Thursday, July 27, 2006

Akankah Rupiah kembali Rp10.000?

Medan Bisnis, 15 Maret 2006
Akhir Agustus tahun lalu, kurs Rupiah sempat menyentuh level Rp11.900, yang merupakan harga terendah sejak 4 tahun terakhir. Faktor utama melemahnya nilai Rupiah berasal dari fluktuasi harga minyak dunia yang sempat naik mencapai $70/barel. Kenaikan harga minyak memberikan tekanan pada APBN Indonesia, hingga memaksa pemerintah untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) awal Oktober tahun lalu, dan merupakan kenaikan BBM yang kedua kalinya dalam masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Namun menjelang akhir tahun 2005, pasar kembali bereaksi positif ketika Presiden SBY mengumumkan Boediono (sebelumnya menjabat menteri keuangan pada pemerintahan Megawati) bersedia bergabung ke dalam kabinet Indonesia Bersatu dan menjabat sebagai menteri perekonomian. Sejak saat itu, terjadi penguatan Rupiah dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) secara tajam dan hingga saat ini.

Selanjutnya, muncul suatu pertanyaan; Bagaimana Rupiah dapat menguat secara signifikan dalam waktu yang relatif singkat? Apakah Rupiah menguat hanya berdasarkan figur seseorang dalam pemerintahan? Atau memang penguatan Rupiah itu sendiri didukung oelh fundamental ekonomi yang kuat sehingga mampu memutarbalik ekspektasi pasar?. Untuk mengetahui hal tersebut lebih jauh, penulis mencoba menyampaikan beberapa hal penting yang selalu menjadi fokus perhatian di pasar hingga saat ini.

Suku bunga The FED
The FED merupakan instrument tingkat bunga Amerika Serikat yang selalu menjadi patokan arah kebijakan moneter negara tersebut dan dunia. Sejak lama diketahui bahwa kenaikan atau penurunan bunga The FED selalu memberikan dampak terhadap hampir semua mata uang dunia dan menjadi benchmark hampir setiap negara untuk menentukan arah kebijakan tingkat bunganya ke depan.

Pada masa kepemimpinan Alan Greenspan (Gubernur Bank Sentral Amerika yang lalu), banyak analis yang meramalkan bahwa siklus kenaikan bunga The FED sejak pertengahan tahun 2004 akan berakhir. di awal tahun 2006 ini. Namun ramalan tersebut terkesan jauh dari kenyataan setelah pucuk kepemimpinan diambil alih Ben Bernanke mulai awal Februari 2006. Bernanke memandang fokus permasalahan finansial AS kedepan dari sudut pandang yang berbeda dari pendahulunya.

Dalam sejumlah kesempatan Bernanke menyatakan bahwa tingkat bunga The FED masih dapat kembali dinaikkan. Lebih jauh Bernanke juga mengatakan bahwa kenaikan The FED nantinya akan bergantung pada data-data perekonomian Amerika. Statement tersebut diartikan oleh analis bahwa tingkat bunga The FED dapat mencapai 5% pada tahun ini.

Dalam catatan penulis, kenaikan The FED tidak serta merta diikuti dengan naiknya tingkat bunga di dalam negeri (BI rate). Namun demikian, dampak kenaikan The FED biasanya akan memberikan tekanan terhadap pergerakan Rupiah dan indeks saham. Sejauh ini, perbedaan tingkat bunga (interest rate differential) antara The FED dan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) masih menjadi alasan utama investor memegang Rupiah. Hal tersebut menjadi pendorong penguatan Rupiah hingga saat ini.


Harga Minyak Dunia
Tidak dipungkiri bahwa lonjakan harga minyak dunia tahun lalu menjadi biang keladi naiknya harga BBM di dalam negeri. Faktor pemicu naiknya harga minyak dunia berasal dari bertambahnya kebutuhan minyak negara khususnya China dan India. Kenaikan harga minyak selalu memberikan dampak yang sama atas naiknya harga-harga barang yang mendorong inflasi.

Untungnya dampak yang diakibatkan kenaikan harga minyak sekarang tidak seburuk tahun 70-an, dimana kenaikan tersebut saat ini lebih dipengaruhi oleh meningkatnya permintaan akibat ekspansi industri dan bukan karena memburuknya situasi politik maupun keamanan.

Jadi, bagaimana dengan arah pergerakan harga minyak dunia kedepan?. Hingga saat ini harga minyak dunia bergerak dalam kisaran harga antara $60 hingga $67 per barel. Fluktuasi harga minyak saat ini banyak dipengaruhi oleh situasi politik di Timur Tengah khususnya Iran (negara penghasil minyak terbesar kedua dunia), yang saat ini terlibat persilihan dengan Amerika Serikat terkait pengembangan senjata nuklir.

Laju Inflasi
Di semua negara, inflasi merupakan tolak ukur arah kebijakan moneter. Laju inflasi yang terlalu tinggi selalu memberikan dampak penurunan daya beli masyarakat dan memperlambat pertumbuhan ekonomi.

Beberapa komponen biaya penentu inflasi, BBM, bencana alam dan tarif dasar listrik (TDL) berperan atas naiknya harga-harga barang. Kenaikan harga BBM mempengaruhi harga barang dari aspek biaya distribusinya. Sementara bencana alam menambah tekanan inflasi, karena terhambatnya proses distribusi akibat banjir dan kerusakan infrastruktur jalan. Kenaikan TDL memberikan andil cukup besar, karena tidak hanya membebani masyarakat tetapi juga menambah overhead cost industri.

Langkah apa yang bisa dilakukan untuk menjaga agar laju inflasi terkendali?. Bila dilihat dari aspek moneter menurut penulis Bank Indonesia (BI) masih menjalankan fungsinya dengan baik dalam mengatur volume uang yang beredar. Apresiasi Rupiah yang terjadi beberapa bulan terakhir memang turut membantu mengurangi tekanan inflasi. Namun demikian, pemerintah harus mewaspadai kemungkinan lonjakan inflasi yang disebabkan oleh naiknya komponen biaya dari TDL. Meskipun besaran kenaikan TDL belum diputuskan, namun hal tersebut perlu diwaspadai mengingat rencana tersebut kemungkinan akan direalisir.

Politik dan Keamanan
Pengalaman pahit Indonesia di tahun 1997/1998 dimana pergantian presiden diwarnai dengan aksi demonstrasi dan tindakan anarkis, membuat investor melarikan modalnya ke luar negeri. Hal tersebut membuat perekonomian Indonesia mundur ke belakang beberapa tahun. Rupiah kala itu sempat diperdagangkan dengan sangat murah mendekati Rp20.000.

Seperti yang terjadi di Philipina dan Thailand saat ini, terganggunya stabilitas politik yang dipicu aksi demonstrasi besar-besaran membuat kedua negara tersebut dilanda krisis kepercayaan oleh para investor, yang berlanjut pada pelemahan nilai Baht dan Peso. Indonesia sendiri diperkirakan mendapatkan keuntungan di tengah ketidakpastian situasi politik kedua negara tersebut, setelah beberapa investor diperkirakan memindahkan dananya untuk ditanamkan di Indonesia.

Perombakan kabinet Indonesia bersatu, terutama setelah masuknya team ekonomi yang mendapatkan respon positif pasar, dari aspek politik memperkuat posisi tawar presiden SBY. Posisi politik SBY makin menguat setelah koalisi beberapa partai yang dimotori Golkar dan PKB merapat ke pemerintah, sementara PKS dan PAN juga memposisikan diri sebagai “mitra kritis” pemerintah. Dari aspek penegakan hukum, pemerintahan SBY mendapatkan apresiasi setelah POLRI berhasil menyelesaikan kasus terorisme dan dapat menyikapi permasalahan keamanan dalam negeri dengan baik. Kondisi politik dan keamanan yang stabil turut menumbuhkan kepercayaan para investor yang akan menanamkan modalnya di Indonesia.

Bagaimana dengan Rupiah, akankah kembali ke Rp10.000?
Kegairahan pasar finansial Indonesia menunjukan keperkasaannya setelah presiden SBY mengumumkan perombakan kabinet. Hanya dalam waktu 3 hari, Rupiah menguat 120 poin. Boediono effect itulah ungkapan yang mungkin cocok bagi Rupiah yang menguat secara drastis akhir tahun lalu. Demikian juga halnya dengan IHSG yang secara bertahap juga mengalami kenaikan yang cukup signifikan.

Laju inflasi yang diperkirakan bakal turun ke single digit hingga akhir tahun ini menjadi faktor penting bagi pergerakan Rupiah dan indeks saham nantinya. Perkiraan tersebut merupakan gambaran riil mengingat membaiknya nilai tukar Rupiah serta harga minyak dunia saat ini, dinilai menjadi sentimen positif awal tahun.

Sementara itu kenaikan tingkat bunga The FED sepertinya tidak akan menjadi masalah besar selama BI mampu mengeluarkan kebijakan yang dapat mengantisipasi dampak buruk dari kenaikan tersebut. Selain itu adanya interst rate differential antara tingkat bunga Rupiah dan US Dollar, membuat Rupiah masih menarik dimata investor.

Dari sisi penawaran, pasokan valas pun tidak mengalami peningkatan yang berarti. Walaupun secara keseluruhan penjualan valas oleh koporasi tahun 2005 menunjukan kenaikan (± US$2.4 milyar per bulan) dari tahun sebelumnya, namun jumlah tersebut masih relatif lebih kecil dari permintaan US Dollar korporasi (± US$3.2 milyar per bulan) pada tahun yang sama. Sementara cadangan devisa yang naik menjadi sekitar US$38 milyar, diharapkan mampu menjaga kebutuhan valas dalam negeri nantinya.

Penguatan maupun pelemahan Rupiah bukanlah merupakan masalah besar apabila semua orang memandangnya sebagai suatu hal yang biasa. Yang terpenting fluktuasi Rupiah itu jangan sampai menimbulkan ketidakpastian ekonomi berkepanjangan. Apabila fundamental ekonomi jangka panjang memungkinkan Rupiah untuk terus menguat maupun sebaliknya, maka sudah seharusnya hal tersebut dapat diterima oleh pelaku pasar tanpa harus dibarengi dengan gejolak ketidakpastian.

Ke level berapa Rupiah nantinya? Belum ada yang tahu pasti. Namun satu hal yang perlu dicatat, pergerakan Rupiah akan lebih ditentukan oleh perkembangan perekonomian bangsa dan sejauhmana masyarakat kita menyikapi semua aspek yang dapat mempengaruhinya.

No comments: