Sunday, March 23, 2008

Inflasi Yang Tak Terkendali

Medan Bisnis, 10 Maret 2008
Melambatnya laju pertumbuhan ekonomi global, yang turut dibarengi dengan kenaikan harga komoditas pemicu inflasi, memberikan efek negatif bagi kenaikan harga kebutuhan pangan dalam negeri. Harga minyak goreng kembali bergerak naik tanpa ada rambu-rambu yang jelas seiring dengan melonjaknya harga komoditas CPO (Crude Palm Oil) di pasar dunia.

Beberapa negara besar seperti Amerika dan Eropa masih terjebak dalam inflasi yang tinggi serta pertumbuhan yang stagnan. Sementara China dan India yang menjadi motor penggerak bagi pertumbuhan ekonomi global juga mengalami penurunan dalam laju pertumbuhan. Hal tersebut sangat berdampak negatif bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Dalam pengendalian laju inflasi belakangan ini, Bank Indonesia memilih untuk tetap mempertahankan BI rate di level 8% guna memicu masuknya modal asing ke dalam negeri. Dan oleh karena itu, telah terjadi penguatan mata uang Rupiah terhadap US Dolar. Rupiah diperdagangkan di bawah kisaran 9100/US Dolar, walaupun menyisakan ancaman sudden reversal (pembalikan modal secara tiba-tiba).

Bank Sentral AS (The FED) serta pemerintah Amerika Serikat lebih memilih memicu laju pertumbuhan ekonomi serta mengabaikan pergerakan nilai tukar US Dolar yang kian merosot. Keputusan tersebut tercermin dengan langkah Bank Sentral Amerika yang terus menurunkan suku bunga secara agresif dari level 5.25% menjadi 3% pada saat ini, serta tetap memberikan ruang penurunan suku bunga lebih jauh lagi.

Guna memacu pertumbuhan, itulah alasan utama keputusan Bank Sentral Amerika tersebut. Sangat jauh berbeda dengan langkah pemerintah Indonesia dalam mengambil keputusan. BI lebih menekankan pada penguatan nilai tukar rupiah guna meredam inflasi, khususnya imported inflation (inflasi yang disebabkan oleh pengaruh dari luar).

Krisis pangan yang disebabkan oleh melonjaknya harga pangan dunia telah menyisakan kesengsaraan pada masyarakat di level bawah. Langkah-langkah yang diambil pemerintah guna mengatasi permasalahan ekonomi yang rumit kian tidak menentu, karena tidak dapat membuat kebijakan tanpa melibatkan faktor-faktor (harga) dari luar.

Menekan laju tekanan inflasi ditengah ancaman tingginya inflasi dunia sepertinya tidak akan berjalan dengan baik seperti skema. Lebih menekankan laju pertumbuhan ekonomi dengan suku bunga rendah juga bukan merupakan pilihan yang baik karena hanya akan memicu inflasi dan berpotensi memberikan benturan sosial yang menakutkan.

Apabila pemerintah mengeluarkan sebuah kebijakan nyata yang pro-rakyat miskin, maka pesan dari kebijakan tersebut tidak akan terdengar karena subsidi juga belum mampu mengembalikan daya beli masyarakat yang kian melemah. Sehingga, pesan yang akan diterima pemerintah dari rakyatnya adalah bahwa pemerintah dinilai gagal dan tidak pro-rakyat.

Proses komunikasi yang tidak tersampaikan ditengah fluktuasi harga yang tidak menentu menyebabkan kesinambungan perputaran roda ekonomi terancam terhenti. Walaupun bukan sepenuhnya dikarenakan oleh ketidakmampuan pemerintah dalam pengendalian ekonomi, namun rakyat tidak akan pernah tahu, yang mereka tahu adalah harga kian tinggi dan sudah kewajiban pemerintah dalam memberikan solusi.

Posisi dilematis tersebut berpotensi menjadi boomerang bagi pemerintah. Karena setiap kebijakan yang akan diambil tetap akan menyisakan masalah yang sangat terkait langsung dengan masalah perut masyarakat Indonesia. Tidak ada satu pilihan pun yang membebaskan pemerintah dari resiko. Yang ada hanyalah resiko mana yang lebih bisa diminimalisirkan.

Inflasi diluar kendali, mungkin itu tema yang tepat bagi kenaikan harga pangan belakangan ini. Keyakinan pemerintah dalam pengendalian laju inflasi yang tertuang dalam APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara) juga sangat diragukan kredibilitasnya belakangan ini, karena telah direvisi lebih tinggi lagi.

Pemerintah juga mengeluarkan kebimbangan mengenai kebijakan yang akan di ambil. Apakah harus menghilangkan subsidi dengan membiarkan harga pangan naik, atau tetap mempertahankan subsidi dengan konsekuensi memikirkan pembiayaannya. Padahal tanpa harus bertanya pada rakyat maka dengan mudah pikiran rakyat dapat ditebak bahwa harga turun adalah menjadi jawaban yang tidak mungkin diragukan lagi.

Kalau pemerintah tidak menurunkan harga terlebih melepas subsidi, maka dengan mudah akan terjadi revolusi. Rakyat akan menilai pemerintah gagal dalam menjalankan amanah yang telah diberikan, maka “pemerintah turun” akan menjadi statement biasa yang akan terdengar.

No comments: