Dalam beberapa
pertemuan belajar yang dilakukan penulis dengan sejumlah mahasiswa. Begitu
terkejutnya penulis bahwa ternyata banyak masyarakat yang memiliki pandangan
keliru terhadap Perbankan Syariah. Sebagian masyarakat menilai bahwa tidak ada
perbedaan antara Bank Syariah dengan Bank Konvensional. Bila Bank Konvensional
yang menggunakan Riba (prinsip bunga) dinilai haram, maka Bank Syariah adalah
Bank yang dinilai haram namun diberi label halal. Dan masih banyak lagi penilaian
sesat lainnya.
Yang paling
mengejutkan adalah penilaian tersebut dilandaskan oleh pengalaman masing-masing
masyarakat yang pernah mencoba untuk melakukan pembiayaan (pinjaman) dari Bank
Syariah. Mereka menilai untuk melakukan pinjaman ke Bank konvensional dengan
nominal yang sama, angsuran yang dibayarkan per bulannya tidak jauh berbeda
dengan yang ada di Bank Syariah.
Sebagai
contoh, Tuan Ahmad melakukan pinjaman ke Bank Konvensional untuk membeli sebuah
mobil dengan harga Rp. 100.000.000,- dengan bunga 10% per tahun. Maka cicilan
perbulan yang harus dibayar oleh nasabah adalah Rp. 9.166.667,-. Nah, bila Pak
Ahmad meminjam dari Bank Syariah dengan nominal kredit yang sama, maka Pak
Ahmad juga akan membayar dengan jumlah angka yang sama setiap bulannya.
Langsung penulis bertanya, masalahnya dimana Pak?.
Pak Ahmad
mencoba menjelaskan, bukannya Bank Syariah itu menerapkan prinsip bagi hasil?.
Bukankah seharusnya Bank Syariah itu mendapatkan imbal hasilnya setelah modal
yang saya pinjam saya putar terlebih dahulu untuk usaha setelah itu
keuntungannya baru saya bagi?. Kenapa pada saat saya mau meminjam Bank Syariah
sudah ditentukan besarnya pembayaran bulanan kepada saya, bukan melalui tahapan
pembicaraan (diskusi) kepada saya terlebih dahulu?.
Nah, ini merupakan
salah satu kekurangan yang diketahui orang awam atau masyarakat pada umumnya.
Dan di sisi yang lain ini juga merupakan kekurangan yang dimiliki Bank Syariah
karena minimnya proses edukasi saat nasabah kita ingin mendapatkan pelayanan
dari Bank Syariah.
Di Bank
Syariah ada banyak model pembiayaan. Ada pembiayaan yang menggunakan skema profit loss sharing (PLS – baik untung
maupun kerugian menjadi tanggung jawab kedua pihak). Dimana dalam akad ini baik
nasabah dan Bank sama-sama memiliki hak dan tanggung jawab baik kalau
perusahaan tersebut itu untung maupun dalam kondisi merugi. Akad yang biasa
digunakan dikenal dengan Al-Mudharabah maupun Al-Musyarakah. Selanjutnya
pembiayaan dengan skema jual-beli, Akad yang biasa kita kenal adalah
Al-Murabahah. Ada lagi pembiayaan dengan akad Al-Rahn (gadai), maupun Al-Ijarah
(sewa – menyewa). Sebenarnya masih ada beberapa jenis lainnya, mungkin bisa
penulis buat dalam tulisan lainnya saja.
Dalam contoh
kasus Pak Ahmad, sebenarnya Bank Syariah melakukan pembiayaan dengan Akad Al
Murabahah. Dimana mobil yang ingin dibeli Pak Ahmad sejumlah Rp. 100.000.000,- itu
dibayar ke penjual mobil melalui Bank Syariah untuk kemudian oleh Bank Syariah
dijual kembali ke Pak Ahmad dengan nilai Rp. 110.000.000,- yang kemudian akan
dibayar secara cicilan oleh Pak Ahmad. Sehingga bila harga mobil sebesar Rp.
110.000.000,- di bagi 12 akan didapatkan cicilan yang nilainya hampir sama
dengan meminjam uang Rp.100.000.000,- dengan bunga 10% di Bank Konvensional.
Dalam kasus
tersebut jelas bahwa Bank Syariah mengambil keuntungan sebesar Rp.
10.000.000,-. Pak Ahmad pun langsung mengkritisi : “Nah saya kan maunya yang
bagi hasil”. Bila menggunakan prinsip
bagi hasil (PLS), sebenarnya akad tersebut memiliki kelemahan karena bersandar
kepada kejujuran dari si Peminjam (debitur). Bayangkan bila Pak Ahmad dibiayai
dengan akad Al-Mudharabah, berarti nantinya keuntungan dari Pak Ahmad sebagian
diberikan ke Bank Syariah. Pertanyaannya adalah Apakah tidak mungkin Pak Ahmad
akan bertindak curang?, Penulis berkeyakinan bahwa sangat-sangat mungkin hal
tersebut terjadi. Sekalipun dilakukan pengawasan debitur oleh Bank Syariah,
penulis yakini tidak akan berjalan 100%. Itu hanya meminimalisir bukan
menghilangkan tindakan curang peminjam ditengah tingginya degradasi moral
manusia saat ini.
Nah bila
peminjam itu sendiri melakukan usahanya tidak dengan jujur, maka sebenarnya
rukun Al-Mudharabah itu sendiri sudah tidak terpenuhi. Namun demikian, penulis
juga mengkritisi kebijakan Bank Syariah yang banyak melakukan pembiayaan dengan
skema jual-beli dibandingkan dengan akad lainnya. Hal tersebut terkesan Bank
Syariah bersikap pragmatis. Penulis juga mengkritisi minimnya pembelajaran
dengan mengenalkan produk keuangan berbasis Islam kepada nasabah.
Memang
sulit membangun paradigma masyarakat yang sudah terbiasa dengan pembiayaan
konvensional saat ini. Selain itu, sisi bisnis Bank Syariah yang juga bersaing
dengan Bank konvensional menuntut Bank lebih kreatif lagi meskipun terkadang
terjebak dalam kebijakan yang pragmatis. Pilihan Bank Syariah untuk tetap hidup
itu jauh lebih baik daripada mundur karena penilaian negatif yang kurang
mendasar. Hasil penelitian penulis tentang Bank Syariah lainnya akan penulis
buat nantinya dalam tulisan lain yang diharapkan dapat digunakan sebagai wahana
pembelajaran.
No comments:
Post a Comment