Friday, June 15, 2012

Daya Saing Yang Tak Bersaing

Medan Bisnis, 21 Mei 2012

Daya saing negara kita benar-benar masih belum mampu menandingi produk yang dihasilkan dari negara asia lainnya seperti China. Indonesia mengklaim bahwa pemberlakuan FTA (free trade area) membuat sejumlah produk Indonesia kalah bersaing dan Indonesia mengalami defisit perdagangan dengan negara lain khususnya dengan China.

FTA adalah bentuk globalisasi dimana baik negara kita dengan negara lain melakukan perdagangan secara adil dan mengandalkan produk-produk unggulan yang siap dijual kesejumlah negara yang masuk dalam perjanjian tersebut. Bila Indonesia menilai bahwa China merupakan pangsa pasar potensial untuk menjual barang-barang yang diproduksi Indonesia, maka Indonesia dan China dapat melakukan kerjasama dalam hal lalu lintas barang.

Dengan kata lain kita membuka diri kita akan barang-barang yang dijual oleh China dan sebaliknya. Faktanya pemerintah berencana merevisi kesepakatan FTA dengan sejumlah negara lain. Revisi berarti melakukan perubahan kerjasama. Kerjasama yang sebelumnya telah disepakati tersebut akan direvisi oleh pemerintah dengan alasan Indonesia mengalami defisit neraca perdagangan.

Maksudnya adalah Indonesia justru dibanjiri oleh produk-produk asing, dibandingkan dengan kemampuan Kita dalam menjual produk-produk kita ke negara lain. Pada saat kita mencoba untuk membuka diri, justru asing yang mendapatkan keuntungan. Inilah yang sering kita kenal dengan istilah perang dagang. Perjanjian FTA sama saja dengan menjadi sebuah negara yang bersiap untuk menginvasi negara lain di bidang ekonomi. Dan sejauh ini, kita belum menjadi pemenang.

Ada sejumlah masalah yang belum kita benahi hingga saat ini. Mulai dari Birokrasi, Infrastruktur, Sumber Daya Manusia hingga kepastian hukum yang belum sepenuhnya menjadi pilar yang mendukung negara kita dalam bersaing di kancah global. Inflasi yang tinggi menjadi salah satu tolak ukurnya. Inflasi yang tinggi membuat biaya produksi perusahaan semakin meningkat dan mengurangi daya beli masyarakat.

Misalkan seorang pengusaha Indonesia yang menghasilkan 1 buah Ballpoin dengan biaya Rp.1.200,-/buah. Sementara seorang pengusaha China mampu menghasilkan barang yang sama dengan harga Rp.800,- .

Dengan analogi tersebut tentunya Ballpoin yang dihasilkan Indonesia lebih mahal dibandingkan dengan produk sejenis dari China. Sehingga bila kita membuka diri melalui perjanjian FTA dengan China dan memasukan Ballpoin sebagai komoditas yang bisa diperdagangkan, maka pengusaha China tersebut tentunya dengan leluasa dapat menjual Ballpoin di Indonesia dengan harga yang lebih murah dibandingkan dengan Ballpoin sejenis yang diproduksi Indonesia.

Konsekuensinya kemana Pengusaha Indonesia akan menjual Ballpoinnya? Sementara pasar dalam negeri sudah dikuasai barang sejenis dari Asing. Jawaban yang paling mungkin adalah menutup perusahaannya. Maka konsekuensinya adalah semakin bertambahnya pengangguran dan negara kita kembali masuk dalam perangkap “penjajahan” model baru.

Tahun 2015 mendatang Indonesia akan menjadi negara yang masuk dalam Kawasan Ekonomi ASEAN. Dimana negara anggota ASEAN masing masing akan membuka dirinya dalam hal lalu lintas barang, jasa maupun uang. Seorang pengusaha dari Indonesia akan dengan mudah menjual barangnya ke negara lain di kawasan ASEAN demikian yang lainnya. Namun, ada sejumlah negara yang siap menjadi pesaing dan jauh lebih unggul dari Indonesia. Mereka yaitu Singapura, Malaysia, Thailand dan Vietnam.

Walaupun mereka jauh lebih kuat dari kita, namun tetap memiliki kelemahan. Seperti Singapura, negara yang memiliki luas lahan yang sedikit tersebut sangat kesulitan untuk membangun sebuah pabrik skala besar. Bayangkan bila ada perusahaan manufaktur yang mau membangun pabrik di singapura. Maka singapura harus mampu menciptakan lahan baru dan bila perlu menimbun lautnya untuk dijadikan daratan.

Akan tetapi, kita masih terjerembab dalam ekonomi biaya tinggi. Kita bandingkan saja suku bunga yang berlaku di Indonesia. Bila mengacu kepada BI Rate maka bunga deposito Bank yang ada di Indonesia akan berkisar di angka 5.75%. Bandingkan dengan bunga yang ada di Thailan, Singapura dan Malaysia. Karena inflasi di negara tersebut cukup terkendali besaran bunga di negara mereka rata-rata dibawah 4%. Ya gampang dong, mereka ga perlu bangun pabrik, simpan aja uang di Bank yang ada di Indonesia. Lumayan, hanya menunggu beberapa waktu uang itu akan beranak dengan sendirinya.
Bila kita tidak memperbaiki masalah klasik tersebut, maka daya saing kita akan membuat kita hanya menjadi pasar bagi negara lain. Jangan sampai nanti pemerintah menegosiasi ulang kesepakatan Masyarakat Ekonomi ASEAN.

No comments: