Wednesday, March 31, 2010

Inginkan Nilai Tukar Yang Stabil

Medan Bisnis, 22 Maret 2010
Beberapa hari terakhir nilai tukar Rupiah menguat secara signifikan terhadap US Dolar. Penguatan tersebut didorong oleh masuknya dana asing ke pasar Indonesia. Ini sekaligus merupakan prestasi bagi mata uang Rupiah, karena sebagai indikator ekonomi merealisasikan kinerja yang baik. Namun, tidak semua orang akan menyambut dengan hal yang serupa. Tetap akan menyisahkan pro dan kontra terhadap fluktuasi nilai tukar.

Gejolak nilai tukar Rupiah sebenarnya telah kita lihat belasan tahun silam. Ditahun 1997, disaat masa krisis moneter sedang berlangsung, fluktuasi nilai tukar Rupiah telah membawa bencana yang luasr biasa bagi negeri ini. Gejolak nilai tukar Rupiah yang sempat terjungkal hingga dikisaran Rp.16.000/$ merupakan akar permasalahan yang tersisa dan masih terasa dampaknya hingga saat ini.

Pergerakan nilai tukar uang dinegara manapun dapat berubah dengan sangat cepat. Akibat dari suatu sistem perekonomian dunia yang kian terbuka. Pergerakan nilai tukar yang sangat dinamis dan dapat terjadi dalam dua arah : bisa naik, bisa turun. Kalau naik (menguat) maka mata uang yang menguat akan membuat mata uang lawannya melemah. Kalau melemah dapat menganggu kegiatan ekonomi negara tersebut terganggu.

Namun, yang perlu dikhawatirkan adalah apabila nilai tukar itu bergerak bukan karena dinamika perekonomian negara tersebut, akan tetapi karena ulah spekulan. Aksi spekulasi oleh para spekulan pernah dijadikan kambing hitam krisis di era 1997-an. Mereka masuk ke hampir semua negara berkembang yang belum memiliki fundamental ekonomi yang kuat serta menganut perdagangan nilai tukar yang liberal. Hingga kebijakan yang dinilai tidak memegang prinsip kehati-hatian.

Belajar dari pengalaman sebelumnya, maka kondisi di saat nilai tukar Rupiah seperti sekarang ini sebenarnya tidak semuanya akan memberikan dampak positif terhadap perekonomian kita. Menguatnya nilai tukar Rupiah berpeluang meningkatkan impor serta menekan ekspor. Dan membuka ruang untuk defisit neraca yang lebih besar.

Para eksportir tentunya tidak begitu menghendaki nilai tukar yang terus menguat. Demikian juga sebaliknya, importir juga akan terbebani dengan nilai tukar yang berfluktuasi dengan kecenderungan melemah. Untuk itu dibutuhkan sebuah nilai tukar yang stabil. Bagaimana cara untuk mewujudkannya?. Bukankah nilai tukar yang stabil berarti membutuhkan banyak cadangan devisa untuk mengontrolnya?.

Landasan yang paling mendasar untuk merealisasikan kurs mata uang yang stabil adalah fundamental ekonomi yang kokoh. Perekonomian kita harus mandiri yaitu mampu memenuhi kebutuhan sendiri serta lebih banyak menghasilkan atau memproduksi lebih banyak daripada mengkonsumsi. Ini bukan pekerjaan yang mudah. Ekspor kita dituntut lebih banyak daripada impor. Sumber daya alam negara kita harus mampu dikelola secara maksimal untuk mengurangi resiko yang diakibatkan oleh defisit neraca berjalan atau current account yang besar hingga melewati batas toleransi terhadap PDB (produk domestik bruto).

Kalau hal-hal mendasar tersebut bisa dipenuhi maka dengan sendirinya cadangan devisa kita akan semakin gemuk. Dengan mudah kita akan mengontrol perubahan nilai tukar Rupiah dengan cara melakukan intervensi untuk menstabilkannya. Intervensi yang dilakukan bisa dua arah, yakni menjual mata uang kita di pasar apabila mata uang kita menguat, dan membeli mata uang kita pada saat melemah terhadap mata uang asing (US Dolar).

Nilai tukar Rupiah yang menguat belakangan ini menggirukan para spekulan untuk menjual rupiah dan membeli US$. Oleh karena itu, pihak regulator harus terus mengawasi transaksi finansial baik yang dilakukan oleh spekulan dari luar mulai dari yang sekelas George Soros, hingga para institusi maupun pengusaha lokal. Karena spekulasi tidak hanya menjangkiti para pemodal luar, namun hampir semua orang bisa terjangkit karena dibutakan oleh keuntungan yang menggiurkan dan melanggar azas keadilan.

No comments: