Tuesday, May 08, 2007

Deflasi dan Reshufle Bayangi Rupiah dan IHSG

Medan Bisnis, 30 April 2007
Pada bulan Februari silam kita dikejutkan dengan melambungnya harga beras yang membuat beberapa pengamat memperkirakan akan terjadi lonjakan inflasi yang cukup signifikan. Namun, melonjaknya harga beras yang diiringi dengan banjir besar di Jakarta tidak menjadikan inflasi selama bulan tersebut naik tajam. Bahkan, inflasi yang diperkirakan akan berada diatas 1% tidak terbukti.

Berbeda dengan saat ini, Biro Pusat Statistik (BPS) memperkirakan tidak akan terjadi laju inflasi selama bulan April. Bahkan diperkirakan akan terjadi sebaliknya, yakni deflasi. Deflasi bisa terjadi karena memang ada tren penurunan harga barang, namun dapat juga diakibatkan oleh melemahnya daya beli masyarakat.

Terkait dengan deflasi, tentunya ekspektasi tersebut akan berdampak positif bagi IHSG dan kadang mempunyai sisi negatif bagi pergerakan nilai tukar Rupiah, yang pada bulan kemarin Rupiah mendapat support dengan tidak diturunkannya BI rate.

Ekspektasi deflasi saat ini akan memberikan dampak psikologis bagi pelaku pasar. Tentunya bakal ada penurunan BI rate pada awal bulan Mei mendatang. Penurunan BI rate akan memberikan dampak positif bagi sektor riil, dan berpotensi mengangkat IHSG.

Namun, penurunan BI rate juga berpotensi membuat Rupiah akan melemah, karena penurunan BI rate akan membuat investor memilih negara yang lebih aman serta memberikan imbal hasil yang mumpuni seperti Amerika. Lagi-lagi itu hanya ekspektasi, kenyataannya kadang terbalik, penurunan BI rate justru diikuti dengan menguatnya IHSG dan Rupiah secara bersama-sama.

Kalaupun Rupiah menguat, namun harus diperhatikan sampai dimana penguatan Rupiah nantinya. Kalau BI berkehendak untuk menahan laju penguatan Rupiah maka bisa diperkirakan Rupiah akan stagnan dikisaran level 9030 hingga 9120. Kalau tidak ditahan, bisa saja Rupiah akan menguat secara signifikan menembus level 9000. Terlebih nilai tukar Dolar Amerika saat ini kian melemah terhadap mata uang dunia.

Nah, kalau IHSG tentunya tetap akan mendapat support dari tren penurunan BI rate. IHSG bahkan telah menembus level psikologis 2000, dan diperkirakan akan terus naik hingga akhir tahun ini. Akan tetapi, tetap diwaspadi aksi profit taking yang berpotensi membawa IHSG kembali ke bawah. Tapi dengan fundamental makro ekonomi Indonesia yang masih kuat saat ini tentunya tetap menumbuhkan keyakinan akan terus membaiknya kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).

Reshufle
Kalau kita merujuk ke politik dalam negeri saat ini, bisa diperkirakan isu reshufle tidak akan berpengaruh signifikan terhadap Rupiah dan IHSG. Karena pada dasarnya investor akan lebih melihat pada kondisi riil ekonomi bangsa ini, daripada melihat profil terhadap seorang menteri.

Memang pada saat Boediono ditunjuk sebagai menteri ekonomi, Rupiah langsung menunjukan penguatan signifikan dari level 11.000-an/US Dolar hingga ke level 9000-an/USDolar. Namun pada saat itu terjadi kenaikan BI rate yang cukup signifikan hingga ke level 12.75%. Aliran dana yang masuk kenegeri ini pun cukup signifikan, dan hampir semua dana yang masuk merupakan aliran dana jangka pendek.

Jadi kalaupun nantinya Presiden SBY kembali mengganti sejumlah menteri yang dinilai kurang kompeten, maka yang perlu dicermati adalah kebijakan dari menteri tersebut. Namun, kalau seandainya nanti menteri yang diganti tidak terkait secara langsung dengan sektor finansial, maka kita bisa memprediksikan kemana arah pasar finansial negeri ini.

No comments: