Sunday, March 09, 2008

Akankah Suku Bunga Turun Drastis?

Medan Bisnis, 04 Maret 2008
Mata uang US Dolar kembali terpuruk dalam 2 minggu terakhir. Melemahnya kinerja US Dolar dipicu oleh data perekonomian Amerika yang belum menunjukan adanya perubahan positif. Hal tersebut membuat masyarakat AS berpendapat bahwa Amerika benar-benar dalam masa resesi pada saat sekarang ini.

Amerika dihadapkan dengan laju pertumbuhan ekonomi yang rendah serta tingkat inflasi yang cukup tinggi, atau biasa dikenal dengan stagflasi. Guna mengantisipasi hal tersebut pemerintah Amerika mengeluarkan kebijakan stimulus ekonomi dengan mengembalikan pajak mulai dari $600 hingga $1200. Namun, bagi-bagi uang tersebut sepertinya tidak akan efektif dalam jangka panjang. Daya beli masyarakat AS akan tertolong selama uang tersebut digunakan, seiring dengan itu inflasi akan terus menjadi ancaman ditengah tingginya harga komoditas dunia.

Sementara itu, Bank Sentral Amerika diperkirakan akan kembali menurunkan suku bunganya dalam Federal Open Market Committee (FOMC) bulan maret ini. Menurunkan suku bunga secara drastis sepertinya akan ditempuh guna menghindari Amerika dari keterpurukan yang lebih dalam lagi. Pasar sepertinya telah menangkap sinyal dari pernyataan Gubernur Bank Sentral AS Ben Bernanke yang akan kembali memangkas suku bunganya dalam beberapa pertemuan mendatang.

Sinyal tersebut sepertinya sudah dapat ditangkap oleh pelaku pasar, yang terbukti dengan memburuknya mata uang US Dolar dalam 2 pekan terkahir. Tak ada lagi yang dapat dihindari, melemahnya nilai tukar akan mendorong harga komoditas naik dan akan memberikan kontribusi bagi tingginya inflasi dalam beberapa waktu kedepan.

Di Indonesia, tingginya inflasi telah membuat Bank Indonesia tetap menahan besaran suku bunga sebesar 8%. Penurunan suku bunga Bank Sentral AS (The FED Fund Rate) sepertinya bukan menjadi acuan mutlak dalam menurunkan suku bunga Rupiah. Ada banyak hal yang melandasi keputusan BI tersebut, mulai dari penstabilan harga pangan, penyelamatan APBN dari subsidi yang berlebihan ataupun hal lain seperti dengan membiarkan mata uang Rupiah terus menguat.

Walaupun akan berkontribusi negatif atas kinerja ekspor. Namun pemerintah sepertinya lebih percaya diri guna mendukung kebijakan yang lebih menekankan pada aspek moneter. Karena pendekatan tersebut lebih cepat dan dapat dirasakan efeknya dibandingkan dengan memberikan stimulus kebijakan yang pro sektor riil.

Sebenarnya Bank Indonesia mempunyai peluang yang cukup besar atas pengendalian moneter pada saat ini, walau selalu dibayangi oleh ketidakpastian ekonomi global. Penurunan suku suku bunga The FED secara drastis telah membuat spread (selisih) antara BI rate dan The FED Fund Rate semakin lebar. Sehingga dengan spread yang besar tersebut Indonesia telah dibanjiri dana-dana panas atau Hot Money yang cukup signifikan dan membuat Rupiah menguat terhadap US Dolar.

Meski demikian, dalam RAPBN-P 2008, BI rate ditetapkan di level 7.5%. Hal tersebut mengindikasikan bahwa masih ada kemungkinan BI rate untuk turun kembali selama tahun 2008 ini. Walaupun dalam kisaran angka yang cukup kecil. Yang jelas kebijakan Bank Indonesia akan mengacu pada laju inflasi nasional ketimbang tren penurunan suku bunga global.
Dalam jangka pendek efek dari kebijakan tersebut cukup jelas di pasar keuangan dan saham. Penguatan pasar finansial yang ditopang dari dana-dana jangka pendek telah membuat harga saham dan nilai tukar Rupiah berfluktuasi dengan kecenderungan menguat. Walaupun sebenarnya penguatan tersebut akan menyisakan kekhawatiran pada masa yang akan datang, karena dana tersebut dapat berpindah dengan mudah ketika ada lahan lain yang lebih menguntungkan.

Tak perlu dikhawatirkan, selama Amerika Serikat masih memperjuangkan laju pertumbuhan ekonomi ketimbang pengendalian inflasi. Selama itu pula tersirat optimisme bahwa pasar finansial kita akan tetap berkinerja baik. Dan suku bunga akan turun walaupun dalam rentang waktu yang cukup lama. Pengendalian moneter sepertinya masih akan menjadi pilihan bagi pemerintahan kita dalam beberapa waktu kedepan.

Namun, ada hal penting yang harus kita sadari. Jangan pernah terlalu berharap suku bunga akan turun cepat, pelayanan pendidikan dan kesehatan akan menjadi lebih baik, sektor riil akan berputar dan menopang ekonomi, angka kemiskinan dan pengangguran akan berkurang drastis, karena pemerintah telah menurunkan anggaran di setiap departemen yang terkait, guna berhemat. Melonjaknya harga komoditas seperti minyak dan bahan pangan lainnya telah merobek kantong pemerintah sehingga kita harus memilih seperti pilihan pemerintah itu sendiri.

No comments: