Wednesday, March 31, 2010

Nilai Tukar Sebagai Stimulus Pertumbuhan

Medan Bisnis, 15 Maret 2010
Di saat krisis sedang terjadi seperti saat ini. Ada fakta besar dimana Negara besar seperti AS mengalami defisit neraca perdagangan dengan China. Dimana impor AS ke China lebih besar dibandingkan dengan Ekspor AS ke China itu sendiri. Hal ini di klaim sebagai salah satu biang keladi kenapa AS sulit untuk bangkit dari keterpurukan. Defisit yang besar menjadi penghalang AS dalam memasarkan barang-barangnya ke mitra dagang AS khususnya China.

Alasan tersebut sangat masuk akal. Sebagai contoh, Indonesia yang memiliki sumber daya alam yang melimpah dan berlebih, namun tidak bisa dipasarkan untuk memenuhi kebutuhan diluar, maka barang tersebut akan membanjiri pasar domestik dan akan membuat harga barang tersebut turun. Ada implikasi lain yang harus diterima yakni semakin sulit Negara kita untuk menciptakan lapangan kerja.

Salah satu yang menyebabkan adanya defisit adalah nilai tukar mata uang. Defisit neraca yang dialami AS tidak lebih karena kebijakan China yang tidak mengizinkan mata uang Yuan menguat lebih jauh lagi terhadap US Dolar. Padahal, China sejauh ini mengalami surflus perdagangan terhadap AS. Apabila China membiarkan mata uangnya diperdagangkan sesuai dengan mekanisme pasar, maka diperkirakan mata uang Yuan akan terapresiasi secara signifikan terhadap US Dolar.

Namun, kebijakan China kalau membiarkan mata uangnya menguat, berarti China siap dibanjiri oleh produk-produk luar. China yang memiliki populasi penduduk paling besar di dunia serta mempekerjakan tenaga kerja murah diuntungkan dalam banyak hal seperti kemampuan ekspor yang lebih baik. Nilai tukar Yuan yang stabil menjadi salah satu alasannya.

Seperti halnya dengan semua Negara tak terkecuali Indonesia. Disaat nilai tukar Rupiah menguat terhadap US Dolar, maka akan berdampak pada kinerja Impor yang tumbuh dengan baik. Sebaliknya, apabila nilai tukar Rupiah melemah terhadap US Dolar maka akan memicu kinerja ekspor yang meningkat. Nilai tukar yang kuat biasanya akan membuat pasar akan dibanjiri produk luar sehingga produktivitas manufaktur lokal akan turun. Dan mata uang yang melemah akan membuat ekspor meningkat namun dapat memicu inflasi.

Kebijakan mata uang yang stabil merupakan pilihan yang harus di ambil. Namun tidak mudah untuk memuat mata uang dalam kestabilan. Karena dibutuhkan intervensi Bank sentral untuk mengatur lalu intas devisa tersebut. Dan berkorelasi langsung terhadap cadangan devisa Negara tersebut.

Inilah yang sedang diperjuangkan AS untuk berebut simpati pasar di China. AS yang kesulitan menggenjot kinerja ekspor karena produk yang kalah bersaing dari China, mengklaim bahwa kebijakan China yang tidak membiarkan mata uang Yuan menguat menjadi biang keladi kenapa krisis tidak bisa diatasi secara cepat. AS mengklaim bahwa laju pertumbuhan Dunia bisa di tingkatkan apabila Yuan terapresiasi.

Benarkah?, tidak selamanya tepat. China tentunya merasa diuntungkan dengan kondisi seperti ini. Kinerja ekspor yang naik tajam jelas menjadikan China sebagai Negara yang mencetak laju pertumbuhan paling cepat di dunia. AS masih tetap menjadi perekonomian terbesar di Dunia, meski demikian apabila AS mampu mengatasi defisit neraca perdagangannya dengan China bukan serta merta akan membuat perekonomian Dunia akan pulih dengan segera.

Negara kita juga bisa melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan China. Membiarkan mata uang kita lebih murah terhadap US Dolar guna menggenjot ekspor. Namun tidak sedemikian mudah tentunya. Dibutuhkan cadangan devisa yang cukup serta kesiapan dunia industri. Semoga Negara kita mampu memanfaatkan perjanjian ACFTA dengan sebaik-baiknya, dan terhindar dengan defisit neraca perdagangan yang besar dengan China.

No comments: