Sunday, May 04, 2008

Guncangan Ekonomi Kian Terasa

Medan Bisnis, 14 April 2008

Pasar keuangan global kembali dihadapkan pada guncangan ekonomi yang sangat kuat seiring dengan tingginya harga minyak dunia serta ancaman melemahnya laju pertumbuhan ekonomi global. Bahkan beberapa Bank Sentral tetap menekankan pentingnya stabilitas pengendalian harga yang menjadi pemicu tingginya inflasi belakangan ini.

Kredit sektor perumahan AS juga belum menunjukan adanya perbaikan sehingga diperkirakan akan terus membebani perputaran ekonomi global yang kian suram. IMF (International Monetery Fund) juga menyatakan bahwa pentingnya persiapan dalam menghadapi krisis keuangan (finansial) yang kemungkinan akan terjadi.

Sementara itu, ditengah gejolak fluktuasi pasar yang cukup tajam, pemerintah Indonesia kembali mengeluarkan opsi untuk menaikan harga BBM seiring degan tingginya harga minyak mentah dunia. Hal tersebut tentunya bukan opsi yang akan diterima dengan mudah oleh masyarakat luas karena tetap akan menimbulkan resistensi dari semua kalangan.

Daya beli masyarakat diperkirakan akan terus semakin lemah seiring dengan tingginya harga pangan belakangan ini. Opsi kenaikan BBM dinilai tidak tepat untuk saat ini, meskipun pemerintah belum punya pilihan lain. Saat ini, harga minyak mentah dunia berada dikisaran level $111/barel, jauh diatas asumsi harga minyak mentah dalam APBNP-2008(Angggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2008) sebesar $95/barel.

Tentunya dengan asumsi tersebut sudah dipastikan pemerintah kembali mengalami defisit yang kian menganga. Sehingga sudah sepantasnya departemen keuangan mengingatkan pemerintah untuk menaikan harga BBM guna terhindar dari defisit yang lebih besar lagi. Secara sosial, kenaikan harga BBM tersebut akan berdampak pada semakin melemahnya daya beli masyarakat dan berpotensi menjadi pemicu gejolak sosial.

Dalam mengantisipasi tingginya laju inflasi yang disebabkan oleh meroketnya harga kebutuhan pangan belakangan ini. Pemerintah bisa saja menaikan suku bunga acuan atau biasa disebut dengan BI rate. Namun, kenaikan BI rate tentunya akan memperlambat laju pertumbuhan. Padahal laju pertumbuhan itu sendiri sangat dibutuhkan guna menyelamatkan pertumbuhan ekonomi domestik.

Kebijakan BI yang mempertahankan suku bunga dinilai masih cukup realistis. Walaupun bukan pilihan yang tepat, namun keputusan tersebut masih bersifat menyelamatkan perekonomian dalam jangka pendek, belum memberikan dampak positif yang lebih luas dalam jangka panjang. Kebijakan yang diambilpun bukan hanya karena bertumpu pada data-data perekonomian domestik, namun juga sangat dipengaruhi oleh data perekonomian global. Sehingga, apapun yang terjadi diluar sana tetap diperhitungkan oleh pengambil kebijakan di dalam negeri.

Kesemuanya itu akan kembali pada ketahan perekonomian nasional. Dampak negatif dari gejolak ekonomi global masih dapat diantisipasi oleh sebuah negara dengan struktur ekonomi yang kuat. Ketahan APBN kita memang belum memenuhi syarat untuk itu. Sementara daya beli masyarakat yang lemah tidak akan membaik segera walau ada stimulus kebijakan penurunan suku bunga.

Dipasar keuangan sepertinya juga akan terus mengalami fluktuasi yang tajam. Melemahnya US Dolar yang cukup memprihatinkan bukan berarti akan membuat Rupiah kembali perkasa. Karena penguatan Rupiah yang ditopang oleh dana-dana jangka pendek tetap menyisakan resiko akan terjadinya pembalikan modal. Terlebih apabila kedepan akan terjadi kenaikan laju inflasi yang cukup tinggi. Sehingga untuk mempertahankan nilai tukar diperlukan kenaikan suku bunga atau BI rate.

Kalau diibaratkan makan buah simalakama. Tentunya pemerintah harus mengambil keputusan dengan melihat keuntungan apa yang bisa diambil walaupun dengan menyia-yiakan benefit yang lainnya. Pemerintah memang dihadapkan pada stagflasi seperti sekarang ini, namun, pemerintah harus mengambil sikap untuk tetap menjaga stabilitas harga. Karena tidak menambah jumlah penduduk miskin masih lebih baik ketimbang mengangkat penduduk miskin dari kemiskinannya.

No comments: