Thursday, July 27, 2006

Suku Bunga, US$, dan Rupiah dalam sebuah keranjang Ekspektasi

Medan Bisnis, 13 July 2006
Suku bunga AS kembali dinaikkan untuk yang ke-17 kalinya, dari sebelumnya sebesar 5% menjadi 5,25% atau naik 25 basis poin. Namun kenaikan tersebut tidak membuat mata uang US Dolar menguat, yang terjadi malah sebaliknya, US Dolar terjun bebas terhadap hampir semua mata uang hard currency lainnya seperti GBP, Euro dan Yen. Pemicunya adalah pernyataan pejabat Bank Sentral AS yang mengindikasikan bahwa siklus pengetatan kebijakan moneter AS akan segera berakhir.

Tanpa pikir panjang, pasar langsung bereaksi dengan melepas US Dolar dan menggantinya dengan bentuk investasi lain termasuk emas. Rupiah juga sangat diuntungkan dengan reaksi pasar tersebut. Investor diperkirakan banyak memburu aset-aset dalam rupiah, maklumlah negeri ini masih memberikan imbal hasil atawa suku bunga yang relatif tinggi dibandingkan dengan negara lain. Jadi wajar aja kalau investor kembali memburu instrumen investasi dalam rupiah seperti SUN, SBI maupun Saham.

Namun benarkah sinyal diberhentikannya siklus kenaikan suku bunga AS akan segera berakhir. Belum ada jawaban yang pasti untuk pertanyaan tersebut. Karena The FED sebelumnya juga mengindikasikan hal yang sama. Namun, implementasinya sangat berbeda dari ekspektasi sebelumnya, yakni kembali menaikan suku bunga US Dolar.

Banyak pelaku pasar yang terkecoh dengan euforia bank sentral AS. Arah kebijakan yang dilontarkan selalu banyak menimbulkan penafsiran dan sering sekali menimbulkan spekulasi yang justru merugikan banyak orang yang terkait didalamnya.
Salahkah Bank Sentral AS?, Tidak. Pejabat Bank Sentral AS tidak pernah melontarkan pernyataan yang terkait dengan langkah The FED ke depan secara eksplisit. Hanya saja, statement yang dikeluarkan selalu mengundang penafsiran yang beragam dimana pasar mempunyai kecenderungan untuk bergerak mengikuti ekspektasi dari hasil penafsiran tersebut, yang jelas-jelas banyak mengandung unsur spekulasi didalamnya.

Padahal, keputusan menaikkan/menurunkan suku bunga US Dolar selalu didasarkan pada data-data perekonomian AS dan bukan merupakan buah dari pemikiran yang spekulatif.

Namun, pelaku pasar seolah-olah terbawa arus oleh derasnya rumor yang beredar dan mempunyai tendensi untuk mengikuti kecenderungan pelaku pasar pada umumnya. Tak ada salahnya memang, apalagi kalau arah pergerakan tersebut merupakan buah pemikiran dari orang yang benar-benar jitu dalam menebak pergerakan pasar.

Tapi satu hal yang perlu diingat bahwa hingga saat ini belum ada formula yang benar-benar pas dalam menentukan arah pergerakan pasar. Yang ada hanyalah sebuah ekspektasi didalam sebuah dinamika pasar yang memang sangat dinamis.

Setelah The FED, saatnya giliran BI yang menjadi fokus pasar selanjutnya. Maklumlah, kenaikan suku bunga AS selalu menjadi pertimbangan Bank Sentral lain untuk menentukan arah kebijakan suku bunganya kedepan, termasuk di Indonesia.

Biasanya kenaikan suku bunga The FED akan diantisipasi dengan mempertahankan atau menaikan suku bunga Rupiah. Namun, saat ini keadaan sangatlah berbeda. Kenaikan suku bunga AS ternyata tidak membuat mata uang negara adikuasa tersebut menguat. Yang terjadi malah rupiah terus unjuk gigi dan menguat hingga mendekati level 9000.

Berdasarkan fenomena ini, ekspektasi yang berkembang sebelumnya adalah BI akan mempertahankan suku bunga atau memotong suku bunganya. Ternyata, BI mengambil langkah kedua, yakni kembali memotong suku bunga.

Nah, Akurasi dari kebijakan BI nantinya masih akan diuji dalam beberapa waktu kedepan. Sukses atau tidaknya suatu formula kebijakan akan terlihat apabila kebijakan tersebut sudah diimplementasikan dengan sejumlah resiko, yang memang sudah ada di dalam skenario sebelumnya.

BI memang diposisikan sangat dilematis sebelumnya. Di satu sisi, memotong suku bunga berpotensi memberikan tekanan pada rupiah dan memicu naiknya laju inflasi. Namun, pembangunan sektor riil serta penciptaan lapangan kerja juga akan stagnan apabila suku bunga tetap dipertahankan.

Namun, BI benar-benar sangat diuntungkan dengan langkah Bank Sentral negeri Paman Sam yang kembali menaikan suku bunganya, namun tak kunjung membuat mata uang US Dolar menguat. Momentum ini pun tidak dilewatkan BI begitu saja. Dan ini menjadi alasan utama kenapa BI kembali memotong BI Rate.

Akan tetapi, Bukankah AS juga diuntungkan dengan melemahnya US Dolar?, ya. sejauh ini sejumlah pengamat juga menyatakan hal yang sama. Alasannya karena defisit neraca perdagangan Amerika bisa juga ditutupi dengan membiarkan US Dolar melemah, apalagi terhadap mata uang Yuan China.

Kembali kepada kondisi perekonomian regional. Saat ini berkembang ekspektasi mengenai kemungkinan akan dinaikannya kembali suku bunga Bank of Japan (BoJ), setelah sempat nongkrong di level 0% selama lebih kurang 6 tahun.

Bagaikan ikatan saudara di dalam suatu keluarga, berita tersebut masih menjadi isu hangat dan berpotensi merubah ekspektasi pasar, dimana kenaikan suku bunga BoJ akan memberikan dampak penguatan bagi Yen Jepang dan akan berimbas positif bagi penguatan rupiah.

Bahkan pemerintah berani mematok rupiah di level 9300 dalam APBN-P 2006. Meskipun tidak sepenuhnya tepat, namun ini menunjukan bahwa ekspektasi selanjutnya adalah Bullish Rupiah.

1 comment:

The Benjamin said...

Bagaimana kalau Bapak Gunawan, membuat suatu analisis yang berkaitan langsung di berapa rupiah itu nantinya diperdagangkan. Thanks, Dina, ABN AMRO