Daya saing
negara kita benar-benar masih belum mampu menandingi produk yang dihasilkan
dari negara asia lainnya seperti China. Indonesia mengklaim bahwa pemberlakuan
FTA (free trade area) membuat sejumlah produk Indonesia kalah bersaing dan
Indonesia mengalami defisit perdagangan dengan negara lain khususnya dengan
China.
FTA adalah
bentuk globalisasi dimana baik negara kita dengan negara lain melakukan
perdagangan secara adil dan mengandalkan produk-produk unggulan yang siap dijual
kesejumlah negara yang masuk dalam perjanjian tersebut. Bila Indonesia menilai
bahwa China merupakan pangsa pasar potensial untuk menjual barang-barang yang
diproduksi Indonesia, maka Indonesia dan China dapat melakukan kerjasama dalam
hal lalu lintas barang.
Dengan kata lain
kita membuka diri kita akan barang-barang yang dijual oleh China dan
sebaliknya. Faktanya pemerintah berencana merevisi kesepakatan FTA dengan
sejumlah negara lain. Revisi berarti melakukan perubahan kerjasama. Kerjasama
yang sebelumnya telah disepakati tersebut akan direvisi oleh pemerintah dengan
alasan Indonesia mengalami defisit neraca perdagangan.
Maksudnya adalah
Indonesia justru dibanjiri oleh produk-produk asing, dibandingkan dengan
kemampuan Kita dalam menjual produk-produk kita ke negara lain. Pada saat kita
mencoba untuk membuka diri, justru asing yang mendapatkan keuntungan. Inilah
yang sering kita kenal dengan istilah perang dagang. Perjanjian FTA sama saja
dengan menjadi sebuah negara yang bersiap untuk menginvasi negara lain di
bidang ekonomi. Dan sejauh ini, kita belum menjadi pemenang.
Ada sejumlah
masalah yang belum kita benahi hingga saat ini. Mulai dari Birokrasi,
Infrastruktur, Sumber Daya Manusia hingga kepastian hukum yang belum sepenuhnya
menjadi pilar yang mendukung negara kita dalam bersaing di kancah global.
Inflasi yang tinggi menjadi salah satu tolak ukurnya. Inflasi yang tinggi
membuat biaya produksi perusahaan semakin meningkat dan mengurangi daya beli
masyarakat.
Misalkan seorang
pengusaha Indonesia yang menghasilkan 1 buah Ballpoin dengan biaya Rp.1.200,-/buah.
Sementara seorang pengusaha China mampu menghasilkan barang yang sama dengan
harga Rp.800,- .
Dengan analogi
tersebut tentunya Ballpoin yang dihasilkan Indonesia lebih mahal dibandingkan
dengan produk sejenis dari China. Sehingga bila kita membuka diri melalui
perjanjian FTA dengan China dan memasukan Ballpoin sebagai komoditas yang bisa
diperdagangkan, maka pengusaha China tersebut tentunya dengan leluasa dapat
menjual Ballpoin di Indonesia dengan harga yang lebih murah dibandingkan dengan
Ballpoin sejenis yang diproduksi Indonesia.
Konsekuensinya
kemana Pengusaha Indonesia akan menjual Ballpoinnya? Sementara pasar dalam
negeri sudah dikuasai barang sejenis dari Asing. Jawaban yang paling mungkin adalah
menutup perusahaannya. Maka konsekuensinya adalah semakin bertambahnya
pengangguran dan negara kita kembali masuk dalam perangkap “penjajahan” model
baru.
Tahun 2015
mendatang Indonesia akan menjadi negara yang masuk dalam Kawasan Ekonomi ASEAN.
Dimana negara anggota ASEAN masing masing akan membuka dirinya dalam hal lalu
lintas barang, jasa maupun uang. Seorang pengusaha dari Indonesia akan dengan
mudah menjual barangnya ke negara lain di kawasan ASEAN demikian yang lainnya.
Namun, ada sejumlah negara yang siap menjadi pesaing dan jauh lebih unggul dari
Indonesia. Mereka yaitu Singapura, Malaysia, Thailand dan Vietnam.
Walaupun mereka
jauh lebih kuat dari kita, namun tetap memiliki kelemahan. Seperti Singapura,
negara yang memiliki luas lahan yang sedikit tersebut sangat kesulitan untuk
membangun sebuah pabrik skala besar. Bayangkan bila ada perusahaan manufaktur
yang mau membangun pabrik di singapura. Maka singapura harus mampu menciptakan
lahan baru dan bila perlu menimbun lautnya untuk dijadikan daratan.
Akan tetapi,
kita masih terjerembab dalam ekonomi biaya tinggi. Kita bandingkan saja suku
bunga yang berlaku di Indonesia. Bila mengacu kepada BI Rate maka bunga
deposito Bank yang ada di Indonesia akan berkisar di angka 5.75%. Bandingkan
dengan bunga yang ada di Thailan, Singapura dan Malaysia. Karena inflasi di
negara tersebut cukup terkendali besaran bunga di negara mereka rata-rata
dibawah 4%. Ya gampang dong, mereka ga perlu bangun pabrik, simpan aja uang di
Bank yang ada di Indonesia. Lumayan, hanya menunggu beberapa waktu uang itu
akan beranak dengan sendirinya.
Bila kita tidak memperbaiki masalah klasik
tersebut, maka daya saing kita akan membuat kita hanya menjadi pasar bagi
negara lain. Jangan sampai nanti pemerintah menegosiasi ulang kesepakatan
Masyarakat Ekonomi ASEAN.
No comments:
Post a Comment