Sunday, April 06, 2008

Menghindar Dari Stagflasi

Medan Bisnis, 07 April 2008
Stagflasi adalah suatu keadaan dimana perekonomian dihadapkan pada laju tekanan inflasi yang tinggi dan dibarengi dengan melambatnya laju pertumbuhan. Keadaan tersebut apabila tanpa ada solusi yang konkret akan membawa sebuah negara masuk kedalam jurang resesi. Pada saat ini, stagflasi lebih dikarenakan oleh memburuknya kinerja ekonomi dinegara besar seperti Eropa, AS dan Jepang, dimana telah terjadi penurunan terhadap daya beli masyarakat disana.

Sistem keuangan yang terintegrasi antara negara yang satu dengan lainnya (global) akan sangat dipengaruhi oleh faktor fundamental dari masing-masing negara. Negara yang lebih kuat fundamental perekonomiannya mempunyai posisi tawar (bargaining) yang lebih tinggi dibandingkan dengan negara lainnya. Sehingga permintaan (demand) maupun penawaran/persediaan (supply) dari negara tersebut akan menjadi tolak ukur (benchmark) terhadap terciptanya proses keseimbangan pasar (equilibrium).

Negara adidaya seperti Amerika Serikat telah menjadi kekuatan ekonomi yang sangat berpengaruh pada saat ini. AS menguasai hampir seperempat produk domestik bruto (PDB) dunia. Sehingga sangatlah wajar apabila setiap perkembangan data perekonomian serta kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah AS selalu menjadi tolak ukur dalam pengambilan kebijakan negara lain. Tujuannya adalah menciptakan kesimbangan baru terhadap kebijakan yang telah diambil AS.

Seperti pada kebijakan Bank Sentral AS dalam mengendalikan suku bunga The FED (The FED Fund Rate). Kebijakan The FED sebelumnya selalu menjadi pertimbangan Bank Sentral Negara lain termasuk Indonesia dalam menentukan arah kebijakan suku bunga dalam negeri. Namun, keadaan sepertinya sudah berubah, memburuknya kinerja perekonomian AS seperti sekarang ini telah memudarkan kepercayaan negara lain untuk terus mengikuti langkahnya.

Berawal dari krisis kredit perumahan AS yang dibarengi dengan meningkatnya harga komoditas utama seperti minyak mentah dunia. Keadaan tersebut telah menyebabkan kontraksi di negara lain. Negara di Asia sangat terpukul dengan kondisi tersebut. Terlebih negara yang menjadikan Amerika sebagai mitra utama tujuan ekspor. Sehingga sangat sulit untuk negara berkembang (emerging market) dalam mengantisipasi kejutan-kejutan negatif yang disebabkan oleh downside trend (tren kebawah) sebuah negara dengan kekuatan ekonomi besar.

Banyak Bank Sentral di dunia yang kesulitan dalam menentukan arah kebijakannya kedepan. Stagflasi adalah dua buah mata pisau dimana satu sisi dapat dipergunakan (diselamatkan), sementara sisi yang lain akan membunuh si penggunanya. Pada saat ini banyak negara yang telah terjebak didalam stagflasi. Indonesia merupakan salah satunya.

Disaat harga kebutuhan pangan mengalami lonjakan yang signifikan, disaat itu pula sulit untuk menurunkan suku bunga yang sudah terlanjur tinggi, sehingga sulit untuk memulihkan daya beli masyarakat. Kelangkaan minyak, melambungnya harga pangan sudah menjadi berita yang sering terdengar. Pemerintah sepertinya masih sulit untuk menentukan formula yang tepat guna terhindar dari stagflasi.

Memang layak apabila pemerintah menjadikan faktor eksternal (luar negeri) menjadi kambing hitam atas keadaan ini. Namun, harus disadari bahwa akan ada efek dari keadaan tersebut, yang harus dikompensasi dengan harga yang cukup mahal nantinya. Dari sisi finansial, stagflasi akan menambah beban APBN karena berpotensi menambah portsi utang pemerintah. Selain itu, ada hal lain yang perlu menjadi perhatian khusus, yakni keadaan dimana perekonomian yang runyam harus dibayar dengan gejolak sosial seperti kerusuhan di tahun 1997.

Pemerintah dan kebanyakan negara lainnya lebih memilih untuk mengendalikan inflasi, dibandingkan dengan menggenjot daya beli masyarakat atau pertumbuhan. Kebijakan yang diambil pun berputar dan berkosentrasi pada pengendalian moneter. Seperti kebijakan uang ketat (tigh money policy), yang akan berimbas pada penguatan nilai tukar rupiah.

Kenaikan harga beberapa komoditas dunia seperti minyak, gandum, kedelai, CPO (crude palm oil) sepertinya sulit untuk dielakkan. Sehingga Up trend (tren naik) harga komoditas dapat diminimalisir dengan pengendalian moneter seperti penguatan mata uang Rupiah. Belum ada kepastian apakah kita dapat menghindar sepenuhnya dari stagflasi. Kejutan-kejutan negatif bisa saja terjadi. Fokus penyelesaian ekonomi juga akan terpecah seiring dengan meningkatnya gejolak ekonomi. Namun tetaplah fokus pada akibat dari stagflasi yang berpotensi menimbulkan resesi maupun gejolak sosial.

No comments: