Sunday, April 06, 2008

Dimana Letak Keseimbangan Rupiah?

Medan Bisnis, 31 Maret 2008
Sejumlah mata uang dunia diperdagangkan relatif menguat terhadap US Dolar. Penguatan mata uang tersebut terjadi disebabkan oleh ketidakseimbangan laju ekonomi di Amerika. Berawal dari memburuknya krisis kredit perumahan AS yang merambat hingga penurunan suku bunga The FED secara drastis, meningkatnya jumlah pengangguran, melambungnya harga komoditas yang diakumulasikan sebagai pertanda resesi di negeri paman sam.

Posisi Amerika yang tidak menguntungkan tersebut secara sistematis akan memberikan keuntungan bagi mata uang negara lain yang menguat terhadap US Dolar. Sudah bisa dipastikan ekspor di negara yang mata uangnya menguat terhadap US Dolar akan terus menunjukan peningkatan dan akan memberikan efek bagi peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB).
Hanya saja, asumsi kenaikan ekspor tersebut harus diikuti oleh melemahnya laju pertumbuhan ekonomi AS yang berdampak pada penurunan daya beli masyarakat disana. Sehingga akan tetap menjadi faktor pengurang bagi kinerja ekspor negara mitra Amerika.

Indonesia juga mengalami hal yang sama. Melemahnya US Dolar juga membuat mata uang Rupiah menguat dikisaran 9200/US Dolar dari sebelumnya dikisaran 9400/US Dolar. Penguatan tersebut tidak lebih di karenakan dana jangka pendek yang masuk yang memanfaatkan selisih suku bunga antara BI rate dan The Fed yang kian melebar.

Padahal, kalau saja penurunan suku bunga Bank Sentral AS (The FED) diikuti oleh penurunan suku bunga Rupiah maka bisa dipastikan Rupiah akan bergerak stabil (dengan tetap ada kecenderungan melemah) tanpa dibarengi dengan penguatan nilai tukar yang cukup signifikan. Pada dasarnya perbedaan suku bunga yang melebar tersebut juga harus dibayar dengan pembayaran bunga yang tinggi pada instrumen keuangan yang dikeluarkan oleh pemerintah.

Pembayaran bunga tersebut akan terus membebani APBN yang pada saat ini harus berjuang untuk mensiasati pembengkakan defisit yang kian membesar, akibat kenaikan harga minyak dunia. Alasan dari pemerintah adalah guna menjaga stabilitas harga pangan yang disebabkan oleh kenaikan harga minyak mentah dunia atau biasa diistilahkan dengan imported inflation.

Kontroversipun bermunculan, mana yang lebih didahulukan, apakah membiarkan mata uang rupiah melemah dengan mengurangi beban APBN atau sebaliknya, membiarkan mata uang menguat dengan membebankan biaya bunga serta menerima resiko akan kemungkinan adanya pembalikan modal secara tiba-tiba atau suddent reversal.

Jawaban yang terbaik menurut pemerintah adalah kebijakan yang diambil pemerintah pada saat ini. Dengan kasat mata kita melihat bahwa rupiah terus menguat terhadap US Dolar. Penguatannya bahkan diprediksi mampu menembus level psikologis 9000/US Dolar.
Namun, prediksi tersebut tidak selamanya benar. Kondisi mata uang US Dolar yang kian terjun bebas ternyata tidak secara langsung membuat Rupiah menguat tanpa halangan. Bisa saja dikarenakan faktor teknikal dimana sangat tergantung oleh kondisi psikologis pelaku pasar. Atau bisa saja penguatan Rupiah yang seharusnya, justru ditahan oleh intervensi pemerintah agar Rupiah tidak menguat secara drastis.

Dalam melakukan intervensi pemerintah bisa melakukan 2 hal paling mendasar yakni melakukan aksi beli valas atau jual valas. Untuk kondisi seperti sekarang ini, pemerintah biasanya akan melakukan aksi beli valas. Aksi beli valas tersebut (US Dolar) akan meningkatkan cadangan devisa yang sewaktu-waktu dapat digunakan apabila terjadi pembalikan modal (Suddent Reversal).

Pemerintah pernah mengungkapkan bahwa Rupiah yang stabil adalah berada dalam kisaran 9000 hingga 9500 per US Dolar, walaupun ada juga yang menyatakan bahwa range yang ideal untuk rupiah adalah dikisaran 8500 hingga 9500 per US Dolar. Dalam menciptakan kestabilannya Rupiah biasanya bergerak sesuai dengan mekanisme pasar. Namun, Indonesia tidak sepenuhnya membiarkan Rupiah bergerak sesuai mekanisme yang berlaku, karena kerap melakukan intervensi.

Kembali ke data statistik, dalam 3 tahun terakhir Rupiah sempat bergerak dikisaran level 8700/US Dolar (paling kecil) hingga sempat mendekati level 12.000/US Dolar. Dan pemerintah diperkirakan melakukan intervensi apabila Rupiah berada dikisaran level tersebut. Namun, menurut pengamatan belakangan ini, Rupiah relatif jalan ditempat di antara 9000 hingga 9500/US Dolar.

Fluktuasi Rupiah masih cenderung terkendali meskipun terjadi gejolak pasar keuangan global yang buruk. Pemerintah sepertinya lebih confident apabila rupiah tetap berada di kisaran tersebut. Tapi ini bukanlah sepenuhnya merupakan kestabilan nilai tukar Rupiah, karena kestabilan rupiah pada saat ini bukanlah merupakan bentuk dari keseimbangan pasar, tetapi bisa jadi merupakan hasil dari campur tangan pemerintah juga.

No comments: