Tuesday, May 08, 2007

Menanti BI Rate Turun

Medan Bisnis, 7 Mei 2007
Setelah sempat stabil dikisaran level 9100 dalam waktu yang cukup lama, momentum terjadinya deflasi membuat Rupiah saat ini semakin mahal terhadap US Dolar. Tidak lebih dari 4 hari setelah diumumkannya deflasi selama bulan April, Rupiah langsung bergerak menguat dan menembus level psikologis 9000.

Rupiah saat ini berada dalam kisaran level 8970, dan diperkirakan masih berpotensi akan terus menguat. Selain dikarenakan deflasi, penguatan Rupiah juga dipicu oleh penyerapan likuiditas Rupiah yang cukup signifikan melalui instrumen Sertifikat Bank Indonesia atau SBI. Konsekuensinya pemerintah mempunyai kewajiban untuk pembayaran hutang yang semakin besar tentunya.

Dengan terjadinya deflasi, BI diharapkan akan menurunkan BI rate dalam RDG (Rapat Dewan Gubernur) BI minggu ini. Hal tersebut menjadi sangat diperlukan mengingat pertumbuhan sektor riil yang dinilai masih lamban sementara dana yang tersimpan di Bank Indonesia cukup signifikan.

Apabila dana yang tersimpan di BI (Bank Indonesia) tersebut hanya disimpan tanpa diikuti dengan penyalurannya ke sektor-sektor strategis, maka beban pembayaran hutang pemerintah akan menjadi senjata bagi terjadinya krisis ekonomi, seperti yang dilontarkan beberapa pengamat belakangan ini.

Salah satu cara untuk mempercepat pertumbuhan sektor riil adalah dengan menurunkan suku bunga acuan (BI rate) yang selalu digunakan sebagai acuan oleh perbankan dalam menetapkan suku bunganya. Kalau saat ini, BI rate berada di level 9%, maka suku bunga pinjaman perbankan masih berada dikisaran 13 sampai 15%.

Pasar menilai, suku bunga 13 sampai 15% masih terlalu tinggi. Sejauh ini, walaupun terjadi permintaan kredit yang meningkat, namun peningkatan tersebut didominasi oleh pertumbuhan kredit yang sifatnya konsumsi. Sementara kredit yang tersalurkan di sektor manufaktur masih relatif kecil. Padahal sektor tersebut memberikan andil yang cukup besar bagi penyerapan tenaga kerja.

Disini terlihat bahwa dengan diturunkannya BI rate akan memicu dunia perbankan memacu penyaluran kredit. Dengan begitu, porsi perbankan yang menempatkan dananya di Sertifikat Bank Indonesia akan semakin berkurang. Mengingat perbankan merupakan korporasi yang memberikan kontribusi paling besar atas meningkatnya beban utang pemerintah.

Terlepas dari penyaluran kredit, penurunan BI rate juga mempunyai dampak negatif yang cukup signifikan terhadap Rupiah. Penurunan BI rate dapat menjadi mimpi buruk bagi Rupiah, karena berpotensi terdepresiasi (melemah).

Namun, apabila pemerintah berpendapat bahwa fundamental ekonomi Indonesia sudah berjalan pada jalan yang benar (on the right track), maka semestinya hal-hal negatif yang akan terjadi seiring dengan penurunan BI rate dapat diminimalisir.

Mungkin pemerintah saat ini masih menunggu keputusan negeri paman sam (Amerika) untuk menurunkan The Fed Fund Rate atau suku bunga The FED yang masih berada di level 5.25%. Dengan diturunkannya suku bunga US Dolar tersebut, maka tercipta ruang bagi Bank Indonesia untuk menurunkan BI rate.

Menunggu, bukanlah sesuatu hal yang dinanti masyarakat, yang kian terjepit ditengah mahalnya biaya hidup serta diiringi dengan menciutnya mata pencaharian. Bukankah mempercepat penurunan BI rate akan mempersempit peluang meningkatnya jumlah angka kemiskinan, pengangguran bahkan kriminalitas.

Kalau saat ini Rupiah sudah menguat jauh, cadangan devisa meningkat tajam, terjadi peningkatan pertumbuhan ekspor yang signifikan, inflasi cukup terkendali, pergerakan US Dolar yang tidak menjadi ancaman serius, maka apalagi yang harus ditunggu.

No comments: