Tuesday, January 30, 2007

BOJ Masih Akan Menunda Kenaikan Suku Bunga

Medan Bisnis, 29 Januari 2007
Selama sepekan sebelumnya, pasar dikejutkan oleh langkah Bank Sentral Jepang yang masih mempertahankan suku bunga sebesar 0.25%. Keputusan tersebut diluar ekspektasi pasar yang justru memperkirakan adanya kenaikan suku bunga.

Melemahnya laju perekonomian Jepang mengindikasikan bahwa Bank of Japan masih akan menunda kenaikan suku bunga selama triwulan I 2007. Terlebih data Core CPI (CPI inti) Jepang yang selama bulan Desember mencatatkan kenaikan 0.1%, lebih kecil dari ekspektasi pasar sebelumnya sebesar 0.2%.

Menimbang roda perekonomian Jepang yang relatif jalan ditempat, masih ada hal lain yang dapat dipertimbangkan, yaitu pergerakan mata uang Yen Jepang itu sendiri. Pergerakan Yen yang cenderung terdepresiasi akan menjadi perhatian BOJ untuk mempertimbangkan kenaikan suku bunga BOJ.

Apalagi, karena rendahnya suku bungan Yen, mata uang Yen Jepang menjadi sasaran pasar untuk melakukan transaksi carry trade (mengambil keuntungan dari perbedaan suku bunga).

Dalam pertemuan negara yang tergabung dalam G7, Jepang Yen tidak akan menjadi agenda utama untuk dibahas. Hal tersebut tentunya akan menjadi pertimbangan BOJ kedepan.

Hal tersebut ditekankan oleh wakil menteri ekonomi Jerman Bernd Pfaffenbael, yang menyatakan bahwa Jerman tidak akan merencakan untuk menempatkan mata uang Yen Jepang sebagai agenda utama dalam pertemuan tersebut.

The FED tidak banyak berubah
Data perekonomian AS seperti existing home sales (data penjualan rumah bekas) serta jobless calims (data pengangguran) baru-baru ini juga tidak menunjukan relasisasi yang memuaskan. Data penjualan rumah bekas di Amerika turun dan mencatatkan rekor penurunan terbesar sejak tahun 1989.

Selain itu, data jobless claims naik menjadi 36000, sehingga akan membebani perekonomian AS nantinya. Penurunan suku bunga tentunya sangat dimungkinkan untuk memperbaiki kinerja ke dua data tersebut.

Namun, data existing home sales adalah data “kelas dua”, sehingga tidak akan berpengaruh signifikan terhadap pengambilan keputusan suku bunga oleh Bank Sentral Amerika .

Data yang sangat berpengaruh tentunya datang dari data penjualan rumah baru di Amerika atau new home sales, yang kembali mencatatkan kenaikan selama bulan Desember 2006. Kenaikannya melebihi ekspektasi pasar sehingga disinyalir merupakan indikasi berakhirnya tren penurunan penjualan perumahan baru sejak tahun 1990.

Selain itu, data durable goods orders (data pemesanan barang yang tahan lama) juga kembali merealisasikan kinerja yang positif. Hal tersebut tentunya akan berdamapak pada meningkatnya laju tekanan inflasi, serta berpotensi menjadi pendorong kenaikan suku bunga AS ke depan.

Namun, bagaimana dengan data pengangguran, kalau seandainya suku bunga AS kembali dinaikan. Tentunya berpotensi akan mencatatkan realisasi yang lebih buruk lagi.

Dengan melihat beberapa indikator tersebut, bisa diperkirakan bahwa The FED masih akan mempertahankan besaran suku bunga sebesar 5.25% dalam rapat dewan Gubernur Bank Sentral AS, 31 Januari mendatang.

Namun, suku bunga Rupiah diperkirakan masih akan terus mengalami kecenderungan menurun di tahun 2007 ini. BI diperkirakan masih akan terus menurunkan suku bunga secara bertahap walaupun ada tren kenaikan suku bunga global.

Monday, January 22, 2007

Gejolak Pasar Finansial Asia

Medan Bisnis, 22 Januari 2007
Bank Sentral Jepang atau yang lebih dikenal dengan BOJ kembali mempertahankan besaran suku bunga Yen di level 0.25%. Keputusan tersebut membawa mata uang Yen Jepang kembali terpuruk terhadap US Dolar dan beberapa mata uang hard currency lainnya seperti Euro.

Melemahnya sektor konsumsi yang tidak diiringi dengan kenaikan gaji pegawai memaksa BOJ mempertahankan suku bunga acuannya. Sementara itu, data perekonomian lainnya seperti consumer price index (CPI) diperkirakan juga tidak akan mengalami kenaikan selama bulan Januari ini, seiring dengan melemahnya harga minyak dunia.

Hal tersebut mengindikasikan bahwa Bank Sentral Jepang masih akan mempertahankan suku bunga dalam waktu yang cukup lama. Namun, data gross domestic product (GDP) Jepang untuk kuartal ke-4 diperkirakan akan mengalami kenaikan. Hal tersebut tentunya berpotensi menimbulkan spekulasi akan kenaikan suku bunga.

Akan tetapi, kenaikan GDP yang didominasi oleh sektor konsumsi tersebut belumlah cukup untuk menjadi stimulan. Karena kenaikan GDP kuartal ke-4 hanya dibandingkan dengan GDP kuartal ke-3 yang justru merupakan level terendah.

Hampir tidak ada lagi sentimen yang mampu menjadi isu bagi kenaikan suku bunga Yen. Walaupun Gubernur Bank Sentral Jepang Toshihiko Fukui menyatakan bahwa konsumsi masih menunjukan tren penguatan, namun, tren kenaikan tersebut masih berjalan sangat moderat.

Laju inflasi di Jepang sendiri masih sangat lambat. Diantara negara anggota G-7, Jepang merupakan negara dengan laju inflasi yang paling rendah yakni sebesar 0.3% selama tahun 2006. Bahkan, Jepang juga menjadi negara dengan penyerapan tenaga kerja yang paling sedikit (sebesar 4%) diantara negara anggota G-7 lainnya.

Menjelang Rapat Dewan Gubernur Bank Sentral Jepang, sebelumnya mata uang Yen sempat rebound (menguat) setelah sebuah data menunjukan bahwa terjadi peningkatan permintaan permesinan di Jepang. Namun, lagi-lagi data tersebut tidak mampu menopang runtuhnya mata uang Yen lebih jauh.

Nah, Bagaimana dengan mata uang Asia lainnya?, stabil, itu adalah realita yang terjadi saat ini. Sejumlah mata uang di Asia justru masih relatif stabil terhadap US Dolar. Kecuali mata uang Bath Thailand yang masih melemah akibat kontrol devisa yang di berlakukan sejak pertengahan Desember lalu.

Anomali yang terjadi di pasar finansial di Asia tidak terlepas dari serangkaian isu yang masih simpang-siur di beberapa negara ekonomi besar seperti Amerika, Jepang dan kawasan Eropa. Pelaku pasar kembali masuk ke pasar negara berkembang (emerging market) menyusul tidak kembali dinaikkannya suku bunga di Eropa dan Jepang, yang berbuntut pada melemahnya mata uang kedua negara tersebut.

Bahkan US Dolar yang sebelumnya sempat diperkirakan melemah, justru kembali menguat setelah Bank Sentral AS masih mempertahanan suku bunga di level 5.25%. lagi-lagi pasar di buat bingung.

Namun, mata uang Yen Jepang diperkirakan akan menjadi “primadona” selama tahun 2007 ini (selain Euro dan Poundsterling), walaupun momentum perekonomian Jepang masih melambat. Sejauh ini, komentar yang dilontarkan BOJ masih bersifat hawkish, dimana BOJ masih memberikan sinyal kenaikan suku bunga BOJ secara gradual.

Komentar yang dilontarkan BOJ tersebut cukup beralasan, mengingat laju inflasi inti (core CPI) dari tahun ke tahun masih mengalami kenaikan. Namun, apa jadinya kalau fakta justru berbicara lain, tentunya US Dolar berpotensi menjadi “primdona” dibandingkan dengan mata uang lainnya khususnya Yen Jepang. Bahkan, Rupiah yang menjadi salah satu mata uang dengan kinerja terbaik selama tahun 2006, tentunya akan mengalami tekanan yang semakin berat saja, apalagi ditambah dengan demand dari korporasi yang akan mengimpor BBM.

Wednesday, January 10, 2007

Faktor Negatif Eksternal Masih Membayangi IHSG

Medan Bisnis, 08 Januari 2007
Setelah sempat didera oleh kebijakan Bank Sentral Thailand yang sebelumnya mengunci 30% dana yang masuk ke pasar finansialnya, Rupiah dan IHSG selanjutnya akan sangat dipengaruhi oleh sejumlah faktor eksternal lain terkait isu nuklir Iran yang notabene akan mempengaruhi pergerakan harga minyak dunia.

Sejauh ini, baik Rupiah dan IHSG masih bergerak dengan kecenderungan menguat di awal tahun. Ekspektasi membaiknya laju pertumbuhan ekonomi di tahun 2007 serta stabilnya laju tekanan inflasi yang diiringi dengan tren penurunan suku bunga, menjadi fondasi awal yang kokoh bagi pasar finansial Indonesia kedepan.

Terlepas dari fundamental dalam negeri, ancaman dari luar masih akan membayangi pasar finansial Indonesia. Serangkaian teror bom di Thailand membuat indeks bursa di Thailand dan IHSG terpuruk, walaupun sejumlah indeks bursa Asia lainnya seperti Nikkei dan Hangseng justru menguat.

Sejauh ini, kondisi keamanan di Thailand menunjukan suatu keadaan yang kondusif. Namun, belum ada yang tahu pasti apakah kekerasan di negeri “Gajah Putih” tersebut tidak akan terulang lagi. Terlebih, perpindahan kekuasaan baru-baru ini di Thailand merupakan buah hasil dari aksi kudeta yang berpotensi memunculkan separatis anti pemerintahan Thailand saat ini.

Sangat mungkin gejolak yang terjadi di Thailand masih akan terulang. Hal tersebut berpeluang menciptakan iklim perdagangan yang buruk bagi pasar finansial di kawasan ASEAN. Kejadian di Thailand sejatinya dapat menjadi pelajaran bagi negara lain, untuk tetap mewaspadai aliran dana jangka pendek yang hingga saat ini juga masih mengalir ke Indonesia.

Beralih ke faktor lainnya yang juga sangat berpengaruh, yakni harga minyak dunia. Saat ini, kita bisa tersenyum dengan pergerakan harga minyak yang masih stabil dalam beberapa bulan terakhir. Namun, kita juga harus siap mengantisipasi kemungkinan kenaikan harga minyak dunia di tahun 2007 ini.

Hingga saat ini, harga minyak dunia menunjukan tren melemah di kisaran level $55/barel. Pasalnya, sebuah data dari Amerika yang sekaligus merupakan negara dengan konsumsi minyak paling besar didunia, memiliki cadangan minyak yang meningkat dalam seminggu terakhir.

Tercatat pada hari kamis (04/01) cadangan minyak Amerika meningkat 2 juta barel dibandingkan hari yang sama minggu sebelumnya. Bahkan saat ini, stok bahan bakar bensin di Amerika lebih tinggi 1.5 juta barel dari Proyeksi Analis sebelumnya.

Melemahnya harga minyak tidak terlepas dari perubahan musim di Amerika. Namun, penurunan tersebut diperkirakan bersifat musiman. Spekulasi lain menyebutkan bahwa sejumlah manager hedge fund kembali mengurangi porsi kepemilikan minyak dalam investasinya, seiring dengan harga minyak dunia yang tak kunjung mengalami kenaikan.

Masalah yang paling nyata adalah langkah negara anggota OPEC yang akan mengurangi produksi minyaknya sebesar 500 ribu barel/hari terhitung mulai 1 Februari mendatang. Tekanan lain muncul dari Iran yang menolak resolusi dewan keamanan PBB terkait dengan program nuklir negara tersebut.

Iran merupakan negara penghasil minyak terbesar kedua di dunia. Sehingga, harga minyak dunia juga sangat ditentukan oleh perkembangan politik di Iran. Apabila Iran masih berada dibawah tekanan PBB, maka bisa diprediksikan Iran dapat membuat kebijakan dengan melakukan kontrol minyak (produksi/distribusi) yang lebih ketat terhadap negara yang dianggap sebagai musuh oleh Iran.

Terkait dengan hal tersebut, tentunya potensi kenaikan harga minyak dunia akan lebih besar lagi. Bahkan, banyak analis yang memperkirakan harga minyak masih berpotensi menembus angka $70/barel dalam tahun ini.

Kenaikan harga minyak tersebut nantinya akan memberikan tekanan terhadap pergerakan Indeks maupun Rupiah. Sejauh ini, pasar masih optimis bahwa IHSG masih akan bergeliat seiring dengan membaiknya daya beli masyarakat.

Apabila mengandalkan faktor ekonomis dalam negeri, maka Rupiah dan IHSG sudah saatnya untuk kembali bangkit. Walaupun besarnya Inflasi tahun 2006 masih lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi, yang menunjukan bahwa daya beli masyarakat belum sepenuhnya pulih. Namun demikian, bayang-bayang hitam dari luar negeri masih kerap meruntuhkan pasar dalam negeri walaupun terkadang hanya sesaat.