Monday, March 05, 2007

Rupiah Kembali Bergejolak

Medan Bisnis, 05 Maret 2007
Pada pertengahan perdagangan minggu kemarin, Rupiah kembali melemah hingga mendekati level 9200. Melemahnya Rupiah lebih dikarenakan sentimen negatif eksternal, dimana terjadi aksi jual besar-besaran di lantai bursa global.

Melemahnya indeks bursa Dow Jones yang sempat melemah hingga 400 poin menjadi akar masalah dari melemahnya Rupiah. Pernyataan gubernur bank sentral Amerika yang menyatakan bahwa akan terjadi pelemahan pada laju perekonomian Amerika menjadi pemicu memburuknya kinerja pasar finansial di Asia.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bahkan sempat melemah hingga 91 poin pada sesi pembukaan perdagangan hari rabu (28/02) minggu kemarin. Melemahnya IHSG turut dibarengi dengan melemahnya sejumlah indeks bursa di Asia.

Akan tetapi, kinerja mata uang Yen Jepang tetap menunjukan tren penguatan yang signifikan terhadap US Dolar. Sayangnya, penguatan Yen Jepang tersebut tidak memberikan kontribusi positif bagi pergerakan mata uang Asia lainnya termasuk Rupiah.

Selain dikarenakan likuidasi dari transaksi carry trade, menguatnya mata uang Yen Jepang juga didorong oleh langkah repatriasi, dimana perusahaan-perusahaan Jepang menarik dananya dari luar negeri menjelang berakhirnya tahun fiskal.

Sejauh ini, tren penguatan Yen Jepang masih terus berlanjut. Belum ada yang bisa memastikan kapan likuidasi carry trade akan berakhir. Namun, ditengah memburuknya data perekonomian Amerika saat ini, tidak menutup kemungkinan bagi mata uang Yen Jepang untuk terus melanjutkan tren penguatan terhadap US Dolar.

Sementara itu, Rupiah juga tidak menunjukan performa yang baik seiring dengan membaiknya kinerja mata uang Yen Jepang. Padahal, Rupiah mempunyai sentimen positif yang seharusnya mampu mengangkat nilai tukar Rupiah ke level yang lebih baik lagi.

Tidak lain, sentimen positif tersebut adalah dirilisnya data inflasi bulan Februari yang hanya sebesar 0.62%. Angka tersebut lebih kecil dari ekspektasi pasar sebelumnya, yang memperkirakan akan terjadi kenaikan inflasi diatas 1% pada bulan Februari.

Namun, tidak sepenuhnya data inflasi tersebut akan menjadi support bagi penguatan Rupiah. Rendahnya laju tekanan inflasi akan memunculkan spekulasi bahwa Bank Indonesia (BI) akan kembali memotong besaran suku bunga dalam rapat dewan gubernur (RDG) BI pada tanggal 6 Maret mendatang.

Tentunya, penurunan suku bunga tersebut akan membuat perbedaan suku bunga atau interest rate differential antara Rupiah dan Dolar Amerika semakin mengecil. Namun, terkadang kekhawatiran tersebut tidak terbukti, seperti yang terjadi pada pemotongan BI rate pada bulan-bulan sebelumnya.

Dalam keadaan seperti ini, pelaku pasar sebaiknya melakukan evaluasi jangka menengah ke jangka panjang guna menghindari gejolak fluktuasi mata uang yang signifikan. Karena, dalam jangka pendek fokus pasar akan terpecah pada beberapa isu yang memang sulit untuk diketahui kemana muaranya.

Diantaranya adalah isu invasi terhadap Iran yang dilakukan oleh Amerika Serikat. Isu tersebut sempat membuat US Dolar melemah, namun melemahnya US Dolar tersebut hanya bersifat sementara.

Guna menghindari efek negatif dari isu yang berkembang, sebaiknya pelaku pasar lebih mengamati faktor fundamental ekonomi dari setiap negara. Untuk nilai tukar Rupiah, walaupun sempat terpuruk hingga mendekati level 9200, namun, keadaan tersebut diperkirakan tidak akan berlangsung lama. Kenapa?, setidak-tidaknya pemerintah saat ini mempunyai cadangan devisa yang cukup signifikan, yang suatu saat dapat digunakan untuk meredam gejolak niali tukar Rupiah yang bergerak liar.

No comments: