Thursday, July 27, 2006

Momentum BI menghentikan kebijakan Suku Bunga Tinggi

Medan Bisnis, 11 April 2006
Nilai tukar rupiah kembali menguat menyusul membaiknya data inflasi serta kebijakan BI yang tetap mempertahankan BI rate di level 12,75%. Bahkan rupiah sempat menyentuh level terkuatnya dalam satu tahun terakhir dikisaran harga 8970. Beberapa kalangan bahkan optimis rupiah mampu menguat hingga ke level 8900.

Akan tetapi, penguatan rupiah saat ini belum didukung oleh fundamental yang kokoh. Pembangunan di sektor riil yang diyakini mampu menjadi penopang perekonomian dalam jangka panjang belum menunjukan adanya pertumbuhan atau bahkan bisa dikatakan stagnan. Suku bunga kredit yang tinggi dinilai menjadi pangkal permasalahan dan sangat membebani dunia usaha kita. Keadaan tersebut berdampak langsung pada terhambatnya penciptaan lapangan kerja.

Namun, kabar baik baru-baru ini sedikit memberikan angin segar. Beberapa indikator makro ekonomi menunjukan adanya peluang akan penurunan suku bunga. Indikator tersebut datang dari data inflasi bulan maret yang dirilis pemerintah yang menujukan adanya penurunan secara signifikan jika dibandingkan bulan-bulan sebelumnya.

Inflasi untuk bulan maret hanya sebesar 0.03% jauh dari inflasi bulan sebelumnya yang sebesar 0.58%. Inflasi yang berlaku memang selalu menjadi tolok ukur dalam menentukan arah kebijakan suku bunga nantinya. Sementara itu, komponen biaya yang mempengaruhi laju inflasi kedepan diprediksi tidak banyak bergejolak di tahun 2006 ini (setidak-tidaknya pemerintah tidak jadi menaikkan tarif dasar listrik).

Jadi, menurut saya suku bunga sebesar 8% hingga 10% merupakan angka yang cukup realistis. Namun, sejauh ini BI masih tetap bersikukuh mempertahankan kebijakan uang ketatnya atau tight bias policy walaupun tetap memberikan sinyal kemungkinan akan diperlonggar. Mengapa demikian?

Menurut saya ada beberapa hal yang melandasi kebijakan tersebut. Pertama, untuk menghindari rupiah terdepresiasi secara tajam. Perbedaan suku bunga Rupiah dan US Dollar saat ini yang semakin menipis memberikan peluang terjadinya arus balik modal. Pasar finansial kita akhir-akhir ini memang dibanjiri oleh animo investor (baik lokal maupun asing) yang menanamkan modalnya di surat berharga (SUN dan SBI).

Namun, bentuk investasi di portofolio tersebut hanya bersifat jangka pendek yang sewaktu-waktu dapat ditarik kembali. Apalagi jumlah kepemilikan investor asing saat ini mencapai Rp.60 Trilyun. Apabila dana itu keluar maka secara otomatis rupiah akan kembali melemah.

Kedua, Belum terciptanya iklim investasi yang benar-benar kondusif. Kebijakan investasi yang dikeluarkan pemerintah baru-baru ini belum ditopang dengan pembangunan infrastruktur (khusunya transportasi) secara menyeluruh. Keadaan ini justru berpotensi menjadi pemicu kenaikan harga serta menghambat kinerja perekonomian kedepan.

Walaupun indikator ekonomi makro dalam beberapa bulan terakhir menunjukan adanya realisasi positif. Namun sejumlah faktor resiko yang berpotensi menjadi penghambat pertumbuhan ekonomi perlu segera untuk diantisipasi.

Akan tetapi, yang terpenting saat ini adalah bagaimana mempertahankan realisasi positif di awal tahun dapat dipertahankan dimasa yang akan datang. Mengingat saat ini Indonesia masih dibanjiri oleh sentimen positif sehingga mempunyai ruang untuk mencapai pertumbuhan ekonomi serta mampu menciptakan lapangan kerja dan menuntaskan kemiskinan.

No comments: