Monday, June 11, 2007

Faktor Global atau Penurunan BI Rate

Medan Bisnis, 11 Juni 2007
Rupiah kembali melemah hingga menembus level 8900, setelah dalam beberapa perdagangan minggu lalu sempat menguat kekisaran level 8700-an. Menurut versi Bank Indonesia, melemahnya nilai tukar rupiah dikarenakan oleh faktor global seperti melemahnya sejumlah mata uang Asia serta technical correction terhadap indeks bursa global.

Pemerintah juga meyakinkan pasar bahwa keadaan tersebut hanya akan bersifat sementara. Namun, sayangnya kita tidak pernah tahu ukuran yang tepat untuk menjelaskan kata sementara tersebut, setiap orang pasti akan mempunyai sudut pandang yang berbeda, sementara bisa diartikan beberapa hari, minggu, bulan atau bahkan selama tahun 2007 ini.

Berbeda dari beberapa fakta yang terjadi, penurunan BI rate sebesar 25 basis poin dari sebelumnya sebesar 8.75% menjadi 8.5% diyakini sebagai salah satu pemicu melemahnya nilai tukar Rupiah ke level 8900-an. Sejauh ini, asumsi pemerintah bahwa suku bunga riil (selisih antara BI rate dan Inflasi) sebesar 1.5% hingga 2% cukup memberikan kenyamanan akan tidak terjadinya pembalikan modal atau reversal.

Selain itu, cadangan devisa yang cukup tinggi serta membaiknya fundamental eknomi Indonesia seperti yang diberitakan media seolah-olah meyakinkan kita bahwa ekonomi sudah berjalan pada jalur yang benar atau on the right track.

Meski demikian, belum ada yang mampu memperkirakan kapan dana-dana panas yang selama ini menjadi kambing hitam penguatan rupiah dan IHSG tidak akan keluar dari negeri ini. Dana-dana jangka pendek tersebut tentunya tidak akan melihat secara jauh keadaan ekonomi bangsa ini. Yang dia (hot money) tahu adalah bagaimana untuk berkembang biak dengan memanfaatkan produk-produk investasi yang menawarkan imbal hasil yang tinggi dan aman.

Sehingga cukup beralasan, Rupiah kembali melemah ketika BI rate kembali diturunkan, sementara beberapa Negara (misal Eropa) justru kembali menaikan suku bunga. Antisipasi yang sangat relevan untuk dilakukan adalah menanti kebijakan dari Bank Indonesia. Selaku penguasa moneter negeri ini, BI memiliki kewenangan untuk menstabilkan Rupiah dengan salah satu caranya adalah melakukan intervensi pasar.

Namun, apakah pembalikan modal yang terjadi akan menyeret bangsa ini ke dalam jurang krisis?, hanya waktu yang bisa menjawabnya. Pemerintah maupun pihak terkait tentunya diharapkan mampu mengkonversi dana-dana jangka pendek tersebut menjadi FDI (foreign direct investment), dengan memformulasikan kerangka pertumbuhan yang berkorelasi dengan pertumbuhan di sektor riil.

Tentunya tidak mudah dan membutuhkan waktu yang lama. Namun, instabilitas yang selalu terjadi di pasar finansial seharusnya mampu diekspektasikan guna menghindari negeri ini masuk ke jurang krisis yang berkepanjangan.

Kalau saat ini Rupiah melemah, IHSG terkoreksi, maka yang dibutuhkan adalah stabilisasi pasar jangka pendek. Namun kalau itu terjadi berulang-ulang maka kita harus me-review fundamental ekonomi bangsa ini, apakah benar-benar berjalan pada jalur yang benar. Seharusnya tidak menjadi kekhawatiran seandainya fundamental ekonomi negeri ini kuat menopang segala macam bentuk volatilitas pasar finansial.

No comments: