Saturday, February 06, 2010

Ketika Pertumbuhan Harus Dibatasi

Medan Bisnis, 25 Januari 2010
Raksasa ekonomi Amerika Serikat melalu presidennya Barack Obama menyatakan pentingya membatasi resiko di sektor perbankan. Batasan yang dimaksud adalah pengambilan resiko yang bisa saja pengetatan pengucuran kredit perbankan. Langkah presiden Barrack Obama tersebut langsung mendapatkan respon.

Setidaknya harga saham-saham di Amerika terjun bebas dan mengantarkan indeks Standard & Poor’s 500 mengalami koreksi yang paling besar sejak bulan oktober tahun lalu. Seiring dengan rencana gedung putih yang mengajukan proposal pembatasan dalam resiko keuangan AS serta rencana China yang akan menekan laju pertumbuhan ekonominya.

Langkah yang diambil pemerintah AS diyakini presiden AS untuk mencegah terjadinya krisis keuangan lainnya. Seiring dengan hal itu, pengetatan kebijkan moneter sepertinya mutlak dilakukan guna membatasi pengucuran dana masyarakat ditengah ketidak pastiaan pemulihan ekonomi global. Apa yang terjadi setelah langkah pemerintah AS tersebut?

Hampir semua saham perbankan AS mengalami koreksi yang cukup signifikan dan sangat memukul kejatuhan indeks bursa global tanpa terkecuali Indonesia. Saham-saham perbankan Indonesia justru mengalami koreksi yang diakibatkan oleh faktor internal seperti pembobolan kartu ATM.

Memang sangat mengkhawatirkan manakala kondisi keuangan yang belum stabil harus mengucurkan dana maupun stimulus guna meningkatkan konsumsi dan daya beli. Kenapa? Karena dengan keuangan yang sedang bermasalah dan tetap menjalankan stimlus sebenarnya memberikan ruang untuk menciptakan peluang krisis lanjutan, terlebih stimulus tersebut tidak sesuai dengan yang diharapkan.

Dan juga berdampak pada tingginya inflasi. Dan bayangkan apa yang akan terjadi pada saat stimulus ternyata tidak begitu efektif sehingga mengangkat inflasi ke level yang lebih tinggi lagi. Yang ada adalah seperti bola salju yang menggelinding dan semakin besar sebelum akhirnya menghancurkan semua yang dilewatinya.

China sepertinya juga mengalami hal yang sama. Kekhawatiran terhadap perkembangan perekonomian global harus diikuti dengan pengetatan kebijakan penyaluran kredit oleh negeri panda tersebut. Kekhawatiran tersebut sepertinya akan memicu masalah lainnya khususnya di dunia keuangan.

Diantara sekian banyak sentiment negative tersebut. Secara fundamental perusahaan di AS pada dasarnya membukukan keuntungan dalam laporan keuangan triwulan ke empat yang justru lebih baik dari estimasi para analis sebelumnya. Diantara 62 perusahaan yang melaporkan pendapatan dan tergabung dalam S&P 500, terdapat 46 perusahaan yang merealisasikan keuntungan melebihi rata-rata dari data Bloomberg.

Apa yang terjadi?. Ini menggambarkan bahwa ekspektasi pasar sangat berlebihan dalam merespon kebijakan gedung putih meskipun dalam jangka waktu tertentu memang akan berdampak buruk dalam perekonomian khususnya sektor perbankan. Penulis melihat ada peluang kenaikan pada emiten perbankan yang mengalami koreksi pada saat ini.

Bukan hanya itu. Ada sekitar 130 perusahaan lagi yang juga tergabung dalam S&P 500 dan berencana untuk memberikan laporan keuangannya. Termasuk perusahaan Apple Inc. Sehingga tidak menutup kemungkinan adanya pembalikan arah pergerakan pasar yang membentuk tren bullish.

No comments: