Thursday, September 20, 2007

Tekanan Pemotongan Suku Bunga The FED Semakin Kuat

Medan Bisnis, 17 September 2007
Lengkap sudah alasan yang mengharuskan The FED untuk kembali memangkas suku bunganya. Pasar merespon kondisi perekonomian Amerika belakangan ini dengan kepanikan yang akhirnya berbuntut pada lukuidasi asset-asset dalam US$ secara besar-besaran. Dan kepanikan diperkirakan akan bertambah besar apabila The FED bersikeras untuk tetap mempertahankan suku bunganya.

Pernyataan-pernyataan optimis dari pejabat Bank Sentral AS sebelumnya mungkin sudah tidak begitu dihiraukan lagi oleh pasar pada saat ini, karena pernyataan optimis pejabat Bank Sentral AS tidak didukung oleh data-data perekonomian yang justru tidak berkorelasi dengan statement sebelumnya.

Data ketenagakerjaan yang merealisasikan penurunan menjadi pukulan keras bagi kinerja mata uang US$ yang terpuruk dalam level terendah selama 15 tahun terakhir terhadap mata uang utama dunia. Penurunan tersebut menjadi kekhawatiran pasar akan terjadinya resesi serta tekanan bagi Bank Sentral AS untuk menurunkan suku bunganya.

Lebih parahnya lagi, data penyusutan tenaga kerja sebanyak 4.000 jiwa selama bulan Agustus juga diikuti oleh revisi penyusutan selama bulan Juni dan Juli dari angka aktual sebelumnya. Pada saat ini, The FED benar-benar tidak diuntungkan dari sisi manapun untuk setiap kebijakan yang akan diambil.

Daya tarik Dollar sebagai Safe Heaven terkikis setelah kembali mencatatkan pelemahan terhadap sejumlah mata uang utama dunia seperti Euro. Hal tersebut dikarenakan bertolak belakangnya pernyataan serta kebijakan yang akan diambil oleh Gubernur Bank Sentral AS (Ben Bernanke) dengan Gubernur Bank Sentral Eropa (Jean C. Trichet).

Kalau sebelumnya Bernanke menyatakan akan kemungkinan akan dipangkasnya suku bunga The FED. Trichet justru berkosentrasi pada permasalahan tingginya laju inflasi yang notabene akan memberikan ekspektasi kenaikan suku bunga Euro. Dan Euro diperkirakan akan terus menguat apabila kedua Gubernur Bank Sentral tersebut tetap bersikukuh pada pernyataannya.

Sejauh ini, ekspektasi yang berkembang menyebutkan bahwa kemungkinan Bank Sentral AS hanya akan memotong suku bunganya sebesar 25 basis poin pada tanggal 18 September mendatang. Hal tersebut sangat dimungkinkan karena The FED diperkirakan akan bermain aman atau “hanya sekedar menutup luka”.

Namun, berapa pun besarnya suku bunga yang akan dipotong, hal tersebut tetap berdampak negatif bagi US Dolar karena tetap berimplikasi pada mengecilnya selisih bunga US$ terhadap mata uang lainnya.

Sementara itu, Rupiah yang belakangan ini tidak beranjak dari level 9.400-an diperkirakan akan terus tertahan dibawah level 9.500 hingga ada sentimen baru di pasar. Ekspektasi pasar masih seputar BI rate yang diperkirakan akan kembali diturunkan seiring dengan rencana penurunan suku bunga oleh Bank Sentral Amerika.

Pernyataan Gubernur Bank Sentral Indonesia sebelumnya yang akan lebih fokus terhadap perkembangan bunga Bank Sentral Amerika, membuat pasar menilai bahwa penurunan suku bunga The FED nantinya tidak akan begitu menguntungkan bagi Rupiah karena juga akan diikuti oleh penurunan BI rate.

Ekonomi AS Rapuh, Peluang BI Rate Turun Semakin Besar

Medan Bisnis, 10 September 2007
Hari jum’at kemarin merupakan hari jum’at pertama dalam bulan ini, dimana banyak pengamat yang menanti laporan data NFP (Non-Farm Payroll) Amerika, yang akan menjadi penentu arah kemanakah Bank Sentral Amerika (The FED) akan membawa negaranya dari krisis gagal bayar serta mortgage sector crisis.

Data Non-Farm Payrolls adalah data yang menunjukan jumlah tenaga kerja baru dari sektor non pertanian, baik yang bekerja full time maupun part time serta mendapat upah resmi. Data tersebut sangat berguna sebagai indikator laju pertumbuhan ekonomi AS, yang nantinya akan menentukan tingkat konsumsi warga Negara AS yang berkorelasi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Amerika. Data tersebut juga digunakan para trader dalam mengambil keputusan transaksi di pasar keuangan.

Sebelumnya dalam laporan Fed’s Beige Book sejumlah 12 pejabat bank sentral di 12 distrik Negara Amerika Serikat menyatakan bahwa terjadi perlambatan di sektor perumahan, namun tetap meng-klaim bahwa secara keseluruhan sektor keuangan belum berada dalam taraf yang mengkhawatirkan.

Namun data NFP yang dirilis pemerintah Amerika jum’at kemarin menunjukan bahwa telah terjadi permasalahan serius, dimana terjadi penurunan jumlah tenaga kerja sebanyak 4.000 jiwa (selama bulan agustus), jauh dari ekspektasi sebelumnya terjadi kenaikan sebesar 110.000 jiwa. Data tersebut membuat US Dolar terpuruk terhadap sejumlah hard currency lainnya. Data tersebut sekaligus menunjukan penurunan pertama sejak 4 tahun terakhir.

Implikasinya jelas, The Fed diperkirakan akan menurunkan suku bunganya (The Fed Fund Rate) dikisaran level 5%. Hal tersebut juga pernah diungkapkan oleh Gubernur Bank Sentral AS serta Presiden George W. Bush. Namun, langkah yang tidak populer tersebut justru diambil pada saat mata uang US Dolar mendapat tekanan serius di pasar global seperti yang terjadi pada saat ini.

Bagaikan 2 sisi mata pisau, The Fed dihadapkan pada dua pilihan yang sama-sama mempunyai dampak negatif terhadap perekonomian AS. Namun, melambatnya sektor perumahan Amerika sepertinya menjadi perhatian serius, sehingga pemerintah Amerika lebih memilih untuk memangkas suku bunganya.

Demi meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi Amerika, mungkin hal tersebut yang menjadi alasan utama negeri paman sam mengambil keputusannya. Akan tetapi, dengan diturunkannya The Fed Fund Rate maka akan membuat perbedaan suku bunga Amerika dengan Negara lain akan mengecil. Hal tersebut tentunya akan memicu likuidasi asset dalam US Dolar secara besar-besaran, yang nantinya akan berimbas pada melemahnya mata uang US$.

Kalau sudah melemah, maka laju tekanan inflasi yang disebabkan oleh arus masuk barang dari luar akan semakin meningkat. Terlebih Amerika selalu mengeluhkan arus impor barang yang melimpah dari luar terutama dari China. Kalau inflasi sudah meningkat maka apa daya, suku bunga yang lebih tinggi sangat dibutuhkan. Bisa saja terjadi deflasi, namun dengan pertimbangan terjadi penurunan daya beli masyarakat Amerika.

Bagi Indonesia, khususnya BI hal tersebut merupakan momen penting bagi Bank Sentral untuk kembali menurunkan BI Rate. Seperti yang pernah diekspektasikan sebelumnya, bahwa BI masih menunggu The Fed dalam mengambil keputusan. Kalau nantinya The Fed benar-benar menurunkan suku bunganya pada tanggal 18 September mendatang, bukan tidak mungkin BI akan menurunkan BI Rate di awal bulan Oktober mendatang. Dan bukan hal yang mustahil kalau besaran penurunan BI Rate akan sama dengan penurunan The Fed Fund Rate.

Namun, BI diharapakan lebih berhati-hati dalam menurunkan suku bunga. Selain dikarenakan terjadi pelemahan pada mata uang Rupiah, Penurunan suku bunga harus juga melihat pergerakan suku bunga dinegara lainnya, serta laju tekanan inflasi selama bulan ramadhan ini. Sejauh ini, telah terjadi kenaikan disejumlah bahan makanan pokok akibat meningkatnya permintaan menjelang perayaan keagamaan. Selamat menunaikan Ibadah Puasa.

The FED dan Ramadhan akan Menjadi Acuan BI

Medan Bisnis, 3 September 2007
Pada awal bulan September ini pemerintah dijadwalkan akan kembali merilis data inflasi selama bulan Agustus. Pemerintah berkeyakinan bahwa inflasi masih akan bergerak sesuai koridor yang ditetapkan pemerintah sebelumnya, yakni 6-6.5% selama tahun 2007 ini.

Keyakinan stabilnya laju inflasi selama bulan Agustus tersebut mencuat walaupun sempat terjadi kenaikan harga minyak goreng maupun tarif jalan tol yang turut diiringi oleh kelangkaan minyak tanah di beberapa daerah di Indonesia. Terlebih BPS memperkirakan bahwa laju inflasi selama bulan Agustus akan lebih rendah dari laju inflasi bulan July sebesar 0.72%.

Berita baik, memang demikian. Dengan melambatnya laju inflasi maka akan memberikan ruang bagi Bank Indonesia untuk menurunkan suku bunga acuan (BI Rate) yang saat ini masih berada di level 8.25%. Dengan diturunkannya BI Rate diharapkan akan meningkatkan konsumsi yang berbuntut pada meningkatnya Produk Domestik Bruto (PDB), dan tentunya masih banyak dampak positif lainnya.

Namun, Benarkah BI akan menurunkan BI rate?. Beberapa data yang perlu dicermati adalah perkembangan dari nilai tukar mata uang maupun faktor global lainnya seperti keputusan Bank Sentral Amerika, yang diperkirakan akan turut menjadi acuan BI dalam menentukan BI rate.

Nilai tukar Rupiah yang kembali diperdagangkan melemah dikisaran level 9400 saat ini, diperkirakan akan menahan BI untuk menurunkan BI rate. Padahal Rupiah sempat stabil dikisaran harga 9100. Pelemahan tersebut dipicu oleh memburuknya kinerja indeks bursa global yang turut menyeret sejumlah mata uang dunia.

Rupiah pun sempat mendekati ambang batas nilai tukar yang ditetapkan pemerintah yakni 9500. Anjuran untuk melakukan intervensi pun bermunculan apabila Rupiah menyentuh level psikologis 9500. Hasilnya cukup efektif himbauan tersebut secara psikologis mampu menahan laju penguatan Rupiah lebih jauh.

Sehingga BI tidak mempunyai alasan yang kuat untuk kembali menurunkan BI Rate disaat nilai tukar Rupiah masih terpuruk terhadap US Dolar seperti saat ini. Karena penurunan BI Rate hanya akan membuat para pemodal memindahkan modalnya ke Negara lain yang memberikan imbal hasil yang lebih baik.

Terkait faktor Global, keputusan Bank Sentral Amerka atau The FED Fund Rate dalam menentukan suku bunganya akan berdampak signifikan terhadap kebijakan moneter negeri ini. Maklumlah, The FED masih menjadi acuan arah suku bunga global.

Pada saat ini, perekonomian Amerika masih dihadapkan pada krisis di sektor kredit. Meski demikian Gubernur Bank Sentral Amerika Ben Bernanke maupun Presiden Amerika George W. Bush memberikan sinyal akan kemungkinan penurunan suku bunga US Dolar, yang saat ini berada di level 5.25%.

Dalam pernyataannya Bernanke mengatakan akan melakukan tindakan untuk menyelematkan perekonomian Amerika walaupun dengan menurunkan suku bunga sekalipun dalam bulan September ini. Keputusan tersebut tentunya akan berdampak pada melemahnya mata uang US Dolar serta meningkatnya laju tekanan inflasi akibat terdepresiasinya mata uang US Dolar.

Meski demikian, dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI minggu ini, BI diperkirakan akan tetap mempertahankan suku bunganya dalam level (interest rate differential) yang paling aman. Karena keputusan Bank Sentral Amerika (The FED) pada tanggal 18 september mendatang masih akan menjadi pertimbangan BI dalam menentukan suku bunga pada awal bulan Oktober.

Namun bukan tidak mungkin BI akan tetap mempertahankan BI rate. Laju tekanan inflasi diperkirakan akan mengalami puncaknya pada saat perayaan keagamaan (Ramadhan dan Idul Fitri). Meningkatnya konsumsi masyarakat akan memberikan penekanan pada harga sejumlah barang dan bahan makanan dan turut berpotensi membuat Rupiah melemah.

Tanpa adanya kebijakan di sektor pangan, dimana harga bahan makanan pokok bergerak dalam volatilitas yang tajam serta memburuknya kinerja Rupiah seperti yang terjadi pada saat ini, bukan tidak mungkin penurunan suku bunga hanyalah sebuah impian, layaknya seseorang yang mengharapkan berkah di bulan Ramadahan, namun tidak melakukan secuil amal ibadah.