Medan Bisnis, 27 Desember 2011
Tanpa terasa kita telah berda di penghujung tahun 2011. Merupakan tahun yang menjadi pertanda kemungkinan memburuknya kondisi perekonomian tahun 2012 mendatang. Di tahun 2011 kita dihadapkan pada memburuknya ekonomi di kawasan Eropa dan Amerika. Parahnya kondisi tersebut kian hari kian memburuk dan akan “diwariskan” ke tahun 2012 mendatang.
Pasar keuangan kita juga ikut mengalami hal yang sama walaupun sektor riil masih menjanjikan dan mampu tetap tumbuh hingga hari ini. Kita memang benar-benar harus mandiri menghadapi perekonomian dunia yang tengah tidak bersahabat. Kondisi tersebut diperkirakan masih akan berlanjut dalam 3 sampai 5 tahun mendatang.
Tugas berat tahun 2012 sudah pasti tidak bisa terelakan. Walaupun sejauh ini kita dinilai masih mampu menghadapi krisis, namun bila salah kebijakan maka bisa saja tahun 2012 menjadi petaka awal bagi perekonomian kita di masa yang akan datang. Sejumlah strategi terus dipersiapkan, mulai dari Jaringan Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) hingga anggaran yang super gede untuk membangun infrastruktur di negeri ini. Selain itu, pemerintah juga terus memperbaiki semua sektor yang dinilai bisa menghambat investasi di negeri ini.
Dengan kondisi seperti yang terjadi saat ini, menarik untuk memprediksi semua kemungkinan ekonomi yang terjadi di tahun 2012 mendatang. Kebiasaan unik ini selalu dilakukan oleh kebanyakan analis yang ditujukan agar membantu kita dalam mengambil keputusan di masa yang akan datang.
Diawali dengan keadaan internal yang menghambat aliran investasi yaitu korupsi. Korupsi itu sama dengan biaya tinggi, investor sejauh ini mengapresiasi proses penyelesaian korupsi yang terjadi di Indonesia. Dengan konsistensi untuk terus mengurangi korupsi, maka kita optimis tahun 2012 mendatang pembasmian korupsi akan terus berjalan dan akan terus meningkatkan kepercayaan investor dan memberikan kenyamanan untuk berinvestasi di Indonesia.
Untuk sejumlah indikator ekonomi makro, di tahun 2012 mendatang ekonomi kita masih sangat atraktif meskipun indikator pertumbuhan Produk Domestik Bruto proyeksinya di turunkan. PDB diperkirkan akan melambat menjadi 6.3% s.d. 6.7% di tahun 2012 mendatang. Yang menarik adalah inflasi yang diperkirakan akan melemah sehingga nilai pertumbuhan PDB akan jauh lebih baik dibandingkan tahun 2011.
Untuk nilai tukar Rupiah sepertinya tidak akan mengalami fluktuasi yang tajam. Rupiah diperkirakan akan tetap stabil seperti tahun 2011 karena di topang oleh membaiknya peringkat utang Indonesia sehingga akan berdampak pada banjirnya likuiditas dan nantinya akan membuat Rupiah bergerak menguat.
Dari sisi eksternal, Ekspor menjadi ancaman serius karena pertumbuhan ekonomi dunia yang terus melambat. Ekspor sangat bergantung pada kebutuhan impor Negara mitra dagang kita. Sejauh ini pasar di Eropa dan Amerika mengalami kontraksi dan menurunkan ekspor kita. Namun, dikarenakan ekspor kita masih berbasis pada ekspor hasil bumi yang memiliki elastisitas yang kecil, besar kemungkinan nilai ekspor kita tidak akan terkoreksi tajam.
Sehingga ekonomi kita diyakini masih akan terus tumbuh kendati ekspor akan mengalami penurunan. Tipikal masyarakat kita yang lebih gemar berbelanja daripada menabung juga akan memberikan nilai tersendiri. Ekonomi kita yang ditopang oleh konsumsi domestik yang tinggi akan menjadi penyelamat bagi ekonomi kita untuk tetap bertahan dari krisis.
Optimis adalah jawaban terhadap ramalan/prediksi ekonomi kita kedepan. Bayangkan bila kita tidak optimis, maka kita tidak akan memiliki alasan yang kuat untuk terus bergerak maju ditengah pesimisme seperti saat ini. Karena masa depan kita akan lebih baik bila berada di tangan orang-orang yang optimis.
Semua yang disajikan didalam Blog ini merupakan artikel yang dimuat dibeberapa Media Cetak dalam negeri. Merupakan opini pribadi dan tidak merefleksikan pandangan dari institusi dimana penulis bekerja saat ini. Semoga Bermanfaat.
Friday, June 15, 2012
Seandainya Piala Eropa di Yunani dan Spanyol
Medan Bisnis, 11 Juni 2012
Perhelatan akbar
sepakbola eropa telah menyita dan menjadi fokus perhatian dunia saat ini.
Selain karena kita disuguhkan terus pertandingan sepak bola setiap hari, kita
diberikan pula pemandangan kontradiktif terhadap kondisi ekonomi Eropa yang
tengah dilanda krisis. Perhelatan tersebut seharusnya mampu menjadi pendorong
konsumsi masyarakat eropa dan sedikit banyak akan membantu proses pemulihan di
Eropa.
Penyelenggara
perhelatan akbar tersebut tentunya mendapatkan banyak pemasukan uang dengan
menjual tiket, pernak-pernik, hak siar, tingkat hunian hotel dan masih banyak
lagi yang bisa diraup dari piala eropa tersebut. Bayangkan tingkat hunian hotel
di Ukraina dan Polandia mencapai 100%, dan harga tarif hotel juga meningkat
tajam.
Banyak wisatawan yang
datang ke Polandia dan Ukraina tentunya. Dan pastinya mereka akan menghabiskan
banyak uang di kedua negara tersebut. Pemerintah Ukraina dan Polandia akan
mendapatkan keuntungan yang besar dalam perhelatan ini, meskipun Yunani tengah
berjibaku untuk mendapatkan dana segar guna menyelamatkan perekonomiannya dari
keterpurukan.
Spanyol juga demikian,
perbankan spanyol menghadapi turbulensi ekonomi yang luar biasa. Spanyol
membutuhkan dana sebesar 37 milyar euro untuk menyelamatkan krisis di perbankan
spanyol tersebut. Meski demikian perhelatan akbar tersebut seharusnya mampu
mengurangi dampak negatif penyebaran krisis yang bersumber dari Yunani dan
Spanyol saat ini.
Polandia dan Ukraina
sangat beruntung, disaat sejumlah negara tetangganya tengah menghadapi krisis
keuangan. Kedua negara tersebut justru mendapatkan berkah dari pemasukan uang
yang berlimpah. Selain itu, fokus masalah utama krisis ada di Yunani dan
Spanyol saat ini, sehingga piala eropa tersebut diyakini tidak akan begitu
berdampak signifikan pada kinerja pasar keuangan dunia.
Bila Spanyol dan Yunani
menjadi penyelenggara, maka data-data ekonomi kedua negara tersebut akan
membaik. Terjadi penurunan angka pengangguran meskipun bersifat sementara.
Penjualan perusahaan ritel pastinya akan mengalami kenaikan. Dan untuk
perhelatan selama 1 bulan tersebut tentunya devisa yang di terima Yunani dan
Spanyol akan membantu meringankan beban mereka.
Selain itu dampak yang
besar akan terjadi pada kinerja indeks bursa dunia karena sentimen piala eropa
tersebut. Bisa dipastikan bila piala eropa di selenggarakan di Yunani dan
Spanyol maka kinerja Indeks Harga Saham Gabungan juga akan ikut menguat. Karena
selama ini, proses penyelesaian masalah krisis yang berlarut-larut kerap membuat
IHSG turun tajam dan diperdagangkan dalam volatilitas yang cukup lebar.
Tidak bisa dipungkiri
bahwa pergerakan harga saham sangat dipengaruhi oleh realisasi data yang
dianggap mencerminkan kondisi perekonomian suatu negara dalam jangka panjang.
Meskipun fluktuasinya sangat beragam, namun hasil akhirnya adalah dengan data
tersebut maka kita dapat melakukan transaksi jual atau beli suatu sekuritas.
Sayang seribu sayang,
perhelatan akbar tersebut tidak bisa kita nikmati sebagai investor pasar modal
khususnya saham. Kita hanya bisa menyaksikan pertandingan-pertandingan
spektakuler dari negara-negara yang bertanding saat ini. Namun, kita tetap
dibuat lemah tak berdaya manakala ada laporan kinerja keuangan yang buruk yang
bakal muncul terkait dengan krisis di eropa itu sendiri.
Negara-negara eropa tersbut boleh berbangga bila
memenangkan permainan ini-piala eropa. Namun, kebanggaan tersebut tidak akan
lama karena mereka tengah dilanda krisis yang diperkirakan akan memasuki badai
yang sempurna di tahun 2012 ini. Akan tetapi kita tetap mengucap rasa syukur,
karena di tengah ketidakpastian penyelesaian krisis yang memperburuk kinerja
indeks bursa khususnya saham, namun kita tetap bisa menikmati serunya
pertandingan bola yang menghibur kita walaupun hanya sebulan.
Tetap Optimis Walau Rupiah Kritis
Medan Bisnis, 4 Juni 2012
Nilai tukar Rupiah
kompak melemah dengan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) selama perdagangan
minggu kemarin. Melemahnya Rupiah seiring dengan investor yang lebih memilih
memegang Dolar setelah terjadinya krisis di Eropa membuat pasar panik dan US
Dolar banyak diburu karena Dolar sebagai mata uang yang dinilai paling aman
(safe heaven).
Langkah Bank Indonesia
seperti memberlakukan kebijakan agar eksportir memarkir dananya di dalam negeri
ternyata belum membuahkan hasil maksimal karena pada saat ini Rupiah masih saja
melemah terhadap US Dolar. BI dituntut untuk segera menerbitkan instrumen
keuangan guna menampung valas di dalam negeri.
Minimnya instrumen
tersebut disinyalir sebagai biang keladi memburuknya kinerja nilai tukar Rupiah
terhadap US Dolar. Padahal, yang paling utama penyebab nilai tukar rupiah
melemah akhir-akhir ini adalah kontrak derivative yang ada di Singapura. Dimana
kontrak tersebut menggambarkan bagaimana buramnya kinerja Rupiah yang mendekati
Rp.10.000/$. Al Hasil, Rupiah dipasar domestik ikut terkulai lemas seiring
dengan memburuknya kinerja kontrak Rupiah – Dolar Amerika di pasar derivative singapura.
Bila dikaitkan dengan
penghematan energi ada benarnya juga sih. Namun akhir-akhir ini, tren penurunan
harga minyak dari sebelumnya $120/barel, yang hanya dikisaran $90/Barel saat
ini, seharusnya mampu membuat APBN kita relatif aman dari pembengkakan defisit
akibat kebutuhan impor minyak dunia.
Walaupun bila harga
Dolar terus naik tentunya juga akan menjadi ancaman lain dan berpeluang membuat
defisit yang lebih besar. Untuk saat ini, Rupiah yang melemah masih mampu
diimbangi dengan penurunan harga minyak dunia. Walau demikian, suplai valas
yang terus berkurang akan mengancam impor kita untuk beberapa bulan kedepan.
Dan berpeluang untuk menambah laju tekanan inflasi.
Akan tetapi, penulis
berkeyakinan gejolak yang terjadi di pasar keuangan saat ini hanya akan
bersifat sementara saja. Minimnya pasokan Dolar dikarenakan faktor psikologis
memburuknya kondisi Eropa saat ini. Pasar memburu Dolar karena tidak mau
memegang mata uang lain termasuk uang dari negara berkembang (emerging market).
Namun, adakah negara
lain yang mampu memberikan daya tarik seperti Indonesia?. Tentunya masih ada.
Kita masih mampu menikmati pertumbuhan ekonomi meskipun negara lain sedang
dilanda krisis yang belum berkesudahan. Pertumbuhan ekonomi tersebut tentunya
memiliki dampak yang signifikan terhadap pertumbuhan investasi di negeri ini.
Sehingga, tidak ada
yang perlu dikuatirkan sangat seirus mengingat kita masih bisa tumbuh ditengah
buramnya prospek pertumbuhan ekonomi dunia. Pelemahan rupiah saat ini memang
perlu penanganan khusus, saya yakin BI akan mampu mengatasinya. Selain itu,
bukankah Rupiah juga seharusnya melemah terhadap US Dolar guna membentuk
keseimbangan dengan mata uang negara lainnya?. Tentunya Ya, namun besarannya
yang harus disesuaikan. Dan kestabilan Rupiah harus menjadi prioritas utama.
Pelaku pasar nantinya juga akan bersikap realistis dan tetap akan menjadikan
Indonesia sebagai tempat tujuan investasi.
Keseimbangan di pasar
keuangan akan terbentuk nantinya, gunjang-ganjing yang terjadi saat ini
diyakini hanya akan berlaku sementara. Bahkan sekalipun nantinya akan terjadi
guncangan manakala Yunani keluar dari Eropa, guncangan tersebut diyakini hanya
akan berlangsung beberapa saat saja terhadap pasar keuangan domestik.
Mengingat baiknya perekonomian nasional yang
didukung oleh tingginya konsumsi domestik. Maka kita tetap optimis, Rupiah akan
kembali stabil, IHSG akan berbalik menguat setidaknya di mulai pada paruh kedua
tahun 2012 ini.
Rupiah Turun, Fundamental Atau Spekulasi?
Medan Bisnis, 28 Mei 2012
Nilai tukar rupiah
kembali terkulai lemas dalam sesi perdagangan minggu kemarin terhadap US Dolar.
Pelemahan Rupiah juga sebenarnya dibarengi dengan pelemahan sejumlah mata uang
di Asia. Setali tiga uang, dampak dari pelemahan nilai tukar Rupiah berimbas
pada melemahnya kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).
Kekhawatiran akan
melemahnya kekuatan ekonomi di negara-negara Asia seiring dengan meningkatnya
gejolak politik di Yunani menjadi pemicu utama melemahnya nilai tukar Rupiah.
Sejumlah masalah mengemuka dan ada beberapa masalah yang menjadi perhatian yang
bermuasal dari Eropa.
Pertama terpilihnya
pemimpin eropa yang berasal dari komunitas yang tidak menyukai penghematan
anggaran dalam menyelesaikan krisis. Kedua langkah Yunani yang sebelumnya
sempat dispekulasikan akan keluar dari zona euro. setelah pemilihan presiden
Yunani yang berasal dari partai oposisi berhaluan sosialis. Ketiga adalah
krisis eropa itu sendiri yang diperkirakan akan berada di titik paling kritis
dan berpeluang mempengaruhi krisis di negara lain termasuk di Asia.
Bila dikaitkan dengan
nilai tukar rupiah, sejatinya para pemegang devisa tidak perlu menarik
devisanya dari Indonesia mengingat Indonesia memiliki pertumbuhan ekonomi yang
cukup. Terlebih perekonomian lebih didorong oleh konsumsi sektor domestik yang
besar dan tidak begitu dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti krisis di
Eropa.
Bila China mengalami
penurunan pada laju pertumbuhan ekonomi, itu merupakan hal yang wajar mengingat
Eropa masih menjadi target ekspor China. Demikian halnya dengan beberapa negara
di Asia lainnya seperti Singapura. Indonesia juga berpotensi mengalami
penurunan nilai ekspor, namun ekspor Indonesia lebih merupakan barang-barang
yang menjadi barang konsumsi utama masyarakat luar.
Sehingga, ekspor
tersebut seharusnya tidak begitu terganggu meskipun terjadi penurunan
permintaan di pasar Internasional. Indonesia masih bisa selamat dari terpaan
krisis dari Eropa. Setidaknya selama pemerintah masih mampu menjadikan konsumsi
dalam negeri menjadi penopang perekonomian nasional untuk sementara waktu.
Nah mengapa nilai tukar
Rupiah terkulai lemas?. Bukannya investor juga mengetahui bahwa Indonesia masih
relatif kuat sehingga belum harus dikhawatirkan. Jawaban yang mungkin sangat
tepat adalah karena banyaknya spekulan yang bermain di pasar keuangan. Spekulan
lebih bersikap pragmatis dengan memanfaatkan situasi untuk mencari keuntungan
tertentu.
Bila investor lebih
memilih untuk memegang US Dolar daripada mata uang asing, dan tidak mau
memegang resiko dengan membeli asset di negara berkembang. Indonesia memang
termasuk kedalam negara berkembang namun saat ini berdiri sendiri dalam
menciptakan pertumbuhan ekonomi nasional. Yang sejatinya tidak akan terpengaruh
dengan gejolak ekonomi yang terjadi di belahan negara lainnya.
Nilai fundamental
Rupiah juga tidak jauh dari fundamental ekonominya. Pelemahan Rupiah yang turun
signifikan menjadi suatu hal yang dipertanyakan kelazimannya. Kita harus
belajar bagaimana spekulan yang ada disingapura sebelumnya sempat membuat
Rupiah terkulai beberapa bulan lalu.
Walaupun ada penilaian fundamental, namun
penilaian tersebut sepertinya hanya dijadikan alat untuk melakukan tindakan
spekulatif dan kurang mendasar bila melihat kinerja ekonomi kita yang tetap
bagus. Analisa fundamental yang di beritakan merupakan alat untuk mengajak
semua orang menyetujui sesuatu dan berperilaku sama.
Daya Saing Yang Tak Bersaing
Medan Bisnis, 21 Mei 2012
Daya saing
negara kita benar-benar masih belum mampu menandingi produk yang dihasilkan
dari negara asia lainnya seperti China. Indonesia mengklaim bahwa pemberlakuan
FTA (free trade area) membuat sejumlah produk Indonesia kalah bersaing dan
Indonesia mengalami defisit perdagangan dengan negara lain khususnya dengan
China.
FTA adalah
bentuk globalisasi dimana baik negara kita dengan negara lain melakukan
perdagangan secara adil dan mengandalkan produk-produk unggulan yang siap dijual
kesejumlah negara yang masuk dalam perjanjian tersebut. Bila Indonesia menilai
bahwa China merupakan pangsa pasar potensial untuk menjual barang-barang yang
diproduksi Indonesia, maka Indonesia dan China dapat melakukan kerjasama dalam
hal lalu lintas barang.
Dengan kata lain
kita membuka diri kita akan barang-barang yang dijual oleh China dan
sebaliknya. Faktanya pemerintah berencana merevisi kesepakatan FTA dengan
sejumlah negara lain. Revisi berarti melakukan perubahan kerjasama. Kerjasama
yang sebelumnya telah disepakati tersebut akan direvisi oleh pemerintah dengan
alasan Indonesia mengalami defisit neraca perdagangan.
Maksudnya adalah
Indonesia justru dibanjiri oleh produk-produk asing, dibandingkan dengan
kemampuan Kita dalam menjual produk-produk kita ke negara lain. Pada saat kita
mencoba untuk membuka diri, justru asing yang mendapatkan keuntungan. Inilah
yang sering kita kenal dengan istilah perang dagang. Perjanjian FTA sama saja
dengan menjadi sebuah negara yang bersiap untuk menginvasi negara lain di
bidang ekonomi. Dan sejauh ini, kita belum menjadi pemenang.
Ada sejumlah
masalah yang belum kita benahi hingga saat ini. Mulai dari Birokrasi,
Infrastruktur, Sumber Daya Manusia hingga kepastian hukum yang belum sepenuhnya
menjadi pilar yang mendukung negara kita dalam bersaing di kancah global.
Inflasi yang tinggi menjadi salah satu tolak ukurnya. Inflasi yang tinggi
membuat biaya produksi perusahaan semakin meningkat dan mengurangi daya beli
masyarakat.
Misalkan seorang
pengusaha Indonesia yang menghasilkan 1 buah Ballpoin dengan biaya Rp.1.200,-/buah.
Sementara seorang pengusaha China mampu menghasilkan barang yang sama dengan
harga Rp.800,- .
Dengan analogi
tersebut tentunya Ballpoin yang dihasilkan Indonesia lebih mahal dibandingkan
dengan produk sejenis dari China. Sehingga bila kita membuka diri melalui
perjanjian FTA dengan China dan memasukan Ballpoin sebagai komoditas yang bisa
diperdagangkan, maka pengusaha China tersebut tentunya dengan leluasa dapat
menjual Ballpoin di Indonesia dengan harga yang lebih murah dibandingkan dengan
Ballpoin sejenis yang diproduksi Indonesia.
Konsekuensinya
kemana Pengusaha Indonesia akan menjual Ballpoinnya? Sementara pasar dalam
negeri sudah dikuasai barang sejenis dari Asing. Jawaban yang paling mungkin adalah
menutup perusahaannya. Maka konsekuensinya adalah semakin bertambahnya
pengangguran dan negara kita kembali masuk dalam perangkap “penjajahan” model
baru.
Tahun 2015
mendatang Indonesia akan menjadi negara yang masuk dalam Kawasan Ekonomi ASEAN.
Dimana negara anggota ASEAN masing masing akan membuka dirinya dalam hal lalu
lintas barang, jasa maupun uang. Seorang pengusaha dari Indonesia akan dengan
mudah menjual barangnya ke negara lain di kawasan ASEAN demikian yang lainnya.
Namun, ada sejumlah negara yang siap menjadi pesaing dan jauh lebih unggul dari
Indonesia. Mereka yaitu Singapura, Malaysia, Thailand dan Vietnam.
Walaupun mereka
jauh lebih kuat dari kita, namun tetap memiliki kelemahan. Seperti Singapura,
negara yang memiliki luas lahan yang sedikit tersebut sangat kesulitan untuk
membangun sebuah pabrik skala besar. Bayangkan bila ada perusahaan manufaktur
yang mau membangun pabrik di singapura. Maka singapura harus mampu menciptakan
lahan baru dan bila perlu menimbun lautnya untuk dijadikan daratan.
Akan tetapi,
kita masih terjerembab dalam ekonomi biaya tinggi. Kita bandingkan saja suku
bunga yang berlaku di Indonesia. Bila mengacu kepada BI Rate maka bunga
deposito Bank yang ada di Indonesia akan berkisar di angka 5.75%. Bandingkan
dengan bunga yang ada di Thailan, Singapura dan Malaysia. Karena inflasi di
negara tersebut cukup terkendali besaran bunga di negara mereka rata-rata
dibawah 4%. Ya gampang dong, mereka ga perlu bangun pabrik, simpan aja uang di
Bank yang ada di Indonesia. Lumayan, hanya menunggu beberapa waktu uang itu
akan beranak dengan sendirinya.
Bila kita tidak memperbaiki masalah klasik
tersebut, maka daya saing kita akan membuat kita hanya menjadi pasar bagi
negara lain. Jangan sampai nanti pemerintah menegosiasi ulang kesepakatan
Masyarakat Ekonomi ASEAN.
Bank Syariah Vs Bank Konvensional
Medan Bisnis, 14 Mei 2012
Dalam beberapa
pertemuan belajar yang dilakukan penulis dengan sejumlah mahasiswa. Begitu
terkejutnya penulis bahwa ternyata banyak masyarakat yang memiliki pandangan
keliru terhadap Perbankan Syariah. Sebagian masyarakat menilai bahwa tidak ada
perbedaan antara Bank Syariah dengan Bank Konvensional. Bila Bank Konvensional
yang menggunakan Riba (prinsip bunga) dinilai haram, maka Bank Syariah adalah
Bank yang dinilai haram namun diberi label halal. Dan masih banyak lagi penilaian
sesat lainnya.
Yang paling
mengejutkan adalah penilaian tersebut dilandaskan oleh pengalaman masing-masing
masyarakat yang pernah mencoba untuk melakukan pembiayaan (pinjaman) dari Bank
Syariah. Mereka menilai untuk melakukan pinjaman ke Bank konvensional dengan
nominal yang sama, angsuran yang dibayarkan per bulannya tidak jauh berbeda
dengan yang ada di Bank Syariah.
Sebagai
contoh, Tuan Ahmad melakukan pinjaman ke Bank Konvensional untuk membeli sebuah
mobil dengan harga Rp. 100.000.000,- dengan bunga 10% per tahun. Maka cicilan
perbulan yang harus dibayar oleh nasabah adalah Rp. 9.166.667,-. Nah, bila Pak
Ahmad meminjam dari Bank Syariah dengan nominal kredit yang sama, maka Pak
Ahmad juga akan membayar dengan jumlah angka yang sama setiap bulannya.
Langsung penulis bertanya, masalahnya dimana Pak?.
Pak Ahmad
mencoba menjelaskan, bukannya Bank Syariah itu menerapkan prinsip bagi hasil?.
Bukankah seharusnya Bank Syariah itu mendapatkan imbal hasilnya setelah modal
yang saya pinjam saya putar terlebih dahulu untuk usaha setelah itu
keuntungannya baru saya bagi?. Kenapa pada saat saya mau meminjam Bank Syariah
sudah ditentukan besarnya pembayaran bulanan kepada saya, bukan melalui tahapan
pembicaraan (diskusi) kepada saya terlebih dahulu?.
Nah, ini merupakan
salah satu kekurangan yang diketahui orang awam atau masyarakat pada umumnya.
Dan di sisi yang lain ini juga merupakan kekurangan yang dimiliki Bank Syariah
karena minimnya proses edukasi saat nasabah kita ingin mendapatkan pelayanan
dari Bank Syariah.
Di Bank
Syariah ada banyak model pembiayaan. Ada pembiayaan yang menggunakan skema profit loss sharing (PLS – baik untung
maupun kerugian menjadi tanggung jawab kedua pihak). Dimana dalam akad ini baik
nasabah dan Bank sama-sama memiliki hak dan tanggung jawab baik kalau
perusahaan tersebut itu untung maupun dalam kondisi merugi. Akad yang biasa
digunakan dikenal dengan Al-Mudharabah maupun Al-Musyarakah. Selanjutnya
pembiayaan dengan skema jual-beli, Akad yang biasa kita kenal adalah
Al-Murabahah. Ada lagi pembiayaan dengan akad Al-Rahn (gadai), maupun Al-Ijarah
(sewa – menyewa). Sebenarnya masih ada beberapa jenis lainnya, mungkin bisa
penulis buat dalam tulisan lainnya saja.
Dalam contoh
kasus Pak Ahmad, sebenarnya Bank Syariah melakukan pembiayaan dengan Akad Al
Murabahah. Dimana mobil yang ingin dibeli Pak Ahmad sejumlah Rp. 100.000.000,- itu
dibayar ke penjual mobil melalui Bank Syariah untuk kemudian oleh Bank Syariah
dijual kembali ke Pak Ahmad dengan nilai Rp. 110.000.000,- yang kemudian akan
dibayar secara cicilan oleh Pak Ahmad. Sehingga bila harga mobil sebesar Rp.
110.000.000,- di bagi 12 akan didapatkan cicilan yang nilainya hampir sama
dengan meminjam uang Rp.100.000.000,- dengan bunga 10% di Bank Konvensional.
Dalam kasus
tersebut jelas bahwa Bank Syariah mengambil keuntungan sebesar Rp.
10.000.000,-. Pak Ahmad pun langsung mengkritisi : “Nah saya kan maunya yang
bagi hasil”. Bila menggunakan prinsip
bagi hasil (PLS), sebenarnya akad tersebut memiliki kelemahan karena bersandar
kepada kejujuran dari si Peminjam (debitur). Bayangkan bila Pak Ahmad dibiayai
dengan akad Al-Mudharabah, berarti nantinya keuntungan dari Pak Ahmad sebagian
diberikan ke Bank Syariah. Pertanyaannya adalah Apakah tidak mungkin Pak Ahmad
akan bertindak curang?, Penulis berkeyakinan bahwa sangat-sangat mungkin hal
tersebut terjadi. Sekalipun dilakukan pengawasan debitur oleh Bank Syariah,
penulis yakini tidak akan berjalan 100%. Itu hanya meminimalisir bukan
menghilangkan tindakan curang peminjam ditengah tingginya degradasi moral
manusia saat ini.
Nah bila
peminjam itu sendiri melakukan usahanya tidak dengan jujur, maka sebenarnya
rukun Al-Mudharabah itu sendiri sudah tidak terpenuhi. Namun demikian, penulis
juga mengkritisi kebijakan Bank Syariah yang banyak melakukan pembiayaan dengan
skema jual-beli dibandingkan dengan akad lainnya. Hal tersebut terkesan Bank
Syariah bersikap pragmatis. Penulis juga mengkritisi minimnya pembelajaran
dengan mengenalkan produk keuangan berbasis Islam kepada nasabah.
Memang
sulit membangun paradigma masyarakat yang sudah terbiasa dengan pembiayaan
konvensional saat ini. Selain itu, sisi bisnis Bank Syariah yang juga bersaing
dengan Bank konvensional menuntut Bank lebih kreatif lagi meskipun terkadang
terjebak dalam kebijakan yang pragmatis. Pilihan Bank Syariah untuk tetap hidup
itu jauh lebih baik daripada mundur karena penilaian negatif yang kurang
mendasar. Hasil penelitian penulis tentang Bank Syariah lainnya akan penulis
buat nantinya dalam tulisan lain yang diharapkan dapat digunakan sebagai wahana
pembelajaran.
Seorang Wanita (Ekonomi) Yang Menginginkan Kepastian
Medan Bisnis, 7 May 2012
Ketidakpastian
arah terhadap rencana kenaikan harga BBM masih membayangi kondisi perekonomian
kita akhir-akhir ini. Sementara itu, pemerintah terus melakukan upaya-upaya
penghematan guna menghindari defisit APBN yang kian besar. Dan cara yang
ditempuh belakangan ini adalah dengan memberlakukan kebijakan pembatasan BBM
kepada mobil plat merah (pemerintah).
Kebijakan
tersebut agak lucu, karena yang dibatasi adalah mobil-mobil plat merah.
Sehingga analoginya adalah pemerintah mengeluarkan uang yang lebih banyak,
namun masuk lagi ke kantong pemerintah. Ini ibarat memindahkan uang dari satu
kantong ke kantong yang lain. Namun, dampak posistifnya adalah adanya semacam
contoh dari pemerintah yang menggunakan BBM non subsidi.
Langkah
tersebut ditempuh karena harga rata-rata minyak mentah Indonesia (ICP) dalam 6
bulan terakhir belum mencapai ambang batas 15% dari harga yang diasumsikan di
APBN sebesar $105/barel. Seperti yang pernah ditulis oleh penulis sebelumnya,
dimana harga minyak menjelang pertengahan tahun ini tidak akan banyak berubah
bahkan mengalami tren penurunan harga. Sehingga BBM tidak jadi dinaikkan dalam
waktu dekat.
Beberapa
solusi yang bagus lainnya adalah konversi penggunaan BBM ke LPG. Ada alat yang
namanya konverter kit yang bisa dipasang di mobil-mobil. Hal tersebut merupakan
langkah positif, hanya saja mungkin penerapannya oleh masyarakat saat ini tidak
begitu maksimal. Namun, disaat nantinya BBM dinaikkan maka minat masyarakat
akan lebih baik untuk mengganti konsumsi BBMnya ke LPG.
Untuk
sementara waktu ini memang ada ketidakpastian yang membuat orang lebih banyak
spekulasi. Satu yang menjadi kepastian adalah harga BBM itu akan naik walupun
sulit diprediksikan kapan waktunya. Ketidakpastian saat ini memicu munculnya
pemikiran yang menduga-duga hingga aksi spekulasi yang berlebihan.
Di
pasar saham, harga saham-saham akan bergerak liar dan tidak memiliki arah yang
pasti. Sejumlah perusahaan yang menghasilkan barang-barang konsumsi dan rentan
akan perubahan inflasi menjadi sangat rapuh dan syarat dengan aksi profit taking dalam jangka pendek.
Ketidak pastian tersebut membuat para investor kesulitan dalam membentuk
portfolio investasinya.
Analyst
dalam memproyeksikan pergerakan harga saham dengan sekmea kenaikan inflasi yang
pasling ekstrim. Hal tersebut membuat sejumlah harga saham yang diproyeksikan
naik namun tidak kenaikannya tidak optimal karena ada ancaman dari kenaikan
laju inflasi akibat kenaikan harga BBM nantinya.
Dipasar
keuangan, nilai tukar Rupiah bisa diperdagangkan melemah seiring dengan
memburuknya laji inflasi nantinya. Pelemahan nilai tukar Rupiah tersebut
bahakan diperkirakan akan mencapai Rp. 9.300 atau bahkan lebih per US$ nantinya.
Belajar bagaimana spekulan yang di Singapura beberapa waktu yang lalu melakukan
spekulasi dengan menggunakan produk derivatif sehingga membuat Rupiah melemah.
Dampak
lanjutan dari ketidakpastian tersebut akan membuat cadangan devisa kita
terkuras cukup signifikan. Karena operasi moneter yang dilakukan Bank Indonesia
menggunakan cadangan devisanya dalam menstabilkan nilai tukar Rupiah. Bisa
ditarik kesimpulan Inflasi yang tinggi berpeluang membuat cadangan devisa kita
menurun.
Dari
sisi pengusaha juga tidak diuntungkan dengan ketidakpastian dari rencana kenaikan
harga BBM. Pengusaha jadi lebih sulit dalam memprediksikan penjualan, kemungkinan
kenaikan bahan baku atau berapa kebesar kemungkinan kenaikan harga jual barang
yang diproduksikan nantinya. Selain itu, kalaupun nantinya produksi menurun,
berapa besar lagi karyawan yang akan dikurangi. Dan masih banyak lagi.
Ekonomi
Indonesia saat ini bagaikan seorang wanita yang menginginkan kepastian dari
kekasihnya untuk segera dinikahi. Sang wanita memberikan ultimatum bila
kepastian tersebut batal dilakukan. Seperti halnya S&P yang batal menaikkan
peringkat hutang kita karena ketidakpastian kenaikan harga BBM di dalam negeri.
Mata Uang Bergerak Tak Jauh Dari Fundamentalnya
Medan Bisnis, 30 April 2012
Pergerakan mata uang Eropa dan Amerika dalam minggu kemarin terpantau flat dan berfluktuasi dalam rentang yang tidak begitu lebar. Sejumlah sentimen tengah dinanti termasuk langkah The FED yang akan memberikan stimulus lagi. Sinyal tersebut ditunggu oleh pelaku pasar yang bisa berdampak negatif bagi US Dolar itu sendiri. Sejumlah indikator yang di nanti antara lain laporan dari Bureau of Economic Analysis yang dijadwalkan akan merilis data terkini mengenai pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat pada triwulan pertama tahun ini.
Walaupun banyak analis yang yakin bahwa PDB AS akan mengalami kenaikan, namun respon yang terjadi justru US Dolar masih bergerak mendatar. Sejumlah spekulasi yang berkembang adalah menanti keputusan The FED terhadap quantitative easing yang bisa saja keluar dalam waktu dekat. Bila sebelumnya stimulus tidak berdampak signifikan, namun bila sejumlah indikator ekonomi AS membaik maka stimulus justru berfungsi sebagai akselerator terhadap laju pertumbuhan ekonomi AS.
Akan tetapi, belum bisa dipastikan dengan begitu cepat bahwa ekonomi AS benar-benar telah masuk ke dalam tahapan ekspansi. Karena, situasi ekonomi Eropa masih masuk kedalam masa resesi yang bahkan akan menemui titik terendah di tahun 2012 ini. Bisa saja yang terjadi sebaliknya, dimana setelah stimulus ternyata tidak memberikan hasil yang maksimal dan justru bereaksi negatif terhadap kinerja US Dolar. Inflasi justru menjadi ancaman baru serta tetap memperlihatkan ekonomi AS yang masih suram dalam beberapa waktu kedepan.
Sementara itu, mata uang Euro bergerak berlawanan terhadap US Dolar akhir akhir ini. Disaat Amerika akan menggelontorkan stimulus, Euro langsung bergerak menguat. Sayangnya penguatan Euro belum menjadi cerminan terhadap kinerja fundamental ekonomi Eropa secara keseluruhan. Terlebih setelah lembaga pemeringkat Standard & Poor's kembali memangkas peringkat utang pemerintah Spanyol, seiring dengan terjadinya kontraksi ekonomi. Fiskal masih menjadi kendala utama spanyol terhadap perbankan.
Peringkat utang jangka panjang pemerintah Spanyol diturunkan satu tingkat dari A menjadi BBB+, sedangkan peringkat utang jangka pendek diturunkan menjadi A-2 dari A-1. Secara keseluruhan peringkat tersebut masih lebih baik dari rating utang Indonesia. Namun, kemungkinan yang lebih buruk bias saja terjadi mengingat sejumlah Negara di Eropa masih terbelit dalam krisis yang diperkirakan akan berlangsung setidaknya hingga 2 atau 3 tahun kedepan. Sehingga isu-isu fundamental kerap akan menjadi tekanan bagi kinerja mata uang Euro kedepan. Melihat kejadian tersebut niscaya mata uang Euro akan menguat secara signifikan dalam waktu dekat. Euro akan lebih sulit bangkit dibandingkan dengan Amerika Serikat. Karena kinerja mata uang Euro merupakan refleksi dari fundamental sejumlah Negara eropa yang memiliki masalah serta kepentingan sendiri.
Sulit untuk mengharapkan eropa benar-benar bersatu dan memiliki satu pandangan yang sama terkait penyelesaian krisis yang terjadi di Eropa saat ini. Ketidak harmonisan serta irama yang berbeda dalam setiap langkah untuk menyelesaikan krisis akan menambah beban bagi Euro dan membuat Euro akan terus tertekan terhadap mata uang major currency lainnya. Dengan melihat kondisi seperti ini. Maka US Dolar masih akan tetap menjadi mata uang yang aman untuk dipegang.
Sehingga US Dolar masih memiliki peluang untuk menguat walaupun Amerika Serikat tengah dilanda krisis yang belum berkesudahan. Hal tersebut dikarenakan minat terhadap safe haven currency seiring dengan memburuknya ekonomi Eropa. Selain itu, mata uang US Dolar masih menjadi mata uang internasional, sehingga dominasi US Dolar masih relatif kuat. Eropa masih akan disibukkan dengan kebijakan penghematan anggaran. Dimana kebijakan tersebut merupakan bentuk kebijakan “berani mati”.
Ekonomi eropa bagaikan masuk kedalam lingkaran setan. Sejumlah berita tak sedap juga masih menghinggapi sejumlah pemerintahan di belahan Negara Eropa, seperti penolakan penghematan anggaran di Perancis, pengunduran diri perdana menteri Belanda serta memburuknya kinerja ekonomi di Jerman. Masalah krisis di Eropa bukan hanya seputar pusaran krisis keuangan, namun telah merambat ke masalah politik. Demokrasi di eropa juga tengah menghadapi guncangan hebat sering dengan memburuknya kinerja ekonomi. Maka nasib mata uang Euro tentunya tidak akan jauh dari krisis multidimensi bangsa eropa saat ini.
Pergerakan mata uang Eropa dan Amerika dalam minggu kemarin terpantau flat dan berfluktuasi dalam rentang yang tidak begitu lebar. Sejumlah sentimen tengah dinanti termasuk langkah The FED yang akan memberikan stimulus lagi. Sinyal tersebut ditunggu oleh pelaku pasar yang bisa berdampak negatif bagi US Dolar itu sendiri. Sejumlah indikator yang di nanti antara lain laporan dari Bureau of Economic Analysis yang dijadwalkan akan merilis data terkini mengenai pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat pada triwulan pertama tahun ini.
Walaupun banyak analis yang yakin bahwa PDB AS akan mengalami kenaikan, namun respon yang terjadi justru US Dolar masih bergerak mendatar. Sejumlah spekulasi yang berkembang adalah menanti keputusan The FED terhadap quantitative easing yang bisa saja keluar dalam waktu dekat. Bila sebelumnya stimulus tidak berdampak signifikan, namun bila sejumlah indikator ekonomi AS membaik maka stimulus justru berfungsi sebagai akselerator terhadap laju pertumbuhan ekonomi AS.
Akan tetapi, belum bisa dipastikan dengan begitu cepat bahwa ekonomi AS benar-benar telah masuk ke dalam tahapan ekspansi. Karena, situasi ekonomi Eropa masih masuk kedalam masa resesi yang bahkan akan menemui titik terendah di tahun 2012 ini. Bisa saja yang terjadi sebaliknya, dimana setelah stimulus ternyata tidak memberikan hasil yang maksimal dan justru bereaksi negatif terhadap kinerja US Dolar. Inflasi justru menjadi ancaman baru serta tetap memperlihatkan ekonomi AS yang masih suram dalam beberapa waktu kedepan.
Sementara itu, mata uang Euro bergerak berlawanan terhadap US Dolar akhir akhir ini. Disaat Amerika akan menggelontorkan stimulus, Euro langsung bergerak menguat. Sayangnya penguatan Euro belum menjadi cerminan terhadap kinerja fundamental ekonomi Eropa secara keseluruhan. Terlebih setelah lembaga pemeringkat Standard & Poor's kembali memangkas peringkat utang pemerintah Spanyol, seiring dengan terjadinya kontraksi ekonomi. Fiskal masih menjadi kendala utama spanyol terhadap perbankan.
Peringkat utang jangka panjang pemerintah Spanyol diturunkan satu tingkat dari A menjadi BBB+, sedangkan peringkat utang jangka pendek diturunkan menjadi A-2 dari A-1. Secara keseluruhan peringkat tersebut masih lebih baik dari rating utang Indonesia. Namun, kemungkinan yang lebih buruk bias saja terjadi mengingat sejumlah Negara di Eropa masih terbelit dalam krisis yang diperkirakan akan berlangsung setidaknya hingga 2 atau 3 tahun kedepan. Sehingga isu-isu fundamental kerap akan menjadi tekanan bagi kinerja mata uang Euro kedepan. Melihat kejadian tersebut niscaya mata uang Euro akan menguat secara signifikan dalam waktu dekat. Euro akan lebih sulit bangkit dibandingkan dengan Amerika Serikat. Karena kinerja mata uang Euro merupakan refleksi dari fundamental sejumlah Negara eropa yang memiliki masalah serta kepentingan sendiri.
Sulit untuk mengharapkan eropa benar-benar bersatu dan memiliki satu pandangan yang sama terkait penyelesaian krisis yang terjadi di Eropa saat ini. Ketidak harmonisan serta irama yang berbeda dalam setiap langkah untuk menyelesaikan krisis akan menambah beban bagi Euro dan membuat Euro akan terus tertekan terhadap mata uang major currency lainnya. Dengan melihat kondisi seperti ini. Maka US Dolar masih akan tetap menjadi mata uang yang aman untuk dipegang.
Sehingga US Dolar masih memiliki peluang untuk menguat walaupun Amerika Serikat tengah dilanda krisis yang belum berkesudahan. Hal tersebut dikarenakan minat terhadap safe haven currency seiring dengan memburuknya ekonomi Eropa. Selain itu, mata uang US Dolar masih menjadi mata uang internasional, sehingga dominasi US Dolar masih relatif kuat. Eropa masih akan disibukkan dengan kebijakan penghematan anggaran. Dimana kebijakan tersebut merupakan bentuk kebijakan “berani mati”.
Ekonomi eropa bagaikan masuk kedalam lingkaran setan. Sejumlah berita tak sedap juga masih menghinggapi sejumlah pemerintahan di belahan Negara Eropa, seperti penolakan penghematan anggaran di Perancis, pengunduran diri perdana menteri Belanda serta memburuknya kinerja ekonomi di Jerman. Masalah krisis di Eropa bukan hanya seputar pusaran krisis keuangan, namun telah merambat ke masalah politik. Demokrasi di eropa juga tengah menghadapi guncangan hebat sering dengan memburuknya kinerja ekonomi. Maka nasib mata uang Euro tentunya tidak akan jauh dari krisis multidimensi bangsa eropa saat ini.
Subscribe to:
Posts (Atom)