitas yang kecil, besar kemungkinan nilai ekspor kita tidak akan terkoreksi tajam.

Sehingga ekonomi kita diyakini masih akan terus tumbuh kendati ekspor akan mengalami penurunan. Tipikal masyarakat kita yang lebih gemar berbelanja daripada menabung juga akan memberikan nilai tersendiri. Ekonomi kita yang ditopang oleh konsumsi domestik yang tinggi akan menjadi penyelamat bagi ekonomi kita untuk tetap bertahan dari krisis.

Optimis adalah jawaban terhadap ramalan/prediksi ekonomi kita kedepan. Bayangkan bila kita tidak optimis, maka kita tidak akan memiliki alasan yang kuat untuk terus bergerak maju ditengah pesimisme seperti saat ini. Karena masa depan kita akan lebih baik bila berada di tangan orang-orang yang optimis.

Seandainya Piala Eropa di Yunani dan Spanyol

Medan Bisnis, 11 Juni 2012

Perhelatan akbar sepakbola eropa telah menyita dan menjadi fokus perhatian dunia saat ini. Selain karena kita disuguhkan terus pertandingan sepak bola setiap hari, kita diberikan pula pemandangan kontradiktif terhadap kondisi ekonomi Eropa yang tengah dilanda krisis. Perhelatan tersebut seharusnya mampu menjadi pendorong konsumsi masyarakat eropa dan sedikit banyak akan membantu proses pemulihan di Eropa.

Penyelenggara perhelatan akbar tersebut tentunya mendapatkan banyak pemasukan uang dengan menjual tiket, pernak-pernik, hak siar, tingkat hunian hotel dan masih banyak lagi yang bisa diraup dari piala eropa tersebut. Bayangkan tingkat hunian hotel di Ukraina dan Polandia mencapai 100%, dan harga tarif hotel juga meningkat tajam.

Banyak wisatawan yang datang ke Polandia dan Ukraina tentunya. Dan pastinya mereka akan menghabiskan banyak uang di kedua negara tersebut. Pemerintah Ukraina dan Polandia akan mendapatkan keuntungan yang besar dalam perhelatan ini, meskipun Yunani tengah berjibaku untuk mendapatkan dana segar guna menyelamatkan perekonomiannya dari keterpurukan.

Spanyol juga demikian, perbankan spanyol menghadapi turbulensi ekonomi yang luar biasa. Spanyol membutuhkan dana sebesar 37 milyar euro untuk menyelamatkan krisis di perbankan spanyol tersebut. Meski demikian perhelatan akbar tersebut seharusnya mampu mengurangi dampak negatif penyebaran krisis yang bersumber dari Yunani dan Spanyol saat ini.

Polandia dan Ukraina sangat beruntung, disaat sejumlah negara tetangganya tengah menghadapi krisis keuangan. Kedua negara tersebut justru mendapatkan berkah dari pemasukan uang yang berlimpah. Selain itu, fokus masalah utama krisis ada di Yunani dan Spanyol saat ini, sehingga piala eropa tersebut diyakini tidak akan begitu berdampak signifikan pada kinerja pasar keuangan dunia.

Bila Spanyol dan Yunani menjadi penyelenggara, maka data-data ekonomi kedua negara tersebut akan membaik. Terjadi penurunan angka pengangguran meskipun bersifat sementara. Penjualan perusahaan ritel pastinya akan mengalami kenaikan. Dan untuk perhelatan selama 1 bulan tersebut tentunya devisa yang di terima Yunani dan Spanyol akan membantu meringankan beban mereka.

Selain itu dampak yang besar akan terjadi pada kinerja indeks bursa dunia karena sentimen piala eropa tersebut. Bisa dipastikan bila piala eropa di selenggarakan di Yunani dan Spanyol maka kinerja Indeks Harga Saham Gabungan juga akan ikut menguat. Karena selama ini, proses penyelesaian masalah krisis yang berlarut-larut kerap membuat IHSG turun tajam dan diperdagangkan dalam volatilitas yang cukup lebar.

Tidak bisa dipungkiri bahwa pergerakan harga saham sangat dipengaruhi oleh realisasi data yang dianggap mencerminkan kondisi perekonomian suatu negara dalam jangka panjang. Meskipun fluktuasinya sangat beragam, namun hasil akhirnya adalah dengan data tersebut maka kita dapat melakukan transaksi jual atau beli suatu sekuritas.

Sayang seribu sayang, perhelatan akbar tersebut tidak bisa kita nikmati sebagai investor pasar modal khususnya saham. Kita hanya bisa menyaksikan pertandingan-pertandingan spektakuler dari negara-negara yang bertanding saat ini. Namun, kita tetap dibuat lemah tak berdaya manakala ada laporan kinerja keuangan yang buruk yang bakal muncul terkait dengan krisis di eropa itu sendiri.
Negara-negara eropa tersbut boleh berbangga bila memenangkan permainan ini-piala eropa. Namun, kebanggaan tersebut tidak akan lama karena mereka tengah dilanda krisis yang diperkirakan akan memasuki badai yang sempurna di tahun 2012 ini. Akan tetapi kita tetap mengucap rasa syukur, karena di tengah ketidakpastian penyelesaian krisis yang memperburuk kinerja indeks bursa khususnya saham, namun kita tetap bisa menikmati serunya pertandingan bola yang menghibur kita walaupun hanya sebulan.

Tetap Optimis Walau Rupiah Kritis

Medan Bisnis, 4 Juni 2012

Nilai tukar Rupiah kompak melemah dengan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) selama perdagangan minggu kemarin. Melemahnya Rupiah seiring dengan investor yang lebih memilih memegang Dolar setelah terjadinya krisis di Eropa membuat pasar panik dan US Dolar banyak diburu karena Dolar sebagai mata uang yang dinilai paling aman (safe heaven).

Langkah Bank Indonesia seperti memberlakukan kebijakan agar eksportir memarkir dananya di dalam negeri ternyata belum membuahkan hasil maksimal karena pada saat ini Rupiah masih saja melemah terhadap US Dolar. BI dituntut untuk segera menerbitkan instrumen keuangan guna menampung valas di dalam negeri.

Minimnya instrumen tersebut disinyalir sebagai biang keladi memburuknya kinerja nilai tukar Rupiah terhadap US Dolar. Padahal, yang paling utama penyebab nilai tukar rupiah melemah akhir-akhir ini adalah kontrak derivative yang ada di Singapura. Dimana kontrak tersebut menggambarkan bagaimana buramnya kinerja Rupiah yang mendekati Rp.10.000/$. Al Hasil, Rupiah dipasar domestik ikut terkulai lemas seiring dengan memburuknya kinerja kontrak Rupiah – Dolar Amerika di pasar derivative singapura.

Bila dikaitkan dengan penghematan energi ada benarnya juga sih. Namun akhir-akhir ini, tren penurunan harga minyak dari sebelumnya $120/barel, yang hanya dikisaran $90/Barel saat ini, seharusnya mampu membuat APBN kita relatif aman dari pembengkakan defisit akibat kebutuhan impor minyak dunia.

Walaupun bila harga Dolar terus naik tentunya juga akan menjadi ancaman lain dan berpeluang membuat defisit yang lebih besar. Untuk saat ini, Rupiah yang melemah masih mampu diimbangi dengan penurunan harga minyak dunia. Walau demikian, suplai valas yang terus berkurang akan mengancam impor kita untuk beberapa bulan kedepan. Dan berpeluang untuk menambah laju tekanan inflasi.

Akan tetapi, penulis berkeyakinan gejolak yang terjadi di pasar keuangan saat ini hanya akan bersifat sementara saja. Minimnya pasokan Dolar dikarenakan faktor psikologis memburuknya kondisi Eropa saat ini. Pasar memburu Dolar karena tidak mau memegang mata uang lain termasuk uang dari negara berkembang (emerging market).

Namun, adakah negara lain yang mampu memberikan daya tarik seperti Indonesia?. Tentunya masih ada. Kita masih mampu menikmati pertumbuhan ekonomi meskipun negara lain sedang dilanda krisis yang belum berkesudahan. Pertumbuhan ekonomi tersebut tentunya memiliki dampak yang signifikan terhadap pertumbuhan investasi di negeri ini.

Sehingga, tidak ada yang perlu dikuatirkan sangat seirus mengingat kita masih bisa tumbuh ditengah buramnya prospek pertumbuhan ekonomi dunia. Pelemahan rupiah saat ini memang perlu penanganan khusus, saya yakin BI akan mampu mengatasinya. Selain itu, bukankah Rupiah juga seharusnya melemah terhadap US Dolar guna membentuk keseimbangan dengan mata uang negara lainnya?. Tentunya Ya, namun besarannya yang harus disesuaikan. Dan kestabilan Rupiah harus menjadi prioritas utama. Pelaku pasar nantinya juga akan bersikap realistis dan tetap akan menjadikan Indonesia sebagai tempat tujuan investasi.

Keseimbangan di pasar keuangan akan terbentuk nantinya, gunjang-ganjing yang terjadi saat ini diyakini hanya akan berlaku sementara. Bahkan sekalipun nantinya akan terjadi guncangan manakala Yunani keluar dari Eropa, guncangan tersebut diyakini hanya akan berlangsung beberapa saat saja terhadap pasar keuangan domestik.
Mengingat baiknya perekonomian nasional yang didukung oleh tingginya konsumsi domestik. Maka kita tetap optimis, Rupiah akan kembali stabil, IHSG akan berbalik menguat setidaknya di mulai pada paruh kedua tahun 2012 ini.

Rupiah Turun, Fundamental Atau Spekulasi?

Medan Bisnis, 28 Mei 2012

Nilai tukar rupiah kembali terkulai lemas dalam sesi perdagangan minggu kemarin terhadap US Dolar. Pelemahan Rupiah juga sebenarnya dibarengi dengan pelemahan sejumlah mata uang di Asia. Setali tiga uang, dampak dari pelemahan nilai tukar Rupiah berimbas pada melemahnya kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).

Kekhawatiran akan melemahnya kekuatan ekonomi di negara-negara Asia seiring dengan meningkatnya gejolak politik di Yunani menjadi pemicu utama melemahnya nilai tukar Rupiah. Sejumlah masalah mengemuka dan ada beberapa masalah yang menjadi perhatian yang bermuasal dari Eropa.

Pertama terpilihnya pemimpin eropa yang berasal dari komunitas yang tidak menyukai penghematan anggaran dalam menyelesaikan krisis. Kedua langkah Yunani yang sebelumnya sempat dispekulasikan akan keluar dari zona euro. setelah pemilihan presiden Yunani yang berasal dari partai oposisi berhaluan sosialis. Ketiga adalah krisis eropa itu sendiri yang diperkirakan akan berada di titik paling kritis dan berpeluang mempengaruhi krisis di negara lain termasuk di Asia.

Bila dikaitkan dengan nilai tukar rupiah, sejatinya para pemegang devisa tidak perlu menarik devisanya dari Indonesia mengingat Indonesia memiliki pertumbuhan ekonomi yang cukup. Terlebih perekonomian lebih didorong oleh konsumsi sektor domestik yang besar dan tidak begitu dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti krisis di Eropa.

Bila China mengalami penurunan pada laju pertumbuhan ekonomi, itu merupakan hal yang wajar mengingat Eropa masih menjadi target ekspor China. Demikian halnya dengan beberapa negara di Asia lainnya seperti Singapura. Indonesia juga berpotensi mengalami penurunan nilai ekspor, namun ekspor Indonesia lebih merupakan barang-barang yang menjadi barang konsumsi utama masyarakat luar.

Sehingga, ekspor tersebut seharusnya tidak begitu terganggu meskipun terjadi penurunan permintaan di pasar Internasional. Indonesia masih bisa selamat dari terpaan krisis dari Eropa. Setidaknya selama pemerintah masih mampu menjadikan konsumsi dalam negeri menjadi penopang perekonomian nasional untuk sementara waktu.

Nah mengapa nilai tukar Rupiah terkulai lemas?. Bukannya investor juga mengetahui bahwa Indonesia masih relatif kuat sehingga belum harus dikhawatirkan. Jawaban yang mungkin sangat tepat adalah karena banyaknya spekulan yang bermain di pasar keuangan. Spekulan lebih bersikap pragmatis dengan memanfaatkan situasi untuk mencari keuntungan tertentu.

Bila investor lebih memilih untuk memegang US Dolar daripada mata uang asing, dan tidak mau memegang resiko dengan membeli asset di negara berkembang. Indonesia memang termasuk kedalam negara berkembang namun saat ini berdiri sendiri dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi nasional. Yang sejatinya tidak akan terpengaruh dengan gejolak ekonomi yang terjadi di belahan negara lainnya.

Nilai fundamental Rupiah juga tidak jauh dari fundamental ekonominya. Pelemahan Rupiah yang turun signifikan menjadi suatu hal yang dipertanyakan kelazimannya. Kita harus belajar bagaimana spekulan yang ada disingapura sebelumnya sempat membuat Rupiah terkulai beberapa bulan lalu.
Walaupun ada penilaian fundamental, namun penilaian tersebut sepertinya hanya dijadikan alat untuk melakukan tindakan spekulatif dan kurang mendasar bila melihat kinerja ekonomi kita yang tetap bagus. Analisa fundamental yang di beritakan merupakan alat untuk mengajak semua orang menyetujui sesuatu dan berperilaku sama.

Daya Saing Yang Tak Bersaing

Medan Bisnis, 21 Mei 2012

Daya saing negara kita benar-benar masih belum mampu menandingi produk yang dihasilkan dari negara asia lainnya seperti China. Indonesia mengklaim bahwa pemberlakuan FTA (free trade area) membuat sejumlah produk Indonesia kalah bersaing dan Indonesia mengalami defisit perdagangan dengan negara lain khususnya dengan China.

FTA adalah bentuk globalisasi dimana baik negara kita dengan negara lain melakukan perdagangan secara adil dan mengandalkan produk-produk unggulan yang siap dijual kesejumlah negara yang masuk dalam perjanjian tersebut. Bila Indonesia menilai bahwa China merupakan pangsa pasar potensial untuk menjual barang-barang yang diproduksi Indonesia, maka Indonesia dan China dapat melakukan kerjasama dalam hal lalu lintas barang.

Dengan kata lain kita membuka diri kita akan barang-barang yang dijual oleh China dan sebaliknya. Faktanya pemerintah berencana merevisi kesepakatan FTA dengan sejumlah negara lain. Revisi berarti melakukan perubahan kerjasama. Kerjasama yang sebelumnya telah disepakati tersebut akan direvisi oleh pemerintah dengan alasan Indonesia mengalami defisit neraca perdagangan.

Maksudnya adalah Indonesia justru dibanjiri oleh produk-produk asing, dibandingkan dengan kemampuan Kita dalam menjual produk-produk kita ke negara lain. Pada saat kita mencoba untuk membuka diri, justru asing yang mendapatkan keuntungan. Inilah yang sering kita kenal dengan istilah perang dagang. Perjanjian FTA sama saja dengan menjadi sebuah negara yang bersiap untuk menginvasi negara lain di bidang ekonomi. Dan sejauh ini, kita belum menjadi pemenang.

Ada sejumlah masalah yang belum kita benahi hingga saat ini. Mulai dari Birokrasi, Infrastruktur, Sumber Daya Manusia hingga kepastian hukum yang belum sepenuhnya menjadi pilar yang mendukung negara kita dalam bersaing di kancah global. Inflasi yang tinggi menjadi salah satu tolak ukurnya. Inflasi yang tinggi membuat biaya produksi perusahaan semakin meningkat dan mengurangi daya beli masyarakat.

Misalkan seorang pengusaha Indonesia yang menghasilkan 1 buah Ballpoin dengan biaya Rp.1.200,-/buah. Sementara seorang pengusaha China mampu menghasilkan barang yang sama dengan harga Rp.800,- .

Dengan analogi tersebut tentunya Ballpoin yang dihasilkan Indonesia lebih mahal dibandingkan dengan produk sejenis dari China. Sehingga bila kita membuka diri melalui perjanjian FTA dengan China dan memasukan Ballpoin sebagai komoditas yang bisa diperdagangkan, maka pengusaha China tersebut tentunya dengan leluasa dapat menjual Ballpoin di Indonesia dengan harga yang lebih murah dibandingkan dengan Ballpoin sejenis yang diproduksi Indonesia.

Konsekuensinya kemana Pengusaha Indonesia akan menjual Ballpoinnya? Sementara pasar dalam negeri sudah dikuasai barang sejenis dari Asing. Jawaban yang paling mungkin adalah menutup perusahaannya. Maka konsekuensinya adalah semakin bertambahnya pengangguran dan negara kita kembali masuk dalam perangkap “penjajahan” model baru.

Tahun 2015 mendatang Indonesia akan menjadi negara yang masuk dalam Kawasan Ekonomi ASEAN. Dimana negara anggota ASEAN masing masing akan membuka dirinya dalam hal lalu lintas barang, jasa maupun uang. Seorang pengusaha dari Indonesia akan dengan mudah menjual barangnya ke negara lain di kawasan ASEAN demikian yang lainnya. Namun, ada sejumlah negara yang siap menjadi pesaing dan jauh lebih unggul dari Indonesia. Mereka yaitu Singapura, Malaysia, Thailand dan Vietnam.

Walaupun mereka jauh lebih kuat dari kita, namun tetap memiliki kelemahan. Seperti Singapura, negara yang memiliki luas lahan yang sedikit tersebut sangat kesulitan untuk membangun sebuah pabrik skala besar. Bayangkan bila ada perusahaan manufaktur yang mau membangun pabrik di singapura. Maka singapura harus mampu menciptakan lahan baru dan bila perlu menimbun lautnya untuk dijadikan daratan.

Akan tetapi, kita masih terjerembab dalam ekonomi biaya tinggi. Kita bandingkan saja suku bunga yang berlaku di Indonesia. Bila mengacu kepada BI Rate maka bunga deposito Bank yang ada di Indonesia akan berkisar di angka 5.75%. Bandingkan dengan bunga yang ada di Thailan, Singapura dan Malaysia. Karena inflasi di negara tersebut cukup terkendali besaran bunga di negara mereka rata-rata dibawah 4%. Ya gampang dong, mereka ga perlu bangun pabrik, simpan aja uang di Bank yang ada di Indonesia. Lumayan, hanya menunggu beberapa waktu uang itu akan beranak dengan sendirinya.
Bila kita tidak memperbaiki masalah klasik tersebut, maka daya saing kita akan membuat kita hanya menjadi pasar bagi negara lain. Jangan sampai nanti pemerintah menegosiasi ulang kesepakatan Masyarakat Ekonomi ASEAN.

Bank Syariah Vs Bank Konvensional

Medan Bisnis, 14 Mei 2012

Dalam beberapa pertemuan belajar yang dilakukan penulis dengan sejumlah mahasiswa. Begitu terkejutnya penulis bahwa ternyata banyak masyarakat yang memiliki pandangan keliru terhadap Perbankan Syariah. Sebagian masyarakat menilai bahwa tidak ada perbedaan antara Bank Syariah dengan Bank Konvensional. Bila Bank Konvensional yang menggunakan Riba (prinsip bunga) dinilai haram, maka Bank Syariah adalah Bank yang dinilai haram namun diberi label halal. Dan masih banyak lagi penilaian sesat lainnya.

Yang paling mengejutkan adalah penilaian tersebut dilandaskan oleh pengalaman masing-masing masyarakat yang pernah mencoba untuk melakukan pembiayaan (pinjaman) dari Bank Syariah. Mereka menilai untuk melakukan pinjaman ke Bank konvensional dengan nominal yang sama, angsuran yang dibayarkan per bulannya tidak jauh berbeda dengan yang ada di Bank Syariah.

Sebagai contoh, Tuan Ahmad melakukan pinjaman ke Bank Konvensional untuk membeli sebuah mobil dengan harga Rp. 100.000.000,- dengan bunga 10% per tahun. Maka cicilan perbulan yang harus dibayar oleh nasabah adalah Rp. 9.166.667,-. Nah, bila Pak Ahmad meminjam dari Bank Syariah dengan nominal kredit yang sama, maka Pak Ahmad juga akan membayar dengan jumlah angka yang sama setiap bulannya. Langsung penulis bertanya, masalahnya dimana Pak?.

Pak Ahmad mencoba menjelaskan, bukannya Bank Syariah itu menerapkan prinsip bagi hasil?. Bukankah seharusnya Bank Syariah itu mendapatkan imbal hasilnya setelah modal yang saya pinjam saya putar terlebih dahulu untuk usaha setelah itu keuntungannya baru saya bagi?. Kenapa pada saat saya mau meminjam Bank Syariah sudah ditentukan besarnya pembayaran bulanan kepada saya, bukan melalui tahapan pembicaraan (diskusi) kepada saya terlebih dahulu?.

Nah, ini merupakan salah satu kekurangan yang diketahui orang awam atau masyarakat pada umumnya. Dan di sisi yang lain ini juga merupakan kekurangan yang dimiliki Bank Syariah karena minimnya proses edukasi saat nasabah kita ingin mendapatkan pelayanan dari Bank Syariah.

Di Bank Syariah ada banyak model pembiayaan. Ada pembiayaan yang menggunakan skema profit loss sharing (PLS – baik untung maupun kerugian menjadi tanggung jawab kedua pihak). Dimana dalam akad ini baik nasabah dan Bank sama-sama memiliki hak dan tanggung jawab baik kalau perusahaan tersebut itu untung maupun dalam kondisi merugi. Akad yang biasa digunakan dikenal dengan Al-Mudharabah maupun Al-Musyarakah. Selanjutnya pembiayaan dengan skema jual-beli, Akad yang biasa kita kenal adalah Al-Murabahah. Ada lagi pembiayaan dengan akad Al-Rahn (gadai), maupun Al-Ijarah (sewa – menyewa). Sebenarnya masih ada beberapa jenis lainnya, mungkin bisa penulis buat dalam tulisan lainnya saja.

Dalam contoh kasus Pak Ahmad, sebenarnya Bank Syariah melakukan pembiayaan dengan Akad Al Murabahah. Dimana mobil yang ingin dibeli Pak Ahmad sejumlah Rp. 100.000.000,- itu dibayar ke penjual mobil melalui Bank Syariah untuk kemudian oleh Bank Syariah dijual kembali ke Pak Ahmad dengan nilai Rp. 110.000.000,- yang kemudian akan dibayar secara cicilan oleh Pak Ahmad. Sehingga bila harga mobil sebesar Rp. 110.000.000,- di bagi 12 akan didapatkan cicilan yang nilainya hampir sama dengan meminjam uang Rp.100.000.000,- dengan bunga 10% di Bank Konvensional.

Dalam kasus tersebut jelas bahwa Bank Syariah mengambil keuntungan sebesar Rp. 10.000.000,-. Pak Ahmad pun langsung mengkritisi : “Nah saya kan maunya yang bagi hasil”.  Bila menggunakan prinsip bagi hasil (PLS), sebenarnya akad tersebut memiliki kelemahan karena bersandar kepada kejujuran dari si Peminjam (debitur). Bayangkan bila Pak Ahmad dibiayai dengan akad Al-Mudharabah, berarti nantinya keuntungan dari Pak Ahmad sebagian diberikan ke Bank Syariah. Pertanyaannya adalah Apakah tidak mungkin Pak Ahmad akan bertindak curang?, Penulis berkeyakinan bahwa sangat-sangat mungkin hal tersebut terjadi. Sekalipun dilakukan pengawasan debitur oleh Bank Syariah, penulis yakini tidak akan berjalan 100%. Itu hanya meminimalisir bukan menghilangkan tindakan curang peminjam ditengah tingginya degradasi moral manusia saat ini.

Nah bila peminjam itu sendiri melakukan usahanya tidak dengan jujur, maka sebenarnya rukun Al-Mudharabah itu sendiri sudah tidak terpenuhi. Namun demikian, penulis juga mengkritisi kebijakan Bank Syariah yang banyak melakukan pembiayaan dengan skema jual-beli dibandingkan dengan akad lainnya. Hal tersebut terkesan Bank Syariah bersikap pragmatis. Penulis juga mengkritisi minimnya pembelajaran dengan mengenalkan produk keuangan berbasis Islam kepada nasabah.
Memang sulit membangun paradigma masyarakat yang sudah terbiasa dengan pembiayaan konvensional saat ini. Selain itu, sisi bisnis Bank Syariah yang juga bersaing dengan Bank konvensional menuntut Bank lebih kreatif lagi meskipun terkadang terjebak dalam kebijakan yang pragmatis. Pilihan Bank Syariah untuk tetap hidup itu jauh lebih baik daripada mundur karena penilaian negatif yang kurang mendasar. Hasil penelitian penulis tentang Bank Syariah lainnya akan penulis buat nantinya dalam tulisan lain yang diharapkan dapat digunakan sebagai wahana pembelajaran.

Seorang Wanita (Ekonomi) Yang Menginginkan Kepastian


Medan Bisnis, 7 May 2012
Ketidakpastian arah terhadap rencana kenaikan harga BBM masih membayangi kondisi perekonomian kita akhir-akhir ini. Sementara itu, pemerintah terus melakukan upaya-upaya penghematan guna menghindari defisit APBN yang kian besar. Dan cara yang ditempuh belakangan ini adalah dengan memberlakukan kebijakan pembatasan BBM kepada mobil plat merah (pemerintah).

Kebijakan tersebut agak lucu, karena yang dibatasi adalah mobil-mobil plat merah. Sehingga analoginya adalah pemerintah mengeluarkan uang yang lebih banyak, namun masuk lagi ke kantong pemerintah. Ini ibarat memindahkan uang dari satu kantong ke kantong yang lain. Namun, dampak posistifnya adalah adanya semacam contoh dari pemerintah yang menggunakan BBM non subsidi.

Langkah tersebut ditempuh karena harga rata-rata minyak mentah Indonesia (ICP) dalam 6 bulan terakhir belum mencapai ambang batas 15% dari harga yang diasumsikan di APBN sebesar $105/barel. Seperti yang pernah ditulis oleh penulis sebelumnya, dimana harga minyak menjelang pertengahan tahun ini tidak akan banyak berubah bahkan mengalami tren penurunan harga. Sehingga BBM tidak jadi dinaikkan dalam waktu dekat.

Beberapa solusi yang bagus lainnya adalah konversi penggunaan BBM ke LPG. Ada alat yang namanya konverter kit yang bisa dipasang di mobil-mobil. Hal tersebut merupakan langkah positif, hanya saja mungkin penerapannya oleh masyarakat saat ini tidak begitu maksimal. Namun, disaat nantinya BBM dinaikkan maka minat masyarakat akan lebih baik untuk mengganti konsumsi BBMnya ke LPG.

Untuk sementara waktu ini memang ada ketidakpastian yang membuat orang lebih banyak spekulasi. Satu yang menjadi kepastian adalah harga BBM itu akan naik walupun sulit diprediksikan kapan waktunya. Ketidakpastian saat ini memicu munculnya pemikiran yang menduga-duga hingga aksi spekulasi yang berlebihan.

Di pasar saham, harga saham-saham akan bergerak liar dan tidak memiliki arah yang pasti. Sejumlah perusahaan yang menghasilkan barang-barang konsumsi dan rentan akan perubahan inflasi menjadi sangat rapuh dan syarat dengan aksi profit taking dalam jangka pendek. Ketidak pastian tersebut membuat para investor kesulitan dalam membentuk portfolio investasinya.

Analyst dalam memproyeksikan pergerakan harga saham dengan sekmea kenaikan inflasi yang pasling ekstrim. Hal tersebut membuat sejumlah harga saham yang diproyeksikan naik namun tidak kenaikannya tidak optimal karena ada ancaman dari kenaikan laju inflasi akibat kenaikan harga BBM nantinya.

Dipasar keuangan, nilai tukar Rupiah bisa diperdagangkan melemah seiring dengan memburuknya laji inflasi nantinya. Pelemahan nilai tukar Rupiah tersebut bahakan diperkirakan akan mencapai Rp. 9.300 atau bahkan lebih per US$ nantinya. Belajar bagaimana spekulan yang di Singapura beberapa waktu yang lalu melakukan spekulasi dengan menggunakan produk derivatif sehingga membuat Rupiah melemah.

Dampak lanjutan dari ketidakpastian tersebut akan membuat cadangan devisa kita terkuras cukup signifikan. Karena operasi moneter yang dilakukan Bank Indonesia menggunakan cadangan devisanya dalam menstabilkan nilai tukar Rupiah. Bisa ditarik kesimpulan Inflasi yang tinggi berpeluang membuat cadangan devisa kita menurun.

Dari sisi pengusaha juga tidak diuntungkan dengan ketidakpastian dari rencana kenaikan harga BBM. Pengusaha jadi lebih sulit dalam memprediksikan penjualan, kemungkinan kenaikan bahan baku atau berapa kebesar kemungkinan kenaikan harga jual barang yang diproduksikan nantinya. Selain itu, kalaupun nantinya produksi menurun, berapa besar lagi karyawan yang akan dikurangi. Dan masih banyak lagi.
Ekonomi Indonesia saat ini bagaikan seorang wanita yang menginginkan kepastian dari kekasihnya untuk segera dinikahi. Sang wanita memberikan ultimatum bila kepastian tersebut batal dilakukan. Seperti halnya S&P yang batal menaikkan peringkat hutang kita karena ketidakpastian kenaikan harga BBM di dalam negeri.

Mata Uang Bergerak Tak Jauh Dari Fundamentalnya

Medan Bisnis, 30 April 2012

Pergerakan mata uang Eropa dan Amerika dalam minggu kemarin terpantau flat dan berfluktuasi dalam rentang yang tidak begitu lebar. Sejumlah sentimen tengah dinanti termasuk langkah The FED yang akan memberikan stimulus lagi. Sinyal tersebut ditunggu oleh pelaku pasar yang bisa berdampak negatif bagi US Dolar itu sendiri. Sejumlah indikator yang di nanti antara lain laporan dari Bureau of Economic Analysis yang dijadwalkan akan merilis data terkini mengenai pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat pada triwulan pertama tahun ini.

Walaupun banyak analis yang yakin bahwa PDB AS akan mengalami kenaikan, namun respon yang terjadi justru US Dolar masih bergerak mendatar. Sejumlah spekulasi yang berkembang adalah menanti keputusan The FED terhadap quantitative easing yang bisa saja keluar dalam waktu dekat. Bila sebelumnya stimulus tidak berdampak signifikan, namun bila sejumlah indikator ekonomi AS membaik maka stimulus justru berfungsi sebagai akselerator terhadap laju pertumbuhan ekonomi AS.

Akan tetapi, belum bisa dipastikan dengan begitu cepat bahwa ekonomi AS benar-benar telah masuk ke dalam tahapan ekspansi. Karena, situasi ekonomi Eropa masih masuk kedalam masa resesi yang bahkan akan menemui titik terendah di tahun 2012 ini. Bisa saja yang terjadi sebaliknya, dimana setelah stimulus ternyata tidak memberikan hasil yang maksimal dan justru bereaksi negatif terhadap kinerja US Dolar. Inflasi justru menjadi ancaman baru serta tetap memperlihatkan ekonomi AS yang masih suram dalam beberapa waktu kedepan.

Sementara itu, mata uang Euro bergerak berlawanan terhadap US Dolar akhir akhir ini. Disaat Amerika akan menggelontorkan stimulus, Euro langsung bergerak menguat. Sayangnya penguatan Euro belum menjadi cerminan terhadap kinerja fundamental ekonomi Eropa secara keseluruhan. Terlebih setelah lembaga pemeringkat Standard & Poor's kembali memangkas peringkat utang pemerintah Spanyol, seiring dengan terjadinya kontraksi ekonomi. Fiskal masih menjadi kendala utama spanyol terhadap perbankan.

Peringkat utang jangka panjang pemerintah Spanyol diturunkan satu tingkat dari A menjadi BBB+, sedangkan peringkat utang jangka pendek diturunkan menjadi A-2 dari A-1. Secara keseluruhan peringkat tersebut masih lebih baik dari rating utang Indonesia. Namun, kemungkinan yang lebih buruk bias saja terjadi mengingat sejumlah Negara di Eropa masih terbelit dalam krisis yang diperkirakan akan berlangsung setidaknya hingga 2 atau 3 tahun kedepan. Sehingga isu-isu fundamental kerap akan menjadi tekanan bagi kinerja mata uang Euro kedepan. Melihat kejadian tersebut niscaya mata uang Euro akan menguat secara signifikan dalam waktu dekat. Euro akan lebih sulit bangkit dibandingkan dengan Amerika Serikat. Karena kinerja mata uang Euro merupakan refleksi dari fundamental sejumlah Negara eropa yang memiliki masalah serta kepentingan sendiri.

Sulit untuk mengharapkan eropa benar-benar bersatu dan memiliki satu pandangan yang sama terkait penyelesaian krisis yang terjadi di Eropa saat ini. Ketidak harmonisan serta irama yang berbeda dalam setiap langkah untuk menyelesaikan krisis akan menambah beban bagi Euro dan membuat Euro akan terus tertekan terhadap mata uang major currency lainnya. Dengan melihat kondisi seperti ini. Maka US Dolar masih akan tetap menjadi mata uang yang aman untuk dipegang.
Sehingga US Dolar masih memiliki peluang untuk menguat walaupun Amerika Serikat tengah dilanda krisis yang belum berkesudahan. Hal tersebut dikarenakan minat terhadap safe haven currency seiring dengan memburuknya ekonomi Eropa. Selain itu, mata uang US Dolar masih menjadi mata uang internasional, sehingga dominasi US Dolar masih relatif kuat. Eropa masih akan disibukkan dengan kebijakan penghematan anggaran. Dimana kebijakan tersebut merupakan bentuk kebijakan “berani mati”.

Ekonomi eropa bagaikan masuk kedalam lingkaran setan. Sejumlah berita tak sedap juga masih menghinggapi sejumlah pemerintahan di belahan Negara Eropa, seperti penolakan penghematan anggaran di Perancis, pengunduran diri perdana menteri Belanda serta memburuknya kinerja ekonomi di Jerman. Masalah krisis di Eropa bukan hanya seputar pusaran krisis keuangan, namun telah merambat ke masalah politik. Demokrasi di eropa juga tengah menghadapi guncangan hebat sering dengan memburuknya kinerja ekonomi. Maka nasib mata uang Euro tentunya tidak akan jauh dari krisis multidimensi bangsa eropa saat ini.