Tuesday, February 20, 2007

Beras Petani dan Petani Beras

Medan Bisnis, 19 Februari 2007
Setelah banjir melanda Ibu Kota, kini Indonesia kembali dihebohkan dengan kenaikan harga beras yang cukup signifikan. Permasalahan beras sepertinya menjadi permasalahan klasik. Dari permasalahan agraria, produksi, distribusi maupun harga.

Kenaikan harga beras akhir-akhir ini memang menjadi perhatian serius pemerintah. Karena kenaikan beras berpotensi menjadi pemicu tingginya laju inflasi. Secara makro memang demikian, namun, bukankah seharusnya kenaikan harga beras juga memberikan rezeki tambahan bagi petani yang menanam padi. Namun, sejauh ini, kenaikan harga beras juga tidak membuat harga gabah dilevel petani turut naik, seiring dengan kenaikan beras itu sendiri.

Padahal secara ekonomis, pertanian merupakan salah satu fundamental ekonomi bangsa kita yang mampu bertahan ditengah krisis moneter tahun 1997. Kenaikan harga beras saat ini merupakan akumulasi dari kekhawatiran akan berkurangnya stok beras pemerintah yang diakibatkan bencana alam, sehingga menjadikan proses distribusi serta produksi kembali terhambat.

Selain itu, mata rantai distribusi beras yang terlalu panjang juga menjadi lahan tersendiri bagi spekulan untuk meraup keuntungan. Apalagi proses distribusi beras tidak didukung oleh infrastruktur yang memadai, sehingga potensi kenaikan beras jauh lebih tinggi bagi daerah yang sulit dijangkau.

Impor merupakan jalan satu-satunya yang mampu menahan laju kenaikan harga beras. Namun, siapa yang menjamin bahwa beras impor tersebut tidak bocor ke pasar. Sejatinya beras impor hanya digunakan untuk pengamanan stok yang diperuntukan untuk operasi pasar.

Sebenarnya pemerintah juga mempunyai jurus lain untuk menahan kenaikan harga beras. Yakni dengan melakukan pembelian beras dalam negeri. Namun, ketidaksesuaian harga masih menjadi kendala utama. Misalkan, pemerintah menetapkan bahwa harga pembelian di dalam negeri sebesar Rp.3.500/kg. Namun, harga dipasar terkadang diatas harga tersebut, sehingga memudarkan kemauan politik pemerintah untuk membeli beras dalam negeri.

Selain dapat mengurangi cadangan devisa, impor juga membuat beras dalam negeri tidak bersaing. Jadi sudah semestinya, impor beras hanya dilakukan apabila kondisi perberasan dalam negeri benar-benar dalam situasi kritis atau bahkan gawat darurat.

Solusi
Sejauh ini, kesejahteraan petani beras tidak kunjung meningkat walaupun terjadi kenaikan harga beras yang cukup signifikan. Kesejahteraan petani memang sangat dilematis. Kenaikan harga BBM yang naik rata-rata sebesar 126% di akhir tahun 2005, tidak dibarengi dengan kenaikan serupa terhadap harga pembelian gabah. Sehingga kesejahteraan petani tetap merosot.

Kalaupun harga gabah dinaikan, maka harga beras tentunya turut melambung. Inflasi yang merupakan salah satu indikator ekonomi makro juga akan kembali naik. Faktanya pertanian selalu menjadi data terkait dengan perubahan ekonomi makro. Sehingga, memberikan tekanan terhadap pergerakan harga beras menjadi semacam keharusan yang dilakukan guna tetap mempertahankan indikator ekonomi negara kita tetap mengkilap. Dalam hal ini, petani tetap menjadi korban.

Untuk itu, pemerintah dituntut untuk melakukan terobosan guna mengontrol pergerakan harga beras dan menigkatkan kesejahteraan petani. Pemerintah harus menunjukan komitmen yang kuat terhadap kepentingan petani, seperti menjaga stabilitas harga pupuk, mengoptimalkan produksi pangan lokal, reorganisasi tani, menjamin harga yang berelasi langsung terhadap ongkos produksi maupun subsidi yang lebih besar bagi sektor pertanian.

Tentunya keinginan tersebut juga membutuhkan modal yang sangat besar serta porsi yang lebih besar lagi dalam APBN. Atau, pemerintah dapat melakukan alternatif penyelesaian masalah lain yakni diversifikasi pangan.

Bukankah tidak semua wilayah di Indonesia dapat menghasilkan beras. Masyarakat Indonesia yang beragam mempunyai ragam konsumsi makanan pokok yang berbeda pula. Pemerintah dapat membiarkan masyarakat mengkonsumsi bahan makanan pokok selain beras, sesuai dengan kemampuan daerah masing-masing dalam menghasilkan produk makanan pokok pilihannya. Dengan begitu pemerintah tidak dipusingkan dengan kenaikan harga beras, yang hampir setiap tahun menjadi polemik.

Di Indonesia, banyak petani yang menggarap lahan kurang dari 0.3 Hektar. Dengan lahan yang sempit itu sulit untuk mencapai produktifitas tinggi serta memperoleh penghasilan yang layak. Apalagi, hampir semua petani di Indonesia merupakan net consumer, dan menghabiskan 50% penghasilannya untuk membeli bahan pangan.

Ini sebuah ironi, dan menunjukan bahwa petani beras sekalipun masih kesulitan untuk memenuhi kebutuhan beras petani itu sendiri. Kedaulatan pangan di negeri ini masih jauh dari harapan. Sampai kapan?, tentu seluruh masyarakat Indonesia berharap ini hanyalah badai yang pasti akan berlalu.

No comments: