Monday, February 12, 2007

Suku Bunga Abaikan Inflasi

Medan Bisnis, 12 Februari 2007
Bank Indonesia kembali menurunkan suku bunga acuan atau BI rate sebesar 25 basis poin menjadi 9.25%. Keputusan tersebut diambil dan mengabaikan tingginya ancaman inflasi selama bulan Februari ini yang diakibatkan oleh banjir.

Namun, sebagian pelaku pasar menilai BI konsisten terhadap keputusannya dan sesuai dengan skema semula yakni inflation targeting. Padahal, pasar sebelumnya sempat mengkhawatirkan BI tidak akan kembali menurunkan suku bunga seiring dengan bencana alam yang melanda negeri ini.

Namun, walaupun suku bunga diturunkan, indeks harga saham gabungan atau IHSG tidak menunjukan kinerja yang positif. Indeks justru sempat melemah kurang dari 1%, dimana diyakini dipicu dan sangat erat kaitannya dengan banjir di Ibu Kota.

Banyak saham yang kembali turun harganya, hanya beberapa saham yang mengalami kenaikan, misalnya saham-saham yang mewakili produk-produk makanan. Penurunan harga saham tersebut dinilai wajar, karena dengan kondisi memprihatinkan saat ini, seharusnya potensi melemahnya IHSG lebih besar lagi.

Akan tetapi, sejauh ini Rupiah masih relatif stabil terhadap US Dolar. Derasnya capital inflows yang masuk kenegeri ini membuat Rupiah nyaman walaupun perbedaaan suku bunga Rupiah dan US Dolar kembali mengecil.

Kita lihat saja penerbitan obligasi pemerintah yang didenominasi oleh mata uang US Dolar. Banyak investor yang ingin menanamkan duitnya dalam instrumen tersebut. Bahkan, kabar menyebutkan bahwa penerbitan obligasi yang menyerap likuiditas sebesar $1.5 Milyar kelebihan penawaran atau oversubscride.

Kepercayaan investor asing kembali pulih setelah lembaga pemeringkat Fitch Rating dan Moody’s kembali menaikan peringkat utang Indonesia dari stabil menjadi positif. Hal ini kabar baik tentunya, dan sekaligus menjadi barometer fundamental ekonomi Indonesia kedepan nantinya.

Dengan penyerapan likuiditas tersebut, pemerintah berhasil menambah cadangan devisa sehingga mempunyai ruang untuk mengendalikan nilai tukar Rupiah. Hal inilah yang menjadi pemicu utama menguatnya Rupiah belakangan ini. Padahal secara keseluruhan pergerakan Rupiah dibayangi oleh sentimen negatif dalam negeri.

Kembali ke masalah suku bunga. Kebijakan BI yang dinilai sangat berani tersebut tentunya menyisakan banyak pertanyaan. Ditengah ancama kenaikan harga bahan makanan pokok di jakarta yang naik rata-rata sebesar 20%, serta langkah Bank sentral Amerika yang tetap mempertahankan suku bunga di level 5.25%, tentunya membuat ruang gerak penurunan suku bunga semakin kecil.

Ada skenario yang mungkin bisa memberikan gambaran kenapa BI mengambil langkah tersebut. Walaupun inflasi diperkirakan naik selama bulan Februari ini, namun data inflasi tersebut baru akan dirilis bulan Maret mendatang.

Jadi, walaupun pasar paham bahwa inflasi akan kembali naik, namun berapa besar kenaikan tersebut tentunya masih sekedar wacana. Ada yang memprediksikan bahwa inflasi selama bulan Februari akan naik diatas 1% walaupun tetap ada yang yakin bahwa laju inflasi masih cukup terkendali.

Nah, ditengah spekulasi tersebut, tentunya ada kesempatan untuk menurunkan suku bunga yang mengacu pada inflasi bulan Januari sebesar 1.04%. Selain itu, Pemerintah tentunya juga sangat mengkhawatirkan besaran inflasi selama bulan Februari yang berpotensi merealisasikan angka yang lebih buruk dari perkiraan.

Sehingga dampak psikologis yang harus diterima juga akan semakin besar nantinya. Bayangkan apabila BI harus menurunkan suku bunga ketika data inflasi selama bulan Februari baru aja dirilis. Tentunya pasar berpotensi bergejolak. Jadi kesempatan itu ada pada saat ini, namun kedepan BI tentunya akan semakin sulit untuk menurunkan suku bunga karena harus mempertimbangkan tingginya inflasi.

Nah kalau sudah begini, dalam hitungan yang sangat optimis sekalipun inflasi akhir tahun di level 7% tentunya akan sulit untuk tercapai, karena harus mempertimbangkan banyak hal. Kecuali, BI melakukan kebijakan yang sangat radikal serta mengabaikan besaran inflasi.

No comments: