Friday, June 15, 2012

Bank Syariah Vs Bank Konvensional

Medan Bisnis, 14 Mei 2012

Dalam beberapa pertemuan belajar yang dilakukan penulis dengan sejumlah mahasiswa. Begitu terkejutnya penulis bahwa ternyata banyak masyarakat yang memiliki pandangan keliru terhadap Perbankan Syariah. Sebagian masyarakat menilai bahwa tidak ada perbedaan antara Bank Syariah dengan Bank Konvensional. Bila Bank Konvensional yang menggunakan Riba (prinsip bunga) dinilai haram, maka Bank Syariah adalah Bank yang dinilai haram namun diberi label halal. Dan masih banyak lagi penilaian sesat lainnya.

Yang paling mengejutkan adalah penilaian tersebut dilandaskan oleh pengalaman masing-masing masyarakat yang pernah mencoba untuk melakukan pembiayaan (pinjaman) dari Bank Syariah. Mereka menilai untuk melakukan pinjaman ke Bank konvensional dengan nominal yang sama, angsuran yang dibayarkan per bulannya tidak jauh berbeda dengan yang ada di Bank Syariah.

Sebagai contoh, Tuan Ahmad melakukan pinjaman ke Bank Konvensional untuk membeli sebuah mobil dengan harga Rp. 100.000.000,- dengan bunga 10% per tahun. Maka cicilan perbulan yang harus dibayar oleh nasabah adalah Rp. 9.166.667,-. Nah, bila Pak Ahmad meminjam dari Bank Syariah dengan nominal kredit yang sama, maka Pak Ahmad juga akan membayar dengan jumlah angka yang sama setiap bulannya. Langsung penulis bertanya, masalahnya dimana Pak?.

Pak Ahmad mencoba menjelaskan, bukannya Bank Syariah itu menerapkan prinsip bagi hasil?. Bukankah seharusnya Bank Syariah itu mendapatkan imbal hasilnya setelah modal yang saya pinjam saya putar terlebih dahulu untuk usaha setelah itu keuntungannya baru saya bagi?. Kenapa pada saat saya mau meminjam Bank Syariah sudah ditentukan besarnya pembayaran bulanan kepada saya, bukan melalui tahapan pembicaraan (diskusi) kepada saya terlebih dahulu?.

Nah, ini merupakan salah satu kekurangan yang diketahui orang awam atau masyarakat pada umumnya. Dan di sisi yang lain ini juga merupakan kekurangan yang dimiliki Bank Syariah karena minimnya proses edukasi saat nasabah kita ingin mendapatkan pelayanan dari Bank Syariah.

Di Bank Syariah ada banyak model pembiayaan. Ada pembiayaan yang menggunakan skema profit loss sharing (PLS – baik untung maupun kerugian menjadi tanggung jawab kedua pihak). Dimana dalam akad ini baik nasabah dan Bank sama-sama memiliki hak dan tanggung jawab baik kalau perusahaan tersebut itu untung maupun dalam kondisi merugi. Akad yang biasa digunakan dikenal dengan Al-Mudharabah maupun Al-Musyarakah. Selanjutnya pembiayaan dengan skema jual-beli, Akad yang biasa kita kenal adalah Al-Murabahah. Ada lagi pembiayaan dengan akad Al-Rahn (gadai), maupun Al-Ijarah (sewa – menyewa). Sebenarnya masih ada beberapa jenis lainnya, mungkin bisa penulis buat dalam tulisan lainnya saja.

Dalam contoh kasus Pak Ahmad, sebenarnya Bank Syariah melakukan pembiayaan dengan Akad Al Murabahah. Dimana mobil yang ingin dibeli Pak Ahmad sejumlah Rp. 100.000.000,- itu dibayar ke penjual mobil melalui Bank Syariah untuk kemudian oleh Bank Syariah dijual kembali ke Pak Ahmad dengan nilai Rp. 110.000.000,- yang kemudian akan dibayar secara cicilan oleh Pak Ahmad. Sehingga bila harga mobil sebesar Rp. 110.000.000,- di bagi 12 akan didapatkan cicilan yang nilainya hampir sama dengan meminjam uang Rp.100.000.000,- dengan bunga 10% di Bank Konvensional.

Dalam kasus tersebut jelas bahwa Bank Syariah mengambil keuntungan sebesar Rp. 10.000.000,-. Pak Ahmad pun langsung mengkritisi : “Nah saya kan maunya yang bagi hasil”.  Bila menggunakan prinsip bagi hasil (PLS), sebenarnya akad tersebut memiliki kelemahan karena bersandar kepada kejujuran dari si Peminjam (debitur). Bayangkan bila Pak Ahmad dibiayai dengan akad Al-Mudharabah, berarti nantinya keuntungan dari Pak Ahmad sebagian diberikan ke Bank Syariah. Pertanyaannya adalah Apakah tidak mungkin Pak Ahmad akan bertindak curang?, Penulis berkeyakinan bahwa sangat-sangat mungkin hal tersebut terjadi. Sekalipun dilakukan pengawasan debitur oleh Bank Syariah, penulis yakini tidak akan berjalan 100%. Itu hanya meminimalisir bukan menghilangkan tindakan curang peminjam ditengah tingginya degradasi moral manusia saat ini.

Nah bila peminjam itu sendiri melakukan usahanya tidak dengan jujur, maka sebenarnya rukun Al-Mudharabah itu sendiri sudah tidak terpenuhi. Namun demikian, penulis juga mengkritisi kebijakan Bank Syariah yang banyak melakukan pembiayaan dengan skema jual-beli dibandingkan dengan akad lainnya. Hal tersebut terkesan Bank Syariah bersikap pragmatis. Penulis juga mengkritisi minimnya pembelajaran dengan mengenalkan produk keuangan berbasis Islam kepada nasabah.
Memang sulit membangun paradigma masyarakat yang sudah terbiasa dengan pembiayaan konvensional saat ini. Selain itu, sisi bisnis Bank Syariah yang juga bersaing dengan Bank konvensional menuntut Bank lebih kreatif lagi meskipun terkadang terjebak dalam kebijakan yang pragmatis. Pilihan Bank Syariah untuk tetap hidup itu jauh lebih baik daripada mundur karena penilaian negatif yang kurang mendasar. Hasil penelitian penulis tentang Bank Syariah lainnya akan penulis buat nantinya dalam tulisan lain yang diharapkan dapat digunakan sebagai wahana pembelajaran.

No comments: