Tuesday, June 05, 2007

Volatilitas Pasar Finansial

Medan Bisnis, 28 Mei 2007
Kekhawatiran akan kembali melemahnya mata uang Rupiah, setelah menguat secara konsisten kembali terbukti. Rupiah yang sempat menguat hingga ke level 8650 kembali terkoreksi hingga di atas level 8800 dalam kurun waktu tak lebih dari 2 hari perdagangan. Namun, pelemahan tersebut dinilai masih berada dalam batas yang belum mengkhawatirkan, karena masih “somewhere around 9000”, begitu Gubernur Bank Indonesia menyatakan sikapnya.

Hal yang dapat menjadi alasan melemahnya Rupiah disinyalir terkait dengan melemahnya Indeks Bursa Jakarta (IHSG). Melemahnya IHSG tersebut diperkirakan juga dipengaruhi oleh memburuknya kinerja indeks bursa Dow Jones (Amerika). Bahkan indeks Dow Jones sempat diperdagangkan dalam volatilitas yang tinggi, yakni ditutup melemah 14 poin meskipun selama sesi perdagangan sempat menguat hingga 70 poin.

Pelaku pasar pun sangat berhati-hati untuk melakukan transaksi carry trade, karena pergerakan indeks bursa Dow Jones sangat berpengaruh besar bagi perdagangan carry trade. Hal ini membuat data Durable Goods Orders/DGO (pemesanan barang tahan lama) serta data New Home Sales (data penjualan rumah baru) Amerika menjadi fokus utama pelaku pasar.

Meski demikian, tren keterpurukan US Dolar sepertinya belum saja berakhir. Sentimen di sektor properti Amerika yang tidak merealisasikan angka aktual yang positif membuat data-data lainnya seperti perumahan juga akan mengikuti hal yang sama. Namun, melemahnya US Dolar akan berkorelasi positif terhadap permintaan barang-barang di sektor transportasi seperti komponen pesawat, walaupun terjadi tekanan terhadap permintaan barang lainnya seperti furniture maupun elektronik.

Seiring dengan memburuknya sejumlah data perekonomian Amerika tersebut, diperkirakan tidak akan berpengaruh signifikan terhadap keputusan Bank Sentral Amerika atau The FED yang diperkirakan masih tetap mempertahankan suku bunganya. Hal tersebut menjadi salah satu penopang dari terpuruknya mata uang US Dolar lebih jauh.

Selain itu, pertemuan antara pemerintah Amerika dan China di Washington, yang membahas mengenai defisit neraca perdagangan Amerika, diperkirakan tidak akan berpengaruh signifikan terhadap pergerakan US Dolar. Sejauh ini, pemerintah AS tetap menuding bahwa pemerintah China melakukan kecurangan dengan membiarkan mata uang Yuan melemah terhadap US Dolar, yang membuat pasar Amerika kebanjiran produk dari China.

Hal lain yang layak dicermati adalah tren kenaikan indeks bursa dunia yang masih menunjukan potensi akan tetap menguat. Selama indeks bursa dunia menunjukan penguatan maka potensi penguatan US Dolar juga semakin terbuka. Namun, ketika pasar menilai bahwa indeks bursa sudah mulai menunjukan adanya sinyal berbalik arah, maka US Dolar dapat kembali terpukul oleh transaksi carry trade.

Terhadap mata uang lainnya, US Dolar justru relatif stabil terhadap mata uang Yen Jepang. Meskipun mata uang Yen sering digunakan sebagai mata uang yang paling aktif dalam transaksi carry trade, namun ekspektasi kemungkinan Bank Sentral Jepang (BoJ) akan kembali menaikan suku bunganya membuat mata uang Yen tertahan dari keterpurukan yang lebih dalam.

Demikian halnya terhadap Euro, mata uang US Dolar juga tidak bergerak dalam fluktuasi yang lebar. Walau demikian data-data perekonomian zona Euro diperkirakan akan kembali mengalami rebound, sehingga berpotensi membawa Euro kembali menguat terhadap US Dolar. Nah, terhadap mata uang Poundsterling (GBP), US Dolar diperkirakan akan bergerak dalam range perdagangan yang cukup lebar, Hal tersebut dikarenakan sentimen dari pernyataan hawkish para pejabat Bank Sentral Inggris (BoE).

Untuk mata uang Rupiah, walaupun masih menunjukan tren penguatan, namun potensi berbalik arah mata uang Rupiah masih terbuka lebar. Rupiah masih sangat rentan terhadap sentimen-sentimen dari luar. Selain itu, gejala anomali terhadap mata uang Rupiah diperkirakan akan sering terjadi, yang nantinya akan membuat bingung pelaku pasar.

No comments: