Wednesday, December 20, 2006

Negosiasi Mata Uang Yuan Cina

Medan Bisnis, 19 Desember 2006
Pada tahun 1998, Pemerintah Cina mematok nilai tukar Yuan di harga 8.28 per Dolar AS. Hal tersebut dikarenakan meroketnya laju pertumbuhan ekonomi China serta adanya tekanan dari negara Eropa dan Amerika

Namun laju pertumbuhan yang tinggi tersebut tidak dapat diimbangi dengan nilai tukar Yuan. Keadaaan tersebut memaksa Yuan kembali menguat sebanyak 5.5% di level 7.83 per US Dolar saat ini.

Pada pertengahan Bulan Desember ini, Gubernur Bank Sentral AS Ben Bernanke beserta Menteri Keuangan Amerika Henry Paulson kembali melakukan kunjungan kenegaraan ke Cina. Tujuan kunjungan tersebut tidak lain adalah untuk meminta Cina memberlakukan kebijakan mata uang yang lebih fleksibel.

Maksudnya, Cina diminta untuk membiarkan mata uang Yuan kembali menguat. Hal tersebut dipicu oleh membengkaknya defisit neraca perdagangan AS yang tak kunjung menunjukan penurunan signifikan. Terlebih lagi apabila harga minyak dunia kembali naik, maka defisit neraca perdagangan AS pun kembali membengkak.

Hingga saat ini, Cina merupakan negara penyumbang defisit terbesar Amerika yang selanjutnya diikuti oleh Jepang, Kanada dan Jerman. Maklum saja, apabila Amerika kembali menekan Cina untuk membiarkan mata uang Yuan menguat.

Dengan menguatnya mata uang Yuan, maka biaya impor negara Cina akan semakin kecil, namun, akan membuat produk ekspor Cina mengalami penurunan daya saing. Saat ini, ekspor Amerika ke China sebesar 4.6%, lebih kecil dari impor Amerika sebesar 14.5%.

Dengan begitu, Revaluasi mata uang Yuan diharapkan nantinya mampu mengurangi impor Amerika, sehingga mengurangi peredaran produk dari Cina di pasaran Amerika. Amerika dan sejumlah negara Eropa lainnya menuduh Cina telah melakukan kecurangan dengan tetap mempertahankan mata uang Yuan melemah.

Akan tetapi sejumlah hasil penelitian menunjukan bahwa tanpa Cina, Amerika juga akan tetap mengalami defisit neraca perdagangan dengan sejumlah negara mitra dagang Amerika lainnya. Namun, sebuah studi yang lain menunjukan angka defisit neraca perdagangan AS akan turun signifikan tanpa memperhitungkan defisit yang ditimbulkan dari Cina.

Mata uang Yuan Cina atau biasa disebut dengan renminbi masih berpotensi menguat signifikan terhadap US Dolar, walaupun seandainya Cina membiarkan pergerakan mata uangnya berdasarkan mekanisme pasar. Bahkan, sejumlah kalangan optimis Yuan akan menguat hingga diatas 15% dalam kurun waktu 2 tahun mendatang.

Namun, apakah benar dengan melemahnya mata uang Yuan, maka defisit neraca perdagangan AS akan berkurang. Sebuah studi yang dilakukan oleh The Cato Institute’s Center for Trade Policy Studies, menyimpulkan bahwa melemah/menguat nilai tukar mata uang suatu negara tidak akan berdampak langsung terhadap defisit/surplus neraca perdagangan negara tersebut.

Misalnya Kanada, yang mata uangnya sudah terapresiasi sebesar 23% sejak tahun 2002 hingga 2005. Namun, bagaimana dengan defisit neraca perdagangan Amerika terhadap Kanada?, Defisit Amerika kembali membengkak hingga 58% dari $48 Milyar menjadi $76 Milyar.

Jadi, kebijakan Amerika yang menekan Cina adalah sangat beresiko. Kalau sekiranya Amerika ingin membicarakan defisit neraca perdagangan, ada baiknya orang-orang Amerika dianjurkan untuk lebih banyak menabung daripada berbelanja atau konsumsi.

Harga Emas Dunia Kembali Turun

Medan Bisnis, 18 Desember 2006
Menguatnya mata uang US Dolar membuat sejumlah manager hedge fund mengalihkan investasinya dari emas ke US Dolar. Hal tersebut berdampak pada melemahnya harga emas dunia. Padahal harga emas dunia sempat menyentuh level tertinggi di harga $649.50/troy ounce (01 Desember 2006). Level tersebut merupakan level tertinggi dari perdagangan 6 minggu sebelumnya.

Harga emas telah jatuh secara gradual seiring dengan aksi ambil untung para pemegang emas menjelang perayaan Natal dan Tahun Baru. Aksi jual emas diperkirakan akan berlangsung hingga awal bulan Januari 2007 mendatang.

Sejumlah faktor lain, seperti naiknya harga minyak dunia di level $62/barel saat ini, diperkirakan tidak akan berpengaruh banyak pada harga emas. Hal ini dikarenakan perdagangan emas yang relatif sepi menjelang akhir tahun.

Pasar biasanya mengantisipasi kenaikan harga minyak dunia dengan melakukan aksi beli emas untuk menghindari laju tekanan inflasi. Namun, dengan relatif sepinya pasar saat ini, harga emas diperkirakan akan bergerak stabil dengan kecenderung melemah.

Kalaupun harga emas nantinya turun signifikan, namun diperkirakan tidak akan jatuh hingga dibawah $610/troy ounce. Sejumlah analis memperkirakan aksi ambil untung saat ini tidak akan berlangsung lama seiring dengan semakin tingginya harga minyak dunia saat ini. Peluang naiknya harga emas masih terbuka lebar.

Harga Minyak Dunia
Sementara itu, harga minyak dunia mulai merangkak naik seiring dengan langkah negara anggota OPEC (Organisation of Petrolium Exporting Countries) yang akan kembali menurunkan produksinya mulai bulan Februari mendatang.

Melonjaknya harga minyak dunia saat ini juga tidak terlepas dari meningkatnya permintaan minyak di Amerika seiring dengan musim dingin di negara tersebut. Meski demikian permintaan tersebut nantinya hanya akan bersifat sementara, karena meningkatnya kebutuhan akan minyak lebih bersifat musiman.

Namun, bukan berarti ada jaminan bahwa harga minyak dunia akan kembali turun. Sejauh ini, sentimen yang datang lebih dikarenakan adanya penurunan produksi serta meningkatnya permintaan di sejumlah negara dengan pertumbuhan ekonomi yang pesat seperti China dan India.

Kenaikan harga minyak nantinya juga akan membuat sejumlah mata uang terutama US Dolar kembali melemah. Selain itu, dengan semakin pesatnya laju pertumbuhan suatu negara akan membuat sejumlah harga komoditas logam kembali naik. Seiring dengan meningkatnya kebutuhan akan logam.

Sehingga, kemungkinan di tahun 2007 adalah bahwa naiknya harga minyak dunia akan diiringi dengan naiknya harga barang komoditas dari logam seperti emas dan platina. Bahkan, sejumlah analis memperkirakan harga emas berpotensi menembus level $650/troy ounce tahun depan. Hal tersebut nantinya akan berpengaruh bagi kenaikan harga emas di dalam negeri.

Monday, December 11, 2006

Ekonomi AS Memburuk, US Dolar Terpuruk

Medan Bisnis, 11 Desember 2006
Bank Sentral AS atau yang biasa disebut The FED masih optimis mengenai prospek perekonomian Amerika kedepan, meskipun tanda-tanda melemahnya sektor perumahan di AS semakin jelas.

Sektor perumahan yang merupakan andalan negeri Paman Sam tersebut merupakan indikator utama ekonomi yang sangat berpengaruh bagi pergerakan US Dolar maupun data-data perekonomian Amerika lainnya.

US Dolar sendiri terpantau melemah terhadap mata uang Euro bersamaan dengan liburnya market Amerika yang merayakan Thanks Giving Day (24/11). Meskipun pada saat itu tidak ada data perekonomian AS yang dirilis, namun pergerakan pasar sangat berfluktuasi dan membawa Euro menguat hingga ke level 1.31 terhadap US Dolar untuk pertama kalinya sejak April 2005.

Melemahnya US Dollar tidak terlepas dari akumulasi serangkaian perkembangan negatif dalam beberapa pekan sebelumnya. Selain itu, isu diversifikasi cadangan devisa bank-bank sentral turut memberikan kontribusi negatif bagi pergerakan US Dolar.

Bahkan, Wakil Gubernur Bank Sentral China (PboC) Wu Xiaoling dalam sebuah artikelnya menyatakan bahwa sejumlah negara di Asia berpotensi mendapatkan kerugian dari terdepresiasinya mata uang US Dolar, mengingat porsi US Dolar dalam cadangan devisa sangat mendominasi.

Kembali ke fundamental ekonomi AS, 5 dari 10 data yang menyusun indeks sektor manufaktur ISM (Institute for Supply Management) Amerika mencatatkan penurunan. Indeks yang menunjukan kondisi sektor manufaktur nasional AS tersebut untuk bulan November mengalami penurunan hingga dibawah angka 50 sejak April 2003.

Terkait dengan hal tersebut US Dolar kembali tumbang, bahkan spekulasi yang berkembang menyebutkan bahwa Bank Sentral AS akan memotong suku bunganya (The FED Fund Rate) pada awal tahun 2007 mendatang.

Berbeda dengan ISM di sektor manufaktur, ISM di sektor jasa Amerika yang semula diprediksi turun ternyata mengalami kenaikan. US Dolar sempat terkoreksi akibat spekulasi yang berkembang sebelumnya. Indeks sektor jasa ISM selama bulan November naik menjadi 58.9 dari bulan sebelumnya sebesar 57.1. padahal spekulasi yang berkembang sebelumnya menyebutkan bahwa ISM Services akan turun dikisaran angka 55.5.

Mengingat sektor jasa menguasi lebih kurang 70% perekonomian Amerika, menguatnya data tersebut berhasil menahan laju pelemahan US Dolar serta kembali menumbuhkan ekspektasi bahwa Bank Sentral AS tidak akan memotong suku bunganya di tahun 2007 mendatang.

Terkait dengan hal itu, Euro melemah terhadap US Dolar hingga dikisaran harga 1.3286/US Dolar (05/12). Namun solidnya data perekonomian di Zona Euro khususnya PMI sektor jasa serta Retail Sales yang naik diluar perkiraan sebelumnya, turut menahan laju pelemahan mata uang Euro. Terhadap Poundsterling, US Dolar kembali menguat 0.3% di level 1.9730 dari level pembukaan.

Terhadap Yen, US Dolar juga menguat sekitar 0.5%. namun, US Dolar sempat terpuruk sebelumnya di level 114.40 seiring dengan pernyataan yang dilontarkan Atsushi Mizuno anggota dewan Bank Sentral Jepang (BoJ) yang mengatakan salah apabila BoJ diasumsikan akan menaikan suku bunga hingga semua data perekonomian menunjukan peningkatan.

Terlepas dari semua itu, US Dolar saat ini kembali menguat terhadap mata uang dunia pada perdagangan akhir minggu kemarin (08/12). Terhadap Euro, US Dolar diperdagangkan di level 1.3196, atau menguat 0.6% dari penutupan perdagangan sehari sebelumnya di level 1.3290.

Terhadap GBP, US Dolar menguat 0.5% di level 1.9540 dari penutupan perdagangan sehari sebelumnya di level 1.9641. Terhadap Yen Jepang US Dolar menguat di level 116.29 dari penutupan perdagangan sehari sebelumnya di level 115.19.

Apa gerangan yang membuat US Dolar kembali menguat terhadap rivalnya. Tak lain adalah membaiknya data Non-Farm Payrolls AS yang menunjukan adanya peningkatan. Non-Farm Payrolls adalah data yang menunjukan jumlah tenaga kerja baru di luar sektor pertanian baik yang bekerja Full-Time maupun Part-Time.

Data yang dirilis akhir minggu kemarin, menunjukan bahwa perekonomian Amerika masih berada di “jalur hijau” meskipun indikator ekonomi lainnya di sektor perumahan dan manufaktur mengalami penurunan.

Selama bulan November jumlah tenaga kerja baru yang terserap sebanyak 132.000 jiwa dari rata-rata bulan sebelumnya yang berkisar 79.000 jiwa. Sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja adalah Retail, Restoran serta Perusahaan penyedia jasa kesehatan.

Terkait dengan data tersebut, Spekulasi mengenai penurunan suku bunga US Dolar mulai berguguran. Selain itu, asumsi yang menyebutkan bahwa perekonomian AS mendekati masa resesi juga mulai hilang.
Sejauh ini laju Inflasi di AS belum berada dalam taraf yang mengkhawatirkan. Namun, dengan melemahnya sejumlah data perekonomian AS, diperkirakan Gross Domestic Product (GDP) untuk kuartal 4 2006 berpotensi mencatatkan angka realisasi yang lebih kecil dari kuartal ke 3 yang sebesar 2.2%.

Monday, December 04, 2006

Konsolidasi Pasar Menjelang Rapat Dewan Gubernur BI

Medan Bisnis, 04 Desember 2006
Setelah sempat terkoreksi tajam (37 poin) pada perdagangan hari selasa, IHSG akhirnya kembali menguat pada sesi perdagangan akhir minggu kemarin. Penguatan IHSG terdorong oleh menguatnya indeks bursa regional yang turut diiringi dengan ekspektasi penurunan suku bunga Rupiah.

Selain itu, pelemahan IHSG pada saat itu hanya bersifat teknikal, dimana pelaku pasar merealisasikan keuntungan dengan memamfaatkan penguatan IHSG sebelumnya. Namun, kejatuhan IHSG tersebut malah menyulut keyakinan bahwa IHSG masih akan kembali naik lagi. Aksi beli saham unggulan pun kembali meriah.

Bagaimana dengan Rupiah?, Rupiah sendiri masih relatif stabil kendati memiliki kecenderungan melemah selama sesi perdagangan minggu kemarin. Melemahnya mata uang US Dollar di pasar Global tidak membuat mata uang Rupiah bergerak menguat.

Hal tersebut dapat dimaklumi, karena sebagian pelaku pasar khususnya investor asing kembali mengkonversi Rupiah yang dimiliki dalam SBI (Sertifikat Bank Indonesia) maupun bentuk investasi lain ke mata uang US Dollar. Ekspektasi melemahnya laju tekanan inflasi serta spekulasi penurunan BI Rate diperkirakan menjadi pemicunya.

Akan tetapi, memburuknya kinerja Rupiah selama minggu kemarin tidak terlepas dari permintaan US Dollar oleh korporasi menjelang akhir bulan. Apalagi kalau jumlah permintaan tersebut dikaitkan dengan perayaan keagamaan selama bulan Desember dan menjelang tahun baru, tentunya kebutuhan akan US Dollar juga relatif lebih banyak.

Pergerakan Rupiah dan IHSG kedepan akan sangat bergantung pada keputusan BI dalam menentukan BI rate. Dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada tanggal 07 Desember mendatang, BI diperkirakan akan kembali memotong BI Rate seiring dengan melemahnya laju tekanan inflasi.

Selama bulan November laju inflasi hanya sebesar 0.34%, turun dari bulan sebelumnya sebesar 0.86%. Data tersebut memberikan gambaran yang cukup jelas mengenai arah pergerakan suku bunga nantinya.

Sejauh ini, ekspektasi penurunan suku bunga telah memberikan tekanan terhadap pergerakan Rupiah, namun disisi lain, ekspektasi penurunan suku bunga telah membawa IHSG kembali naik secara signifikan.

Pasar sepertinya sudah mulai mengantisipasi penurunan BI rate sesuai dengan kepentingannya masing-masing. Apabila keadaan ini dibiarkan maka Rupiah berpotensi untuk kembali terkoreksi secara tajam. Tentunya Bank Indonesia menjadi tumpuan harapan agar laju pelemahan Rupiah terhenti.

Dengan beberapa asumsi pasar yang spekulatif, sangat mungkin Rupiah diperdagangkan dalam range yang cukup lebar. Walaupun US Dollar masih menunjukan tren pelemahan terhadap mata uang dunia, namun hal tersebut tidak menjadi jaminan Rupiah akan menguat terhadap US Dollar.

Sejauh ini, suku bunga diperkirakan akan kembali dipotong sebesar 50 basis poin. Namun, dengan mulai bergejolaknya nilai tukar Rupiah saat ini, tidak menutup kemungkinan BI akan memperkecil penurunan suku bunga, sebesar 25 basis poin.

Thursday, November 30, 2006

Tren Bullish yang Masih Akan Menggeliat

Medan Bisnis, 28 November 2007
Setelah kunjungan Presiden AS George W. Bush senin lalu, IHSG pada hari rabu (22/11) mencatatkan rekor tertinggi baru dalam sejarah Indeks Bursa Jakarta dan menembus level psikologis 1700, tepatnya di level 1705.44.

Kenaikan indeks tersebut menepis sejumlah anggapan yang sebelumnya menyebutkan bahwa Rupiah dan IHSG akan berada dibawah tekanan terkait dengan kunjungan Presiden Amerika. Asumsi tersebut sangat bertolak belakang dengan antusias pelaku pasar yang justru menilai bahwa kunjungan Presiden AS nantinya akan mengundang para pemodal khususnya investor asing, untuk berinvestasi di Indonesia.

Namun, apa benar demikian?, bukankan penguatan Rupiah dan IHSG karena ditopang oleh ekspektasi fundamental ekonomi Indonesia yang lebih baik dimasa yang akan datang?, bisa juga demikian. Yang pasti, pelaku pasar lebih optimis terhadap gambaran perekonomian Indonesia kedepan.

Dalam economic outlook 2007 yang baru digelar belum lama ini, pemerintah memberikan gambaran yang cukup realistis terhadap perekonomian Indonesia kedepan. Meski demikian, ekspektasi tersebut tidak terlepas dari pengaruh Global seperti dihentikannya siklus kebijakan uang ketat di Amerika serta melemahnya harga minyak dunia. Dan tentunya masih ada faktor eksternal lain yang turut mendukung membaiknya kinerja ekonomi Indonesia.

Beberapa asumsi dasar yang paling ditekankan pemerintah adalah laju inflasi yang ditargetkan akan tumbuh dibawah 6% di tahun 2007. Dengan laju inflasi yang rendah BI diharapkan mampu mengeluarkan kebijakan yang pro-pertumbuhan. Akan tetapi, perlu diwaspadai bahwa kenaikan gaji PNS di tahun 2007 juga berpotensi menambah tekanan terhadap laju inflasi. Karena laju inflasi yang tinggi akan membuat laju pertumbuhan ekonomi akan menjadi sia-sia.

Sejauh ini, ekspektasi yang optimis tersebut langsung maupun tidak langsung telah membawa IHSG maupun Rupiah merangkak naik dan diperdagangkan dalam jalur hijau. Kenaikan Indeks Bursa Wall Street serta menguatnya sejumlah mata uang asia turut memberikan kontribusi positif bagi pergerakan IHSG maupun Rupiah. Namun sejauh ini, kekhawatiran akan kembali melemahnya IHSG dan Rupiah secara teknikal bermunculan.

Secara fundamental, rupiah masih berpotensi melemah. Terlebih lagi, apabila BI kembali memotong suku bunga Rupiah dalam Rapat Dewan Gubernur BI awal Desember mendatang. Tentunya perbedaan suku bunga atau interest rate differential akan semakin kecil, hal inilah yang selalu membuat pelaku pasar melarikan dananya keluar negeri.

Tapi tunggu dulu, bukankah Bank Sentral Amerika diperkirakan tidak akan menaikan suku bunganya. Bahkan beberapa kalangan menilai bahwa The FED Fund Rate (suku bunga US Dollar) berpotensi untuk kembali dipangkas. Kalau memang suku bunga US Dollar akan dipotong, maka, tekanan terhadap rupiah secara sistematis akan berkurang.

Tidak hanya itu, prospek ekonomi AS kedepan juga tidak akan cukup menopang mata uang US Dollar melewati masa keterpurukannya seperti sekarang ini. Melemahnya daya beli masyarakat AS, melambatnya laju pertumbuhan Amerika, serta meningkatnya laju tekanan inflasi yang ditambah dengan defisit neraca perdagangan AS yang terus membengkak, kiranya akan menambah tekanan terhadap US Dollar, yang hingga saat ini masih melemah terhadap sejumlah mata uang dunia, dan diperkirakan akan berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama.

Jadi, walaupun BI nantinya kembali memotong suku bunga, cukup beralasan kiranya kita berasumsi bahwa hal tersebut tidak akan berpengaruh signifikan terhadap Rupiah.

Bagaimana dengan IHSG?, Sejauh ini, kenaikan IHSG tidak terlepas dengan ekspektasi penurunan BI Rate serta ditambah faktor eksternal lain seperti melemahnya harga minyak dunia dan kenaikan indeks di beberapa lantai bursa di Asia dan Amerika.

Harga minyak dunia kembali turun seiring dengan melemahnya permintaan akan minyak dunia. Ekspektasi laju pertumbuhan ekonomi di negara Asia telah membawa investor asing kembali memburu saham-saham di lantai bursa Regional.

Banyak kalangan menilai, harga saham saat ini masih relatif murah apabila dibandingkan dengan prospek kenaikan IHSG di tahun 2007. Sejumlah saham multifinance maupun ritel diperkirakan akan menjadi primadona seiring dengan daya beli masyarakat yang semakin membaik.

Bahkan dalam beberapa perdagangan IHSG sempat mengalami anomali, yakni menguat ditengah memburuknya sejumlah indeks bursa Asia. Pada perdagangan hari jumat (24/11) IHSG kembali menguat di level 1717.73 walaupun sejumlah indeks bursa Asia terjungkal. IHSG seperti terdorong oleh sentimen positif dalam negeri serta mengabaikan sejumlah sentimen negatif eksternal.
Dengan menggambarkan bahwa sejumlah faktor non-ekonomi (keamanan, politik) dalam keadaan kondusif, maka Rupiah dan IHSG masih akan menunjukan tren bullish yang masih akan menggeliat di tahun 2007.

Monday, November 20, 2006

Mengantisipasi Tren Penguatan Rupiah dengan Dual Currency Deposit

Medan Bisnis, 20 November 2006
Nilai tukar Rupiah diprediksi akan kembali menguat di tahun 2007. Perkiraan tersebut dikemukakan oleh sejumlah pengamat berdasarkan asumsi perkembangan ekonomi makro Indonesia yang terus membaik.

Selain itu, untuk saat ini tren pelemahan US Dollar di pasar global diperkirakan akan terus berlanjut hingga akhir tahun. Melemahnya laju tekanan inflasi di AS membuat pelaku pasar berkeyakinan bahwa The FED akan menghentikan kebijakan uang ketatnya. Sementara itu, perekonomian AS diperkirakan akan terfokus pada masalah inflasi daripada laju pertumbuhan ekonomi yang kian melambat.

Terkait dengan semua itu, ada produk investasi yang layak dijadikan pertimbangan untuk mengantispasi tren penguatan (bullish) rupiah, yakni Dual Currency Deposit (DCD). DCD adalah deposito dalam mata uang IDR, USD, EUR, JPY atau mata uang lain yang ditentukan.

DCD memberikan suku bunga yang tetap hingga saat jatuh tempo. Selain itu, besarnya suku bunga juga lebih besar dari suku bunga deposito biasa. DCD merupakan deposito dengan masa jatuh tempo 1 sampai 12 bulan.

Meskipun DCD memberikan imbal hasil yang cukup tinggi, namun berinvestasi dalam DCD tetap beresiko. Resikonya adalah nasabah berpotensi menerima mata uang pengganti yang melemah terhadap mata uang asal, sehingga memungkinkan pokok deposito berkurang (unprotected principal).

Namun, kunci keberhasilan terletak pada ekspektasi nasabah terhadap ekspektasi melemahnya suatu mata uang terhadap mata uang lainnya. Misalnya, karena saat ini US Dollar diprediksi melemah terhadap Rupiah, maka pilihlah US Dollar sebagai mata uang asal dan Rupiah sebagai mata uang pengganti.

DCD tidak dapat dicairkan sebelum masa jatuh tempo, demikian halnya dengan bunga, juga dibayarkan pada saat jatuh tempo. Sementara itu, penentuan penerimaan dalam mata uang asal atau pengganti adalah 2 hari kerja sebelum jatuh waktu DCD. Untuk mempermudah pemahaman mengenai produk DCD, kita simak simulasi transaski DCD sebagai berikut.

Misalkan, pada tanggal 1 November 2006, seorang nasabah bernama PT Mujur mempunyai cadangan US Dollar sebesar $100.000 dari hasil ekspornya. Karena melihat US Dollar tidak mempunyai fundamental yang kuat serta memiliki kecenderung melemah terhadap Rupiah, PT Mujur menyimpan dananya dalam bentuk DCD untuk jangka waktu 1 bulan, maka transaksinya adalah.

Mata Uang Asal : US Dollar (USD)
Mata Uang Pengganti : IDR
Penempatan Dana : USD 100.000,-
Tanggal Efektif : 1 November 2006
Tanggal Jatuh Tempo : 1 Desember 2006
Bunga Deposito : 9.75% p.a
Bunga Premi : 1% p.a
Kurs USD/IDR (spot) : 9150
Kurs Konversi : 9200 (strike price)
Tanggal Eksekusi : 29 November 2006, dengan batas waktu jam 13.00 WIB

Pada saat jatuh tempo (1 Desember), total imbal hasil yang akan diterima PT Mujur = USD 100.000 x (9.75+1)% x 30/365 = USD 883.56. karena selama masa observasi (1 November hingga 29 November) US Dollar tidak pernah menyentuh level 9200 (strike price), maka PT Mujur akan menerima = USD 100.000 + USD 883.56 = $100.883,56

Namun, apabila selama masa observasi US Dollar sempat menyentuh level 9200, maka PT Mujur menerima dalam mata uang pengganti yakni : USD 100.883,56 x 9200 = IDR 928.128.752,-. PT Mujur berpotensi mendapatkan kerugian apabila USD/IDR pada saat eksekusi lebih besar dari harga konversi (strike price).

Pemahaman mengenai pergerakan suatu mata uang menjadi sangat penting karenanya. Lama jatuh tempo yang akan dipilih nasabah akan sangat mempengaruhi bunga premi maupun deposito, namun, semakin lama jatuh tempo yang ditentukan maka semakin besar pula resiko yang akan diterima.

Monday, November 13, 2006

Deposito Dinamis Single Range sebagai Strategi Investasi dimasa Tren Penurunan Suku Bunga

Medan Bisnis, 13 November 2006
BI kembali memotong suku bunga Rupiah sebesar 50 basis poin menjadi 10.25% saat ini. Penurunan suku bunga tersebut turut diiringi dengan stabilnya kondisi pasar finansial dalam negeri.

Hal tersebut terlihat dengan stabilnya nilai tukar rupiah, yang dalam beberapa minggu perdagangan terakhir diperdagangkan dalam range antara 9050 hingga 9200. IHSG juga kembali menunjukan tren penguatan seiring dengan langkah Bank Indonesia yang menurunkan BI Rate. Perbankan diyakini juga akan mengikuti langkah BI tersebut untuk menurunkan suku bunga.

Sejauh ini, langkah BI menurunkan suku bunga secara gradual disambut positif oleh sejumlah kalangan khususnya para debitur. Selain itu, penurunan suku bunga diharapkan mampu memberikan stimulus bagi percepatan pembangunan ekonomi.

Namun, tidak selamanya regulasi dari BI tersebut mendapat sambutan positif. Dampak penurunan suku bunga yang sangat signifikan akan sangat merugikan para deposan. Pergerakan suku bunga yang cenderung menurun berpotensi membuat deposan mencari alternatif investasi lain yang lebih menguntungkan.

Ditengah tren penurunan suku bunga saat ini, ada beberapa produk investasi yang layak dijadikan pertimbangan untuk mendapatkan penghasilan yang tinggi, yang lebih besar dari bunga deposito. Salah satunya adalah Deposito Dinamis Single Range.

Deposito Dinamis Single Range adalah deposito dalam mata uang IDR, USD, EUR, JPY atau mata uang lain yang ditentukan oleh Bank. Karena dalam simulasi kita menggunakan mata uang US Dollar, serta menggunakan pasangan mata uang USD/IDR, maka kita akan menyebutnya sebagai Deposito Dinamis Single Range Dollar. Yang untuk selanjutnya akan kita sebut sebagai Single Range Dollar untuk mempermudah dalam pembacaannya.

Single Range Dollar merupakan deposito dalam mata uang US Dollar. Besarnya bunga Single Range Dollar mengacu pada besarnya suku bunga mata uang US Dollar yang ditetapkan oleh Bank Sentral Amerika.

Namun, apakah besarnya bunga Single Range Dollar akan lebih besar dari suku bunga acuan US Dollar yang ditetapkan oleh Bank Sentral Amerika?, bisa juga tidak. Besarnya total yield yang diberikan dalam Single Range Dollar akan sangat bergantung dari kepiawaian pemodal itu sendiri.

Akan tetapi, buat mereka yang memiliki pengetahuan serta memiliki kemampuan memprediksi pasar akan mendapatkan keuntungan yang lebih daripada memarkirkan dananya dalam bentuk deposito Dollar biasa.

Pemodal akan mendapatkan keuntungan/bonus apabila kurs pasangan mata uang USD/IDR yang disepakati senantiasa berada dalam range yang telah disepakati selama masa observasi, yang apabila dihitung total yield-nya lebih besar dari bunga deposito biasa.

Menarik tentunya, namun, investasi dalam Single Range Dollar bukan tanpa resiko. Apabila pemodal salah dalam memperhitungkan pergerakan pasar, maka nasabah hanya mendapatkan bunga minimum yang lebih kecil dari bunga deposito biasa.

Apabila pemodal atau deposan tidak mempunyai pengetahuan yang cukup, carilah informasi sebanyak-banyaknya atau berkonsultasi dengan konsultan keuangan yang dipercaya. Hal tersebut dimungkinkan untuk membantu deposan dalam mengambil keputusan. Karena kegagalan atau kerugian yang timbul atas pelaksanaan transaksi sepenuhnya menjadi tanggung jawab deposan.

Besarnya bunga Single Range Dollar menggunakan perhitungan bunga per tahun (365 hari). Pembayaran bunga minimum dibayarkan pada saat jatuh tempo. Namun, besarnya bonus yang akan diterima sangat bergantung pada jangka waktu kontrak yang akan dibuat. Semakin lama jangka waktunya, maka bonus yang diberikan juga akan semakin besar.

Dalam simulasi yang dibuat, bonus untuk Single Range Dollar jangka waktu 30 hari (1 bulan) sebesar 2%. Sementara simulasi bonus untuk Single Range dalam mata uang Rupiah jangka waktu 1 bulan sebesar 8%. Namun bonus akan bertambah besar apabila deposan membuat kontrak transaksi untuk jangka waktu 3 bulan, 6 bulan, dan seterusnya.

Simulasi
Single Range dalam mata uang US Dollar
1. Awal Transaksi
Dana Deposan : USD 5.000.000,- (Lima Juta US Dollar)
Pasangan mata uang : USD/IDR
Tgl Transaksi : 02 November 2006
Tgl Efektif : 02 November 2006
Tgl Jatuh Tempo : 02 Desember 2006
Masa Observasi : 02 November – 30 November 2006, setiap hari
kerja mulai jam 08.00 WIB – 16.00 WIB,
kecuali tanggal 30 November observasi
dilakukan hanya sampai jam 13.00 WIB.
Jangka Waktu : 30 hari (1 bulan)
Harga spot : USD/IDR 9.100
Range : USD/IDR 9.000 – 9.250
Bunga Minimum : 3.5% p.a (dibayarkan pada saat jatuh tempo)
Bonus : 2% p.a (dibayarkan apabila memenuhi
parameter)
2. Akhir Transaksi
a) Selama masa observasi kurs USD/IDR berada di dalam range
Total imbal hasil yang diterima Deposan
= USD 5.000.000 x (3.50+2)% x 30/365
= USD 5.020.547,95
b) Selama masa observasi kurs USD/IDR berada di luar range
Total imbal hasil yang diterima Deposan
= USD 5.000.000 x 3.50% x 30/365
= USD 5.014.383,56

Single Range dalam mata uang Rupiah
1. Awal Transaksi
Dana Deposan : IDR 1.000.000.000,- (Satu Milyar Rupiah)
Pasangan mata uang : USD/IDR
Tgl Transaksi : 02 November 2006
Tgl Efektif : 02 November 2006
Tgl Jatuh Tempo : 02 Desember 2006
Masa Observasi : 02 November – 30 November 2006, setiap hari
kerja mulai jam 08.00 WIB – 16.00 WIB,
kecuali tanggal 30 November observasi
dilakukan hanya sampai jam 13.00 WIB.
Jangka Waktu : 30 hari (1 bulan)
Harga spot : USD/IDR 9.100
Range : USD/IDR 9.000 – 9.250
Bunga Minimum : 5% p.a (dibayarkan pada saat jatuh tempo)
Bonus : 8% p.a (dibayarkan apabila memenuhi
parameter)
2. Akhir Transaksi
a) Selama masa observasi kurs USD/IDR berada di dalam range
Total imbal hasil yang diterima Deposan
= IDR 1.000.000.000 x (5+8)% x 30/365
= IDR 1.010.684.931,51
b) Selama masa observasi kurs USD/IDR berada di luar range
Total imbal hasil yang diterima Deposan
= IDR 1.000.000.000 x 5% x 30/365
= IDR 1.004.109.589,04

Monday, October 02, 2006

Optmisme diantara angka Pertumbuhan, Pengangguran dan Kemiskinan

Medan Bisnis, 02 Oktober 2006
Pada tanggal 11 september yang lalu, pemerintah telah menyepakati empat asumsi dasar RAPBN 2007. Diantara ke 4 asumsi tersebut (Pertumbuhan Ekonomi, Inflasi, Kurs Rupiah serta SBI 3 bulan), hanya pertumbuhan ekonomi yang dinilai tidak realistis dan sempat menjadi perdebatan serius antara Pemerintah dengan anggota Komisi XI DPR RI.

Laju pertumbuhan ekonomi diasumsikan akan tumbuh sebesar 6.3% pada tahun 2007, padahal rata-rata realisasi pertumbuhan pada tahun 2000 – 2005 hanya sebesar 4.7%.

Terjadi lonjakan angka yang cukup signifikan antara realisasi laju pertumbuhan ekonomi selama periode 2000-2005 dengan asumsi laju pertumbuhan di tahun 2007. Namun, Gubernur BI menyatakan laju pertumbuhan ekonomi sebesar 6.3% merupakan batas atas dari target pertumbuhan pemerintah.

Jadi pertumbuhan ekonomi masih berpeluang untuk tumbuh moderat atau mungkin (dengan asumsi yang paling pesimis) tidak banyak berubah dari pertumbuhan di tahun sebelumnya.

Berdasarkan asumsi pemerintah sebelumnya bahwa setiap 1% pertumbuhan akan menciptakan lapangan kerja sebanyak 459.000 orang. Dengan laju pertumbuhan angkatan kerja sebanyak 2 juta orang/tahun, maka, dengan asumsi laju pertumbuhan sebesar 6.3% pada tahun 2007 akan menyerap tenaga kerja sebanyak 2,9 Juta orang.

Tentunya angka tersebut merupakan angka fantastis yang mampu mengurangi jumlah pengangguran secara signifikan. Namun, fakta tidak selalu sama dengan ekspektasi. Selama periode tahun 2000 – 2005, setiap 1% pertumbuhan hanya menciptakan lapangan kerja sebanyak 213.000 orang. Bahkan selama tahun 2006 ini, 1% pertumbuhan hanya menciptakan lapangan kerja sebanyak ± 50.000 orang.

Mengapa demikian?, Pengamat menilai telah terjadi disorientasi investasi dari semula dalam bentuk investasi langsung (FDI) ke bentuk investasi dalam surat berharga yang notabene dapat bersifat jangka pendek.

Insentif kebijakan ekonomi pemerintah dengan memberlakukan kebijakan uang ketat (suku bunga tinggi) diperkirakan menjadi akar masalah penghambat investasi. Hal tersebut diperparah dengan permasalahan struktural yang belum berkesudahan.

Cukup sampai disitu?, belum. Permasalahan lain seperti peringkat investasi indonesia yang hanya menduduki peringkat 50 (setelah direvisi dari peringkat 69 sebelumnya) dari 125 negara versi WEF (World Economic Forum), menunjukan kalau indonesia bukan merupakan negara tujuan investasi yang paling disukai. Kita masih tertinggal jauh dengan Singapura yang ditempatkan ditempat paling atas dalam soal tujuan investasi.

Sejauh ini, optimisme pemerintah muncul dengan akan digulirkannya sejumlah kebijakan terkait konsolidasi fiskal, termasuk diantaranya meningkatkan pendapatan pemerintah yang bersumber dari pajak dan non pajak. Pemerintah bertekad akan melakukan reformasi administrasi di tubuh Dirjen Pajak dan Bea Cukai.

Bahkan baru-baru ini Pemerintah menargetkan penerimaan pajak sebesar ± Rp. 800 trilyun pada tahun 2007. Angka tersebut lebih besar dari asumsi RAPBN 2007 yang ditargetkan sebesar Rp. 505,9 trilyun.

Selain itu, trend defisit APBN yang cenderung menurun turut menjadi landasan keyakinan akan membaiknya kondisi perekonomian kedepan. Namun, perlu diingat defisit anggaran memiliki kecenderungan membengkak apabila terjadi bencana alam seperti yang terjadi belum lama ini.

Tanpa dibarengi dengan rencana kenaikan tarif Dasar Listrik (TDL), laju inflasi diasumsikan akan tumbuh sebesar 6.5% pada tahun 2007. Selama tahun 2006 ini, laju tekanan inflasi menunjukan adanya pelemahan dan bergerak cukup terkendali, yakni 3.9% hingga agustus 2006 (data BPS). Meskipun pada bulan september dan oktober diyakini akan terjadi lonjakan laju inflasi yang cukup signifikan, namun inflasi akan berada dikisaran angka 8% hingga akhir tahun ini.

Waspadai faktor Global
Sejumlah indikator finansial dalam negeri sedikit memberikan harapan akan terciptanya pertumbuhan ekonomi seperti yang telah diasumsikan dalam RAPBN 2007. Namun, sejumlah faktor global seperti harga minyak dunia serta trend kenaikan suku bunga global turut menjadi faktor penting dalam merumuskan kerangka kebijakan ekonomi ke depan.

Pemerintah cukup optimis dengan mengasumsikan harga minyak dunia di level $65/barel. Dibandingkan dengan kondisi sekarang, asumsi tersebut cukup beralasan mengingat harga minyak dunia saat ini berada dikisaran level $60/barel. Tapi, peluang harga minyak untuk kembali naik masih terbuka lebar.

Melemahnya harga minyak saat ini diperkirakan terkait dengan membaiknya kondisi geopolitik serta melambatnya laju pertumbuhan ekonomi di beberapa negara seperti AS, Jepang, China dan kawasan Eropa.

China kembali menaikan suku bunga Yuan untuk meredam laju pertumbuhan ekonomi yang ekstrim. Negara di kawasan Eropa menaikan suku bunga guna menahan laju inflasi yang terus mengalami kenaikan. Suku bunga US Dolar masih relatif tinggi yang diiringi juga dengan melambatnya laju pertumbuhan ekonomi AS. Sementara Jepang diperkirakan akan kembali menaikan suku bunga Yen tahun depan.

Bagaimana dengan Indonesia?, tentunya perlambatan pertumbuhan di sejumlah negara tersebut juga akan mempengaruhi kinerja perekonomian dalam negeri, khususnya kinerja ekspor. Melambatnya laju pertumbuhan ekonomi seperti di AS, tentunya akan menyebabkan kontraksi di negara lain.

Alhasil, dengan alasan untuk menarik minat investasi di negeri ini, maka asumsi pertumbuhan masih dapat di ”rasional” kan. Dengan harapan tidak terjadi hal-hal negatif diluar perkiraan sebelumnya.

Namun, apakah dapat me”rasional”kan peningkatan angka kemiskinan yang dibarengi dengan menciutnya jumlah lapangan kerja, sementara sejumlah indikator finansial menunjukan perubahan dalam trend yang positif?, Distorsi tentunya.

Monday, August 28, 2006

Mengantisipasi Exposure Transaksi dalam Valas

Medan Bisnis, 28 Agustus 2006
Dalam kurun waktu 1 bulan terakhir, rupiah mampu bergerak dalam range yang cukup terkendali dalam rentang antara 9050 hingga 9300. sebagian pelaku pasar bahkan meyakini kalau rupiah akan bergerak stabil dikisaran harga 9000 hinggga 9500 sesuai dengan asumsi maupun pernyataan dari pejabat yang berwenang di negeri ini.

Tentunya ini kabar baik, apabila rupiah nantinya benar-benar bergerak sesuai dengan asumsi tersebut. Setidak-tidaknya pelaku bisnis akan lebih mudah dalam menentukan keputusan pembiayaan maupun investasi. Khususnya pelaku bisnis yang terkait dengan bisnis Global.

Umumnya perusahaan Global atau yang biasa dikenal dengan MNC (Multinational Company) maupun TNC (Transnational Company) selalu mempunyai kaitan erat dengan transaksi valas (valuta asing). Karena jenis perusahaan tersebut biasanya beroperasi di dua atau lebih negara, dan menggunakan lebih dari satu mata uang dalam operasionalnya.

Apabila sebagian besar kekayaan perusahaan didominasi dalam valas, maka dampak negatif resiko valas yang mungkin terjadi juga akan semakin besar, terlebih apabila nilai mata uang dalam valas tersebut berfluktuasi secara tajam.

Dalam kajian resiko valas, segala bentuk pengaruh yang diakibatkan oleh perubahan kurs valas biasa disebut dengan Exposure.

Dalam mengantisipasi kemungkinan exposure tersebut, biasanya investor akan mengambil tindakan hedging (lindung nilai atas kekayaan/utang dalam valas agar terhindar dari gejolak yang terjadi dalam valas). Dengan asumsi investor mempunyai informasi yang komplit serta mampu memprediksi arah pergerakan kurs secara akurat.

Namun, selayaknya tindakan hedging tidak dilakukan apabila investor justru diasumsikan sebaliknya. Karena kerugian yang timbul akan berdampak signifikan apabila tindakan hedging tersebut justru bertolak belakang dengan ekspektasi investor sebelumnya.

Dengan menggunakan teknik kontraktual, seorang investor umumnya menggunakan transaksi Forward, Swap maupun Option. Selain itu, investor juga dapat melakukan tindakan leading (mempercepat pembayaran ketika valas masih lebih murah dibandingkan dengan mata uang domestik, misal Rp), atau melakukan tindakan lagging (memperlambat pembayaran ketika mata uang domestik lebih murah dari valas).

Transaksi Forward
Seorang eksportir yang mendapatkan valas dari hasil ekspornya ke luar negeri, biasanya akan melakukan transaksi forward jual valas. Karena investor mendapatkan pemasukan dalam mata uang asing. Sementara importir akan melakukan sebaliknya, yakni melakukan transaksi forward beli valas.

Sebagai ilustrasi, seorang eksportir melakukan transaski forward jual valas (misal US$). Kurs US$/Rp saat ini (spot) 9000. Sementara kurs forward jual US$ satu bulan adalah 9050 (Kurs Spot 9000 ditambah premi forward satu bulan sebesar 50). Dalam hal ini investor mempunyai harapan bahwa kurs satu bulan yang akan datang nantinya lebih kecil dari kurs forward (9050).

Apabila kurs US$/Rp satu bulan yang akan datang sebesar 8950, maka investor telah mendapatkan keuntungan sebesar 100 poin (9050 – 8950). Namun apabila kurs US$/Rp satu bulan lebih besar dari kurs saat kontrak forward dibuat (9050) maka investor akan mengalami kerugian, karena harus menjual US$ di harga yang lebih rendah dari harga sebenarnya (misal 9100).

Transaksi Swap
Umumnya transaksi swap dilakukan dengan melakukan tindakan beli/jual valas dan akan melakukan transaksi jual/beli valas pada saat yang akan datang. Sehingga transaksi swap mempunyai dua arah yaitu beli dan jual atau jual dan beli.

Misalkan seorang importir membeli US Dolar pada harga saat ini di level 9000. dan akan berniat menjualnya kembali satu bulan yang akan datang. Apabila harga kurs satu bulan yang akan datang lebih besar dari 9000, maka importir mendapatkan keuntungan dengan melakukan hedging menggunakan transaksi Swap.

Namun importir juga akan mendapatkan kerugian apabila harga kurs US$/Rp nantinya lebih kecil dari kurs transaksi Swap disepakati (9000).

Transaksi Option
Meskipun belum begitu dikenal, namun transaksi option tidaklah jauh berbeda dengan transaksi Swap. Namun, Option memberikan fleksibilitas dibandingkan bentuk transaksi lainnya.

Misalkan seorang investor membeli US Dolar sebesar $10.000,- di level 9000, dan akan menjualnya kembali satu bulan yang akan datang. Sementara itu, harga pada saat satu bulan yang akan datang di sepakati sebesar 9100. Selain itu, investor juga diminta untuk membayar premi selama satu bulan, misal sebesar $10.

Apabila pada saat satu bulan yang akan datang kurs berada di level 9110, maka investor mempunyai hak untuk menjual di level 9110, meskipun kontrak transaksi option disepakati di level 9100. Namun apabila kurs satu bulan yang akan datang lebih kecil dari kurs saat transaksi option dibuat (9100). Maka, investor memilki hak untuk tidak menjual US$ nya, dan hanya dikenakan biaya sebesar $10 (premi satu bulan).

Tentunya, ada beberapa alternatif lainnya yang tersedia bagi investor untuk melakukan tindakan hedging. Namun, apapun bentuk transaksinya seorang calon investor harus memiliki tujuan yang jelas, dan tetap berhati-hati dalam melakukan transaksi.

Namun tidak selamanya exposure perlu untuk diantisipasi guna menghindari gejolak fluktuasi di pasar uang. Misalkan seorang importir tidak melakukan hedging atas utang-utangnya (dalam mata uang asing/valas), apabila investor mempunyai ekspektasi kuat bahwa terjadi pelemahan terhadap mata uang asing yang mendominasi utangnya tersebut.

Selain itu, berdasarkan pergerakan kurs satu bulan terakhir yang berada dalam kisaran 9050 hingga 9300, dan diprediksi akan terus bergerak sama hingga akhir tahun ini, maka exposure juga tidak berpengaruh signifikan terhadap suatu perusahaan. Sehingga resiko valas yang akan terjadi masih dapat diminimalisir tanpa harus melakukan transaksi hedging.

Tuesday, August 01, 2006

Pajak ORI Bersifat Final dan Tidak Ada Batas Penjatahan

Medan,(Analisa),01 Agustus 2006
Kekuatiran adanya pengenaan pajak yang bersifat tidak final dan batas penjatahan maksimal Rp 50 juta terhadap calon investor Obligasi Ritel Negara (ORI) seri 001, adalah tidak benar.

Demikian dikatakan pemerhati pasar uang Gunawan dari salah satu bank BUMN, Senin (31/7) bahwa ketegasan itu secara jelas telah disampaikan pemerintah sehubungan dengan besarnya peminat ORI. "Pemerintah pada dasarnya tidak membatasi jumlah maksimum pemesanan, demikian pula pengenaan pajak atas bunga kupon sebesar 20% dan pajak capital gain 20% juga sudah final, berapapun besarnya jumlah investasi yang ditanamkan," kata Gunawan.

Adanya kekuatiran pembatasan maksimal Rp 50 juta, katanya, merupakan komitmen pemerintah untuk memberikan kepastian penjatahan. Terhadap agen penjual, pemerintah memberikan keleluasaan untuk menentukan urutan prioritas dengan minimal pemesanan Rp 5 juta dan harus mampu mengutamakan pemesanan hingga Rp 50 juta, sementara kepada investor sama sekali tidak dibatasi besarnya jumlah pemesanan.

Hal senada juga diungkapkan Rusdi, Pimpinan Cabang Trimegah Medan, bahwa sesuai dengan keputusan Depkeu yang tidak membatasi jumlah maksimum pemesanan ORI maka pihaknya juga tidak melakukan pembatasan terhadap calon investor. Adanya kesalahpahaman mengenai memorandum sebelumnya, yang mengutarakan mengenai pembatasan pemesanan telah disalahartikan oleh calon investor.

Hanya saja, kata Rusdi, yang ditegaskan bagi calon investor haruslah mereka yang berkewarganegaraan Indonesia dan mengisi formulir selambatlambatnya sebelum batas akhir pemesanan pada 4 Agustus mendatang. Artinya, selambatlambatnya pada 3 Agustus, calon investor telah harus membereskan semua dana yang masuk (good fund) ke rekening agen penjual untuk diproses.

Sementara mengenai perhitungan besarnya suku bunga ORI sebesar 12% yang tidak jauh berbeda dengan suku bunga deposito saat ini, Gunawan mengatakan sebetulnya tidak benar. Karena saat ini, pemerintah telah menegaskan akan menurunkan suku bunga perbankan seiring dengan menguatnya Rupiah dan menurunnya inflasi. "Memang saat ini kelihatan tidak jauh berbeda, tetapi bagaimanapun ORI jauh lebih menguntungkan, selain karena perhitungan suku bunga yang telah final, pemberian suku bunga juga tetap selama tiga tahun," kata Gunawan seraya memberikan perbandingan antara investasi ke dalam bentuk deposito dan ORI, masing masing Rp 100 juta.

Karena merupakan instrumen yang aman, maka jumlah peminat ORI meningkat pesat. Dikatakannya, ada kemungkinan penawaran ORI yang ditargetkan akan melebihi dari permintaan di masyarakat. "Tentu saja, karena investor pemula cukup dengan modal Rp 5 juta telah diperkenankan membeli obligasi, dan memang di Medan cukup banyak investor demikian," katanya. (fin)

Memahami Obligasi Pemerintah bernama ORI

Medan Bisnis, 17 Juli 2006
Ditengah kecenderungan suku bunga akan turun, saat ini ditengah masyarakat hadir produk investasi baru bernama ORI. ORI adalah obligasi negara yang dijual kepada individu atau perorangan Warga Negara Indonesia melalui agen penjual, dengan jumlah nominal yang telah ditetapkan.

Tujuan penerbitan ORI tidak lain adalah untuk membiayai anggaran negara, diversifikasi sumber pembiayaan, mengelola portofolio utang negara dan memperluas basis investor. Dasar hukum penerbitan ORI sendiri sesuai dengan peraturan Menteri Keuangan tentang penjualan obligasi negara ritel dipasar perdana maupun UU No.24 tahun 2002 tentang Surat Utang Negara.

ORI merupakan Goverment Bond (Obligasi Pemerintah) karena diterbitkan oleh pemerintah. Oleh karena itu pembayaran kupon dan pokok juga dijamin pemerintah. Untuk mengetahui apa itu ORI lebih jauh, ada baiknya kita simak ilustrasi berikut ini.

Misalkan ada seorang peternak sukses bernama Sunardi yang ingin menginvestasikan uangnya sejumlah Rp 70 Juta ke dalam bentuk investasi surat berharga bernama ORI. Maka yang pertama dilakukan Sunardi adalah menghubungi Agen penjual yang telah ditetapkan pemerintah seperti, Bank Mandiri, Citibank, Mega, Bukopin, Danamon, Panin, Permata, NISP, maupun sejumlah perusahaan sekuritas seperti Tri Megah, Valbury dan Danareksa.

Syarat yang pertama adalah Sunardi benar-benar WNI, dibuktikan dengan menunjukan KTP atau SIM. Selanjutnya, Sunardi akan diminta untuk membuka rekening tabungan serta rekening surat berharga (kustodian).

Setelah itu, Sunardi kini tinggal menunggu penawaran ORI oleh pemerintah. Yakni dimulai tanggal 17 Juli hingga 4 Agustus 2006 (penjadwalan transaksi ORI selengkapnya dapat dilihat pada gambar). Namun, sebelum membeli ORI sejumlah faktor resiko harus diketahui oleh Sunardi terlebih dahulu.

Beberapa resiko tersebut antara lain yaitu Sovereign Risk (Keadaan dimana pemerintah gagal membayar kupon dan pokok), Liquidity Risk (Investor tidak menemukan lawan transaksi jual/beli di pasar sekunder), maupun Interest Rate Risk (Resiko yang ditimbulkan akibat adanya perubahan suku bunga di pasar uang).

Namun, sejumlah faktor resiko tersebut diperkirakan tidak akan terjadi; dengan asumsi Negara dalam keadaan Stabil (baik Politik, Ekonomi dan Keamanan) serta tidak ada kenaikan suku bunga yang signifikan.

Setelah semua syarat dipenuhi, dan ketika telah tiba masa penawaran, ORI dipatok dengan harga Rp1 Juta/unit dengan minimal pembelian sebesar Rp 5 Juta dan maksimal sejumlah Rp 50 Juta. Kupon atau suku bunga ORI sebesar 12.05%/tahun dibayarkan setiap bulan.

Akan tetapi, Uang Sunardi sejumlah Rp 70 Juta masih akan tetap diterima selama masih dalam masa penawaran. Namun, keputusan berapa besar uang Sunardi yang berhak diinvestasikan akan diumumkan pada tanggal 7 Agustus 2006 oleh pemerintah (atau lebih dikenal dengan istilah penjatahan).

Tiba saatnya pada tanggal 7 Agustus, Sunardi diasumsikan hanya diberi jatah sebesar Rp 50 Juta yang berhak untuk diinvestasikan ke ORI. Jadi sisanya sebesar Rp 20 Juta dikembalikan.

Selang beberapa hari selanjutnya, tepatnya pada tanggal 09 agustus ORI diterbitkan dan pada tanggal 10 Agustus Sunardi sudah mendapat konfirmasi kepemilikan ORI. Sunardi mendapatkan 50 Unit ORI (50 Juta/1 Juta). Bahkan ORI milik Sunardi juga sudah bisa diperdagangkan dipasar sekunder.

Setelah melakukan pembelian di pasar Perdana, Sunardi mulai menghitung keuntungan yang akan didapat per bulan dari modalnya yang diinvestasikan ke ORI sebesar Rp 50 Juta, dengan suku bunga 12.05%/tahun, serta pajak atas kupon sebesar 20 %, maka :

Bunga yang diterima Sunardi/Bulan = Rp 50 Juta x 12.05% : 12 bulan = Rp 500.000
Bunga/Kupon dipotong pajak 20 % = Rp 500.000 x 20% = Rp 100.000 -
Bunga/kupon bersih yang diterima Sunardi/bulan adalah = Rp 400.000

Dengan demikian, Sunardi mendapatkan bunga bersih sebesar Rp 400.000/bulan setiap tanggal 09 (sesuai dengan tanggal penerbitan ORI di pasar perdana) selama tiga tahun. Nah, pada saat jatuh tempo pembayaran pokok (3 tahun yang akan datang), Pemerintah akan membayar semua modal Sunardi sebesar Rp 50 Juta (100%).

Namun, sebelum masa jatuh tempo tepatnya pada tanggal 22 Mei 2007 Sunardi berencana menjual semua kepemilikan ORI nya. Ternyata harga 1 Unit ORI sudah naik menjadi Rp 1.100.000 (sebelumnya Rp 1 Juta) atau naik Rp 100 Ribu/unit.

Jadi, 50 Unit ORI milik Sunardi mendapatkan Capital Gain sebanyak Rp 5 Juta (Rp100 Ribu x 50 Unit). Dipotong pajak Capital Gain sebesar 20%, maka Capital Gain bersih diterima Sunardi adalah Rp 5 Juta – (Rp 5 Juta x 20%) = Rp 4 Juta

Kita mengetahui bahwa Sunardi selalu mendapatkan bunga sebesar Rp 400 ribu setiap tanggal 9 dan setiap bulan. Maka ada selisih 13 hari antara tanggal 09 Mei hingga tanggal 22 Mei (tanggal dimana Sunardi menjual seluruh kepemilikan ORI nya).

Sementara itu, jumlah hari pada bulan Mei adalah 31 hari. Maka rumus untuk mencari bunga selama 13 hari (09 Mei s/d 22 Mei) tersebut adalah 13/31 x (12.05%/12) x Rp 50 Juta = Rp 209.677. Bunga tersebut masih harus dipotong pajak sebesar 20%, Maka bunga bersih yang diterima Sunardi selama 13 hari adalah Rp 167.742 (Rp 209.677 - (Rp 209.677 x 20%)).

Jadi total keseluruhan uang yang diterima Sunardi pada saat menjual semua ORI miliknya pada tanggal 22 Mei adalah

Rp 50 Juta + Rp 4 Juta (Capital Gain) + Rp 167.742 (Bunga 13 Hari) = Rp 54.167.142

Disini terlihat bahwa selain mendapat bunga tetap per bulan, Sunardi sebagai investor juga mendapatkan Capital Gain. Namun pendapatan Sunardi tersebut diasumsikan tanpa ada biaya administrasi yang pastinya berbeda-beda antara satu agen penjual dengan agen penjual lainnya.

Setelah membaca ilustrasi tersebut anda tentunya dapat dengan mudah memahami ORI. Semua simulasi yang dijelaskan sebelumnya juga berlaku untuk kemungkinan resiko yang terjadi seperti Capital Loss. Kaidah-kaidah yang dijelaskan sebelumnya juga berlaku untuk semua bentuk transaksi di pasar sekunder. Untuk Capital Loss tidak dikenakan pajak apapun apabila jumlah Capital Loss lebih besar dari bunga yang diterima.

Namun, para investor harus jeli dalam memilih agen penjual. Karena biaya yang ditetapkan setiap agen penjual berbeda, bahkan ada bank ”plat merah” yang membebaskan beberapa biaya administrasi seperti pembukaan rekening kustodian, penyimpanan surat berharga serta biaya transfer kupon.

Jadi, Jangan sampai investasi yang kita miliki tidak optimal dalam memberikan keuntungan nantinya. Karena belum tentu ada investor yang seberuntung Sunardi (tokoh fiktif) yang selama berinvestasi dibebaskan dari biaya administrasi. Semoga sukses.

Minat Investor ORI Masih Sulit Dipantau

Medan, (Analisa), 19 Juli 2006
Masih sulit memantau minat investor dari kalangan ritel yang tertarik untuk berinvestasi Obligasi Negara Ritel Indonesia (ORI) seri 001 hingga resmi dijual oleh pemerintah pada awal Agustus nanti.

"ORI diterbitkan dengan tujuan untuk membiayai anggaran negara atau defisit APBN, memenuhi kebutuhan dana tunai jangka pendek maupun sebagai instrumen pengelolaan portofolio utang negara. Jadi besarnya minat investasi dari kalangan ritel sejauh ini belum terpantau hingga pada saat penawaran perdana oleh pemerintah awal agustus nanti," kata pemerhati pasar uang Gunawan dari salah satu bank BUMN, Senin (17/7).

Penjualan obligasi untuk ritel yang pertama ini, menurutnya akan menarik banyak deposan dalam negeri. Karena pada umumnya metode pengenaan pajak dan minimun investasi cukup kecil dimulai dari Rp 5 juta. Untuk pengenaan biaya pengenaan pajak, investor dikenakan pajak atas bunga kupon sebesar 20% dan pajak atas capital gain juga sebesar 20%.

"Mengenai besaran pajak, belum bisa dinilai apakah terlalu mahal atau tidak, tergantung dari persepsi investor itu sendiri," paparnya. Meskipun demikian, kemungkinan terjadinya capital loss jauh lebih kecil daripada kemungkinan perolehan capital gain. Hal ini disebabkan suku bunga perbankan diprediksikan akan terus menurun. "Capital gain dan capital loss kemungkinan pasti akan terjadi di pasar sekunder, namun jika suku bunga perbankan terus menurun maka minat orang untuk berinvestasi ke obligasi akan semakin tinggi," katanya.

Sementara pimpinan Trimegah Medan Rusdi yang didampingi Rachmat waluyanto (Depkeu) di sela-sela seminar Trim-ORI, Sabtu kemarin mengatakan resiko investasi ORI sangat kecil.
Sejauh ini peraturan mengenai ORI tercakup dalam UU No.24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara, maupun Peraturan menteri Keuangan Nomor 06/PMK.06/2006 tentang Penjualan Obligasi Ritel di Pasar Perdana. Menurut rencana, obligasi ini akan diterbitkan 9 Agustus 2006. "Selain itu, biaya pembelian kepada agen penjual misalnya melalui Trimegah hingga kini masih bebas. Karena untuk penjualan ORI pemerintah telah menunjuk 11 agen penjual yang terdiri dari lembaga keuangan bank dan non bank ," katanya.

Walaupun masa jatuh tempo ORI, kata Rachmat adalah tiga tahun, namun sebelum habis masa jatuh tempo, investor juga dapat menjual kembali ORI kepada pasar sekunder.

Hanya saja, Gunawan menyarankan agar investor jeli dalam memilih agen penjual. Sejumlah agen menetapkan biaya administrasi yang berbeda. contohnya, beberapa bank kustodian menetapkan biaya pembukaan rekening kustodian rata-rata Rp 60 ribu.
Namun ada juga bank "plat merah" yang membebaskan biaya tersebut untuk nasabahnya yang ingin ikut berinvestasi di ORI."Jadi investor dituntut proaktif sebelum menentukan agen penjual," kata Gunawan. (fin)

Thursday, July 27, 2006

Suku Bunga, US$, dan Rupiah dalam sebuah keranjang Ekspektasi

Medan Bisnis, 13 July 2006
Suku bunga AS kembali dinaikkan untuk yang ke-17 kalinya, dari sebelumnya sebesar 5% menjadi 5,25% atau naik 25 basis poin. Namun kenaikan tersebut tidak membuat mata uang US Dolar menguat, yang terjadi malah sebaliknya, US Dolar terjun bebas terhadap hampir semua mata uang hard currency lainnya seperti GBP, Euro dan Yen. Pemicunya adalah pernyataan pejabat Bank Sentral AS yang mengindikasikan bahwa siklus pengetatan kebijakan moneter AS akan segera berakhir.

Tanpa pikir panjang, pasar langsung bereaksi dengan melepas US Dolar dan menggantinya dengan bentuk investasi lain termasuk emas. Rupiah juga sangat diuntungkan dengan reaksi pasar tersebut. Investor diperkirakan banyak memburu aset-aset dalam rupiah, maklumlah negeri ini masih memberikan imbal hasil atawa suku bunga yang relatif tinggi dibandingkan dengan negara lain. Jadi wajar aja kalau investor kembali memburu instrumen investasi dalam rupiah seperti SUN, SBI maupun Saham.

Namun benarkah sinyal diberhentikannya siklus kenaikan suku bunga AS akan segera berakhir. Belum ada jawaban yang pasti untuk pertanyaan tersebut. Karena The FED sebelumnya juga mengindikasikan hal yang sama. Namun, implementasinya sangat berbeda dari ekspektasi sebelumnya, yakni kembali menaikan suku bunga US Dolar.

Banyak pelaku pasar yang terkecoh dengan euforia bank sentral AS. Arah kebijakan yang dilontarkan selalu banyak menimbulkan penafsiran dan sering sekali menimbulkan spekulasi yang justru merugikan banyak orang yang terkait didalamnya.
Salahkah Bank Sentral AS?, Tidak. Pejabat Bank Sentral AS tidak pernah melontarkan pernyataan yang terkait dengan langkah The FED ke depan secara eksplisit. Hanya saja, statement yang dikeluarkan selalu mengundang penafsiran yang beragam dimana pasar mempunyai kecenderungan untuk bergerak mengikuti ekspektasi dari hasil penafsiran tersebut, yang jelas-jelas banyak mengandung unsur spekulasi didalamnya.

Padahal, keputusan menaikkan/menurunkan suku bunga US Dolar selalu didasarkan pada data-data perekonomian AS dan bukan merupakan buah dari pemikiran yang spekulatif.

Namun, pelaku pasar seolah-olah terbawa arus oleh derasnya rumor yang beredar dan mempunyai tendensi untuk mengikuti kecenderungan pelaku pasar pada umumnya. Tak ada salahnya memang, apalagi kalau arah pergerakan tersebut merupakan buah pemikiran dari orang yang benar-benar jitu dalam menebak pergerakan pasar.

Tapi satu hal yang perlu diingat bahwa hingga saat ini belum ada formula yang benar-benar pas dalam menentukan arah pergerakan pasar. Yang ada hanyalah sebuah ekspektasi didalam sebuah dinamika pasar yang memang sangat dinamis.

Setelah The FED, saatnya giliran BI yang menjadi fokus pasar selanjutnya. Maklumlah, kenaikan suku bunga AS selalu menjadi pertimbangan Bank Sentral lain untuk menentukan arah kebijakan suku bunganya kedepan, termasuk di Indonesia.

Biasanya kenaikan suku bunga The FED akan diantisipasi dengan mempertahankan atau menaikan suku bunga Rupiah. Namun, saat ini keadaan sangatlah berbeda. Kenaikan suku bunga AS ternyata tidak membuat mata uang negara adikuasa tersebut menguat. Yang terjadi malah rupiah terus unjuk gigi dan menguat hingga mendekati level 9000.

Berdasarkan fenomena ini, ekspektasi yang berkembang sebelumnya adalah BI akan mempertahankan suku bunga atau memotong suku bunganya. Ternyata, BI mengambil langkah kedua, yakni kembali memotong suku bunga.

Nah, Akurasi dari kebijakan BI nantinya masih akan diuji dalam beberapa waktu kedepan. Sukses atau tidaknya suatu formula kebijakan akan terlihat apabila kebijakan tersebut sudah diimplementasikan dengan sejumlah resiko, yang memang sudah ada di dalam skenario sebelumnya.

BI memang diposisikan sangat dilematis sebelumnya. Di satu sisi, memotong suku bunga berpotensi memberikan tekanan pada rupiah dan memicu naiknya laju inflasi. Namun, pembangunan sektor riil serta penciptaan lapangan kerja juga akan stagnan apabila suku bunga tetap dipertahankan.

Namun, BI benar-benar sangat diuntungkan dengan langkah Bank Sentral negeri Paman Sam yang kembali menaikan suku bunganya, namun tak kunjung membuat mata uang US Dolar menguat. Momentum ini pun tidak dilewatkan BI begitu saja. Dan ini menjadi alasan utama kenapa BI kembali memotong BI Rate.

Akan tetapi, Bukankah AS juga diuntungkan dengan melemahnya US Dolar?, ya. sejauh ini sejumlah pengamat juga menyatakan hal yang sama. Alasannya karena defisit neraca perdagangan Amerika bisa juga ditutupi dengan membiarkan US Dolar melemah, apalagi terhadap mata uang Yuan China.

Kembali kepada kondisi perekonomian regional. Saat ini berkembang ekspektasi mengenai kemungkinan akan dinaikannya kembali suku bunga Bank of Japan (BoJ), setelah sempat nongkrong di level 0% selama lebih kurang 6 tahun.

Bagaikan ikatan saudara di dalam suatu keluarga, berita tersebut masih menjadi isu hangat dan berpotensi merubah ekspektasi pasar, dimana kenaikan suku bunga BoJ akan memberikan dampak penguatan bagi Yen Jepang dan akan berimbas positif bagi penguatan rupiah.

Bahkan pemerintah berani mematok rupiah di level 9300 dalam APBN-P 2006. Meskipun tidak sepenuhnya tepat, namun ini menunjukan bahwa ekspektasi selanjutnya adalah Bullish Rupiah.

Momentum BI menghentikan kebijakan Suku Bunga Tinggi

Medan Bisnis, 11 April 2006
Nilai tukar rupiah kembali menguat menyusul membaiknya data inflasi serta kebijakan BI yang tetap mempertahankan BI rate di level 12,75%. Bahkan rupiah sempat menyentuh level terkuatnya dalam satu tahun terakhir dikisaran harga 8970. Beberapa kalangan bahkan optimis rupiah mampu menguat hingga ke level 8900.

Akan tetapi, penguatan rupiah saat ini belum didukung oleh fundamental yang kokoh. Pembangunan di sektor riil yang diyakini mampu menjadi penopang perekonomian dalam jangka panjang belum menunjukan adanya pertumbuhan atau bahkan bisa dikatakan stagnan. Suku bunga kredit yang tinggi dinilai menjadi pangkal permasalahan dan sangat membebani dunia usaha kita. Keadaan tersebut berdampak langsung pada terhambatnya penciptaan lapangan kerja.

Namun, kabar baik baru-baru ini sedikit memberikan angin segar. Beberapa indikator makro ekonomi menunjukan adanya peluang akan penurunan suku bunga. Indikator tersebut datang dari data inflasi bulan maret yang dirilis pemerintah yang menujukan adanya penurunan secara signifikan jika dibandingkan bulan-bulan sebelumnya.

Inflasi untuk bulan maret hanya sebesar 0.03% jauh dari inflasi bulan sebelumnya yang sebesar 0.58%. Inflasi yang berlaku memang selalu menjadi tolok ukur dalam menentukan arah kebijakan suku bunga nantinya. Sementara itu, komponen biaya yang mempengaruhi laju inflasi kedepan diprediksi tidak banyak bergejolak di tahun 2006 ini (setidak-tidaknya pemerintah tidak jadi menaikkan tarif dasar listrik).

Jadi, menurut saya suku bunga sebesar 8% hingga 10% merupakan angka yang cukup realistis. Namun, sejauh ini BI masih tetap bersikukuh mempertahankan kebijakan uang ketatnya atau tight bias policy walaupun tetap memberikan sinyal kemungkinan akan diperlonggar. Mengapa demikian?

Menurut saya ada beberapa hal yang melandasi kebijakan tersebut. Pertama, untuk menghindari rupiah terdepresiasi secara tajam. Perbedaan suku bunga Rupiah dan US Dollar saat ini yang semakin menipis memberikan peluang terjadinya arus balik modal. Pasar finansial kita akhir-akhir ini memang dibanjiri oleh animo investor (baik lokal maupun asing) yang menanamkan modalnya di surat berharga (SUN dan SBI).

Namun, bentuk investasi di portofolio tersebut hanya bersifat jangka pendek yang sewaktu-waktu dapat ditarik kembali. Apalagi jumlah kepemilikan investor asing saat ini mencapai Rp.60 Trilyun. Apabila dana itu keluar maka secara otomatis rupiah akan kembali melemah.

Kedua, Belum terciptanya iklim investasi yang benar-benar kondusif. Kebijakan investasi yang dikeluarkan pemerintah baru-baru ini belum ditopang dengan pembangunan infrastruktur (khusunya transportasi) secara menyeluruh. Keadaan ini justru berpotensi menjadi pemicu kenaikan harga serta menghambat kinerja perekonomian kedepan.

Walaupun indikator ekonomi makro dalam beberapa bulan terakhir menunjukan adanya realisasi positif. Namun sejumlah faktor resiko yang berpotensi menjadi penghambat pertumbuhan ekonomi perlu segera untuk diantisipasi.

Akan tetapi, yang terpenting saat ini adalah bagaimana mempertahankan realisasi positif di awal tahun dapat dipertahankan dimasa yang akan datang. Mengingat saat ini Indonesia masih dibanjiri oleh sentimen positif sehingga mempunyai ruang untuk mencapai pertumbuhan ekonomi serta mampu menciptakan lapangan kerja dan menuntaskan kemiskinan.

Akankah Rupiah kembali Rp10.000?

Medan Bisnis, 15 Maret 2006
Akhir Agustus tahun lalu, kurs Rupiah sempat menyentuh level Rp11.900, yang merupakan harga terendah sejak 4 tahun terakhir. Faktor utama melemahnya nilai Rupiah berasal dari fluktuasi harga minyak dunia yang sempat naik mencapai $70/barel. Kenaikan harga minyak memberikan tekanan pada APBN Indonesia, hingga memaksa pemerintah untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) awal Oktober tahun lalu, dan merupakan kenaikan BBM yang kedua kalinya dalam masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Namun menjelang akhir tahun 2005, pasar kembali bereaksi positif ketika Presiden SBY mengumumkan Boediono (sebelumnya menjabat menteri keuangan pada pemerintahan Megawati) bersedia bergabung ke dalam kabinet Indonesia Bersatu dan menjabat sebagai menteri perekonomian. Sejak saat itu, terjadi penguatan Rupiah dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) secara tajam dan hingga saat ini.

Selanjutnya, muncul suatu pertanyaan; Bagaimana Rupiah dapat menguat secara signifikan dalam waktu yang relatif singkat? Apakah Rupiah menguat hanya berdasarkan figur seseorang dalam pemerintahan? Atau memang penguatan Rupiah itu sendiri didukung oelh fundamental ekonomi yang kuat sehingga mampu memutarbalik ekspektasi pasar?. Untuk mengetahui hal tersebut lebih jauh, penulis mencoba menyampaikan beberapa hal penting yang selalu menjadi fokus perhatian di pasar hingga saat ini.

Suku bunga The FED
The FED merupakan instrument tingkat bunga Amerika Serikat yang selalu menjadi patokan arah kebijakan moneter negara tersebut dan dunia. Sejak lama diketahui bahwa kenaikan atau penurunan bunga The FED selalu memberikan dampak terhadap hampir semua mata uang dunia dan menjadi benchmark hampir setiap negara untuk menentukan arah kebijakan tingkat bunganya ke depan.

Pada masa kepemimpinan Alan Greenspan (Gubernur Bank Sentral Amerika yang lalu), banyak analis yang meramalkan bahwa siklus kenaikan bunga The FED sejak pertengahan tahun 2004 akan berakhir. di awal tahun 2006 ini. Namun ramalan tersebut terkesan jauh dari kenyataan setelah pucuk kepemimpinan diambil alih Ben Bernanke mulai awal Februari 2006. Bernanke memandang fokus permasalahan finansial AS kedepan dari sudut pandang yang berbeda dari pendahulunya.

Dalam sejumlah kesempatan Bernanke menyatakan bahwa tingkat bunga The FED masih dapat kembali dinaikkan. Lebih jauh Bernanke juga mengatakan bahwa kenaikan The FED nantinya akan bergantung pada data-data perekonomian Amerika. Statement tersebut diartikan oleh analis bahwa tingkat bunga The FED dapat mencapai 5% pada tahun ini.

Dalam catatan penulis, kenaikan The FED tidak serta merta diikuti dengan naiknya tingkat bunga di dalam negeri (BI rate). Namun demikian, dampak kenaikan The FED biasanya akan memberikan tekanan terhadap pergerakan Rupiah dan indeks saham. Sejauh ini, perbedaan tingkat bunga (interest rate differential) antara The FED dan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) masih menjadi alasan utama investor memegang Rupiah. Hal tersebut menjadi pendorong penguatan Rupiah hingga saat ini.


Harga Minyak Dunia
Tidak dipungkiri bahwa lonjakan harga minyak dunia tahun lalu menjadi biang keladi naiknya harga BBM di dalam negeri. Faktor pemicu naiknya harga minyak dunia berasal dari bertambahnya kebutuhan minyak negara khususnya China dan India. Kenaikan harga minyak selalu memberikan dampak yang sama atas naiknya harga-harga barang yang mendorong inflasi.

Untungnya dampak yang diakibatkan kenaikan harga minyak sekarang tidak seburuk tahun 70-an, dimana kenaikan tersebut saat ini lebih dipengaruhi oleh meningkatnya permintaan akibat ekspansi industri dan bukan karena memburuknya situasi politik maupun keamanan.

Jadi, bagaimana dengan arah pergerakan harga minyak dunia kedepan?. Hingga saat ini harga minyak dunia bergerak dalam kisaran harga antara $60 hingga $67 per barel. Fluktuasi harga minyak saat ini banyak dipengaruhi oleh situasi politik di Timur Tengah khususnya Iran (negara penghasil minyak terbesar kedua dunia), yang saat ini terlibat persilihan dengan Amerika Serikat terkait pengembangan senjata nuklir.

Laju Inflasi
Di semua negara, inflasi merupakan tolak ukur arah kebijakan moneter. Laju inflasi yang terlalu tinggi selalu memberikan dampak penurunan daya beli masyarakat dan memperlambat pertumbuhan ekonomi.

Beberapa komponen biaya penentu inflasi, BBM, bencana alam dan tarif dasar listrik (TDL) berperan atas naiknya harga-harga barang. Kenaikan harga BBM mempengaruhi harga barang dari aspek biaya distribusinya. Sementara bencana alam menambah tekanan inflasi, karena terhambatnya proses distribusi akibat banjir dan kerusakan infrastruktur jalan. Kenaikan TDL memberikan andil cukup besar, karena tidak hanya membebani masyarakat tetapi juga menambah overhead cost industri.

Langkah apa yang bisa dilakukan untuk menjaga agar laju inflasi terkendali?. Bila dilihat dari aspek moneter menurut penulis Bank Indonesia (BI) masih menjalankan fungsinya dengan baik dalam mengatur volume uang yang beredar. Apresiasi Rupiah yang terjadi beberapa bulan terakhir memang turut membantu mengurangi tekanan inflasi. Namun demikian, pemerintah harus mewaspadai kemungkinan lonjakan inflasi yang disebabkan oleh naiknya komponen biaya dari TDL. Meskipun besaran kenaikan TDL belum diputuskan, namun hal tersebut perlu diwaspadai mengingat rencana tersebut kemungkinan akan direalisir.

Politik dan Keamanan
Pengalaman pahit Indonesia di tahun 1997/1998 dimana pergantian presiden diwarnai dengan aksi demonstrasi dan tindakan anarkis, membuat investor melarikan modalnya ke luar negeri. Hal tersebut membuat perekonomian Indonesia mundur ke belakang beberapa tahun. Rupiah kala itu sempat diperdagangkan dengan sangat murah mendekati Rp20.000.

Seperti yang terjadi di Philipina dan Thailand saat ini, terganggunya stabilitas politik yang dipicu aksi demonstrasi besar-besaran membuat kedua negara tersebut dilanda krisis kepercayaan oleh para investor, yang berlanjut pada pelemahan nilai Baht dan Peso. Indonesia sendiri diperkirakan mendapatkan keuntungan di tengah ketidakpastian situasi politik kedua negara tersebut, setelah beberapa investor diperkirakan memindahkan dananya untuk ditanamkan di Indonesia.

Perombakan kabinet Indonesia bersatu, terutama setelah masuknya team ekonomi yang mendapatkan respon positif pasar, dari aspek politik memperkuat posisi tawar presiden SBY. Posisi politik SBY makin menguat setelah koalisi beberapa partai yang dimotori Golkar dan PKB merapat ke pemerintah, sementara PKS dan PAN juga memposisikan diri sebagai “mitra kritis” pemerintah. Dari aspek penegakan hukum, pemerintahan SBY mendapatkan apresiasi setelah POLRI berhasil menyelesaikan kasus terorisme dan dapat menyikapi permasalahan keamanan dalam negeri dengan baik. Kondisi politik dan keamanan yang stabil turut menumbuhkan kepercayaan para investor yang akan menanamkan modalnya di Indonesia.

Bagaimana dengan Rupiah, akankah kembali ke Rp10.000?
Kegairahan pasar finansial Indonesia menunjukan keperkasaannya setelah presiden SBY mengumumkan perombakan kabinet. Hanya dalam waktu 3 hari, Rupiah menguat 120 poin. Boediono effect itulah ungkapan yang mungkin cocok bagi Rupiah yang menguat secara drastis akhir tahun lalu. Demikian juga halnya dengan IHSG yang secara bertahap juga mengalami kenaikan yang cukup signifikan.

Laju inflasi yang diperkirakan bakal turun ke single digit hingga akhir tahun ini menjadi faktor penting bagi pergerakan Rupiah dan indeks saham nantinya. Perkiraan tersebut merupakan gambaran riil mengingat membaiknya nilai tukar Rupiah serta harga minyak dunia saat ini, dinilai menjadi sentimen positif awal tahun.

Sementara itu kenaikan tingkat bunga The FED sepertinya tidak akan menjadi masalah besar selama BI mampu mengeluarkan kebijakan yang dapat mengantisipasi dampak buruk dari kenaikan tersebut. Selain itu adanya interst rate differential antara tingkat bunga Rupiah dan US Dollar, membuat Rupiah masih menarik dimata investor.

Dari sisi penawaran, pasokan valas pun tidak mengalami peningkatan yang berarti. Walaupun secara keseluruhan penjualan valas oleh koporasi tahun 2005 menunjukan kenaikan (± US$2.4 milyar per bulan) dari tahun sebelumnya, namun jumlah tersebut masih relatif lebih kecil dari permintaan US Dollar korporasi (± US$3.2 milyar per bulan) pada tahun yang sama. Sementara cadangan devisa yang naik menjadi sekitar US$38 milyar, diharapkan mampu menjaga kebutuhan valas dalam negeri nantinya.

Penguatan maupun pelemahan Rupiah bukanlah merupakan masalah besar apabila semua orang memandangnya sebagai suatu hal yang biasa. Yang terpenting fluktuasi Rupiah itu jangan sampai menimbulkan ketidakpastian ekonomi berkepanjangan. Apabila fundamental ekonomi jangka panjang memungkinkan Rupiah untuk terus menguat maupun sebaliknya, maka sudah seharusnya hal tersebut dapat diterima oleh pelaku pasar tanpa harus dibarengi dengan gejolak ketidakpastian.

Ke level berapa Rupiah nantinya? Belum ada yang tahu pasti. Namun satu hal yang perlu dicatat, pergerakan Rupiah akan lebih ditentukan oleh perkembangan perekonomian bangsa dan sejauhmana masyarakat kita menyikapi semua aspek yang dapat mempengaruhinya.