Tuesday, April 17, 2007

Sektor Riil Jalan di Tempat

Medan Bisnis, 16 April 2007
Wacana seperti itu sepertinya bukan merupakan hal yang awam bagi semua orang. Sejak diberlakukannya pengetatan likuiditas oleh Bank Indonesia, sektor riil tidak mengalami perubahan signifikan ke jalur positif. Tujuan utama diberlakukannya kebijakan tersebut oleh Bank Indonesia adalah untuk mengamankan nilai tukar Rupiah, serta meredam laju inflasi yang diakibatkan oleh terdepresiasinya nilai tukar Rupiah.

Cukup beralasan memang, namun bagi beberapa analis ekonomi yang masih mengkhawatirkan adanya peningkatan jumlah kemiskinan, sangat menyayangkan kebijakan tersebut. Kebijakan tersebut dinilai tidak pro-pertumbuhan, dan hanya menguntungkan investor yang dinilai sebagai spekulan di pasar keuangan.

Saat ini, BI kembali mendapat kritikan dari banyak pengamat karena tidak menurunkan suku bunga acuan atau BI rate yang masih bertengger di level 9%. Padahal momentum penurunan BI rate sudah tepat, dikarenakan terjadi laju inflasi yang sangat rendah selama bulan Maret serta terkendalinya fluktuasi nilai tukar Rupiah.

Namun, kenapa BI tidak menurunkan BI rate?, ada beberapa alasan yang paling utama tentunya. Perbedaan suku bunga antara Rupiah (9%) dan US Dolar (5.25%) yang kian menyempit, adanya tren kenaikan suku bunga di sejumlah negara ekonomi besar, serta melambatnya laju pertumbuhan negara tujuan ekspor utama Indonesia seperti Jepang.

Perbedaan suku bunga memang kerap menjadi penentu arah kemana modal investor itu akan ditanamkan. Sejauh ini, Indonesia masih menjadi lahan subur bagi para investor karena masih memberikan imbal hasil yang cukup tinggi dibandingkan negara lain.

Sementara itu, ekspektasi bakal terjadinya tren kenaikan suku bunga di zona Euro juga menjadi pertimbangan BI tentunya. Hal tersebut dapat terlihat dari penguatan mata uang Euro terhadap US Dolar maupun Yen Jepang. Apalagi saat ini suku bunga Euro dinilai masih relatif rendah apabila dibandingkan dengan bunga US Dolar (The FED Fund Rate).

Diantara sejumlah negara maju, Jepang merupakan negara dengan suku bunga paling rendah. Dan karena itulah, mata uang Yen kerap menjadi mata uang yang paling rawan terkena aksi spekulasi. Bahkan, saat ini Euro menguat keposisi tertinggi dalam sejarah terhadap Yen Jepang. Dan mungkin BI tidak mau hal tersebut terjadi pada Rupiah.

Selain itu, laju pertumbuhan ekonomi Jepang yang dinilai masih sangat lambat juga turut mempengaruhi ekspor Indonesia ke negara tersebut. Hingga saat ini, Jepang merupakan negara tujuan ekspor utama Indonesia, sehingga melambatnya pertumbuhan negara tersebut akan berpengaruh pada laju pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

Dari kesemuanya itu pasti ada muaranya. Bukankah Indonesia seharusnya tidak perlu takut kalau BI rate kembali diturunkan atau bahkan lebih rendah dari bunga US Dolar. Masih banyak negara yang memberikan imbal hasil lebih rendah dari Amerika, namun tidak terjadi gejolak pasar finansial di negara tersebut.
Nah, Country Risk masih menjadi permasalahan utama negeri ini. Country Risk yang dimaksud disini adalah kemungkinan resiko yang terjadi apabila investor menanamkan modalnya di Indonesia. Baik dikarenakan karena terjadi gejolak politik, ekonomi biaya tinggi, maupun terkait dengan permasalahan fundamental negeri ini seperti masalah struktural birokrasi.

Jadi, sektor riil tidak hanya ditentukan dari keputusan BI dalam menentukan arah suku bunga. Terlebih dari itu, kestabilan politik serta kemauan politik (political will) para pengambil keputusan yang pro-pertumbuhan dan pro-penuntasan kemiskinan juga memberikan kontribusi yang cukup signifikan.

Sehingga sinergi positif antara keduanyalah (BI dan Pemerintah) yang akan menentukan apakah sektor riil itu dikatakan sudah berada di jalur hijau, atau masih jalan ditempat seperti yang terjadi saat ini.

No comments: