Thursday, September 20, 2007

Ekonomi AS Rapuh, Peluang BI Rate Turun Semakin Besar

Medan Bisnis, 10 September 2007
Hari jum’at kemarin merupakan hari jum’at pertama dalam bulan ini, dimana banyak pengamat yang menanti laporan data NFP (Non-Farm Payroll) Amerika, yang akan menjadi penentu arah kemanakah Bank Sentral Amerika (The FED) akan membawa negaranya dari krisis gagal bayar serta mortgage sector crisis.

Data Non-Farm Payrolls adalah data yang menunjukan jumlah tenaga kerja baru dari sektor non pertanian, baik yang bekerja full time maupun part time serta mendapat upah resmi. Data tersebut sangat berguna sebagai indikator laju pertumbuhan ekonomi AS, yang nantinya akan menentukan tingkat konsumsi warga Negara AS yang berkorelasi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Amerika. Data tersebut juga digunakan para trader dalam mengambil keputusan transaksi di pasar keuangan.

Sebelumnya dalam laporan Fed’s Beige Book sejumlah 12 pejabat bank sentral di 12 distrik Negara Amerika Serikat menyatakan bahwa terjadi perlambatan di sektor perumahan, namun tetap meng-klaim bahwa secara keseluruhan sektor keuangan belum berada dalam taraf yang mengkhawatirkan.

Namun data NFP yang dirilis pemerintah Amerika jum’at kemarin menunjukan bahwa telah terjadi permasalahan serius, dimana terjadi penurunan jumlah tenaga kerja sebanyak 4.000 jiwa (selama bulan agustus), jauh dari ekspektasi sebelumnya terjadi kenaikan sebesar 110.000 jiwa. Data tersebut membuat US Dolar terpuruk terhadap sejumlah hard currency lainnya. Data tersebut sekaligus menunjukan penurunan pertama sejak 4 tahun terakhir.

Implikasinya jelas, The Fed diperkirakan akan menurunkan suku bunganya (The Fed Fund Rate) dikisaran level 5%. Hal tersebut juga pernah diungkapkan oleh Gubernur Bank Sentral AS serta Presiden George W. Bush. Namun, langkah yang tidak populer tersebut justru diambil pada saat mata uang US Dolar mendapat tekanan serius di pasar global seperti yang terjadi pada saat ini.

Bagaikan 2 sisi mata pisau, The Fed dihadapkan pada dua pilihan yang sama-sama mempunyai dampak negatif terhadap perekonomian AS. Namun, melambatnya sektor perumahan Amerika sepertinya menjadi perhatian serius, sehingga pemerintah Amerika lebih memilih untuk memangkas suku bunganya.

Demi meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi Amerika, mungkin hal tersebut yang menjadi alasan utama negeri paman sam mengambil keputusannya. Akan tetapi, dengan diturunkannya The Fed Fund Rate maka akan membuat perbedaan suku bunga Amerika dengan Negara lain akan mengecil. Hal tersebut tentunya akan memicu likuidasi asset dalam US Dolar secara besar-besaran, yang nantinya akan berimbas pada melemahnya mata uang US$.

Kalau sudah melemah, maka laju tekanan inflasi yang disebabkan oleh arus masuk barang dari luar akan semakin meningkat. Terlebih Amerika selalu mengeluhkan arus impor barang yang melimpah dari luar terutama dari China. Kalau inflasi sudah meningkat maka apa daya, suku bunga yang lebih tinggi sangat dibutuhkan. Bisa saja terjadi deflasi, namun dengan pertimbangan terjadi penurunan daya beli masyarakat Amerika.

Bagi Indonesia, khususnya BI hal tersebut merupakan momen penting bagi Bank Sentral untuk kembali menurunkan BI Rate. Seperti yang pernah diekspektasikan sebelumnya, bahwa BI masih menunggu The Fed dalam mengambil keputusan. Kalau nantinya The Fed benar-benar menurunkan suku bunganya pada tanggal 18 September mendatang, bukan tidak mungkin BI akan menurunkan BI Rate di awal bulan Oktober mendatang. Dan bukan hal yang mustahil kalau besaran penurunan BI Rate akan sama dengan penurunan The Fed Fund Rate.

Namun, BI diharapakan lebih berhati-hati dalam menurunkan suku bunga. Selain dikarenakan terjadi pelemahan pada mata uang Rupiah, Penurunan suku bunga harus juga melihat pergerakan suku bunga dinegara lainnya, serta laju tekanan inflasi selama bulan ramadhan ini. Sejauh ini, telah terjadi kenaikan disejumlah bahan makanan pokok akibat meningkatnya permintaan menjelang perayaan keagamaan. Selamat menunaikan Ibadah Puasa.

No comments: