Sunday, November 18, 2007

Peluang US Dolar Melemah Terbuka Lebar

Medan Bisnis, 12 November 2007
Setelah sempat tertekan menyusul keputusan Bank Sentral Amerika yang memotong besaran suku bunga sebesar 25 basis poin menjadi 4.5% pada saat ini, US Dolar diperkirakan masih akan mengalami tekanan pada perdagangan ke depan seiring dengan tingginya harga minyak dunia yang turut diiringi dengan meningkatnya konsumsi minyak menjelang musim dingin tahun ini, serta pernyataan negara-negara eropa yang lebih confidence terhadap penguatan mata uang Euro seiring dengan tingginya harga minyak dunia saat ini.

Selain memutuskan pemotongan suku bunga 25 basis poin pada perdagangan kamis minggu kemarin, Bank Sentral Amerika juga memberikan sinyal pemotongan suku bunga lagi pada pertemuan FOMC (Federal Open Market Committee) awal Desember mendatang. Bahkan pasar berspekulasi bahwa akan terjadi pemotongan suku bunga sebesar 50 basis poin. Apabila pasar terus berkosentrasi pada hal tersebut, sudah tentunya US Dolar tidak akan menarik dan akan terus mengalami tekanan jual US$.

Dari sisi politis, pernyataan pemerintah Amerika yang akan terus menekankan akan tetap memberikan sanksi terhadap Iran. Pernyataan tersebut tentunya tidak akan memberikan kontribusi positif terhadap pasar finansial Amerika, dan mengabaikan buruknya kondisi perekonomian AS yang belum mampu menuntaskan krisis subprime-mortgage Amerika.

Beralih ke data Non Farm Payrolls (NFP) Amerika yang dirilis menguat pada jum'at minggu kemarin, data tersebut dirilis membaik - terjadi kenaikan jumlah tenaga kerja baru sebanyak 160.000 jiwa - dari bulan sebelumnya sebesar 110.000 jiwa. Namun, hal tersebut tidak menolong US Dolar dan belum akan merubah ekspektasi pasar yang secara keseluruhan masih meragukan perekonomian Amerika.

Sementara itu, Bank Sentral Inggris (BoE) dan Eropa (ECB) kembali mempertahankan besaran suku bunganya masing-masing di level 5.75% (BoE) dan 4% (ECB). Keputusan tersebut tentunya berdampak pada melemahnya mata uang US Dolar terhadap mata uang Euro dan GBP.

Namun, data terbaru yang dirilis pemerintah AS kamis malam kemarin menyebutkan bahwa defisit neraca perdagangan Amerika (trade balance) kembali turun hingga ke level terendah dalam 2 tahun terakhir. Defisit neraca perdagangan AS selama bulan September sebesar $56.5 Milyar dari bulan Agustus sebesar $56.8 Milyar atau turun sebesar 0.6%.

Membaiknya defisit tersebut dikarenakan terjadi penurunan suku bunga US Dolar yang diiringi dengan melemahnya mata uang US Dolar sebesar 8% terhadap sejumlah mata uang utama dunia lainnya. Melemahnya US Dolar akan membuat kinerja ekspor Amerika meningkat sehingga mampu mengurangi ketergantungan impor dari negara mitra dagang AS khususnya China.

Akan tetapi, data tersebut bukan jaminan bahwa US Dolar akan kembali menguat dalam beberapa waktu ke depan. Tren kenaikan harga minyak dunia yang turut diiringi dengan meningkatnya konsumsi serta tren pergerakan suku bunga negara eropa yang cenderung stabil akan memberi tekanan terhadap mata uang US Dolar.

Terlebih lagi apabila tren penurunan suku bunga The FED berlanjut. Maka hal tersebut akan memicu pertumbuhan ekonomi Amerika serta akan membuat kebutuhan akan minyak AS yang lebih besar lagi.

Dalam Negeri
Kembali ke dalam negeri, Badan Pusat Statistik kembali mengumumkan besaran inflasi selama bulan Oktober sebesar 0.79% minggu kemarin. Tingginya inflasi pada saat ini seiring dengan perayaan keagamaan membuat pasar ragu apakah akan terjadi penurunan suku bunga lagi dalam RDG (Rapat Dewan Gubernur) BI pada minggu ini.

Di tengah ketidak pastian ekonomi global saat ini, sangatlah tepat kiranya apabila BI menunda menurunkan suku bunga hingga akhir tahun. Hal tersebut cukup beralasan seiring dengan masih adanya perayaan keagamaan serta ketidakpastian mengenai gejolak harga minyak dunia yang diperkirakan masih akan terus mengalami kenaikan.

Kenaikan harga minyak dunia tentunya akan menambah defisit APBN karena hingga saat ini masih dipatok lebih rendah dari harga minyak sebenarnya. Bahkan kebijakan yang tidak populis (menaikan harga minyak domestik) kerap muncul ditengah menghangatnya suhu politik menjelang Pemilu tahun 2009.

Meskipun BI kerap menyatakan akan melihat tren pergerakan bunga The FED, namun hal tersebut tentunya tidak akan menjadi acuan mutlak untuk menentukan pergerakan BI rate. Interest rate differential antara BI rate dan The FED sudah melebar. Namun, beberapa faktor fundamental seperti tingginya inflasi dan harga minyak berpotensi memudarkan harapan akan terjadi penurunan suku bunga lagi.

Apabila dikaitkan dengan tujuan politis, pemerintah saat ini sepertinya akan memilih untuk tetap tidak menaikan harga minyak dalam negeri, karena akan memperburuk kinerja pemerintah di mata rakyat dan akan mempengaruhi proses pencalonannya pada pemilu yang akan datang.

No comments: